Fahri tidak bisa berlama-lama. Begitu ia selesai menerima kotak yang berisi selop untuk Arya, pria itu segera meninggalkan kamar rias Dinda meski hatinya masih ingin menatap wajah cantik di depannya. "Siapa?" tanya Dinda yang baru saja selesai mengenakan kain jarik dan kini tengah mengenakan sanggul. "Nggak tahu. Gua lupa namanya siapa?" Mita menatap Dinda takjub. "Sumpah! Lu cantik banget, Din." Tanpa sadar, Mita mengelilingi Dinda berulang. Ia dibuat terkesima dengan penampilan Dinda. Sahabatnya yang tidak pernah mengenakan make-up selain bedak dan lip tint itu, sungguh memesona. Dirinya yang notabene sama-sama perempuan saja dibuat kagum, bagaimana lagi dengan kaum adam? Mita menggelengkan kepalanya. "Gua yakin. Seratus ribu persen yakin, akan banyak pria patah hati ngeliat lu kek begini." Dinda semakin salah tingkah. Ini adalah pujian ke sekian kalinya yang ia dengar. Dari para perias, Anggun, Sari. Belum lagi, decakan kagum dari para petugas katering yang mengantarkan snack
"Apakah kalian yang akan saya nikahkan besok pagi?" tanya seorang pria yang mengenakan setelan jas warna abu-abu tua lengkap dengan peci hitamnya. Fahri dan Mita menoleh serentak ke arah pria itu. "Bapak pasti salah orang." Mita terkekeh. "Kita berdua sedang mengambil foto mempelai, Pak." "Kalau itu sangat jelas bagi saya, tapi saya diberitahu seseorang untuk mengingatkan kalian untuk bersiap besok pagi di sini." Secarik kertas diterima Fahri. "Pastikan kesehatan kalian. Saya akan datang ke rumah kamu dan kamu." Pria itu dengan tegas mengingatkan Fahri dan Mita yang masih bingung. Meski Fahri berharap untuk dapat secepatnya menyusul Arya, bukan berarti ia langsung menerima mentah-mentah perintah petugas KUA itu. "Dia bukan calon istri saya." "Lalu, yang mana calon istrimu?" Petugas KUA itu mengedarkan pandangannya, berusaha menemukan sosok gadis yang sekiranya sesuai dengan kriteria pria seperti Fahri. "Belum ada, Pak." "Kalau belum ada, yang ada saja kamu jadikan istri." 'Hah?
Mita terperangah. Tangan kanannya terangkat ke atas hendak dilayangkan ke wajah Fahri. Namun, gerakannya terbaca oleh Fahri. "Ingin merasakan yang lebih hot lagi?" bisiknya dengan suara mendesah dengan sengaja. Sontak Mita melotot. Ia hempaskan tangannya ke samping hingga pegangan Fahri-pun terlepas dari tangannya. "Lu pikir gua cewek pinggir jalan yang mau aja diajak kawin sama orang asing? Gila lu ya!!!" Mita langsung berlari menuju Dinda, yang sedang duduk menikmati hidangan bersama Arya. Wajahnya memerah menahan malu dan marah. Ia merasa dilecehkan dan dipermalukan. Ia ingin mengadukan perihal kelakuan Fahri pada Arya, yang sangat tidak etis dan tidak menghargainya. Dinda melihat Mita yang berjalan dengan tergesa dengan wajah merah khas Mita bila gadis itu menahan amarah. Dinda langsung berdiri dari duduknya. Ia berjalan menyambut Mita dan langsung memeluk sahabatnya itu. "Di-Dia Jahat!!! Dia gila!!1" Mita menangis sesenggukan di bahu Dinda, membuat Dinda bingung, siapa yan
