Sudah satu minggu berlalu sejak kepindahan Lastri. Bram sering berlaku kasar pada Inamah. Demi menutupi kesalahannya sendiri. Juga cemburu saat melihat kembali isi pesan dari nomor Rudi. Antara ingin percaya atau mengabaikannya. Bram masih mencerna segala keganjilan yang ada. Inamah bukan perempuan gampangan. Apalagi sampai membuka hijab dan menunjukkan di depan lelaki yang bukan mahram. Bukan. Istriku bukan perempuan seperti itu! Bram meyakinkan diri. Sore hari saat Bram pulang kerja. Inamah menunjukkan satu wajah yang berbeda. Bram merasa risih dan tak nyaman. Biasanya Inamah selalu menemani ia saat makan malam. Tapi, kali ini. Ia tampak mendiamkan.Sudah?" Inamah bertanya tepat saat Bram mengakhiri ritual makan malamnya dengan segelas air. "Iya," jawab Bram tenang. Hatinya berdetak tak keruan. Seperti ada firasat tak enak. Deg!Mata Bram berhenti berkedip. Inamah mengeluarkan sebuah mini recorder. Lalu menyerahkan langsung pada Bram.
[Besok jam sembilan kita ketemuan. Mbak harus tahu semuanya. Ini penting! Tolong, jangan abaikan pesan ini. Demi kebaikan Mbak dan semuanya. Aku tunggu di taman edukasi.] Baris pesan itu membuatku semakin yakin. Ada yang tak beres memang antara suamiku dan mantan tetangga tak tahu diri itu. Kecurigaanku tentang berbalas komen Mas Bram dan Mbak Lastri. Juga akun watsapp Mas Bram yang tak juga diblokirnya. Aku butuh jawaban dari itu semua. "Ya, aku harus datang!"Kusentuh lagi layar gawai. Mengetik balasan untuk pesan barusan. "Dek, lagi liatin apa?" Deg!Kuangkat wajah menatap ke arah Mas Bram. Ia memandangiku dengan intens. Juga sorot mata yang setengah memicing. Dia, dia terbangun?Tapi, sejak kapan? Kenapa aku tak menyadarinya?"A--anu, Mas. Ini lagi balasin pesanan customer," kilahku. Aku menelan saliva. Gugup mendera. Membuat tengkuk leherku seketika merinding. Jemariku kaku. Bahkan mematikan layar yang menyala saja aku tak sang
Kulangkahkan kaki melewati jalanan yang becek lagi basah. Sisa hujan semalam. Mas Bram bilang ingin sarapan nasi pecel. Kuturuti keinginannya itu. Membawa diri ini menuju kedai Bulek Siti. Penjual nasi pecel di persimpangan gang. "Bungkus berapa, Mbak?" tanya Bulek Siti."Tiga Bulek. Yang satu bumbunya dipisah saja, nggih. Buat Ibu," ujarku."Siap!" Ya, mau bagaimana pun perlakuan tak sukanya Ibu padaku. Aku harus berbakti bukan? Apalagi beliau tinggal seorang diri. Usai dilayani. Kuserahkan lembaran uang berwarna hijau pada Bulek Siti. Satu porsi nasi pecel seharga lima ribu rupiah. Murah sekali."Makasih, ya, Mbak.""Nggih, sama-sama, Bu." Kutinggalkan kedai Bulek Siti menuju rumah Ibu mertua lebih dulu. Mengantar sarapan untuknya.Sepanjang jalan kulihat beberapa orang yang lalu lalang. Kami saling menyapa satu sama lain. Meski hanya dengan seulas senyum. Atau menyapa dengan memanggil nama. Tapi, rasanya senang sekali. Langkahku t
Bagaimana jika ini hanya sebuah tipuan? Atau ... mungkin Mas Rudi ingin menjebakku seperti yang istrinya lakukan kemarin-kemarin? Tidak! Aku tidak mau tertipu lagi! "Maaf, Mbak. Saya pulang saja!" Aku menghentikan langkah untuk mengekori Andin. Berbalik cepat berlawanan arah dengannya. Teringat kembali kejadian kapan hari. Saat Ibu mertua bilang bahwa Mas Rudi mengakui, aku telah menggodanya. Juga saat Mas Bram bilang bahwa Mas Rudi sudah menceritakan semuanya. Terkait chat dan foto tanpa hijabku itu. Astagfirullah! Bahkan ... suamiku sampai menatapku penuh rasa jijik. Aku tak sudi. Jelas, ini pasti jebakan. Aarrgh! Aku frustasi!"Mbak, tunggu!" Andini terus memanggil.Abaikan Inamah!Abaikan!Kupercepat langkahku. Semakin jauh meninggalkan perempuan itu. "Mbak! Mbak!" Ia masih terdengar mengejar. Tak peduli. Aku takut jika ini semua sengaja direncanakan untuk menjebakku.Jika saja tak ada Mas Rudi di sana. Mungkin, aku akan tet
