***“Apakah kamu mual?”Tanya dari Arley membuat Prims memalingkan wajah yang semula menunduk di depan closet. Ia melihat Arley yang tampak sudah rapi dengan kemeja lengan panjang dan juga coat yang menggantung di lengan kanannya.“Sedikit saja, Arley,” jawab Prims kemudian menekan flush.“Apakah kamu benar-benar sanggup untuk pergi?” tanya Arley sekali lagi saat Prims berkumur di wastafel kemudian mencuci tangan dan mengeringkannya terlebih dahulu.“Bisa kok.”“Jika kamu tidak bisa, aku akan bilang pada profesor Mashe bahwa kamu sedang tidak enak badan dan tidak bisa hadir memenuhi undangan beliau.”“Tidak apa-apa, sudah mendingan sekarang. Ayo!”Prims tersenyum, lalu melingkarkan tangannya pada lengan Arley setelah prianya itu memastikan Prims benar-benar dalam kondisi yang baik sekarang.Hamil muda, pada trimester pertama, tepat setelah Prims mengetahui kondisinya yang berbadan dua, ia mulai diserang morning sickness. Arley sudah melihatnya mual lebih dari lima kali sejak pagi.Dan
Namun, alih-alih menunjukkan tatapan yang bersahabat seperti yang ia lakukan sebelumnya, Richard justru melemparkan senyum yang tak bisa diartikan. Sejenak, Prims menjumpai sebuah kebencian yang besar dari sepasang netranya sebelum akhirnya teman lamanya itu melangkahkan kakinya meninggalkan parkiran.Prims melihat punggungnya yang berbalut dalam jas warna biru gelap itu lalu menghilang di pintu masuk William Traver Gallery."Apakah kamu melihat yang barusan, Arley?" tanya Prims seraya menoleh pada Arley yang berdiri di sebelah kanannya. Arley mengangguk setuju untuk hal itu, "Iya," jawabnya singkat."Kenapa dia tiba-tiba bersikap seperti itu?" tanya Prims sedikit cemas. Ia tipe yang tidak bisa melihat perubahan sikap seseorang secara signifikan—apalagi pada Richard ia seperti sedang membenci Prims."Mungkin dia sedang tidak enak hati, Sayang," jawab Arley dengan sedikit menunduk, menunjukkan senyumnya mengintip netra Prims yang bersembunyi di balik bulu matanya yang lentik."Aku pi
“Kenapa aku membuatmu malu?” tanya Prims sembari satu langkah mundur ke belakang. Menatap Richard yang kedua alisnya sedikit berkerut dan tampak tidak akan pergi begitu saja sebelum ia menyelesaikan soal ‘malu’ yang sedang ia bicarakan itu.“Aku mengusulkan reuni itu pada teman-teman kita semasa SMA,” jawab Richard mula-mula. “Aku bilang pada mereka kalau salah satu teman kita yang bernama Primrose adalah seorang pelukis terkenal dengan nama panggungnya Rosefiore. Mereka sangat senang dengan hal itu. Mereka menunggumu datang tetapi kamu tidak muncul bahkan setelah acara selesai.”“Bukankah aku sudah mengatakan padamu, Rich?” sergah Prims sebelum percakapan mereka berlari semakin jauh. “Bukankah aku sudah mengirim pesan padamu bahwa aku tidak bisa datang?”“Dan tanpa memberiku alasan? Apakah itu karena Arley melarangmu?”“Aku yang memutuskan untuk tidak datang karena aku berpikir dulu tidak ada satu orang pun yang suka denganku. Dengan mengingat semua fakta itu, aku memilih untuk tida