Dermawan menghela napasnya. Pertanyaan Dinda bukanlah pertanyaan sulit, tapi lumrah, karena kabar itu memang sangat mengejutkan semua orang, termasuk Anggun, istrinya sendiri. "Ayo dong, Pa! Jelaskan semua biar Mama nggak panik dan cemas sepert ini. Kalau memang Fahri harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka kita harus menyegerakannya. Jangan ditunda lagi!" Anggun sungguh tidak sabar. Dermawan menghela napasnya sejenak sebelum memulai ceritanya. Ia menceritakan bagaimana dirinya dihubungi oleh seseorang yang ternyata nasabahnya sendiri, Chandra Susanto. Mereka sudah menjalin hubungan baik sejak lama. Dua hari yang lalu, Chandra menghubungi dirinya. Pria itu menceritakan bagaimana dia sedang membutuhkan modal untuk memulai bisnis baru dengan seorang pengusaha muda. Namun, pengusaha muda itu menawarkan kerjasama dengan persyaratan yang cukup rumit, dengan hasil yang tidak main-main. Anehnya, ia langsung menyetujui persyaratan itu, karena melihat peluang yang cukup menjanjika
Mita keluar dari mobil Fahri. Membanting pintunya dengan kasar. Ia marah. Benar-benar marah. Ia berjalan dengan langkah lebar, mencari kedua orang tuanya untuk mengklarifikasi semuanya. "Tunggu aku !" Fahri dengan setengah berlari mengejar Mita. Sayang, permintaannya tidak dikabulkan Mita. Gadis itu terus saja berjalan cepat. "Mamaaaa!!" teriak Mita menahan emosi. "Paaaa!!" Kali ini ia meneriakkan papanya. Tidak ada jawaban yang ia dapat.Fahri yang berlari, akhirnya dapat menyusul Mita. "Pelan-pelan. Jangan seperti ini! Kita bicarakan semuanya dengan baik-baik."Langkah Mita terhenti. Ia membalikkan tubuhnya. "Bicarakan baik-baik kata lu? Kenapa tidak dari awal kalian begini, hah?! Kenapa kalian tidak menanyakan dulu soal ini ke gua? Lu kira gua apa??! Wanita murahan yang gampang diajak nikah lalu cerai?? Begitu menurut lu??!'' Mita menjadi kalap. Perasaannya sedih sekaligus sakit. Orang tuanya sendiri mengabaikan keberadaan dan perasaannya. "Lu semua sama aja! Nggak ada yang pedu
"Jadi menurut lu, gua harus menerima lamaran aneh dia? Eh, maksud gua, bukan lamaran, tapi apa itu namanya, ajakan menikah yang tidak sopan?" Dinda mengedikkan bahunya. "Gimana menurut lu aja, deh. Lu suka, lu terima. Kalau lu nggak suka, ya lu skip aja. Cari yang lain yang mungkin menurut lu lebih tampan, dan lebih bisa membuat lu merasa tersanjung atau bagaimana, gua kagak ngerti." Dinda meninggalkan Mita sendiri sambil membawa gelas panjang berisi jus stroberi. Ia sudah yakin Mita sudah kembali tenang, sehingga ia berani meninggalkan Mita sendiri di ruang makan. Arya melihat Dinda berjalan menuju ke arah mereka. Kedua netra mereka bertemu, dan Dinda mengatakan semuanya dengan bahasa mata yang dipahami Arya. Gadis itu mengambil tempat tepat di samping Arya, atas permintaan Arya yang sudah menepuk tempat kosong di sisi kirinya. "Sudah selesai?" bisik Arya. Dinda mengangguk. "Tunggu aja di sini. Paling juga bentar lagi nyusul kemari." Dinda menyeruput jus yang ia bawa. Wajah Di
Arya langsung menyeret Fahri pergi dari rumah Mita. Waktu sudah sedemikian mepet, tapi kakaknya itu justru tidak juga segera bergerak. "E-E-Eeh! Tunggu! Mau kemana?" seru Dinda menghentikan langkah Fahri dan Arya. "Cari cincin-lah. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?" jawab Arya kesal. "Terus Mita nggak diajak sekalian? Gimana bisa tahu ukurannya kalau Mita justru ditinggal di sini?" Dinda menarik Mita agar mengikuti dirinya menyusul suami dan kakak iparnya. "Tante. Kami permisi dulu." Susan dan Chandra melepas kepergian mereka. Keduanya menerima kedatangan EO yang akan segera menghias rumah mereka. Sedangkan Arya dan rombongan langsung meluncur ke mall, ke tempat ia memesan cincin kawinnya. -0- Rudy sedang tertawa di ruang adminstrasi kampus. Ia sedang memamerkan foto-foto yang ia dapat saat ia dan Hasan menjadi saksi pernikahan Arya dan Dinda. Teriakan iri dan decakan kagum terdengar di ruangan itu. Cerita yang ia sampaikan membuat mereka yang mendengar ikut membayangkan suasan
