Menyalakan shower. Membiarkan air membasuh sekujur tubuhnya. Bram memejam. Teringat sentuhan yang ia nikmati semalam bersama Lastri. Ingin sekali ia melakukannya lagi.Ditepuknya kepala sendiri. Ini tidak benar. Halalkan dulu, baru nikmati. Sayangnya, hasrat pria kadang tak bisa dibendung. Sekalinya merasakan kenikmatan. Ia jadi ketagihan.Jangan memulai apa pun dengan jalan yang salah. Sebab, kita tak pernah tahu. Sampai mana batasan umur berada. ***"Sudah Bapak siapkan semuanya. Kamu tinggal berangkat saja." Handoko menekan. Ditunjukkannya paspor dan aneka dokumen yang akan Bram bawa. Ia sudah mengatur startegi. Agar putranya bisa lupa pada Lastri. "Bram tidak akan ke mana-mana! Bram akan menikah dengan Lastri!"Ditolaknya mentah-mentah. Bram tak mau pergi ke luar negeri. Sekalipun mengejar gelar S2 di negara yang terkenal gurun pasirnya. "Oh, begitu? Jadi ... kamu mau menentang Bapakmu?" "Bukan begitu, Pak. Bram harus bertanggung jawab."
Dengan keadaan dua tangan yang terikat. Lastri diarak keliling kampung. Sebagian warga yang melihatnya memandang iba. Namun, tak sedikit pula yang mencibir. Terseok-seok Lastri berjalan. Rambut hitamnya bertabur debu pasir. Luka lebam di kaki juga ikatan kencang membelit tangan. Masih saja tak membuat gadis itu angkat suara. Ia bergeming, mengatupkan rapat kedua bibirnya. Hatinya membeku. Noktah hitam setitik demi setitik menyelimutinya. Membungkus penuh murka. Bukan hanya kecewa yang ia rasa, tapi dendam perlahan singgah. Lalu mengendap. Mematikan hati yang sudah sekarat. Lastri tak lagi berpikir jernih. Ia sudah berharap untuk mati. Tekanan demi tekanan yang ia dapatkan bertumpuk menjadi beban.Hingga tiba di sebuah lapangan luas. Tepatnya di dekat arela persawahan. Warga membentuk lingkaran kerumunan manusia dengan Lastri di tengahnya. "Katakan! Siapa pemuda yang menghamilimu, Lastri!" Ketua RT mendesis. Ia sangat menjaga kehormatan kampungnya.
Sementara itu. Di dalam kamar. Amin sedang sekarat. Sejak diketahuinya Lastri hamil tanpa suami. Ia jatuh sakit-sakitan. Napasnya selalu sesak. Ia tak selera makan. Kepikiran. Tubuhnya yang semula segar berubah menjadi ringkih. Nyaris tinggal tulang. Berbulan-bulan menyimpan sesak sendiri. Hingga pada puncaknya. Malam di mana Rudi mengakui bahwa ia berdusta demi menyelamatkan Lastri. Kondisi Amin semakin tak keruan. Bukannya tenang. Justru beban berat menghimpit dadanya. "Bapak ndak kuat, Bu. Bapak sudah gagal menjaga anak kita," ujar Amin sambil memegangi dada sebelah kiri. Angin malam berembus pelan. Menerobos masuk lewat celah jendela yang terbuka. Nyeri yang Amin rasa tak kunjung hilang. Ia hanya bisa terdiam di pembaringan. Menikmati kesakitan."Jangan bilang gitu, Pak. Bapak harus kuat demi keluarga kita.""Bapak gagal, Bu. Bapak gagal," ujar Amin putus asa."Ibu juga sudah gagal menjaga Lastri. Yang penting sudah ada yang mau mengakuinya. Rudi sudah membantu kita." "Dia p
