"Apakah kalian yang akan saya nikahkan besok pagi?" tanya seorang pria yang mengenakan setelan jas warna abu-abu tua lengkap dengan peci hitamnya. Fahri dan Mita menoleh serentak ke arah pria itu. "Bapak pasti salah orang." Mita terkekeh. "Kita berdua sedang mengambil foto mempelai, Pak." "Kalau itu sangat jelas bagi saya, tapi saya diberitahu seseorang untuk mengingatkan kalian untuk bersiap besok pagi di sini." Secarik kertas diterima Fahri. "Pastikan kesehatan kalian. Saya akan datang ke rumah kamu dan kamu." Pria itu dengan tegas mengingatkan Fahri dan Mita yang masih bingung. Meski Fahri berharap untuk dapat secepatnya menyusul Arya, bukan berarti ia langsung menerima mentah-mentah perintah petugas KUA itu. "Dia bukan calon istri saya." "Lalu, yang mana calon istrimu?" Petugas KUA itu mengedarkan pandangannya, berusaha menemukan sosok gadis yang sekiranya sesuai dengan kriteria pria seperti Fahri. "Belum ada, Pak." "Kalau belum ada, yang ada saja kamu jadikan istri." 'Hah?
Mita terperangah. Tangan kanannya terangkat ke atas hendak dilayangkan ke wajah Fahri. Namun, gerakannya terbaca oleh Fahri. "Ingin merasakan yang lebih hot lagi?" bisiknya dengan suara mendesah dengan sengaja. Sontak Mita melotot. Ia hempaskan tangannya ke samping hingga pegangan Fahri-pun terlepas dari tangannya. "Lu pikir gua cewek pinggir jalan yang mau aja diajak kawin sama orang asing? Gila lu ya!!!" Mita langsung berlari menuju Dinda, yang sedang duduk menikmati hidangan bersama Arya. Wajahnya memerah menahan malu dan marah. Ia merasa dilecehkan dan dipermalukan. Ia ingin mengadukan perihal kelakuan Fahri pada Arya, yang sangat tidak etis dan tidak menghargainya. Dinda melihat Mita yang berjalan dengan tergesa dengan wajah merah khas Mita bila gadis itu menahan amarah. Dinda langsung berdiri dari duduknya. Ia berjalan menyambut Mita dan langsung memeluk sahabatnya itu. "Di-Dia Jahat!!! Dia gila!!1" Mita menangis sesenggukan di bahu Dinda, membuat Dinda bingung, siapa yan
Dermawan menghela napasnya. Pertanyaan Dinda bukanlah pertanyaan sulit, tapi lumrah, karena kabar itu memang sangat mengejutkan semua orang, termasuk Anggun, istrinya sendiri. "Ayo dong, Pa! Jelaskan semua biar Mama nggak panik dan cemas sepert ini. Kalau memang Fahri harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka kita harus menyegerakannya. Jangan ditunda lagi!" Anggun sungguh tidak sabar. Dermawan menghela napasnya sejenak sebelum memulai ceritanya. Ia menceritakan bagaimana dirinya dihubungi oleh seseorang yang ternyata nasabahnya sendiri, Chandra Susanto. Mereka sudah menjalin hubungan baik sejak lama. Dua hari yang lalu, Chandra menghubungi dirinya. Pria itu menceritakan bagaimana dia sedang membutuhkan modal untuk memulai bisnis baru dengan seorang pengusaha muda. Namun, pengusaha muda itu menawarkan kerjasama dengan persyaratan yang cukup rumit, dengan hasil yang tidak main-main. Anehnya, ia langsung menyetujui persyaratan itu, karena melihat peluang yang cukup menjanjika