Tidak biasanya Mega duduk gelisah sepanjang rapat di ruang rapat gedung rektorat. Ia duduk tidak tenang dan lebih sering menatap jam tangannya. Berulang kali mendesah, mencoba mengusir rasa bosan yang kali ini sering datang menggoda. "Masih lama ya, Pak Hasan?" bisik Mega pada Hasan yang berbanding terbalik dengannya. Hasan fokus sekali pada rapat kali ini, karena menyangkut penetapan tim penguji sidang skripsi besok. Usulan beberapa waktu lalu, yang melarang dosen pendamping mendampingi dan ikut menjadi tim penguji, membuat banyak pihak mengajukan protes, tidak terkecuali Hasan dan Arya. "Baru juga setengah jam yang lalu dimulai, Bu Mega. Pembahasan kali ini sangat penting, jadi tidak mungkin berlangsung cepat." Lagi-lagi, Mega menghela napasnya. Hasan hanya menggelengkan kepalanya. Ia kembali fokus pada materi rapat, karena hasil ini akan ia diskusikan lagi dengan Arya mengenai hasilnya. Mega akhirnya meraih ponsel yang semula ia geletakkan di meja. Ia memilih mengirim pesan pad
Suasana kediaman Dermawan begitu ramai. Bagaimana tidak, hari itu diadakan acara syukuran sekaligus akiqah kelahiran dua cucunya. Seluruh tetangga di komplek mereka undang, tanpa kecuali. Bahkan tukang martabak, es doger dan tukang sate yang sering mangkal di dekat rumah mereka juga ikut hadir.Malam itu menjadi malam bahagia semua orang. Broto dan Sari pun hadir, termasuk orang tua Mita, Candra dan Susan. Kedua bayi mungil itu tidur pulas di boks masing-masing. Mereka sama sekali tidak terganggu. Pun saat keduanya diajak keliling setelah acara potong rambut. Kedua bayi itu hanya bergerak sedikit lalu kembali tidur. Dermawan mengadakan acara itu secara besar-besaran sebagai ungkapan rasa syukurnya karena Tuhan memberikan dua cucu sekaligus kepadanya dan Anggun, dan memiliki dua menantu yang sama-sama pintar dan cantik. Acara berlangsung meriah dan khidmat selama hampir dua jam. Menjelang sore, tamu mulai berkurang hingga tersisa keluarga besar beserta besan-besan Dermawan."Khusus
"M-Mas....!" seru Mita lebih keras karena Fahri masih tertegun dengan suara tangisan bayi yang baru saja ia dengar."Eh? Gimana? Sakit?" Ia langsung mendekatkan dirinya.Mita memejamkan kedua netranya. Ia kembali mengatur napasnya. Gelombang rasa sakit yang datang bertubi-tubi, tidak memberikan waktu sedikit pun untuk Mita beristirahat.Bulir keringat berdatangan memenuhi dahinya. Ia mulai merasa rasa mulas yang sangat hebat. "Nggak kuat. Sakit." Rintihan Mita membuat Fahri panik. "Kita operasi saja kalau begitu.""Hush! Nggak mau! Sakit.""Lah. Katanya tadi sakit. Nggak kuat. Ya udah kalau begitu operasi saja.""Nggak mau."Anggun yang tadi sudah berada di luar bilik Mita, kembali masuk. "Kenapa?" "Sakit, Ma." Wajah Mita sudah tidak seperti sebelumnya. Ia terlihat berusaha kuat untuk menahan rasa sakitnya akibat kontraksinya yang meningkat.Fahri panik dan menekan tombol berulang kali. Seorang perawat datang. "Bagaimana, Pak?""Sakit, Sus. Istri saya merasa sakit lagi.""Oh. Saya pe
