Gelapnya malam telah berganti terangnya pagi. Dua manusia masih hangat di dalam selimut. Setelah salat Subuh Aisyah dan Rahman memilih masuk kembali dalam peraduan. Entah kenapa seluruh badan masih merasakan pegal akibat permainan semalam.
Perlahan, Aisyah membuka matanya, lalu diikuti geliat Rahman mengangkat lengannya yang dijadikan bantal oleh Aisyah.
“Jam berapa, sayang?” ucap Rahman lirih namun masih bisa didengar.
Aisyah melihat ke arah jam beker di meja samping. Ternyata sudah pukul enam pagi. Kedua mata masih mengantuk berat, Aisyah menyilakan selimut dan turun dari ranjang. Dia berharap ibu mertua atau ayah mertuanya belum turun ke dapur.
Bergegas Aisyah turun ke bawah dan menuju ke dapur. Dilihatnya Mbok Darsih juga seperti baru bangun. Saat melihat Aisyah sudah di dapur, Mbok Darsih tersenyum malu-malu membuat Aisyah tampak bingung. Dan tidak biasanya Mbok Darsih memakai kerudung, tapi pagi-pagi sekali sudah memakai kerudung.
‘Tapi
Dear pembaca budiman, jangan lupa bintang lima dan vote, terima kasih.
Tatapan Rahman masih dingin. Bahkan sampai di ruangan kerjanya dia masih memendam kemarahan. Jika saja tidak ditahan oleh Aisyah pasti dia sudah mengamuk di meja makan tadi. Ayah Rahman yang juga ikut ke kantor sedikit bisa membuat Rahman tampak tenang. Tidak mungkin Rahman akan mengamuk di hadapan Ayahnya. Hari ini Ayah Rahman memang sengaja ikut datang ke kantor untuk mengikuti rapat untuk pembukaan cabang resort baru. Dia ke Indonesia bukan semata ingin bertemu menantunya melainkan juga untuk menyaksikan secara langsug progress anak cabang resort terbarunya. Di ruangan rapat sudah hadir beberapa tamu undangan yang merupkan rekan bisnis. Tanpa sengaja Robi menyenggol Ayah Rahman saat di toilet. “Oh, Mr.Wijayanto. What a surprise you are here.” &n
POV Rahman Tiga bulan aku menunggu Aisyah memberikan kabar menggembirakan. Janin ada di dalam rahimnya. Tapi semua itu belum ada sinyal keyakinan. Sementara tiga bulan lagi Shelin wisuda dan langsung menikah dengan Dimas. Hatiku gelisah bukan karea harta ini. Namun aku kegilasah tidak bisa memberikan keturunan untuk Aisyah. Dia masih muda dan cantik. Pasti banyak laki-laki di luar sana yang tertarik. Apalagi semenjak dia kembali aktif menulis dan kelihatannya juga main social media untuk berdakwah. Hatiku gelisah, dia akan luntur untuk mencintaiku. Bahkan di kolom komentar banyak sekali yang memuji Aisyah, dan banyak pula yang berkomentar sebagai calon istri idam
Tubuhku masih terasa tidak enak badan. Perutku bahkan terasa perih. Namun suhu badanku masih normal. Kualihkan pandanganku melihat Rahman yang sudah tidur terlelap. Aku tidak tega untuk membangunkannya. Aku harus bangun untuk mengambil wudhu. Setiap malamku tidak ingin kubuang-buang kesempatan untuk memohon kepada Tuhan. Selagi masih dalam keadaan suci, insya Allah, aku tidak akan lelah untuk membuka mata di sepertiga malam. Tanpa kusadari Rahman juga terbangun. Dia masih kelihatan mengkhawatirkanku. Semenjak ikhtiar bersama, Rahman memang selalu berusaha untuk ikut salat tahajud denganku. Sebagai pemimpin di rumah dan imam dalam hidupku, dia sudah banyak perubahan. “Sayang, kamu baik-baik saja?”&n