"Ayo, Nduk. Bisa! Pasti bisa!" Bu Darmi memberi semangat. Beliau sedang membantu persalinan Lastri. Pagi tadi air ketuban Lastri pecah. Setelah dicek dalam. Rupanya sudah pembukaan penuh. Memegangi ujung kasur. Kedua tangan Lastri mencengkeram hebat. Bayang wajah Bram menari di pelupuk matanya. Ah, ia rindu sekaligus benci. Bagaimana mungkin satu hati menyimpan dua rasa bersamaan. "Ayo, Nduk. Sedikit lagi!" Bu Darmi kembali mendikte. Keringat sebesar biji jagung mengucur deras di kening Lastri. Rasanya ia sudah tak kuat lagi. Semilir angin yang masuk menerobos jendela kamar. Tak sedikit pun mampu menghalau rasa panas dari tibuhnya. "Aaaaaaaaarrrgghhh!" Lastri mengejan hebat. Didorongnya sekuat tenaga bayi dari dalam perut. Ia ngos-ngosan. Tak lama setelah jeritan panjang itu, terdengar suara tangis bayi dari dalam kamar. "Alhamdulillah! Alhamdulillah! Sudah lahiran, Bu," ujar Rudi dari balik dinding kamar penuh semangat. Statusnya memang belum resmi menjadi suami Lastri. Namun, d
Sementara itu, di tempat yang berbeda. Dengan gemerlap lampu yang berwarna-warni. Juga dentuman musik yang menyentak hebat. Seorang pria sedang tergelak bersama teman-temannya. Bram Ari Pratama. Sejak kejadian dipukulnya ia oleh sang Bapak. Semua fasilitas yang selama ini ia nikmati direnggut paksa. Penolakan untuk kuliah di luar negeri, membuat Handoko semakin muntab. Dikurungnya Bram selama lebih dari tiga bulan di dalam kamar. Hanya sesekali pintu kamar pemuda itu dibuka. Untuk sekadar mengantar makan. Tak lebih dari itu. Penjagaan ketat pun dilakukan. Juga meracuni pikiran Bram dengan pikiran buruk tentang Lastri. "Dia hanya menginginkan uangmu!""Jika dia mau kau tiduri. Bisa juga ia sudah pernah ditiduri pria lain sebelummu!""Perempuan macam apa yang mau diajak pria asing ke rumah kalau bukan perempuan gampangan!" "Bagaimana mungkin Bapaknya mengizinkan gadis itu ikut bersamamu. Jelas mereka mengincar harta!" *** Apa yang lebih cepat berubah daripada hati? Kita tak pernah
Kita tinggalkan sisi lain kehidupan Lastri. Ia dan Rudi tengah menjalani hari baru. Usai meninggalkan kampung kelahiran. Sepasang suami istri itu lantas berpindah-pindah tempat mencari keberadaan Bram.Meminta pertanggung jawaban. Juga demi sebuah janji yang mengikat. Ya, hanya untuk janji. *** Kehancuran orang-orang yang zhalim. Tidak luput dari doa orang-orang yang mereka zhalimi. Mereka yang tertindas. Merasa hatinya disakiti. Air mata terurai dengan bibir yang terus berucap fasih. Melangitkan doa berharap keadilan datang dari Rabbnya. Lastri tak sedikit pun melupakan. Doanya terus menyimpan amarah lagi dendam. Setiap terbesit pikiran tentang Bram, hanya kebencian dan kedengkian yang terus menyergap. Ia tak tahan. Sementara itu .... Surabaya, kelabu mulai membungkus kehidupan keluarga Handoko. Berbagai persoalan mencekik mereka. Bukan dari faktor luar, melainkan faktor diri mereka sendiri. Putra yang selalu dibanggakan. Yang dididik dengan penuh
Hubungan yang tak pernah diridhoi itu menghasilkan sebuah petaka. Firasat istri pertama selalu benar. Keluarga yang tak baik-baik saja selalu ada gelenjar rasa yang berbeda. Satu hari, Ani menemukan selembar foto pernikahan Handoko bersama Sarah. Perempuan itu muntab, dengan membabi buta ia marah. Namun, kuasa tetap ada di tangan Handoko. Pilihan yang diberikan hanya satu. Tetap menjadi istri pertama atau ditendang dari rumah. Lagi-lagi materi mendominasi. Memilih bertahan dengan rasa sakit. Dari pada terlantar juga tak punya apa-apa. Ani pasrah dengan keadaan dirinya. Tepat di usia pernikahan ke lima Handoko bersama Sarah. Saat istri keduanya itu melahirkan. Sang pemilik mengambil semuanya. Merebut habis Sarah dan juga bayi yang dikandungnya. Duh, balasan menyakiti istri pertama begitu kejam, bukan? Selang beberapa tahun, Arman dan Istrinya mengalami kecelakaan hebat. Tertabrak sebuah kendaraan besar saat mereka menyebrang. Nyawa kedua orang itu pun tak bis