Mita keluar dari mobil Fahri. Membanting pintunya dengan kasar. Ia marah. Benar-benar marah. Ia berjalan dengan langkah lebar, mencari kedua orang tuanya untuk mengklarifikasi semuanya. "Tunggu aku !" Fahri dengan setengah berlari mengejar Mita. Sayang, permintaannya tidak dikabulkan Mita. Gadis itu terus saja berjalan cepat. "Mamaaaa!!" teriak Mita menahan emosi. "Paaaa!!" Kali ini ia meneriakkan papanya. Tidak ada jawaban yang ia dapat.Fahri yang berlari, akhirnya dapat menyusul Mita. "Pelan-pelan. Jangan seperti ini! Kita bicarakan semuanya dengan baik-baik."Langkah Mita terhenti. Ia membalikkan tubuhnya. "Bicarakan baik-baik kata lu? Kenapa tidak dari awal kalian begini, hah?! Kenapa kalian tidak menanyakan dulu soal ini ke gua? Lu kira gua apa??! Wanita murahan yang gampang diajak nikah lalu cerai?? Begitu menurut lu??!'' Mita menjadi kalap. Perasaannya sedih sekaligus sakit. Orang tuanya sendiri mengabaikan keberadaan dan perasaannya. "Lu semua sama aja! Nggak ada yang pedu
"Jadi menurut lu, gua harus menerima lamaran aneh dia? Eh, maksud gua, bukan lamaran, tapi apa itu namanya, ajakan menikah yang tidak sopan?" Dinda mengedikkan bahunya. "Gimana menurut lu aja, deh. Lu suka, lu terima. Kalau lu nggak suka, ya lu skip aja. Cari yang lain yang mungkin menurut lu lebih tampan, dan lebih bisa membuat lu merasa tersanjung atau bagaimana, gua kagak ngerti." Dinda meninggalkan Mita sendiri sambil membawa gelas panjang berisi jus stroberi. Ia sudah yakin Mita sudah kembali tenang, sehingga ia berani meninggalkan Mita sendiri di ruang makan. Arya melihat Dinda berjalan menuju ke arah mereka. Kedua netra mereka bertemu, dan Dinda mengatakan semuanya dengan bahasa mata yang dipahami Arya. Gadis itu mengambil tempat tepat di samping Arya, atas permintaan Arya yang sudah menepuk tempat kosong di sisi kirinya. "Sudah selesai?" bisik Arya. Dinda mengangguk. "Tunggu aja di sini. Paling juga bentar lagi nyusul kemari." Dinda menyeruput jus yang ia bawa. Wajah Di
Arya langsung menyeret Fahri pergi dari rumah Mita. Waktu sudah sedemikian mepet, tapi kakaknya itu justru tidak juga segera bergerak. "E-E-Eeh! Tunggu! Mau kemana?" seru Dinda menghentikan langkah Fahri dan Arya. "Cari cincin-lah. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?" jawab Arya kesal. "Terus Mita nggak diajak sekalian? Gimana bisa tahu ukurannya kalau Mita justru ditinggal di sini?" Dinda menarik Mita agar mengikuti dirinya menyusul suami dan kakak iparnya. "Tante. Kami permisi dulu." Susan dan Chandra melepas kepergian mereka. Keduanya menerima kedatangan EO yang akan segera menghias rumah mereka. Sedangkan Arya dan rombongan langsung meluncur ke mall, ke tempat ia memesan cincin kawinnya. -0- Rudy sedang tertawa di ruang adminstrasi kampus. Ia sedang memamerkan foto-foto yang ia dapat saat ia dan Hasan menjadi saksi pernikahan Arya dan Dinda. Teriakan iri dan decakan kagum terdengar di ruangan itu. Cerita yang ia sampaikan membuat mereka yang mendengar ikut membayangkan suasan
Tidak biasanya Mega duduk gelisah sepanjang rapat di ruang rapat gedung rektorat. Ia duduk tidak tenang dan lebih sering menatap jam tangannya. Berulang kali mendesah, mencoba mengusir rasa bosan yang kali ini sering datang menggoda. "Masih lama ya, Pak Hasan?" bisik Mega pada Hasan yang berbanding terbalik dengannya. Hasan fokus sekali pada rapat kali ini, karena menyangkut penetapan tim penguji sidang skripsi besok. Usulan beberapa waktu lalu, yang melarang dosen pendamping mendampingi dan ikut menjadi tim penguji, membuat banyak pihak mengajukan protes, tidak terkecuali Hasan dan Arya. "Baru juga setengah jam yang lalu dimulai, Bu Mega. Pembahasan kali ini sangat penting, jadi tidak mungkin berlangsung cepat." Lagi-lagi, Mega menghela napasnya. Hasan hanya menggelengkan kepalanya. Ia kembali fokus pada materi rapat, karena hasil ini akan ia diskusikan lagi dengan Arya mengenai hasilnya. Mega akhirnya meraih ponsel yang semula ia geletakkan di meja. Ia memilih mengirim pesan pad