Satu gelas ramuan cinta berhasil diminum tanpa menyisakan setetes pun. Rahman menatap Aisyah dan masih memendam penasaran. Tes pack yang dibeli belum digunakan oleh Aisyah. Antara keraguan dan keyakinan masih membingungkan hatinya. Tubuh Rahman menjadi gerah. Pikirannya bahkan menjadi tidak konsentrasi di depan layar laptop. Ada dokumen yang harus dipelajari terlebih dahulu untuk besok. Baru saja Niken, sekretaris pribadinya mengirimkan lewat aplikasi hijau. Melihat Rahman yang sedang bekerja malam, Aisyah tidak ingin mengganggu, dia memilih untuk menulis diary. Padahal Aisyah ingin menanyakan sesuatu. Rahman mengacak rambutnya, Aisyah pikir suaminya itu terlalu stress dengan pekerjaannya. Saking gerah menempel di sekujur tubuhnya bahkan sampai ke tulang-tulang tub
Pria itu masih memandang Aisyah yang panik. Tubuhnya mendadak lemas, kakinya belum hilang dari rasa gemetaran. “Kamu yakin tidak apa-apa?” Aisyah menggelengkan kepala lagi. Aisyah merasa tidak harus menanggapi lebih serius. Saat ini dia hanya ingin segera sampai ke hotel dimana Rahman rapat. Jika telat maka akan berdampak buruk bagi banyak orang. Ternyata kita tidak bisa mempercayai orang begitu saja. Rahman tidak boleh lengah. Aisyah tidak mempedulikan pria yang hampir saja menabraknya, dia melanjutkan jalannya dengan kaki pincang. Berharap ada taksi yang lewat. “Nona, biar saya antar. Ke mana Anda akan pergi?” pria itu dengan sukarela menawarkan pertolongan. Aisyah berpikir sejenak, jika dia tidak mengambil kesempatan baik itu maka bisa saja Rahman dalam masalah besar. Akhirnya Aisyah memutuskan untuk menerima tawaran pertolongan dari pria yang masih asing. “Baiklah, tolong antarakan saya ke hotel Dahlia.” Pria itu menatap ma
Di rumah Aisyah masih diam. Matanya masih sangat sulit untuk menghentikan airmata yang seakan ingin terus melihatkan ekstensinya pada dunia yang baru saja dilihat Aisyah. Baginya sangat keterlaluan. Cinta itu memang menyakitkan. Tidak selamanya cinta itu indah. Rahman berjalan lesu sambil menundukkan wajahnya. Tangannya ragu untuk meraih gagang pintu kamar. Melihat Aisyah pasti sangat terpukul. Tapi bukankah sebelum bertemu Aisyah, dia sudah begitu. Rahman menegakkan posisi dadanya. Bagai seorang laki-laki pemberani. Rahman membuka pintu kamar. Kamar masih kosong tanpa terdengar suara napas istrinya. Rahman mencari setiap sisi kamar. “Aisyah…” suara pelan Rahman, berharap Aisyah melihat kedatangannya.  
Langit tampak mendung. Rasa jenuh menunggu di kamar seorang diri. Aisyah merasa kesepian. Satu-satunya teman adalah televisi. Meski tidak membuatnya tertarik namun bisa memberikan suara-suara sehingga ruang inap tidak mencekam. Ingin segera pulang tapi dokter belum mengizinkan. Aisyah meraba bawah bantal dan mengambil surat dari Niken. Aisyah menarik napas panjang. Kepergian Niken terasa sangat mendadak. Atau semua telah dirancang oleh Robi. Setiap kata, Aisyah mencoba untuk membaca dengan ketelitian. Niken yang bertahun-tahun bekerja dengan Rahman, siapa tahu dia juga diam-diam mendambakan sosok Rahman. Yah, tidak ada yang cacat di dalam fisik Rahman, hanya hati dan akhlaknya yang kadang melenceng. Setelah membaca selesai surat Niken, ada rongga di dalam dadanya y
Di luar sana. Hujan seperti menggambarkan kata hati Aisyah. Hujan bertambah deras dan bahkan belum ada tanda-tanda akan berhenti. Aisyah mencoba untuk menguatkan kedua kakinya dan berjalan meninggalkan ruangannya. Seorang perawat melihatnya dan langsung mencegahnya. “Nyona Rahman, Anda mau ke mana?” “Ke Mushola.” Jawaban datar yang keluar dari mulutnya. Perawat itu lalu tidak mencegahnya. Namun tetap saja dia meminta bantuan teman perawat lainnya yang berjaga di dekat Mushola. Pasien dengan nama Nur Aisyah atau Nyonya Rahman memang mendapatkan perhatian ekstra. Rahman takut jika terjadi sesuatu dengan istrinya. Lan
