Share

49. Andin

Penulis: Amaliyah Aly
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-20 10:11:52

Bagaimana jika ini hanya sebuah tipuan? Atau ... mungkin Mas Rudi ingin menjebakku seperti yang istrinya lakukan kemarin-kemarin?

Tidak! Aku tidak mau tertipu lagi!

"Maaf, Mbak. Saya pulang saja!" Aku menghentikan langkah untuk mengekori Andin.

Berbalik cepat berlawanan arah dengannya. Teringat kembali kejadian kapan hari. Saat Ibu mertua bilang bahwa Mas Rudi mengakui, aku telah menggodanya. Juga saat Mas Bram bilang bahwa Mas Rudi sudah menceritakan semuanya. Terkait chat dan foto tanpa hijabku itu. Astagfirullah!

Bahkan ... suamiku sampai menatapku penuh rasa jijik. Aku tak sudi. Jelas, ini pasti jebakan. Aarrgh! Aku frustasi!

"Mbak, tunggu!"

Andini terus memanggil.

Abaikan Inamah!

Abaikan!

Kupercepat langkahku. Semakin jauh meninggalkan perempuan itu.

"Mbak! Mbak!" Ia masih terdengar mengejar. Tak peduli. Aku takut jika ini semua sengaja direncanakan untuk menjebakku.

Jika saja tak ada Mas Rudi di sana. Mungkin, aku akan tet
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Diblokir Tetangga   50. Mencoba Berdamai

    "I-ini ...,"Lidahku kelu. Tak berani aku mengungkapkan dugaanku. Tatapan yang semula jelas mendadak keruh. pandanganku kabur. Aku ... aku tak sanggup. "Benar, Mbak. Mas Bram dan Lastri. Mereka--""Sudah. Hentikan!" Aku menatap tajam ke arah Mas Rudi. Kuseka sudut mata dengan jari sendiri. Bagaimana bisa istrinya berbuat seperti itu pada suami orang? Di mana perannya sebagai seorang suami? Memalukan!"Mbak! Dengar, apa yang Mbak pikirkan tidak seberapa dari apa yang sebenarnya terjadi." Lagi-lagi Mas Rudi berucap. Ia cerewet sekali. Kuamati lagi foto-foto itu. Mencermati dengan detil isi di sana. Berharap ada kejanggalan di foto-foto itu. Bisa saja, Andini dan Mas Rudi sengaja mengeditnya. Lelah membolak-balik. Hasilnya tetap sama. Foto itu bisa dipastikan asli. Tanpa editan maupun efek kamera yang disamarkan.Rabbi ....Kenyataan apa ini.Kurasakan Kia menggeliat tak nyaman. Mungkin, ia sama gelisahny sepertiku. "Biar anak mbak

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-21
  • Diblokir Tetangga   51. Kesabaran yang Berbuah Manis

    Allah tidak pernah membebankan kesulitan di luar kemampuan hambanya. Mungkin .... Saat ini jalanku memang berliku. Bukankah fase kehidupan selalu demikian?Ada susah, ada senang. Ada bahagia ada derita.Namun, aku selalu yakin. Bahwa semua akan indah pada waktunya. *** Jarum pendek jam di dinding kamar menunjuk ke angka lima. Di luar, senja sudah mulai menyapa. Sementara itu, aku masih terdiam, tak beranjak dari pembaringan. Menuntaskan hajat putri kecilku. Kia. Memberinya asi. Tok! Tok! Tok!Aku terhenyak. Pikiranku sedang kemana-mana tadi. Kriiieeeet .....Kuarahkan pandangan menuju daun pintu. "Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh." Daun pintu kamar terbuka. Seiring langkah kaki dari luar masuk ke dalam. Mas Bram. Dia sudah pulang. Well, dia punya kunci cadangan. Oh, Astagfirullah! Apakah ia pernah membawa mantan tetanggaku itu ke sini saat aku pergi?Ah! Pikiranku sudah tak bisa terkendali

