Dinda dan Mita, keduanya sama-sama menuju bagian administrasi kampus. Mita ke bagian wisuda sedangkan Dinda ke bagian pendidikan yang mengatur jadwal sidang. Ia ingin mencari kepastian tentang penyelenggaraan sidang skripsi yang dimajukan satu bulan lagi."Beneran dimajukan, Mbak?" tanya Dinda pada petugas administrasi."Iya, betul. Satu bulan lagi tapi tanggalnya belum pasti. Bisa jadi, kalau dihitung dari tanggal sekarang, jatuhnya tiga minggu lagi, malah nggak sampai satu bulan."Dinda benar-benar tidak menyangka dengan pengumuman hari ini. Penantiannya tidak lama lagi akan berujung. Ia akan bisa menyelesaikan kuliahnya yang hanya tinggal selangkah lagi. "Kalau timnya, apakah sudah keluar juga, Mbak?" "Hmm, sudah. Kemarin hasil rapat salah satunya itu, tapi mungkin baru akan ditempel di papan pengumuman dua minggu lagi.""Oh. Kok lama amat? Kenapa nggak sekarang aja?""Kan harus dilaporkan dulu ke dekan terus ke pusat.""Oh, begitu. Ya udah. Terima kasih informasinya, Mbak."Dinda
Dinda menelan ludahnya. Senjata makan tuan. Niat hatinya hanya untuk memancing dengan kalimat iseng, tapi dirinya justru dibuat salah tingkah sendiri dengan jawaban dari Arya. "Bagaimana jika saat saya jemput kamu besok, saya sekalian saja bertemu dengan papa kamu? Saya sepertinya sudah tidak dapat menunggu lebih lama lagi." "Tidak dapat menunggu lebih lama lagi untuk apa?" "Untuk melamar kamu." Tenggorokan Dinda tercekat. Ia merasa jika ada tulang ayam yang tiba-tiba menyangkut di tenggorokannya. "Pak. Jangan bercanda! Masih pagi. Nggak enak dilihat Pak Yono, kalau saya tertawa sendirian. Ntar saya dikira apa tertawa sendiri. " "Saya serius." Arya benar-benar serius dengan perkataannya. "Sidang skripis dimajukan bisa jadi salah satu pertanda jika kita memang harus bergerak cepat. Di samping itu, saya ingin ketika beasiswa saya diterima, kamu ada untuk membantu persiapan keberangkatan saya, sekaligus menemani saya di sana." "Sebentar-sebentar. Beasiswa bagaimana? Saya menemani k
Dinda mau tidak mau memberitahu Mita agar tidak menyusulnya. Ia akan mampir ke rumah gadis itu untuk mengambil mobil Dani yang tadi pagi ia gunakan untuk mengantar Arya. "Kenapa? Kamu menyesal memberitahunya?" Arya melirik ke arah Dinda. Jelas terlihat jika Dinda sangat menyesal. "Seharusnya tidak perlu memberitahukan Mita soal ini." Dinda tampak menyesal karena terlalu cepat memberitahu Mita soal rencana ia, yang sebentar lagi akan bertemu dengan orang tua Arya. "Tidak apa-apa. Saya pikir, Mita berhak tahu itu karena dia adalah satu-satunya orang yang mendukung kita dari awal sampai hari ini." "Seharusnya ini masih menjadi rahasia kita berdua saja. Kalau sudah fix semuanya baru Mita dikasih tahu." "Sudah. Tidak apa-apa." Mobil Arya terus meluncur membelah jalanan menuju ke rumahnya. Perlahan, mobilnya berbelok ke kiri lalu ke kanan memasuki halaman luas rumahnya. Perasaan Dinda semakin deg-degan. Ini lebih mengerikan daripada menghadapi para penguji di sidang skripsinya. Tan