Pagi itu, usai semalaman Bram membujuk. Aku akhirnya kalah, anakku itu ternyata sudah jatuh hati pada gadis yang bernama Inamah."Dia cantik lagi shalihah. Lulusan pondok pesantren. Dia juga mau menerima Bram apa adanya.""Dia bisa menjadi menantu yang baik untuk Ibu." "Dia sebatang kara. Tak punya siapa-siapa." Bram terus saja meyakinkan. Kutatap kedua manik hitam putraku dalam-dalam. Ada binar penuh harap di sana. Ia sudah menemaniku bangkit dari keterpurukan. Dan ia juga ingin bahagia.Kuembus napas pelan. Aku tak boleh egois bukan? Dengan berat hati kuizinkan ia menikahi gadis yang bernama Inamah itu. Walau sejujurnya luka hati yang tersimpan masih cukup dalam. Ya, Inamah. Setiap menyebut namanya. Terbesit sesuatu berlabel pengkhianatan di benakku. Gadis yang keluarganya telah menghancurkan pondasi rumah tanggaku. Merebut kasih dari seorang pria yang kusebut suami. Ah, andai ia bukan dari keluarga perusak itu. Mungkin ... aku tak akan me
Waktu bergulir kian cepat. Jejak-jejak masa lalu tinggallah serpihan yang tak perlu diingat. Aku bahagia dengan kehidupanku. Menikmati peran menjadi seorang istri, ibu dan juga menantu.Lima belas tahun lebih berselang. Usiaku sudah melewati kepala empat bahkan hampir lima. Hidupku begitu bahagia. Tinggal di bawah atap yang dinaungi dengan iman dan taqwa. Masih di kediaman Abah Yai. Hati dan jiwaku seakan tertahan. Enggan untuk pergi dari sini. Bude Ningsih tutup usia dua tahun yang lalu. Beliau tak mengalami sakit. Tepat saat sedang salat Magrib berjamaah. Tiba-tiba saja sudah tak sadarkan diri. Ketika dibawa ke rumah sakit. Ternyata beliau sudah tak ada.Mas Fatih menepati janjinya. Hatiku sakit, saat tahu bahwa kedai warung milikku bukan mengalami kebakaran secara sendirinya. Melainkan ada dalang di balik itu. Suami Mbak Daya, namanya Mas Hilal, entah dendam apa yang ia miliki. Entah motif apa yang membuat ia tega membakar kedaiku. Pada
Mas Fatih menuntunku berjalan dengan hati-hati. Perhatian dan perlakuannya selalu membuatku nyaman. Kami sudah tiba di tempat praktik dokter kandungan. Seperti rencana awal, hendak melakukan USG untuk mengetahui jenis kelamin anak kami. "Duduk di sini dulu ya, Dek," ucapnya.Aku mengangguk. Mas Fatih berjalan menuju tempat pendaftaran. Sambil menunggu, kuedarkan pandangan ke sekeliling. Ada pula pasangan suami istri yang mengantri sama sepertiku. Seorang perempuan berkerudung lebar tersenyum ramah. Kulihat perutnya sedikit membuncit, mungkin tengah hamil. "Mau periksa ya, Mbak?" tanya perempuan yang sedari tadi kuperhatikan. Ia duduk tepat di sebelahku. "Iya, Mbak. Mbak periksa juga, ya?" tanyaku balik.Perempuan itu mengangguk. "Sudah berapa bulan?" Aku bertanya lagi. Sebuah senyum kecut kulihat. Perempuan itu menggeleng. Seperti ada kepedihan yang tersirat di wajahnya. Ya Allah,