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-22
  • Diblokir Tetangga   52. Pemaksaan

    Kami makan dalam diam. Sibuk menyuap dan menyendok makanan masing-masing. Aku sedang tak ingin bicara apa pun. Sebelum tes DNA Hasan berhasil Mas Rudi berikan. Aku akan memilih bungkam. Tak membahas hubungan gelapnya bersama perempuan bernama Lastri itu. Lama kami terdiam. Kecanggungan menyelimuti kami. Setidaknya ada bahasan lain hang harus kusampaikan. Mulutku juga sudah gatal. Tapi, hati berusaha menahan semampu yang kubisa. Ayolah Inamah. Berpikir!"Mas," panggilku akhirnya. Sungguh, tak tahan sekali diam-diaman begini. "Iya?""Aku mau nagih hutang ke Mbak Lastri," ucapku mantap. Kutatap Mas Bram. Ia menghentikan suapannya. "Bukannya kemarin baru dibahas, Dek? Sudah. Abaikan saja. Ikhlas," ujarnya tenang. Ia juga menatap ke arahku. Pandangan kami saling bertemu. Dia bersikap biasa saja. Ekspresi wajah pun, datar tanpa ada kerut khawatir di riak wajahnya. "Enggak. Maaf. Karena ini kewajiban. Aku harus mengingatkannya," kilahku. Pada

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-23
  • Diblokir Tetangga   53. Tanah Pemakaman

    Aku tergugu. Menangis kesakitan. Malam ini, pria yang bergelar sebagai suamiku itu, bukan seperti Mas Bram yang kukenal. Ia sangat kasar."Maaf, Dek," ucapnya lirih. Membisik di telinga kiri. "Kamu tahu, kan. Masmu ini nggak suka jika ditolak," tambahnya lagi. Aku bergeming. Tak sedikit pun menoleh padanya. Kubungkus rapat tubuhku dengan selimut. Hanya menyisakan kepala saja. "Dek," panggilnya lagi. Kurasakan jemarinya membelai rambut. Jika aku ikhlas, mungkin tidak seperih ini, Mas. Sayangnya, kulakukan semuanya dengan terpaksa.Ya, terpaksa. "Aku capek, Mas. Sudah. Tidurlah." Mas Bram diam. Tak menjawab ucapanku. Beberapa menit berselang, terdengar dengkuran halus dari belakang. Ia pasti sudah tertidur. Pikiranku mengembara. Malam beranjak semakin larut. Tapi, kedua mataku enggan terpejam. Kenyataan pahit yang baru kudapatkan siang tadi. Bertambah perih dengan sikap Mas Bram yang kasar dan seolah tak mau peduli. Bahkan, dalam pandangan matanya tadi. Tampak seakan menyimpan ama

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-24
  • Diblokir Tetangga   54. Makam yang Bersebelahan

    Gundukan tanah terbungkus rapat oleh rumput. Karena musim hujan, tampak subur sekali daun panjang berwarna hijau itu. Begitu duduk di sebelah pusara kedua orang tuaku. Rindu ini menyeruak hebat. Kepingan wajah Ibu dan Bapak menari di pelupuk mata. Senyum mereka, ke dua mata mereka. Seakan menatapku iba. Nasibku menyedihkan sekali. Kuusap perlahan nisan berwarna putih sedikit kusam, bergantian. Kelak, aku pun akan menyusul seperti ini. Lalu, apa yang akan kusombongkan jika semua berakhir?Kuembus napas panjang. Aku datang ke sini tak lain untuk mengingatkan diri sendiri. Bahwa, pada masanya nanti, aku pun akan dikuburkan. Tertimbun dalam tanah. Bersama tertanam sempurna. Betapa manusia sangat terbatas sekali kemampuannya. Sekuat hati kutahan air mata agar tak tumpah. Sesak sekali rasanya. Dada seakan terhimpit benda berat. Rabbi .... Al fatihah kubacakan. Doa untuk dilapangkan kubur kulangitkan. Betapa kini aku benar-benar merasa rindu pada mereka. P