Pov Aisyah Dear Diary, Senyum ini menjadi saksi. Bahwa hati ini telah sepenuhnya merima dan menjalankan takdir yang Tuhan berikan. Bersanding denganmu di pelaminan, kuanggap sebagai baktiku sebagai seorang istri yang patuh terhadap wasiat terakhirmu. Bukan karena hasrat dunia yang sepi akan kesendirian setelah kepergianmu. Rahman Wijanto. Laki-laki yang hadir dalam napas langkah kaki ini. Di kota asing yang baru pertama kali kujajaki untuk mencari pencarian yang kini telah kusudahi karena pencarian panjang bagaikan langkah buntu yang tidak kutemukan titik pasti, meski aku belum menyerah hanya memilih pasrah. Penjara suc
Pov Aisyah Wajah itu perlahan mulai menghiasi hari-hariku. Semakin hari dunia ini seolah menuntunku untuk menemukan senyuman yang mulai memudar oleh kebimbangan. Saat ini, di sampingku masih setia sosok Bayu yang sigap membantu tanpa pamrih. Betapa khawatirnya hatiku saat mendengar dia ingin pergi. Bukan karena cinta itu tumbuh dalam hatiku, melainkan aku belum siap untuk memapah dunia ini sendirian. Menjaga anak-anak dan perusahaan. Ayah mertua sudah terbaring lemah dan tidak berdaya untuk mengurus semua perusahaan. Di tangan Bayu-lah kami menyerahkan semua kepercayaan. Sedangkan ibu Reta, ibu mertua yang selalu memberikanku keyakinan, akan pernikahan kedua membuat diri ini siap untuk membuka lembaran baru. Meski tidak mudah bagiku untuk membuka pint
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, angina sore masih memberikan nuansa kebimbangan di dalam hati Aisyah. Perut semakin membesar dan masih menyimpan kewajiban serta tanggung jawab yang dia simpan seorang diri. Alhamdulilah, Bilal dan Kuwat tumbuh menjadi anak yang tidak merepotkan. Dua jagoan itu dapat merasakan kebimbangan yang sedang Aisyah rasakan. “Mommy…” Bilal mendekati Aisyah yang tadi tampak menyimpan kesedihan. Sudah satu jam lebih, pena di jemarinya tidak bergerak sama sekali. “Iya, sayang…” “Kapan Adik lahir, Mommy?” “Inysa Allah sebentar lagi sayang. Oh yah
Perut Aisyah sudah tidak lagi menahan lapar. Dalam hati yang masih merintih dalam diam menyaksikan Rahman terbaring lemah. Andai saja dia bisa berbuat sesuatu yang menyembuhkan sakitnya pasti sudah diberikan. Kini hanya doa dan memohon mujizat Tuhan. Apa pun yang terjadi semua itu karena campur tangan-Nya. Bayu berdiri dan berpaling meningglkan Aisyah yang masih menunggu Rahman dengan melantunkan dzikir-dzikir penenang hati. Sudah tugasnya untuk menjemput anak-anak pulang sekolah. Rahman seperti melihat kabut-kabut putih yang sangat lebat. Dia melihat pandangan yang tidak bisa ditembus oleh mata. Betapa pekatnya kabut putih yang menghalangi arah mata pandangan Rahman. Masih berdiri, Rahman menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan keberadaan posisi dirinya. Tid