"Rumah ini milik bersama, Nduk. Jangan merasa sungkan. Ummi sama Abah hanya ingin yang terbaik buat kamu dan calon cucu kami." Aku terharu mendengar ucapan Ummi. Tak ada yang kurang. Semua begitu menghargai dan menyayangiku. Namun, hati ini masih berat jika harus tinggal seterusnya di sini. "Terima kasih banyak Ummi.""Sama-sama, Nduk. Sudah sekarang istirahat saja, ya. Ummi mau nemenin Abah dulu.""Nggih, Ummi."Mertuaku itu berlalu meninggalkan kamar. Tinggal aku di sini bersama Kia dan Bude Ningsih. *** Mencoba bicara dari hati ke hati. Aku paham sekali bagaimana watak Bude Ningsih. Beliau orangnya nggak enakan. Lebih sering merendahkan diri. "Bude," panggilku."Iya, Nduk?""Semisal kita benar jadi tinggal di sini bagaimana?" "Horeee! Asiiiik! Tinggal di sini seterusnya, Mi?" Pertanyaan kulempar pada Bude Ni
Dalam hidup, kita tidak pernah bisa membuat semua orang menjadi suka. Sedikit banyak, akan ada saja orang-orang yang membenci. Entah itu sebuah penyakit hati berupa iri dengki, atau Allah memang tengah menguji kesabaran hambanya. *** Pagi telah kembali tiba. Di sebuah klinik dokter spesialis kandungan. Inamah dan Fatih menunggu dengan harap-harap cemas hasil pemeriksaan. Beruntung karena klinik yang Fatih kunjungi buka selama 24 jam. Inamah langsung cepat ditangani. Tanpa menunggu-nunggu lagi. Satu hal yang lagi-lagi patut disyukuri. Karena kecekatan Inamah selama ini. Fatih tak perlu dipusingkan dengan noda pakaian yang membekas darah di belakang gamis Inamah. Karena Inamah selalu menyimpan stok ganti di bangku belakang. "Jadi, bagaimana, Dok?" tanya Fatih dengan raut cemas. Begitupun dengan Inamah, ia tengah berbaring di atas brankar pasien. Pasca menjalani pemeriksaan usg. "Sudah saya cek. Usia kehamilan memasuki tujuh
Malam beranjak semakin matang. Udara yang dingin, perlahan menerobos masuk lewat celah lubang angin. Sesekali dengung bunyi binatang malam masih terdengar. Meski bersahutan dengan riuh dedaunan yang tergesek angin. Kamar yang sedang ditempati Kia berada di sisi sebelah kiri. Di mana, halaman sampingnya ditumbuhi dua pohon mangga yang berdaun lebat. Jika Kia dan Bude Ningsih sudah terlelap dalam tidurnya, serta terbuai dalam mimpi mereka masing-masing. Hal tersebut tidak berlaku untuk Inamah. Pertanyaan Kia yang terus terngiang di telinga, membuat Inamah sedikit banyak kepikiran. Bram, masa lalunya yang bahkan kini keberadaannya sudah tak ada lagi di dunia, justru menghantui isi kepala. Inamah bangun dari posisi berbaring. Ia duduk lalu sedikit memundurkan posisinya, berganti menyender ke dinding. Ia sedang berpikir, bagaimana mencari cara agar bisa menjelaskan pada putrinya kelak. Sebuah penghianatan, haruskah ia ulas pada gadis yang bahkan usianya saja
Semilir angin malam yang sejuk membelai lembut wajah Inamah. Ia duduk di teras rumah. Seorang diri dengan kepala yang bersandar di dinding. Sesekali dilihatnya gawai, memastikan bahwa jam sembilan malam belumlah datang. Ia menunggu, kabar dari suami bahwa Kia masih hidup membuatnya teramat bahagia. Hingga ia lupa diri. Menyiapkan aneka makanan kesukaan sang putri sejak sore tadi. "Nunggunya di dalam saja, Nduk." Inamah menoleh. Di dekat pintu, dilihatnya Bu Nyai mendekat. Setibanya di samping Inamah. Bu Nyai menyentuh pelan pundak kanannya. "Di sini dingin," ujar Bu Nyai lagi. Kedua matanya menatap hangat. Tahu bahwa menantunya itu sedang tak sabar, tapi mengingat kondisinya yang sedang hamil muda juga pingsan berulang kali sejak pagi. Membuat Bu Nyai lebih khawatir akan kesehatan Inamah. "Nggih, Ummi."Merasa tak enak. Inamah lantas menurut. Ia bangkit dari duduk. Mengikuti ajakan Bu Nyai, yang kini menggirin