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-25
  • Diblokir Tetangga   55. Desakan Ibu

    "Coba tengok ke belakang, itu makam Bapak kamu, bukan?" Inamah menunjuk. Aku hampir terkesiap karenanya. Dadaku bergemuruh. Ya Tuhan. Bagaimana? Kugerakkan kepala, menoleh ke belakang. Tepat di sana, di belakangku yang berjarak hanya sejengkal saja, sebuah gundukan tanah bernisan putih. Benar, itu adalah makam almarhum Bapak. Apa yang harus kujawab pada Inamah? Haruskah aku jujur sekarang? Tapi, aku sudah berjanji. Bahkan pada Ibuku. Rahasia Bapak dan istri keduanya. Inamah tak boleh tahu. Kutoleh kembali wajah istriku itu. Sorot matanya seakan meminta penjelasan. Mendadak telapak tanganku dingin. Aku gugup. "Bukan, Dek," jawabku mencoba bersikap biasa saja. Datar. "Masa, sih? Tapi, kok namanya sama ya, Mas?" tanyanya masih memandangku. Lalu menatap lekat ke nisan di belakangku. Bolak-balik. Bergantian. Ya Tuhan. Aku harus jawab apa?! "Mmm--mungkin kebetulan aja, udah gih kalau mau ngedoa. Kasian Kia kepanasan," sergahku. Berharap ia tak memb

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-26
  • Diblokir Tetangga   56. Hasil Tes DNA

    Tepat seperti dugaanku. Rupanya, kedatangan ibu, ingin memberitahu bahwa Lastri sedang ada di rumahnya. "Dia sedang terguncang. Rudi menjatuhkan talak tiga padanya. Mereka tak bisa rujuk. Bahkan sekarang pun, Rudi entah ada di mana. Lastri tak tahu." Ucapan Ibu menambah berat beban dalam hatiku. Kuembus napas kasar. Mungkin, sudah saatnya untuk jujur pada Inamah. Memberitahu semua fakta tentangku bersama Lastri. Lalu, meminta kelapangan hatinya agar mau menerima Lastri dan Hasan dalam rumah tangga kami. Ya, itu kalau Inamah mau. Tapi, kalau tidak? Bagaimana? "Aku butuh kamu, Mas." Lastri menatapku dalam. Aku sendiri bingung. Harus bagaimana setelah ini. "Rudi, dia ..,""Lupakan Mas Rudi! Kami sudah berakhir! Aku, hanya mau sama kamu, Mas. Beri hakku. Juga hak Hasan secara utuh." Lastri menekan kalimatnya. Ia bukan lagi meminta. Tapi memaksa. Kugaruk kepala yang tak gatal. Aku bahkan belum bicara apa pun pada Inamah. Ya Allah. Harus ba

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-27
  • Diblokir Tetangga   57. Pengakuan

    Dingin dan membeku. Tak ada kata yang terucap. Hanya kedua pandangan mata yang menyimpan sorot kesedihan. Inamah terdiam. Duduk di bibir kursi. Ia tak lagi mampu untuk berdiri. Tubuhnya memberi kode bahwa ia telah tumbang. Begitu pun hatinya. Hancur berserakan. "Dari sederet kisah masa lalumu itu. Kenapa bagian ini tak pernah kau ceritakan padaku, Mas? Kenapa kau menutupinya?" "Aku ... aku, bahkan sudah kau tipu sejak kita belum menikah." "Dan sekarang ...," Kalimat Inamah terhenti. Tenggorokannya tercekat. Ia lalu mengembus napas kasar. Beberapa menit terdiam, demi meredam gejolak amarah dalam hatinya.Sepi. Tak ada sedikit pun suara yang keluar dari bibir tipisnya itu. Sementara Bram, ia berdiri dengan lutut bergetar. Seolah tercabut tulang belulang dari dalam tubuhnya."Aku butuh waktu untuk mencerna ini semua, Mas. Aku butuh waktu," ujar Inamah. Sebelum akhirnya ia berlalu pergi. Kembali ke dalam kamar. Ditinggalkannya Bram sendiri.