Mega terpaku pada sosok pria dan wanita yang bergandengan tangan demikian mesra di depannya. Ia tidak mungkin salah mengenali rekan kerjanya, yang selama tiga tahun ini sudah berhasil mencuri perhatiannya "Pak Arya?" desisnya pelan. Ia tidak yakin dengan penglihatannya sendiri. Akan tetapi, apa yang ia lihat saat ini adalah sebuah kenyataan, yang tidak bisa ia tolak. Seseorang mencolek bahunya. "Banyak tamu mengantri di belakang." Mega sontak berjalan kembali ke posisinya. Ia menerima tamu dengan seribu satu pertanyaan di benaknya. Siapa wanita yang bergandengan begitu mesra dengan rekan kerjanya? Itu sangat mengganggu konsentrasinya. Sepuluh menit berlalu, Mega kembali melihat Arya, mengantri masuk dan bersalaman dengan penerima tamu pria. Keningnya berkerut. 'Itu siapa ya? Pak Arya? Apakah Pak Arya tadi keluar lagi lalu sekarang mengantri untuk masuk lagi?' Lagi-lagi, bersamaan dengan pria yang mirip Arya itu mulai bersalaman dengan para penerima tamu pria, ada seorang wanita
"Lu aman, Mit?" Keraguan Dinda kembali muncul. Ia khawatir."Amanlah. Kan udah gua bilang tadi? Don't worry. I am ok." Meski Mita memasang ekspresi sangat serius, DInda tetap saja dengan kecurigaannya."Ada apa, sih? Memangnya ada apa dengan Mita? Something happened?"Dinda tidak menjawab pertanyaan Fahri, melainkan kembali mengangkat kedua bahunya. "Nanti tanya Mita sendiri aja, deh. Entar saya salah.""Tsk Nggak ada apa-apa kok. Kita cuma mau bahas rencana bisnis kuliner. Itu aja. Aman karena Dinda kuatir jangan-jangan saya lupa dengan apa yang akan kami bahas nanti.""Bagus kalau begitu. Lebih cepat, lebih baik. Pekerjaan dan niat baik jangan ditunda-tunda, karena bisa saja itu menjadi penghambat kita untuk maju. Kalau bisa sekarang, mengapa tidak?" Arya akhirnya ikut bersuara. "Apakah ada perubahan rencana?" Fahri menarik piring berisi selat buah dari hadapan Mita dan mulai menikmati suapan demi suapan.Dinda berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan kakak iparnya."Gimana kas
Meja makan sudah penuh dengan masakan hasil kerja keras kakak beradik Fahri dan Arya. Sebelumnya, kehadran Mita dan Dinda tidak disambut baik. Keduanya diusir dari area dapur.Fahri dan Arya justru menyuruh Mita dan Dinda membersihkan diri. Mereka diijinkan turun jika meja makan sudah tertata sempurna lengkap dengan makanan di atasnya.Dinda berdecak kagum. Masakan yang terhidang di meja makan berhasil menarik perhatiannya dan ia menjadi tidak sabar untuk menjadi juri dadakan."Boleh dicicipii nggak?" Mita menatap penuh harap Fahri yang sedang melipat apron. Keadaan dapur pun sudah bersih seperti sedia kala. Tidak ada piring kotor atau sampah sisa yang tergeletak di dapur. Semua rapi dan bersih."Nikmat mana lagi yang kami dustakan ya Tuhan, punya suami keren begini..." ucap Dinda sambil mengitari meja makan.Mita manggut-manggut tanda setuju. "Tampan. Cerdas. Cekatan. Pintar masak. Baik hati dan tidak sombong. Paket lengkap beneran. Sama sekali nggak ada diskon yang patur berlaku d