Dinda duduk terpengkur di kursi Mita. Ia menatap kosong sahabatnya. Apa yang baru saja terjadi padanya membuat Dinda tidak dapat berpikir jernih? "Lu kenapa?" Mita jadi khawatir. Dinda tidak menjawab. "Habis diculik Pak Arya, lu kenapa jadi pendiam begini? Apa kalian sudah melakukan hal terlarang?" Pertanyaan Mita menjadi-jadi. Dinda menghela napasnya. "Tidak apa-apa. Gua balik dulu, ya? Thanks untuk semuanya." Dinda bangkit dari duduknya. Ia sama sekali tidak menanggapi pertanyaan Mita, membuat Mita menjadi semakin khawatir. "Dah. Gua harus telpon Pak Arya. Doi harus bertanggungjawab atas semua ini." Mita mencari nomor Arya. Dinda langsung merebut ponsel Mita. "Nggak ada apa-apa. Lu nggak perlu khawatir." "Tapi ngeliat lu begini, gimana gua nggak khawatir? Ditanya diam, dicuekin tambah diam." "Gua nggak pa-pa. Dahlah. Gua balik dulu. Besok ketemu lagi di kampus." Dinda berjalan menuju mobil Dani dan mulai masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya. Mesin mulai dihidupkan, dan
"Dinda pernah bertemu dengannya? Dimana?" Dinda merasa itu sangat mustahil. "Perasaan Dinda nggak pernah bertemu orang asing deh, Ma.""Nanti ajalah. Kalau sudah tiba waktunya, kamu pasti akan bertemu dengan dia."Dinda memajukan bibirnya, hendak protes tapi Sari keburu memasukkan satu sendok penuh siomay ke dalam mulut Dinda. "Dan makan. Kunyah pelan-pelan. Nikmati." Sari beranjak dari duduknya."Mama mau kemana?" tanya Dinda dengan mulutnya yang penuh dengan siomay."Mama mau mandi. Udah sore. Kamu nggak sadar kalau kamu datang tadi jam sudah ke angka tiga?"Dinda menggeleng."Main kemana aja, loh.""Ke kampus, Ma. Sidang skripsinya dimajukan satu bulan lagi."Sontak Sari menghentikan langkahnya, lalu memutar kembali menghadap Dinda. "Jadi. kamu satu bulan lagi maju sidang?"Dinda mengangguk. "Tapi jadwal tepatnya belum keluar. Bisa tiga minggu lagi atau empat minggu lagi.""Ntar kalau nggak lulus lagi, gimana?" "Ya udahlah. Dinda merid aja. Sesuai niat Dinda kemarin.""Calonnya b
"Dinda nggak mau merid lagi, Pa." Dinda menatap Broto dengan mata berair. Bukan karena sedih, hendak menangis, tapi genangan air di kedua netranya akibat dirinya menahan sakit di kepalanya. Seperti ada palu yang menghantam berulang kali.Broto tertegun sejenak. "Kita bicarakan nanti saja, kalau kamu sudah sembuh. Sekarang beristirahatlah. Tidak usah memikirkan banyak hal yang tidak penting. Jika besok tidak lulus lagi, kamu tetap bisa bekerja di perusahaan Papa. Untuk apa Papa bekerja mati-matian membesarkan perusahaan, jika bukan untuk anak-anak papa."Dinda diam. Dani hendak mengajukan protes tapi langsung diurungkannya."Istirahatlah. Tidak usah memikirkan apa pun. Skripsi, sidang, pernikahan atau yang lain. Sembuhkan dirimu. Setelah ini, kita akan berlibur." Broto baru saja membuat keputusan itu. Melihat Dinda yang tidak pernah berlibur selama beberapa tahun ini dan betapa anak gadisnya itu terus menyibukkan dirinya dengan skripsi, membuat hatinya trenyuh. Mungkin saja sakitnya Di
"Sepertinya sulit, Mbok." Suara Arya terdengar putus asa."Sulit? Memang sesulit apa?" Mbok Umi tiba-tiba jadi kepo. Tidak rela jika ia harus melihat majikan mudanya patah hati di kisah cinta pertamanya."Sulit menyakinkan dia, jika Arya benar-benar serius dengan niat Arya."Mbok Umi memilih untuk menyimak dulu. "Dia seperti bingung dan tidak yakin dengan keputusannya sendiri. Masih meragukan niat baik Arya, mungkin itu lebih tepatnya.""Hmm, dia meminta pembuktian yang nyata.""Ya sudah. Mas Arya langsung datang saja ke rumahnya. Bertemu dengan orang tuanya dan katakan niat baik Mas Arya."Arya menggelengkan kepalanya. "Sudah ribuan kali Arya mengatakan itu, tapi dia tetap saja tidak percaya. Dia seperti menganggap semua itu hanya tipuan.""Mungkin cara merayu Mas Arya kurang maut." Goda Mbok Umi."Kurang maut gimana?" Ia tidak paham dengan maksud Mbok Umi."Ya yang begitu-itu, loh. Aduh, Mas Arya masa' tidak pernah nonton film dewasa?"Arya terbelalak mendengar ide Mbok Umi. "Mbok..