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-28

Bab terbaru

  • Diblokir Tetangga   129. ENDING

    Waktu bergulir kian cepat. Jejak-jejak masa lalu tinggallah serpihan yang tak perlu diingat. Aku bahagia dengan kehidupanku. Menikmati peran menjadi seorang istri, ibu dan juga menantu.Lima belas tahun lebih berselang. Usiaku sudah melewati kepala empat bahkan hampir lima. Hidupku begitu bahagia. Tinggal di bawah atap yang dinaungi dengan iman dan taqwa. Masih di kediaman Abah Yai. Hati dan jiwaku seakan tertahan. Enggan untuk pergi dari sini. Bude Ningsih tutup usia dua tahun yang lalu.  Beliau tak mengalami sakit. Tepat saat sedang salat Magrib berjamaah. Tiba-tiba saja sudah tak sadarkan diri. Ketika dibawa ke rumah sakit. Ternyata beliau sudah tak ada.Mas Fatih menepati janjinya. Hatiku sakit, saat tahu bahwa kedai warung milikku bukan mengalami kebakaran secara sendirinya. Melainkan ada dalang di balik itu. Suami Mbak Daya, namanya Mas Hilal, entah dendam apa yang ia miliki. Entah motif apa yang membuat ia tega membakar kedaiku. Pada

  • Diblokir Tetangga   128. Hasil USG

    Mas Fatih menuntunku berjalan dengan hati-hati. Perhatian dan perlakuannya selalu membuatku nyaman. Kami sudah tiba di tempat praktik dokter kandungan. Seperti rencana awal, hendak melakukan USG untuk mengetahui jenis kelamin anak kami. "Duduk di sini dulu ya, Dek," ucapnya.Aku mengangguk. Mas Fatih berjalan menuju tempat pendaftaran. Sambil menunggu, kuedarkan pandangan ke sekeliling. Ada pula pasangan suami istri yang mengantri sama sepertiku. Seorang perempuan berkerudung lebar tersenyum ramah. Kulihat perutnya sedikit membuncit, mungkin tengah hamil.  "Mau periksa ya, Mbak?" tanya perempuan yang sedari tadi kuperhatikan. Ia duduk tepat di sebelahku. "Iya, Mbak. Mbak periksa juga, ya?" tanyaku balik.Perempuan itu mengangguk. "Sudah berapa bulan?" Aku bertanya lagi. Sebuah senyum kecut kulihat. Perempuan itu menggeleng. Seperti ada kepedihan yang tersirat di wajahnya. Ya Allah,

  • Diblokir Tetangga   127. Pamit

    "Rumah ini milik bersama, Nduk. Jangan merasa sungkan. Ummi sama Abah hanya ingin yang terbaik buat kamu dan calon cucu kami." Aku terharu mendengar ucapan Ummi. Tak ada yang kurang. Semua begitu menghargai dan menyayangiku. Namun, hati ini masih berat jika harus tinggal seterusnya di sini. "Terima kasih banyak Ummi.""Sama-sama, Nduk. Sudah sekarang istirahat saja, ya. Ummi mau nemenin Abah dulu.""Nggih, Ummi."Mertuaku itu berlalu meninggalkan kamar. Tinggal aku di sini bersama Kia dan Bude Ningsih. *** Mencoba bicara dari hati ke hati. Aku paham sekali bagaimana watak Bude Ningsih. Beliau orangnya nggak enakan. Lebih sering merendahkan diri. "Bude," panggilku."Iya, Nduk?""Semisal kita benar jadi tinggal di sini bagaimana?" "Horeee! Asiiiik! Tinggal di sini seterusnya, Mi?" Pertanyaan kulempar pada Bude Ni