"I-ini ...,"Lidahku kelu. Tak berani aku mengungkapkan dugaanku. Tatapan yang semula jelas mendadak keruh. pandanganku kabur. Aku ... aku tak sanggup. "Benar, Mbak. Mas Bram dan Lastri. Mereka--""Sudah. Hentikan!" Aku menatap tajam ke arah Mas Rudi. Kuseka sudut mata dengan jari sendiri. Bagaimana bisa istrinya berbuat seperti itu pada suami orang? Di mana perannya sebagai seorang suami? Memalukan!"Mbak! Dengar, apa yang Mbak pikirkan tidak seberapa dari apa yang sebenarnya terjadi." Lagi-lagi Mas Rudi berucap. Ia cerewet sekali. Kuamati lagi foto-foto itu. Mencermati dengan detil isi di sana. Berharap ada kejanggalan di foto-foto itu. Bisa saja, Andini dan Mas Rudi sengaja mengeditnya. Lelah membolak-balik. Hasilnya tetap sama. Foto itu bisa dipastikan asli. Tanpa editan maupun efek kamera yang disamarkan.Rabbi ....Kenyataan apa ini.Kurasakan Kia menggeliat tak nyaman. Mungkin, ia sama gelisahny sepertiku. "Biar anak mbak
Allah tidak pernah membebankan kesulitan di luar kemampuan hambanya. Mungkin .... Saat ini jalanku memang berliku. Bukankah fase kehidupan selalu demikian?Ada susah, ada senang. Ada bahagia ada derita.Namun, aku selalu yakin. Bahwa semua akan indah pada waktunya. *** Jarum pendek jam di dinding kamar menunjuk ke angka lima. Di luar, senja sudah mulai menyapa. Sementara itu, aku masih terdiam, tak beranjak dari pembaringan. Menuntaskan hajat putri kecilku. Kia. Memberinya asi. Tok! Tok! Tok!Aku terhenyak. Pikiranku sedang kemana-mana tadi. Kriiieeeet .....Kuarahkan pandangan menuju daun pintu. "Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh." Daun pintu kamar terbuka. Seiring langkah kaki dari luar masuk ke dalam. Mas Bram. Dia sudah pulang. Well, dia punya kunci cadangan. Oh, Astagfirullah! Apakah ia pernah membawa mantan tetanggaku itu ke sini saat aku pergi?Ah! Pikiranku sudah tak bisa terkendali
Kami makan dalam diam. Sibuk menyuap dan menyendok makanan masing-masing. Aku sedang tak ingin bicara apa pun. Sebelum tes DNA Hasan berhasil Mas Rudi berikan. Aku akan memilih bungkam. Tak membahas hubungan gelapnya bersama perempuan bernama Lastri itu. Lama kami terdiam. Kecanggungan menyelimuti kami. Setidaknya ada bahasan lain hang harus kusampaikan. Mulutku juga sudah gatal. Tapi, hati berusaha menahan semampu yang kubisa. Ayolah Inamah. Berpikir!"Mas," panggilku akhirnya. Sungguh, tak tahan sekali diam-diaman begini. "Iya?""Aku mau nagih hutang ke Mbak Lastri," ucapku mantap. Kutatap Mas Bram. Ia menghentikan suapannya. "Bukannya kemarin baru dibahas, Dek? Sudah. Abaikan saja. Ikhlas," ujarnya tenang. Ia juga menatap ke arahku. Pandangan kami saling bertemu. Dia bersikap biasa saja. Ekspresi wajah pun, datar tanpa ada kerut khawatir di riak wajahnya. "Enggak. Maaf. Karena ini kewajiban. Aku harus mengingatkannya," kilahku. Pada
Aku tergugu. Menangis kesakitan. Malam ini, pria yang bergelar sebagai suamiku itu, bukan seperti Mas Bram yang kukenal. Ia sangat kasar."Maaf, Dek," ucapnya lirih. Membisik di telinga kiri. "Kamu tahu, kan. Masmu ini nggak suka jika ditolak," tambahnya lagi. Aku bergeming. Tak sedikit pun menoleh padanya. Kubungkus rapat tubuhku dengan selimut. Hanya menyisakan kepala saja. "Dek," panggilnya lagi. Kurasakan jemarinya membelai rambut. Jika aku ikhlas, mungkin tidak seperih ini, Mas. Sayangnya, kulakukan semuanya dengan terpaksa.Ya, terpaksa. "Aku capek, Mas. Sudah. Tidurlah." Mas Bram diam. Tak menjawab ucapanku. Beberapa menit berselang, terdengar dengkuran halus dari belakang. Ia pasti sudah tertidur. Pikiranku mengembara. Malam beranjak semakin larut. Tapi, kedua mataku enggan terpejam. Kenyataan pahit yang baru kudapatkan siang tadi. Bertambah perih dengan sikap Mas Bram yang kasar dan seolah tak mau peduli. Bahkan, dalam pandangan matanya tadi. Tampak seakan menyimpan ama