"Orang kampus ada yang nikah?" tanya Mita saat ia bertemu Dinda. Dinda sudah tampak lebih sehat dari tiga hari yang lalu. Rasa sakit kepalanya sudah hilang. Kembungnya pun sudah tidak lagi terasa. Dinda lebih banyak menghabiskan waktunya dengan menonton film kartun kesukaannya. Semua itu ia lakukan atas perintah Broto, yang tidak ingin melihat putri kesayangannya mengalami stress akibat skripsi."Eh, bentar. Nggak ketemu tiga hari, lu agak gemukan deh, Din." Mita berjalan mengeliling Dinda. Kedua netra Mita terpaku pada bungkusan potato chips yang dipeluk Dinda."Lu mau?" Dinda tidak menjawab melainkan menyodorkan camilannya itu. Ia tahu jika sahabatnya itu sangat suka dengan potato chips."Nggak, buat lu aja.""Udah ayo, makan bareng gua," ajak Dinda setengah memaksa."Lu keliatannya udah lupa dengan gua, Din." Mita berbalik kembali menuju mobilnya. Gadis itu lantas mengeluarkan kresek hitam besar dari dalam mobilnya, dan membawanya ke hadapan Dinda."Jangan panggil gua Mita, kalau c
Arya mengusap lembut kepala Dinda. "Bagaimana ya mengatakannya?" Arya bersikap seolah dirinya berada dalam kebingungan yang sangat. Sayangnya, itu tidak berlangsung lama. Wajah panik Dinda membuatnya urung meneruskan drama dadakannya."Bukan soal siapa atau orang, melainkan mengapa perekrutan itu dilakukan ketika saya masih berada di luar negeri."Arya mengajak Dinda untuk duduk di sofa yang memang sengaja diletakkan di samping pintu balkon kamarnya."Siapa?" Dinda menjadi penasaran."Siapa lagi kalau bukan mereka yang ada di kampus."Dinda mencebikkan bibirnya. "Kalau nggak niat cerita ya udah nggak usah cerita. Saya kan jadi sebel." Dinda melepaskan pelukan Arya."Yaaa, kenapa marah?" Arya tidak mengerti dengan perubahan ekspresi di wajah Dinda yang begitu drastis. "Nggak marah, cuma kesel. Sebel." "Merasa kesel dan sebel pasti ada alasan di belakangnya. Apa itu tidak sesuai dengan tebakan kamu?"Dengan polosnya, Dinda mengangguk. "Saya kira dia yang malas saya sebutkan namany
Rasa was-was yang dirasakan Mita menular ke Dinda. Secara tidak sadar, perhatian Dinda kini beralih pada sosok pria tinggi yang sepertinya sengaja menutupi wajahnya dengan topi berwarna hitam. Pria itu mulai menyadari jika kehadirannya sudah diketahui Dinda. Ia memutar tubuhnya secepat mungkin, berpura-pura sibuk memilih jam yang dipajang di toko yang berada tepat di belakangnya."Buruan cabut aja deh, Din. Gua takut kenapa-kenapa." Mita mendorong kereta belanja dengan sekuat tenaga. Dalam pikirannya, mereka harus segera meninggalkan supermarket ini. Tidak ada Fahri atau Arya di samping mereka, membuat Mita bersikap sangat waspada, terlebih lagi mereka membawa dua bocah, yang sejak kedatangan mereka, sudah menarik banyak perhatian terutama Brilian.Dinda mengangguk setuju. Mereka bergegas menuju meja kasir yang kosong, untuk kemudian meninggalkan supermarket itu. Bulir keringat bermunculan di kening Mita. Ia sungguh gugup. Takut jika kejadian buruk akan menimpa mereka. Ia membawa mo