  • Diblokir Tetangga   126. Melebur Bersama Duka

    Dalam hidup, kita tidak pernah bisa membuat semua orang menjadi suka. Sedikit banyak, akan  ada saja orang-orang yang membenci. Entah itu sebuah penyakit hati berupa iri dengki, atau Allah memang tengah menguji kesabaran hambanya. *** Pagi telah kembali tiba. Di sebuah klinik dokter spesialis kandungan. Inamah dan Fatih menunggu dengan harap-harap cemas hasil pemeriksaan. Beruntung karena klinik yang Fatih kunjungi buka selama 24 jam. Inamah langsung cepat ditangani. Tanpa menunggu-nunggu lagi. Satu hal yang lagi-lagi patut disyukuri. Karena kecekatan Inamah selama ini. Fatih tak perlu dipusingkan dengan noda pakaian yang membekas darah di belakang gamis Inamah. Karena Inamah selalu menyimpan stok ganti di bangku belakang. "Jadi, bagaimana, Dok?" tanya Fatih dengan raut cemas. Begitupun dengan Inamah, ia tengah berbaring di atas brankar pasien. Pasca menjalani pemeriksaan usg. "Sudah saya cek. Usia kehamilan memasuki tujuh

  • Diblokir Tetangga   125. Hancur dan Berserakan

    Malam beranjak semakin matang. Udara yang dingin, perlahan menerobos masuk lewat celah lubang angin. Sesekali dengung bunyi binatang malam masih terdengar. Meski bersahutan dengan riuh dedaunan yang tergesek angin. Kamar yang sedang ditempati Kia berada di sisi sebelah kiri. Di mana, halaman sampingnya ditumbuhi dua pohon mangga yang berdaun lebat. Jika Kia dan Bude Ningsih sudah terlelap dalam tidurnya, serta terbuai dalam mimpi mereka masing-masing. Hal tersebut tidak berlaku untuk Inamah. Pertanyaan Kia yang terus terngiang di telinga, membuat Inamah sedikit banyak kepikiran. Bram, masa lalunya yang bahkan kini keberadaannya sudah tak ada lagi di dunia, justru menghantui isi kepala. Inamah bangun dari posisi berbaring. Ia duduk lalu sedikit memundurkan posisinya, berganti menyender ke dinding. Ia sedang berpikir, bagaimana mencari cara agar bisa menjelaskan pada putrinya kelak. Sebuah penghianatan, haruskah ia ulas pada gadis yang bahkan usianya saja

  • Diblokir Tetangga   124. Wejangan Ibu Mertua

    Semilir angin malam yang sejuk membelai lembut wajah Inamah. Ia duduk di teras rumah. Seorang diri dengan kepala yang bersandar di dinding. Sesekali dilihatnya gawai, memastikan bahwa jam sembilan malam belumlah datang. Ia menunggu, kabar dari suami bahwa Kia masih hidup membuatnya teramat bahagia. Hingga ia lupa diri. Menyiapkan aneka makanan kesukaan sang putri sejak sore tadi. "Nunggunya di dalam saja, Nduk." Inamah menoleh. Di dekat pintu, dilihatnya Bu Nyai mendekat. Setibanya di samping Inamah. Bu Nyai menyentuh pelan pundak kanannya. "Di sini dingin," ujar Bu Nyai lagi. Kedua matanya menatap hangat. Tahu bahwa menantunya itu sedang tak sabar, tapi mengingat kondisinya yang sedang hamil muda juga pingsan berulang kali sejak pagi. Membuat Bu Nyai lebih khawatir akan kesehatan Inamah. "Nggih, Ummi."Merasa tak enak. Inamah lantas menurut. Ia bangkit dari duduk. Mengikuti ajakan Bu Nyai, yang kini menggirin