"Bayinya sehat. Semoga bayinya sehat dan kuat ya, Bu Dinda." Ucapan yang samar terdengar, mengejutkan Mita. "Hah?! Itu Dinda yang dimaksud istri Pak Arya, bukan? Dinda sudah lahiran? Beneran udah lahiran?" Kedua netra Mita membola sempurna. Rasa bahagia tiba-tiba datang menyelimuti dirinya. Namun, dirinya tidak seratus persen yakin. "Terus Pak Arya kemana? Masa iya nggak nemenin Dinda lahiran?"Fahri tertegun. Masa iya, adik iparnya sudah melahirkan? Cepat sekali. Ia baru saja bertemu dengan Arya, dan tidak mengatakan apapun, kecuali ia harus segera menemani Mita."Dinda yang lain mungkin. Tadi masih aman-aman aja kok. Dia duduk di dalam nggak ikut keluar. Cuma da-da-da doang.'"Benarkah?" Mita tidak mau percaya begitu saja. Tiba-tiba satu tonjolan muncul di perutnya. Seakan mengerti kode yang diberikan dari dalam perutnya, Mita mengangkat alis kanannya. "Kalian ... ?""Apa? Kami tidak menyembunyikan sesuatu." Ia merasa pertanyaan itu diajukan padanya. Arya tadi mengantarkan tas ini
Mita masih menunggu kedatangan dokter kandungannya. Kali ini, ia merasa perutnya mengejang sesaat. Ada mulas yang tiba-tiba datang. Mita mendesis. Sakit apa ini? Perut bagian belakangnya terasa tegang. Kandungannya terasa turun sedikit, membuat Mita takut. Rasanya seperti akan jatuh.Mita mencari sosok Fahri, tapi tak kunjung ia temukan. "Kemana, sih? Istri sedang seperti ini kok malah pelesiran kemana-mana.""Dokter Susan sedang dalam perjalanan kemari." Perawat yang usianya nyaris separuh baya itu kembali masuk dan mengganti alas tidur Mita yang sudah basah dengan yang baru. "Kenapa sekarang terasa mulas ya, Sus?""Mulas?"Mita hanya mengangguk. Perutnya terasa begitu melilit, mulas seperti ingin buang air besar. Pertama hanya terasa mulas sebentar, kemudian rasa itu hilang. Namun, tidak berapa lama, rasa yang sama datang kembali, membuat Mita tidak lagi meringis, tapi sekaligus mendesis."Sudah sejak tadi atau baru saja?""Baru aja nih, Sus, dan sekarang aduh..." Mita memejamkan k
"Jangan lupa bawakan tas hijau.""Tas?" Arya belum paham kemana arah perintah kakaknya."Tsk. Cari saja tas warna hijau di samping meja rias."Dengan masih memegang ponsel, Arya bergegas ke kamar Fahri. Ia mencari tas hijau yang dimaksud dan berhasil menemukannya."Ada?" Fahri berjalan hillir mudik di depan resepsionis. Ia sedang mengurus kamar untuk Mita. "Done. Harus diantar sekarang?" Pria ini masih belum menyadari kepanikan yang dialami sang kakak."Satu abad lagi, bolehlah.""Ya udah kalau begitu ...""Jelas sekaranglah! Berangkat segera! Dinda tidak perlu ikut. Jangan cerita apapun!""Bagaimana bisa, orang sejak tadi dia menguping," sahut Arya melirik Dinda yang mengikutinya kemana pun dirinya melangkah."Pokoknya, suruh dia diam di rumah saja. Takutnya istrimu ikut panik.""Dia sudah panik." Arya mengusir Dinda secara halus namun, Dinda bergeming. Sorot matanya memaksa Arya untuk menceritakan apa yang sedang dibicarakan."Terserahlah. Sekarang segeralah meluncur kemari. Mama su
Dinda berjalan mengitari kamarnya. Rasa sakit mulai sering dirasakan. Untuk mengurangi rasa sakit, ia memilih untuk berjalan-jalan. Melihat pemandangan kebun belakang kediaman mertuanya, Dinda tiba-tiba ingin melihat kolam ikan di sudut taman. Ia berjalan keluar kamar lalu mengarahkan kakinya ke ruang keluarga yang langsung terhubung dengan kebun belakang."Kamu mau kemana?" Arya tiba-tiba mencegat Dinda."Mau kesana," tunjuk Dinda ke sudut taman. "Nggak kesakitan lagi?" Akhirnya, Arya memutuskan untuk menemani istrinya. Ia menggandeng tangan kiri Dinda, karena tangan Dinda sibuk mengusap perut besarnya. "Masih. Lebih sering malah. Apa mungkin malam nanti lahirannya?" "Kamu takut?""Sedikit. Gimana kalau nanti nggak kuat ngeden?" Hal yang sangat dikhawatirkan selama ini. Ia tidak mau menjalani operasi caesar. Ia sebelas dua belas dengan Mita. Sama-sama takut dioperasi."Bisa. Pasti bisa. Dedek bayinya diajakin ngomong terus.""Udah. Sudah sejak umur 3 bulan, tapi keliatannya posisi