Sudah satu jam tidak menemukan kata-kata mutiara. Aisyah tampak lelah dengan isi di dalam otaknya. Namun dia berusaha agar tidak membuat stress mengingat ada calon anak yang akan keluar ke dunia. Melihat betapa kehidupan ini tidaklah seindah harapan maupun senyaman dalam perut. Aisyah mengelus perutnya secara perlahan. Seakan menjajak calon bayinya berdialog antara hati ke hati. Langit sudah merona, buku diary di atas meja segera dia simpan dan membawanya kembali ke dalam laci. Anak-anak juga terlihat mengulet dengan perlahan matanya mencoba untuk bergerak. Namun muncul kepanikan saat melihat tubuh kekar Rahman seakan tidak merespon. Dia tampak tenang. Bahkan wajahnya kelihatan lebih pudar. Aisyah mencoba untuk tenang dan meminta anak-anak segera mandi. “Kali
Dari deretan bangku baris ketiga Rahman dan Aisyah duduk untuk menyaksikan persembahan pentas anak-anak. Bayu yang duduk di sebelah Rahman sesekali melirik melihat Rahman yang wajahnya sudah kelihatan pucat. Rahman juga merasakan jika tubuhnya sudah tidak sekuat dahulu. Demi jagoan tercinta, dia paksakan untuk menjadi kuat. Tidak ingin terlihat lemah di depan anak-anak. Bagaikan menghitung hari yang pasti akan datang waktunya. Aisyah menggenggam tangan Rahman sambil tersenyum. Di dalam relung hatinya juga merasakan kekhawatiran. Suara MC sedikit melegakan hati Rahman, itu tandanya pertunjukan segera dimulai. Acara tampak sangat megah dengan hiasan panggung yang artistic. Semua wali murid yang hadir juga kelihatan dari kalangan atas. Rahman menutup mulutnya supaya tidak terlihat menguap.&n
Akhirnya Bayu sampai di depan sekolah Bilal dan Kuwat. Di tempat tunggu sudah ramai para asisten rumah tangga dan sebagian ibu dari anak-anak yang menunggu. Bagi Bayu jika ikut menunggu dengan mereka rasanya malu. Hingga dia memilih menunggu di dalam mobil dengan membuka kaca jendela. Sambil membaca majalah dapat menghilangkan pikiran yang membayangkan apa saja yang dilakukan majikannya di kamar tadi. Hal itu sangat membuat hati kecil Bayu merasakan cemburu namun dia tidak bisa berkata apa-apa. Tidak mungkin mengatakan kejujuran. Lima menit berlalu, Bayu mengarahkan pandangannya melihat ke gerbang sekolah. Satu persatu anak-anak keluar, mereka disambut oleh yang menjemput. Bayu pun bergegas turun dari mobil dan menuju ke depan gerbang. “Om Bayu…”
Di ruangan meeting sudah berkumpul dengan posisi genap. Ini adalah pertama kali Aisyah memimpin rapat. Dari Rahman, Aisyah belajar agar bisa seperti posisi suaminya walau itu tidak mudah. “Lalu anak cabang yang ada di Bali bagaimana proses untuk ke depannya Nyonya Aisyah? Resort itu harus dikelola ulang supaya lebih baik. Selama ini banyak laporan yang ternyata disalah gunakan oleh anak buah Robi.” “Soal resort di Bali, bukankah sudah menjadi tugas Anda Pak Johan untuk memantau? Lalu bagaimana bisa anak buah Robi bisa melakukan tindakan tersebut? Dimana tugas Anda?” “Oh, jadi Anda menyalahkan saya?” “Tidak!”
Jus yang dibuatkan oleh Aisyah telah habis. Tidak menyisakan sedikitpun di gelas. Rahman memang paling bisa menghargai Aisyah. Terkadang apa yang dibuat oleh istrinya untuk dimakan, walau tidak selalunya enak dan manis. Namun ada rasa getir yang membuat lidah merasa ngilu, Rahman tetap menghabiskannya. “Sayang…” Aisyah menghentikan langkah saat Rahman memanggilnya. Ada perasaan khawatir menjadi satu. Bola mata saling beradu menjadi satu ciptakan rasa kelu melanda kalbu. Antara gamam dan kaku lidah membuat mulut sukar mengeluarkan kata-kata. “Istirahatlah Mas…” Aisyah mendekati Rahman dan mengecup bibirnya. Meski Rahman sempat ingin menolak namun Aisyah me