  • Diblokir Tetangga   123. Menjemput Jenazah Putriku

    Lebih cepat. Ingin segera sampai. Berpacu bersama sang waktu. Diselingi sudut-sudut hati yang menjerit. Doa tak lupa sentiasa terselip. Sebentar saja, tak ingin sampai kedatangannya terlambat dan berakhir dengan sia-sia. Fatih menghela napas berat berkali-kali. Pikirannya bercabang menjadi dua. Di satu sisi, ada Inamah yang terpaksa ia tinggalkan dalam keadaan pingsan. Di sisi lain, ada Kia dan juga Bude Ningsih. Yang saat ini, entah bagaimana keadaan dua orang itu. Pasca kecelakaan bus yang ditumpangi saat rekreasi."Hallo, saya minta tolong segera kirimkan alamat rumah sakitnya."Fatih menghubungi salah seorang guru Kia. Percuma jika menunggu respon, ia ingin segera tahu kabar putrinya itu secara langsung. Meski bukan anak kandungnya, Fatih begitu tulus menyayangi seperti anak sendiri. "Di rumah sakit umum Bakti Husada Batu Malang, Pak. Saya kirimkan alamat lokasinya di pesan, ya.""Iya. Saya tunggu dengan seg

  • Diblokir Tetangga   122. Bahagia Sekejap Saja

    Hatiku resah. Ada yang tak nyaman di dalam sini. Bagaimana bisa aku tergerak untuk mengizinkan seseorang menempati 'rumah kami'. Karena meski jarang ditempati, tapi jika sudah menyangkut tentang hak milik. Rasanya aku tak bisa. Sudah masuk ranah privasi.  "Dek." Panggilan Mas Fatih kembali membuyarkan lamunanku. Seulas senyum tersungging di bibir. Ia mendekat lalu mengusap puncak kepala. Matanya melebar, lalu jemari tangannya mencolek hidungku gemas. "Mas bercanda, Sayang. Khalid sudah punya rumah sendiri kok. Tak mungkin juga Mas membagi tempat tinggal kita dengan yang lain," ujarnya. "Hem? Apa?" Aku membelalak. "Beneran, Dek. Khalid sudah punya tempat tinggal sendiri. Mas hanya menggoda Adek saja." "Ihh! Mas Fafih!"Aku menepuk lengannya dengan tangan kanan. Bukannya mengelak, ia malah mendekat. "Sebelah sini aja," ujarnya sambil menunjuk pipi kanan. "Masa iya di pipi?""Kalau di pipi

  • Diblokir Tetangga   121. Memangkas Jarak

    "Yang ini bagus nggak, Mas?" Kutunjukkan gawaiku pada Mas Fatih. Ia menoleh sekilas lalu menggeleng pelan. Kami sedang tiduran di atas ranjang dengan selimut tebal yang membungkus hingga sebatas perut. Kebetulan ini hari minggu. Mas Fatih sedang libur. Sementara Kia, sejak jumat pagi ia bersama Bude Ningsih. Ada acara rekreasi dari sekolahnya. Berhubung aku sedang hamil muda, jadi Bude yang menemani.Kusandarkan kepala di lengan kiri suamiku itu. Kedua mataku terbelalak setelah menggeser layar gawai. Di dalam layar tampak pakaian bayi berwarna putih polos dengan bulat-bulat kecil berwarna biru sebagai motifnya. Pasti kali ini Mas Fatih setuju. Mengingat, motifnya yang sedikit, tak sebanyak yang pertama tadi.Kuakui, saat ini aku berada dalam fase demam belanja online. Entah apa sebabnya. Mungkin, efek kehamilan yang kedua ini.Berbeda dengan kehamilanku yang dulu waktu mengandung Kia. Kali ini, entah kenapa aku lebih senang be

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status