Dengan sangat terpaksa, Dinda harus menyetujui usul Arya yang disertai dengan sedikit ancaman jika ia akan melapor kepada Sari soal ini. Nama Sari sangat keramat bagi Dinda, khususnya saat-saat seperti ini. Ia tidak mau proses persalinannya nanti menjadi tidak lancar, karena membuat suami dan mamanya menaruh kesal padanya. Ia ingin semuanya kelak berjalan lancar dan damai.Fahri menyanggah kepala Mita yang kini tertidur pulas di sampingnya. "Begini kok masih mau lanjut belanja."Arya terkekeh. "Biasalah. Tidak mengukur kemampuan. Maunya jalan terus padahal kaki-kaki sudah bengkak semua.""Bukan begitu, Mas. Maksud kita itu, biar sekalian jalan. Jadi besok-besok nggak usah belanja lagi," jelas Dinda yang masih terjaga. Ia memegang perutnya sambil sedikit meringis. Seketika ia ingat dengan pesan dari instruktur senam hamilnya, untuk menarik napas ketika kontraksi mulai dirasakan."Ada apa?" Arya rupanya menangkap gerakan Dinda. Ia melihat dengan tatapan khawatir."Nggak apa-apa. Seperti
Tujuh bulan berlalu. Kehamilan Dinda semakin besar. Berbagai macam petuah mempersiapkan kelahiran bayi mulai pagi hingga malam datang, terus saja didengungkan Anggun kepada Arya. Ia terus mewanti-wanti agar putra keduanya itu mulai mengatur jadwal yang mendukungnya menjadi suami siaga."Duh, Mama. Setiap hari itu saja yang dibicarakan. Arya sampai membuat buku sendiri untuk mencatat semua nasihat Mama." Arya segera mengeluarkan sebuah buku catatan berukuran tanggung dari tas kerjanya, lalu menyodorkan buku ke hadapan Anggun.Anggun tersenyum senang. "Anak pintar!""Tapi, kenapa cuma Arya saja yang dapat kuliah beginian?""Nah! Kamu protes?" Salah satu alis Anggun meninggi. "Yang kelahirannya sudah dekat kan kamu, kalau kakakmu masih enam minggu lagi. .""Yaa, Mama. Dulu waktu Dinda hamil muda, Mama juga begini. Segala macam diributin. Yang inilah-yang itulah," sungut Arya sebal. Tiba-tiba ia merasa telah diperlakukan tidak adil oleh Anggun. Ia tidak pernah melihat Fahri mengalami hal
"Selamat! Sebentar lagi, Pak Arya akan menjadi Ayah." Tangan putih sang dokter mengangsur ke depan, menyalami Arya yang masih bingung, mencerna kalimat barusan. Senyum tulus tidak lupa diberikan oleh Rizky.Dinda yang semula ternganga langsung tertawa kecil. "Dokter bercanda pasti. Masa iya saya hamil?"Ia tidak dapat menerima mentah-mentah kabar baik itu. Pernikahannya dengan Arya belum ada satu bulan masa iya dia langsung hamil. Berbeda dengan Arya. Rasa hangat mulai merayap ke dalam hatinya. Ayah? Benar ia akan segera menjadi ayah? "Saya tidak bermimpi?" Arya menyangsikan namun besar harapannya itu kabar nyata.Rizky mengangguk. Dokter muda itu memberi isyarat agar sang perawat memberikan test pack yang tadi digunakan untuk mengetes kandungan hormon hCG pada urine Dinda."Dua garis merah ini menunjukkan jika Ibu Dinda positif hamil. Usia kandungannya masih sangat dini. Sekitar satu minggu. Jadi, pesan saya jangan bekerja terlalu berat. Hindari mengangkat beban yang berat. Serahka