“Dia mengatakan hal yang aneh?” ulang Prims sembari menatap Arley, sejenak menghentikan kegiatan mengunyah yang sedang berlangsung.“Iya, Sayang,” jawab Arley tanpa keraguan.Prims memiringkan kepalanya sekilas ke kiri, “Apa yang aneh itu, Arley?”“Kamu sungguh tidak menyadarinya?”“Tidak,” Prims menggeleng dengan yakin.“Dia bilang kalau profesor Mashe lebih sering membicarakanmu.”“Lalu?”“Itu aneh, Sayang.”“Huh?” kedua alis Prims terangkat. Menatap lurus pada Arley yang meletakkan kedua tangannya tertelungkup di bawah dagunya selama beberapa detik.Terlihat sedang mencoba merangkai kata untuk bisa ia katakan pada Prims dalam cara sesederhana mungkin.“Saat seseorang mengatakan, ‘lebih banyak’ atau ‘lebih sering’ atau mungkin ‘lebih baik’ itu harus dada pembandingnya. Misalnya ... profesor Mashe lebih banyak membicarakanmu daripada dia. Tapi Celine tidak bilang begitu tadi. Dia hanya bilang kalau ‘profesor Mashe lebih banyak membicarakanmu’ begitu saja. Kalimat itu tidak lengkap, d
“Sayang?” panggil Arley dengan panik. Trauma dengan penculikan yang terjadi sebelumnya. Apalagi dengan keadaan Arley yang meninggalkannya begitu saja, ia dibuat cemas.Arley hampir berlari menuju ke titik kecelakaan terjadi karena berpikir Prims menyusulnya.Tetapi hal itu ia urungkan saat ia melihat Prims yang datang dari seberang jalan dengan sebatang es krim yang ada di tangannya.“Astaga ....”Arley jatuh kedua bahunya. Sedangkan yang dicemaskan dan hampir membuatnya terkena serangan jantung malah datang dengan polosnya.“Kamu sudah selesai?” tanya Prims sembari menyodorkan satu es krim pada Arley.“Dari mana kamu, Primrose?”“Aku ingin buang air kecil. Jadi aku ke swalayan yang ada di sana,” tunjuknya sekilas pada swalayan yang memang tak jauh dari mereka. “Lalu membeli ini karena aku pikir evakuasinya akan lama.”“Kamu tahu kalau aku baru saja berpikir bahwa kamu menghilang?”Prims hampir saja tersedak mendengar yang disampaikan oleh Arley.“Maaf, aku betul-betul tidak bisa me
‘Celine bertemu profesor terlebih dahulu daripada Nona.’ Berulang kali Prims mengatakan itu di dalam hatinya.Terngiang, menimbulkan persepsi khusus yang dibentuk oleh batinnya sendiri.Yang semakin lama Prims pikirkan ... ia sepertinya mengerti kenapa Celine membencinya.Itu pasti karena Celine menganggap Prims telah mengambil posisinya di samping profesor Mashe. Dan itu diperkuat oleh pernyataan Jayden yang mengatakan,“Dari informasi yang aku peroleh, dulunya Celine adalah seorang anak di panti asuhan. Selama dia tumbuh di sana, dia mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari bapak pemilik pantinya. Kemudian pada hari dia melarikan diri dari panti itu, dia menepi ke studio milik professor Mashe. Setelah beberapa kali datang ke sana, dia mendapatkan hidup yang lebih baik karena profesor memberinya pekerjaan sebelum akhirnya dia dinikahi oleh seorang dokter gigi.....“Tetapi, kebahagiaan yang dia dapatkan dengan pria itu tidak bertahan lama karena mereka dihadapkan pada sebu
‘Apakah memang sejauh itu?’ batin Prims menelan rasa cemas.Ia terdiam selama beberapa menit untuk mencerna peristiwa yang terjadi di sekitarnya ini.Termasuk juga Celine yang sedalam itu membencinya tanpa Prims ketahui.....Jayden dan Lucia berpamitan beberapa saat setelahnya. Setelah memastikan Prims sedikit tenang dan meyakini bahwa tak akan ada hal buruk yang terjadi padanya.Tetapi, meski bibir tersenyum kala mengatakan ‘Iya’ tetapi hatinya tak bisa berbohong.Ia cemas.Memasuki kamarnya yang ada di lantai dua, ia duduk dengan menghela napasnya yang berat. Ingin abai pada apa-apa saja yang ia dengar hari ini dan percaya pada Arley serta Jayden bahwa tak akan ada sesuatu yang buruk menimpanya, tetapi tidak bisa.Mengingat kembali rekaman video di mana Celine merobek lukisannya dengan senjata tajam saja membuat Prims bergidik merinding.Entah apa yang akan ia lukai dengan senjata tajam miliknya itu. Jauh hari sebelumnya adalah Golden Retriver milik suaminya, lalu lukisan Prims. Ti
