Meski rasa rindu di dalam hati masih menggebu. Namun Aisyah tidak bisa lama-lama mengenang masa lalunya saat berada di penjara suci. Dia harus kembali ke ibukota bersama Rahman dan Niken.
Sepertinya baru kemarin menikmati atmosfir yang sangat segar menikmati pemandangan dan udara segar. Gunung menjulang tinggi menjadi daya tarik keindahan kala matahari terbit dan terbenam.
“Aisyah, kita harus pergi sekarang…” ucap Niken kepada Aisyah yang berdiri di taman kecil.
Terasa berat sekali untuk melangkah. Rahman berdiri dengan seorang pria paruh bayu, kelihatan mereka sedang mengobrol bahkan terlihat sangat akrab. Tidak mungkin Rahman mempunyai teman dekat di sini atau jangan-jangan Rahman sok kenal saja.
 
Rahman membuka mata, lantas dia duduk sejenak untuk memulihkan nyawanya. Gorden kamarnya sudah tertembus oleh sinar matahari. Pandangan mata beralih saat mendengar suara ketukan pintu. Biasanya Mbok Darsih yang datang di pagi hari untuk mengabarkan, sarapan telah siap. Namun saat gagang pintu terbuka bukan sosok Mbok Darsih yang muncul. Bibir itu tersenyum. Terdengar suara selamat pagi memanaskan gendang telinga Rahman. Laki-laki itu hanya bisa membalas dengan senyuman sambil menarik selimut lebih ke atas lagi. Tubuhnya menjadi sedikit kaku. Aisyah menghampiri Rahman dan menanyakan bukunya yang kemarin dalam perjalanan dia ambil. Belum sempat berkata-kata, tiba-tiba Aisyah menarik
Waktu terus berjalan. Hati Aisyah masih belum tenang. Niken mematikan handphone dan menghampiri Aisyah. Tampak kecemasan dari tatapan mata Aisyah. Niken memegang tangannya sebagai obat penenang. Sesorang laki-laki yang membuat jantung Aisyah melemah akhirnya muncul. Dia berjalan menuju ke kursi di sebelah Aisyah. Pak penghulu lalu memulai proses pernikahan. Dengan saksi wali hakim maka sah-lah Aisyah menjadi istri Rahman malam ini juga. Betapa terkejutnya Aisyah saat pak penghulu pergi, di ruang tamu banyak anak-anak duduk lesehan yang sudah disiapkan Mbok Darsih. Ternyata anak-anak itu atas ide Rahman sendiri. Sebagai bentuk syukur mala mini berbagi dengan anak-anak yatim. Niken membantu Mbok Darsih untuk memberikan kotak makan. Selain itu juga ada acara pengajian yang dipimpin oleh pemilik panti asuhan.&
Aisyah tidak akan lupa dengan pernikahan yang harus membuatnya bisa segera hamil. Dia harus membantu Rahman, meski harta ini hanyalah titipan seperti yang dikatakan Rahman. Namun jika harus berpindah ke tangan lawan bisnisnya, Aisyah juga tidak ingin itu terjadi. Dengan pengalamannya menulis di buku diary, hingga akhirnya ditemukan oleh gurunya dan terbit menjadi novel maka tidak sulit bagi Aisyah untuk menyusun rencana. Langkah-langkah yang sudah dipikirkan, sudah siap untuk dijalankan. Day 1.&n
Pov RahmanBisa terhitung sangat lama aku tidak melampiaskan hasrat ini. Sejak perempuan memakai niqam singgah dalam hidupku. Pertemuan ini bukanlah suatu rencana yang kubuat. Namun takdir berkata lain.Nur Aisyah.Nama yang selalu terngiang setiap malamku. Aku masih dengan sifat arrogantku yang suka melampiaskan emosiku. Perlakuanku terhadapnya tidak membuatnya dia membenciku. Perempuan itu sangat unik. Ucapannya bagaikan busur panah yang menghujam jantungku. Aku dibuatnya kehilangan separuh napas. Namun aku harus tetap terlihat kuat dan menganggap ucapannya sebagai angina lalu.Aku pikir dia telah gila. Minta dinikahi dan menghalalkan sentuhan yang terjadi. Padahal aku sudah tidak percaya dengan namanya cinta. Apalagi suatu kom