Suasana tegang melingkupi ruangan Arya. Yusna mengusap keringat yang mulai memenuhi keningnya, sedangkan Burhan menatap nanar pemuda tampan di hadapannya, yang memiliki aura tak kalah menyeramkan dengan pemilik yayasan."Bagaimana?" Arya masih setia menunggu penjelasan kedua pria paruh baya di depannya. Batin Burhan masih terjadi pergulatan batin. Ia tidak ingin mengaku salah karena dalam kacamatanya, mengaku salah berarti salah. Ia tidak sudi mengakui kesalahannya di depan pemuda belum matang di depannya."Saya mengadakan perekrutan ini bukan tanpa pertimbangan, Pak Arya. Semua berdasarkan permintaan masing-masing fakultas. Ada banyak dosen yang sebentar lagi akan memasuki masa pensiun. Jika kita tidak cepat mencari calon pengganti mereka, saya khawatir ini berpengaruh pada jumlah serapan mahasiswa baru tahun depan."Yusna mengangguk setuju. Apa yang dikatakan Burhan tidak jauh berbeda dengan pemikirannya. Mereka harus mempersiapkan calon pengganti lebih awal beberapa bulan sebelum
Rudy mengikuti Arya dari belakang. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada sang rektor muda. Tentang kabar Dinda dan putra mereka, termasuk kehidupan yang keluarga kecil itu jalani selama pendidikan di Inggris. Namun, aura Arya mencegahnya untuk bertanya apapun. Bibirnya seperti dikunci paksa.Keduanya kembali ke ruangan rektor. Sekretaris memberi beberapa dokumen kepada Rudy, untuk selanjutnya disampaikan kepada Arya.Rudy berhenti sejenak untuk mengecek dokumen apa saja yang diterimanya, sebelum diserahkan kepada Arya. "Yusna dan Burhan." Arya menggumam dan gumamannya berhasil mengalihkan perhatian Rudy."Ada yang harus saya lakukan, Pak Arya?" Rudy mendekat dan meletakkan dokumen yang sudah ia periksa."Apa yang mereka lakukan selama aku berada di luar negeri?" Tatapan lurus Arya membuat Rudy sontak mendekat."Saya sudah berusaha menjelaskan beberapa hal kepada beliau berdua, Pak, Akan tetapi, mereka justru menilai saya sebagai perusuh dan tidak mengerti kebutuhan kampus saat i
Dinda baru saja selesai membantu Anggun menyiapkan sarapan pagi bersama Mita, saat dilihatnya Arya sudah berpakaian rapi dengan tas kerjanya. 'Bukannya ke kampus besok? Kenapa berubah? Pagi banget lagi?' Netra Dinda mengikuti kemana pun Arya bergerak. "Pergi kemana? Ke kantor?" Akhirnya Dinda tidak tahan juga untuk bertanya. Wajah Arya yang sangat serius cukup mengganggunya."Ke kampus dulu." Arya mendekat ke arah Dinda, lalu mengecup kening istrinya. "Ada sesuatu yang harus diselesaikan.""Mendadak sekali."Arya mengangguk. "Nanti malam saja ceritanya," bisiknya di telinga Dinda sembari memberi kecupan lembut di sana."Penting banget?" Dinda sepertinya tidak rela jika suaminya itu kembali ke rutinitasnya sebagai dosen."Sangat penting."Dinda mulai menerka-nerka urusan apa yang dimaksud suaminya. Jangan-jangan sosok yang disebut Mita kemarin?"Jangan pergi sebelum sarapan. Hari ini sangat spesial karena dimasak oleh tiga wanita cantik di rumah ini. Kalau kamu tolak, bakal rugi dan k
Mega? Kembali? Wanita itu berada di tempat yang sama dengan mantan dosen pembimibingnya untuk kedua kali? Dinda mengerjapkan kedua netranya. Ia hanya menatap Mita kosong."Tsk. Bener kan tebakan gua. Lu bakal kaget.""Ngapain dia balik lagi ke kampus? Apa belum dipecat?" Dinda mendadak merasa kesal. Mungkinkah Arya sudah membohonginya? Mita tertawa kecil melihat kening Dinda berkerut-kerut. "Pak Arya nggak akan pernah bohong sama elu. Beliau tipikal setia sampai akhirat."Dinda tersipu malu. "Gua sebenernya nggak pa-pa juga kalau dia balik lagi ke kampus.""Serius?" Mita sontak memutar badannya. "Asal doi bukan jadi dosen aja. Balik ke kampus kan tidak selamanya dia balik jadi dosen lagi. Kali aja pas ketemu sama elu, dia numpang lewat atau nganterin temen atau sodaranya yang mau daftar di sana jadi maba.""Bisa jadi juga. Gua begini karena gua masih kesel aja sama dia. Kenapa orang seperti dia malah awet di muka bumi ini, sih?""Hush! Nggak boleh ngomong begitu. Kali aja Tuhan mau