Prims Melihat salah seorang dari mereka juga menggdor kaca mobil di kursi penumpang. Suara tembakan sekali lagi menggema di udara. Mulut pistol dari salah seorang pria itu diayun-ayunkan di jendela tempat di mana Will duduk. Seolah itu adalah sebuah ancaman agar Will segera keluar atau nyawanya yang akan menjadi taruhan."Jangan keluar, Pak Will," pinta Prims memohon.Saat Prims berpikir bahwa Will akan menurut untuk keluar dari mobil, yang ia lakukan selanjutnya ternyata di luar dugaan.Will menginjak pedal gasnya, menerjang para pria berpakaian hitam itu.Tembakan semakin sering terdengar, Prims menutup kedua telinganya.Will pontang-panting mengemudikan mobilnya. Ia seperti tidak ingin membuat Prims masuk dalam jebakan yang sama seperti yang dilakukan oleh Alice saat menculiknya.Prims menoleh ke belakang, dua mobil mengikutinya menerjang jalanan di Seattle yang lengang. Will sesekali melirik melalui kaca spion yang menggantung di atasnya, memeriksa Prims yang duduk di belakang de
|| 29 Mei, tahun 2XXX Tahun berganti, tetapi aku merasa langkah kakiku berhenti pada masa di mana aku bisa melihatmu mengatakan bahwa kau akan ada di sisiku, dalam keadaan suka maupun duka, dalam sedih ataupun sengsara. Hari yang menjadi sebuah titik awal, bahwa aku akan mendapatkan hidupku yang baru, dan itu bersama denganmu. Arley Miller, untuk semua yang telah kau lakukan, terima kasih. Tidak ada kata yang lebih baik daripada itu untuk aku sampaikan padamu. Kedatanganmu adalah sebuah hadiah, untukku yang berpikir bahwa aku tidak akan lagi menemukan kata ‘bahagia’ dalam perjalananku menghabiskan sisa usia. Dalam hidupku yang hampir dipenuhi dengan jalan sendu, aku mendapatkanmu. Seorang pria yang menganggapku ada. Kamu yang merengkuhku saat dunia lepas dari genggamanku. Pria yang bersumpah dengan apapun yang dimilikinya untuk membuatku percaya bahwa masih ada dunia yang baik yang tidak menganggapku hanya sebagai bayangan dan kesia-siaan. Pada akhirnya, waktu menggerakkan ak
*** Ada undangan dari Jayden dan juga Lucia. Sebuah undangan makan malam yang digelar di rumahnya secara sederhana. Tidak akan menolak, mengingat mereka adalah sahabat baik, Arley dan Prims datang. Tetapi sebelum sampai di sana, mereka lebih dulu ingin membawakan hadiah. Prims bilang itu adalah buket bunga yang besar atau jika bisa bunga hidup yang bisa diletakkan di dalam rumah dan tidak perlu memrlukan banyak perawatan. Kaktus misalnya. Arley menyarankan kue yang manis, karena Jayden itu tipe gigi manis, ia bilang. Yah ... sebelas dua belas dengan Prims lah kira-kira ... gemar makanan yang manis. Mereka keluar dari Acacia Florist, toko bunga yang mereka lewati selama perjalanan. Bunga yang mereka bicarakan itu telah ada di tangan mereka sekarang. Dengan hati yang gembira Prims dan Arley menuju tempat selanjutnya, di toko kue sembari menggendong si kembar yang tadinya duduk anteng di baby car seat di bagian belakang mobil. Memasuki toko kue, Rhys dan Rose terlihat sangat sena
*** Seperti janji yang pernah ia katakan selepas Prims meninggalkan ruang kunjung tahanan beberapa saat yang lalu saat ia menjenguk ayahnya, Prims bilang ia akan datang ke tempat ini untuk