Rahman pulang ke rumah dalam keadaan bimbang dan gelisah. Perkataan Robi memang sialan. Jika bersaing dengan cara cuang memang itu sudah sifatnya dari dulu. Wajah Rahman tampak kusut. Dia mematung di dekat jendela menghadap taman. Bahkan sampai kehadiran Aisyah tidak disadarinya. “Mas Rahman, ada apa? Tampaknya murung sejak pulang tadi?” Aisyah memberikan secangkir teh hangat. Dengan tatapan penuh keraguan Rahman mengambil secangkir teh yang dibawakan oleh istrinya itu. Bagaimana jika suatu hari nanti Aisyah menginginkan seorang anak dan lalu dia akan meninggalkannya. Rahman mulai merasa khawatir. Penuh kelembutan Aisyah mengelus dada Rahman. Sambil tersenyum, Aisyah menyarakan Ra
Sebuah tanggalan meja dilingkari dengan puplen warna merah oleh Aisyah. Dia memperkirakan dengan aplikasi penghitung masa kesuburan setelah menstruasi hari pertama. Pada tanggal dan hari berapa nanti untuk memulai berhubungan dengan suami.Setelah Rahman berangkat bekerja sekitar dua puluh menit yang lalu, Aisyah memilih untuk masuk ke kamar dan merapikan barang-barang. Walau semua tampak rapi dan bersih, namun tetap saja Aisyah ingin melihat perbedaan dengan isi kamar. Mungkin saja dengan sedikit merubah posisi barang-barang yang di kamar akan menambah suasana lebih segar. Terlalu banyak juga kenangan masa lalu Rahman dengan perempuan yang dibawa pulang.Tidak sedikit pun Aisyah meminta bantuan Mbok Darsih, walau keringat sudah membasahi tubuhnya. Cuaca hari ini juga tampak sangat panas sekali. Peluh Aisyah sampai membuat bajunya basah.Saat turun ke bawah, Aisyah melihat Mbok Darsih yang sedang mengobrol dengan Pak Darto. Tapi kenapa Rahman tidak ada di rumah.
Pov Aisyah Pagi-pagi sekali kulihat Rahman bersama Ayahnya sudah mengobrol di taman. Keduanya tampak berkeringat setelah jogging. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, kelihatannya sangat serius sekali. Aku yang hanya bisa melihat mereka dari dapur, tidak berani untuk ikut campur, apalagi Bahasa Inggrisku tidak begitu lancar. “Aisyah,” Terdengar suara yang memanggilku, rupanya Ibu mertuaku. Mungkin dia membutuhkan sesuatu dan butuh bantuanku untuk mencarikannya. Sejak kedatangan orangtua Rahman, aku merasa sangat senang karena mempunyai teman mengobrol. Shelin juga lebih suka di rumah daripada jalan-jalan di luar.&n
Gelapnya malam telah berganti terangnya pagi. Dua manusia masih hangat di dalam selimut. Setelah salat Subuh Aisyah dan Rahman memilih masuk kembali dalam peraduan. Entah kenapa seluruh badan masih merasakan pegal akibat permainan semalam. Perlahan, Aisyah membuka matanya, lalu diikuti geliat Rahman mengangkat lengannya yang dijadikan bantal oleh Aisyah. “Jam berapa, sayang?” ucap Rahman lirih namun masih bisa didengar. Aisyah melihat ke arah jam beker di meja samping. Ternyata sudah pukul enam pagi. Kedua mata masih mengantuk berat, Aisyah menyilakan selimut dan turun dari ranjang. Dia berharap ibu mertua atau ayah mertuanya belum turun ke dapur. Bergegas Aisyah turun ke bawah dan menuju ke dapur. Dilihatnya Mbok Darsih juga seperti baru bangun. Saat melihat Aisyah sudah di dapur, Mbok Darsih tersenyum malu-malu membuat Aisyah tampak bingung. Dan tidak biasanya Mbok Darsih memakai kerudung, tapi pagi-pagi sekali sudah memakai kerudung. ‘Tapi