"Bad day?" Arya menghela napasnya. "Apa mungkin saya memang tidak seharusnya menjadi rektor, ya? Menjadi pebisnis mungkin lebih cocok."Dinda tidak paham dengan kalimat Arya. "Hmm. Kalau kalimatnya dibuat sederhana gimana? Saya nggak paham."Arya menatap Dinda. Ia sadar jika Dinda sedang tidak baik-baik saja sehingga ia memutuskan untuk tidak meneruskan kalimatnya. "Lapar. Ayo, kita makan.""Belum masak tapi.""Iya. Kali ini, biar saya yang jadi tukang masaknya. Kamu cukup duduk menemani saya."Arya menarik tangan Dinda. Keduanya berjalan ke dapur. Suara Brilian dan Fahriza sama sekali tidak terdengar. "Kemana anak-anak? Kok sepi sekali.""Sedang ikut mama jalan-jalan. Nggak tahu jalan-jalan kemana."Arya tidak mengganti pakaiannya lebih dulu melainkan langsung mengeluarkan bahan-bahan yang diperlukan untuk memasak. Melihat suaminya yang langsung sibuk dengan perkakas dapur, membuat Dinda tidak tega. "Sudah-Sudah. Biar saya saja yang masak. Mas mandi dulu aja. Kecut!" Dinda mendoro
"Gimana kalau kita jodohin dengan Bu Mega?"Wajah Dinda langsung berubah kaku dan dingin. Sama sekali tidak enak dipandang dan membuat suasana di ruang keluarga kediaman Broto menjadi tegang."Lu kalau becanda jangan kelewatan ya, Mit! Denger nama dia aja gua emosi, gimana lagi dengan keluarga gua?"Mita menggigit bibir bawahnya. Mulutnya sangat lancang mengutarakan ide gila yang tiba-tiba saja melintas di otaknya, hanya karena geram dengan ancaman Dani."Sorry, Din. Gua nggak ada maksud buat -" Mita menjadi salah tingkah."Lu udah kenal gua lama'kan? Harusnya udah sangat tahu dong, kalau gua masih nyimpen dendam ma dia dan sakit hati gua ke itu orang belum kelar?"Mita mengangguk berulang. Penyesalan selalu datang terlambat. Padahal, jujur dia tidak ada niat untuk membuat Dinda naik pitam lagi karena teringat sosok musuh bebuyutannya."Kalaupun dijodohin sama dia, gua percaya Dani pasti menolak mentah-mentah. Orang yang pernah bikin adiknya hampir gila, dia jadikan istri? Dia pasti me
"Saya ingin berkonsultasi. Apakah Pak Arya ada waktu?" tanya Mega penuh harap.Arya tertegun sejenak. Ia masih belum menangkap maksud kedatangan wanita di depannya saat ini. Konsultasi apa yang dimaksud olehnya? Apakah dia mengambil program lanjutan? Atau konsultasi bimbingan yang artinya jika dia sudah lebih dulu mengambil program lanjutan? Jika memang sudah mengambil program lanjutan mengapa Rudy tidak memberitahunya?"Maaf. Saya tidak paham dengan maksud Bu Mega." Arya masih menganggap wanita itu sebagai rekan sesama pendidik, meski ia tidak lupa jika wanita di depannya ini adalah musuh bebuyutan sang istri. Arya secara diam-diam mengeluarkan ponsel yang baru saja ia masukkan ke dalam saku celana panjangnya. "Maaf, sebentar. Ada pesan yang masuk." Arya membuka ponselnya segera.Mega setia menanti. Ia tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Arya kembali ke mejanya dan membiarkan Mega tetap berdiri di depan pintu ruangannya. Sama sekali tidak memberi ijin agar wanita itu masuk ke rua
"Pak Arya."Suara itu kembali terdengar hingga Dinda meletakkan minumannya di meja. Suara itu mengingatkannya pada seseorang. Mita tidak kalah terkejut. Wajahnya tampak tegang dan sedikit panik. Pertanyaan besar muncul di benaknya. "Beneran itu doi?" tanya Mita pada Dinda yang bergeming dengan dahi berkerut. Arya berdeham sebelum membuka pintu ruangannya. Sosok Mega Sandrina berdiri kaku di depan pintu begitu mengetahui jika ada orang lain di ruangan itu."Maaf! Rupanya sedang ada tamu. Mungkin lain waktu saja saya datang lagi." Mega langsung putar haluan. Melihat Dinda yang menatap dirinya dengan begitu tajam, ditambah lagi Mita yang disertai wajah garangnya, Mega memilih langkah aman. Lebih baik ia menghindar daripada terlibat masalah dengan istri pemilik kampus. Arya tidak berkata apapun. Ia menatap kepergian Mega tanpa ekspresi, lalu menutup kembali pintu ruangannya. "Anggap saja itu intermezo. Iklan memang seringnya datang tanpa diundang.""Beneran'kan yang gua bilang kemarin,