mengabarkan perihal keadilan yang pada akhirnya telah ia terima. Sebuah pemakaman. Lokasi di mana Jasmine Harrick disemayamkan. Nisan salibnya menyambut kedatangan Prims yang menyaunkan kakinya lengkap dengan kedua tangannya yang mendekap buket bunga berukuran besar. Ia sendirian, ia sudah meminta izin pada Arley yang mengiyakannya untuk pergi di hari Minggu pagi ini. Saat anak-anaknya masih tertidur, Prims bergegas dengan diantar oleh Will. Ia tersenyum saat menjumpai foto Jasmine yang juga sama tersenyumnya. “Apa kabar, Mama?” ucapnya sembari meletakkan buket bunga itu di dekat fotonya. “Aku datang sendirian hari ini, Mama.” Prims duduk bersimpuh di sampingnya, mengusap nisan Jasmine yang bersih dan terawat karena memang selain ini di area yang bersih dan bagus, Arley meminta orangnya un
*** Langkah kaki Prims terdengar berirama mengetuk, ia berjalan keluar dari mobil yang dikemudikan oleh Will, sopir milik Arley untuk tiba di tempat ini. Sebuah tempat yang barangkali Prims sama sekali tidak ingin menginjakkan kakinya meski hanya sebentar, pun tidak ingin ia datangi karena luka menganga masih terasa perih. Menyayat, menusuknya. Tak ada terbesit pikiran untuknya datang ke sini, sama sekali. Tetapi sepertinya takdir selalu memiliki rencana lain sehingga mau tak mau ia harus menguatkan diri untuk menghadapinya. Sebuah pesan dari kepolisian Seattle mengatakan bahwa ayahnya Prims, Aston Harvey sedang sakit dan ingin bertemu dengan anak perempuannya. Prims berpikir kenapa ayahnya itu tidak meminta Alice yang mendatangi atau menjenguknya? Kenapa malah dirinya yang sudah bertahun-tahun lamanya ini ia sia-siakan? Dalam kebencian yang masih kental itu, Prims menolak untuk datang. Namun, Arley mengatakan padanya dengan lembut, 'Datanglah, Sayangku ... siapa tahu sekarang
*** “Cepat turun ya panasnya, sayangku ....” Prims mengusap rambut hitam Rose setelah mengatakan demikian. Malam terasa dingin di luar tetapi di dalam sini sedikit chaos sebab si kembar sedang demam. Mereka baru saja imunisasi tadi siang di klinik khusus anak dan malam ini terasa efeknya. Rhys demam, begitu juga dengan Rose. Meski mereka tidak rewel, tetapi mereka tidak mau tidur di box bayi milik mereka sendiri melainkan minta digendong oleh ibunya. Prims yang menggendong Rose pertama. Mungkin sudah lebih dari satu jam dan setiap kali ia ajak duduk atau ingin ia baringkan, anak gadisnya itu akan menangis. Ia memandang Arley, tetapi tidak tega membangunkannya sebab tadi ia juga pulang bekerja cukup larut. Tetapi, Arley adalah Arley yang rasanya selalu bisa mengerti dan merasakan apa yang terjadi pada Prims. Sebab tak lama kemudian ia bangun. Saat Prims memeriksa anak lelakinya dengan meletakkan telapak tanganya di kening Rhys yang ternyata juga sama demamnya. “Anak-anak tidak
Prims hampir saja menggoda Arley lebih banyak sebelum ia menyadari ia telah kehilangan keseimbangan sebab Arley merengkuh pinggangnya dan membuatnya jatuh dengan nyaman di bawahnya. "Aku tidak menginginkanmu?" ulang Arley dengan salah satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas. Ibu jarinya yang besar mengusap lembut bibir Prims sebelum berbisik di depannnya dengan, "Mana mungkin, Nona?" Arley menunduk, memberi kecupan pada bibir Prims sebelum kedua tangan kecil istrinya itu menahannya agar ia tidak melakukan apapun. "Tapi aku tidak mau," ucap Prims, memalingkan sedikit wajahnya. Satu kalimat yang membuat Arley mengangkat kedua alisnya penuh dengan rasa heran. "Kamu tidak mau?" Prims mengangguk, mengarahkan tangannya ke depan, jemarinya menyusuri garis dagunya yang tegas dan disukai oleh Prims. "Aku tidak mau kalau kamu melakukannya dengan masih marah," lanjutnya. "Kenapa aku marah?" "Soal Jeno Lee, aku tahu kamu sangat kesal barusan. Mata Tuan Arley Miller ini mengatakannya le