Lebih cepat. Ingin segera sampai. Berpacu bersama sang waktu. Diselingi sudut-sudut hati yang menjerit. Doa tak lupa sentiasa terselip. Sebentar saja, tak ingin sampai kedatangannya terlambat dan berakhir dengan sia-sia. Fatih menghela napas berat berkali-kali. Pikirannya bercabang menjadi dua. Di satu sisi, ada Inamah yang terpaksa ia tinggalkan dalam keadaan pingsan. Di sisi lain, ada Kia dan juga Bude Ningsih. Yang saat ini, entah bagaimana keadaan dua orang itu. Pasca kecelakaan bus yang ditumpangi saat rekreasi."Hallo, saya minta tolong segera kirimkan alamat rumah sakitnya."Fatih menghubungi salah seorang guru Kia. Percuma jika menunggu respon, ia ingin segera tahu kabar putrinya itu secara langsung. Meski bukan anak kandungnya, Fatih begitu tulus menyayangi seperti anak sendiri. "Di rumah sakit umum Bakti Husada Batu Malang, Pak. Saya kirimkan alamat lokasinya di pesan, ya.""Iya. Saya tunggu dengan seg
Hatiku resah. Ada yang tak nyaman di dalam sini. Bagaimana bisa aku tergerak untuk mengizinkan seseorang menempati 'rumah kami'. Karena meski jarang ditempati, tapi jika sudah menyangkut tentang hak milik. Rasanya aku tak bisa. Sudah masuk ranah privasi. "Dek." Panggilan Mas Fatih kembali membuyarkan lamunanku. Seulas senyum tersungging di bibir. Ia mendekat lalu mengusap puncak kepala. Matanya melebar, lalu jemari tangannya mencolek hidungku gemas. "Mas bercanda, Sayang. Khalid sudah punya rumah sendiri kok. Tak mungkin juga Mas membagi tempat tinggal kita dengan yang lain," ujarnya. "Hem? Apa?" Aku membelalak. "Beneran, Dek. Khalid sudah punya tempat tinggal sendiri. Mas hanya menggoda Adek saja." "Ihh! Mas Fafih!"Aku menepuk lengannya dengan tangan kanan. Bukannya mengelak, ia malah mendekat. "Sebelah sini aja," ujarnya sambil menunjuk pipi kanan. "Masa iya di pipi?""Kalau di pipi
"Yang ini bagus nggak, Mas?" Kutunjukkan gawaiku pada Mas Fatih. Ia menoleh sekilas lalu menggeleng pelan. Kami sedang tiduran di atas ranjang dengan selimut tebal yang membungkus hingga sebatas perut. Kebetulan ini hari minggu. Mas Fatih sedang libur. Sementara Kia, sejak jumat pagi ia bersama Bude Ningsih. Ada acara rekreasi dari sekolahnya. Berhubung aku sedang hamil muda, jadi Bude yang menemani.Kusandarkan kepala di lengan kiri suamiku itu. Kedua mataku terbelalak setelah menggeser layar gawai. Di dalam layar tampak pakaian bayi berwarna putih polos dengan bulat-bulat kecil berwarna biru sebagai motifnya. Pasti kali ini Mas Fatih setuju. Mengingat, motifnya yang sedikit, tak sebanyak yang pertama tadi.Kuakui, saat ini aku berada dalam fase demam belanja online. Entah apa sebabnya. Mungkin, efek kehamilan yang kedua ini.Berbeda dengan kehamilanku yang dulu waktu mengandung Kia. Kali ini, entah kenapa aku lebih senang be