"Mega Sandrina," gumam Arya pelan. "Apa yang dia lakukan di sini?"Arya terus mengamati gerakan Mega yang masih asyik berbicara dengan sekumpulan mahasiswa. Tidak lama kemudian, Mega berbalik kembali masuk ke mobil putihnya. Mobil itu berjalan pelan keluar dari area koperasi mahasiswa, lalu melesat ke arah fakultas ekonomiKening Arya kembali mengernyit. "Kenapa ke fakultas ekonomi? Jangan-jangan dugaan Dinda benar?"Sosok pria yang pernah dengan Arya sewaktu mereka di Inggris, ternyata tidak mengarah ke Arya. Pria itu masuk ke koperasi mahasiswa lalu mengeluarkan beberapa lembar kertas untuk digandakan. Arya kembali menjalankan mobilnya. Pikirannya dipenuhi dengan nama Mega. Apa yang perempuan itu lakukan di kampus ini? Pertanyaan ini terus hilir mudik di kepala Arya, membuat dirinya tidak sabar untuk menghubungi Rudy."Ya. Selamat Siang, Pak Arya.""Ada Mega Sandrina di kampus. Apakah ada tujuan dirinya kembali kemari?"Rudy terkejut. "Bu Mega? Mega Sandrina maksud Pak Arya?""Betu
Arya mengusap lembut kepala Dinda. "Bagaimana ya mengatakannya?" Arya bersikap seolah dirinya berada dalam kebingungan yang sangat. Sayangnya, itu tidak berlangsung lama. Wajah panik Dinda membuatnya urung meneruskan drama dadakannya."Bukan soal siapa atau orang, melainkan mengapa perekrutan itu dilakukan ketika saya masih berada di luar negeri."Arya mengajak Dinda untuk duduk di sofa yang memang sengaja diletakkan di samping pintu balkon kamarnya."Siapa?" Dinda menjadi penasaran."Siapa lagi kalau bukan mereka yang ada di kampus."Dinda mencebikkan bibirnya. "Kalau nggak niat cerita ya udah nggak usah cerita. Saya kan jadi sebel." Dinda melepaskan pelukan Arya."Yaaa, kenapa marah?" Arya tidak mengerti dengan perubahan ekspresi di wajah Dinda yang begitu drastis. "Nggak marah, cuma kesel. Sebel." "Merasa kesel dan sebel pasti ada alasan di belakangnya. Apa itu tidak sesuai dengan tebakan kamu?"Dengan polosnya, Dinda mengangguk. "Saya kira dia yang malas saya sebutkan namany
Rasa was-was yang dirasakan Mita menular ke Dinda. Secara tidak sadar, perhatian Dinda kini beralih pada sosok pria tinggi yang sepertinya sengaja menutupi wajahnya dengan topi berwarna hitam. Pria itu mulai menyadari jika kehadirannya sudah diketahui Dinda. Ia memutar tubuhnya secepat mungkin, berpura-pura sibuk memilih jam yang dipajang di toko yang berada tepat di belakangnya."Buruan cabut aja deh, Din. Gua takut kenapa-kenapa." Mita mendorong kereta belanja dengan sekuat tenaga. Dalam pikirannya, mereka harus segera meninggalkan supermarket ini. Tidak ada Fahri atau Arya di samping mereka, membuat Mita bersikap sangat waspada, terlebih lagi mereka membawa dua bocah, yang sejak kedatangan mereka, sudah menarik banyak perhatian terutama Brilian.Dinda mengangguk setuju. Mereka bergegas menuju meja kasir yang kosong, untuk kemudian meninggalkan supermarket itu. Bulir keringat bermunculan di kening Mita. Ia sungguh gugup. Takut jika kejadian buruk akan menimpa mereka. Ia membawa mo