"Mama!!"Teriakan Brilian membuat Dinda langsung memutar tubuhnya dan dengan gerakan super cepat kaki-kakinya yang panjang dan jenjang sudah mengantarkannya ke depan pintu teras. Ia melihat Brilian menangis dalam gendongan Arya.Dinda mendekat ke arah dua pria penting dalam hidupnya. Dinda menyentuh lembut pundak suaminya. Tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun, Arya menceritakan sebab musabah Brilian menangis histeris. "Saking besarnya dia melompati ini hingga jatuh terjerembab di situ." Arya menunjuk ke dinding pemisah antara teras rumah dan pekarangan rumah setinggi enam puluh senti, dan lokasi tempat Brilian jatuh."Mana anak tampan Mama?" Dinda mencoba melihat wajah putranya. Brilian, demi mendengar suara lembut sang mama, langsung mengangkat wajahnya. Ia berusaha keras menahan tangisannya yanga berujung pada cegukan.Dinda tersenyum geli. "Nggak apa-apa kalau masih ingin menangis. Tuh, lihat. Om Fahri sudah berhasil menangkap tikusnya."Dari kejauhan tampak Fahri memegang ta
Fahriza masih tertegun di jok belakang. Ia masih tetap menatap ke arah bocah laki-laki yang ditunjukkan mamanya. "Sayang... Kamu tidak ikut turun?" Panggilan Mita membuyarkan lamunan Fahriza. Bocah kecil itu keluar dengan terburu-buru, lalu lari menghambur mencari sang nenek"Nenek!"panggil Fahriza heboh. Ia tidak mempedulikan beberapa tamu yang tengah duduk berbincang dengan Dermawan. Fahriza tiba-tiba berhenti di tengah ruang tamu. Netranya menabrak sosok asing yang tidak pernah ia temui sebelumnya.'Mengapa Papa ada dua?' gumam Fahriza keheranan. Perhatian Fahriza terpusat pada sosok yang sedang menuruni tangga. Pria tinggi, putih dan sangat tampan. Sekilas memang mirip papanya, tapi jika dilihat lebih dalam, pria dewasa itu lebih tampan dari papanya. Mita yang berjalan di belakang Fahriza menatap penuh heran melihat tingkah putrinya. "Ada apa, Za? Ada hantu? Mana? Biar Mama pukul pakai tas Mama ini." Mita megusap lembut pucuk kepala Fahriza."Mama!""Ya, Sayang.""Mengapa Papa
Jawaban jujur Fahriza membuat Anggun tidak dapat menahan tawanya. Namun, demi menjaga wibawa Mita di hadapan putrinya sendiri, Anggun berusaha keras untuk meredam tawanya.A: "Oh. Mama ngomel. Mama ngomelin apa kalau Nenek boleh tahu?"F: "Ehm. Apa ya?"Fahriza ingin menjawab tapi melihat ekspresi Mita yang mengerikan, bocah kecil itu memutar badannya hingga Mita tidak dapat melihat wajahnya.A: "Halo?" F: "Iya, Nenek. Fahriza masih di sini. Nenek tunggu dulu. Fahriza sedang memikirkan jawaban yang benar."Jawaban Fahriza mengundang tawa Anggun. Bocah kecil itu begitu pintar, mencari alasan. Tampaknya, kepandaian Mita dalam bersilat lidah menurun kepada Fahriza.A: "Baiklah. Nenek akan sabar menanti jawaban kamu, tapi jangan lama-lama karena Nenek masih harus membungkus kado untuk tamu spesial yang akan datang menjenguk Nenek."Netra Fahriza yang bulat menjadi semakin bulat saat gadis kecil itu mendengar kata 'kado' dan 'tamu spesial, yang baru saja diucapkan Anggun.F: "Kado? Tamu sp