.... Setelah Jayden dan Lucia pulang, Prims kembali ke dalam kamar terlebih dahulu. Tak sesuai yang ia duga bahwa si kembar akan terbangun, ternyata Rhys dan Rose malah terlelap. Sama-sama miring di dalam box bayi milik mereka dengan lucunya. Ia meninggalkan Arley selama setengah jam lamanya hingga tak sadar prianya itu telah berada di dalam kamar dan melihatnya dari dekat box bayi si kembar. Prims tidak menoleh padanya sama sekali. Matanya tertuju pada layar ponselnya yang menyala dengan senyum yang tak bisa ia tahan. Kedua pipinya memerah, sama seperti jika Prims sedang malu karena digoda oleh Arley dengan mengatakan ia cantik atau saat Arley menyebut jika ia mencintainya. Seperti itulah keadaan wajahnya sekarang itu. Dan tentu saja itu menimbulkan tanya. ‘Apa yang dia lihat sampai dia tersenyum seperti itu?’ gumamnya dalam hati lalu melangkah mendekat ke arah ranjang seraya mengancingkan atasan piyama tidur yang ia kenakan. Bahkan sampai Arley naik ke atas ran
“Aku benar, ‘kan?” desak Jayden masih tak ingin diam. Arley nyaris saja menjawabnya tetapi hal itu ia urungkan karena mereka mendengar dari belakang, suara Lucia yang bertanya, “Apa yang kalian bicarakan? Ayo masuk dan kita makan!” Mereka berhenti bertengkar dan memasuki rumah. Di ruang makan, Arley tidak menjumpai Prims yang tadi ia lihat sibuk bersama dengan Lucia. “Di mana Primrose, Lucia?” tanya Arley, mengedarkan pandangannya. Urung duduk karena Prims belum tampak. Sama halnya dengan Jayden dan Lucia yang juga urung menarik kursi mereka. “Nona Primrose sedang ke kamar sebentar, Pak Arley. Mau melihat si kembar katanya,” jawab Lucia yang lalu diiyakan oleh Arley. Baru selesai mereka bicarakan, Prims muncul dengan sedikit bergegas. “Kenapa?” tanya Arley begitu melihatnya. “Ah, aku pikir kalian sudah mulai dan aku terlambat makanya aku cepat-cepat ke sini,” jawabnya. “Belum, Sayang. Rhys dan Rose masih tidur?” Prims mengangguk membenarkannya. “Iya, Arley. Masih tidur.” “A
.... “Sayang-sayangnya Mama ....” Prims tidak bisa menahan diri saat melihat si kembar yang digendong oleh opa dan omanya sore ini. Prims sedang berada di halaman depan, melihat bunga bersama dengan Lucia yang datang ke rumahnya, memetiknya beberapa karena Lucia mengatakan ia suka dengan Sweet Juliet yang ada di halaman depan. Sementara Arley dan Jayden sedang bermain bulu tangkis sebelum mereka sama-sama melempar raket mereka saat melihat mobil milik Tom memasuki halaman rumah. Prims dan Lucia mendekat pada si kembar yang telah berpindah tangan pada Arleys serta Jayden. Prims rasa ... Jayden itu sangat suka dengan anak-anak. Dan belakangan ini ... ia tampak lebih gembira daripada hari biasanya. Sangat jauh dari bagaimana Prims melihatnya dulu saat mereka pertama kali bertemu. Alisnya yang tegas dan bibirnya yang lurus sebelas dua belas dengan Arley itu kini selalu tampak menunjukkan senyuman. Ia terlihat seperti sepasang adik dan kakak saat berdiri berdampingan dengan Arley.