Pagi sekali Niken sudah sampai di rumah Rahman. Penampilannya membuat semua orang yang melihatnya merasa pangling. Niken yang biasa memakai baju casual tapi kali ini memakai gamis dan kerudung yang menyatu perpaduannya.
“Mba Niken, Masya Allah cantiknya…”
“Terima kasih Aisyah, bagaimana sudah siap, kita berangkat sekarang.”
“Insya Allah siap…”
Rahman menuruni anak tangga. Penampilannya juga sangat berbeda. Tiba-tiba Aisyah merasa bingung.
“Semua sudah ready, ayok berangkat.” Ucap Rahman.
<Meski rasa rindu di dalam hati masih menggebu. Namun Aisyah tidak bisa lama-lama mengenang masa lalunya saat berada di penjara suci. Dia harus kembali ke ibukota bersama Rahman dan Niken. Sepertinya baru kemarin menikmati atmosfir yang sangat segar menikmati pemandangan dan udara segar. Gunung menjulang tinggi menjadi daya tarik keindahan kala matahari terbit dan terbenam. “Aisyah, kita harus pergi sekarang…” ucap Niken kepada Aisyah yang berdiri di taman kecil. Terasa berat sekali untuk melangkah. Rahman berdiri dengan seorang pria paruh bayu, kelihatan mereka sedang mengobrol bahkan terlihat sangat akrab. Tidak mungkin Rahman mempunyai teman dekat di sini atau jangan-jangan Rahman sok kenal saja. 
Rahman membuka mata, lantas dia duduk sejenak untuk memulihkan nyawanya. Gorden kamarnya sudah tertembus oleh sinar matahari. Pandangan mata beralih saat mendengar suara ketukan pintu. Biasanya Mbok Darsih yang datang di pagi hari untuk mengabarkan, sarapan telah siap. Namun saat gagang pintu terbuka bukan sosok Mbok Darsih yang muncul. Bibir itu tersenyum. Terdengar suara selamat pagi memanaskan gendang telinga Rahman. Laki-laki itu hanya bisa membalas dengan senyuman sambil menarik selimut lebih ke atas lagi. Tubuhnya menjadi sedikit kaku. Aisyah menghampiri Rahman dan menanyakan bukunya yang kemarin dalam perjalanan dia ambil. Belum sempat berkata-kata, tiba-tiba Aisyah menarik
Waktu terus berjalan. Hati Aisyah masih belum tenang. Niken mematikan handphone dan menghampiri Aisyah. Tampak kecemasan dari tatapan mata Aisyah. Niken memegang tangannya sebagai obat penenang. Sesorang laki-laki yang membuat jantung Aisyah melemah akhirnya muncul. Dia berjalan menuju ke kursi di sebelah Aisyah. Pak penghulu lalu memulai proses pernikahan. Dengan saksi wali hakim maka sah-lah Aisyah menjadi istri Rahman malam ini juga. Betapa terkejutnya Aisyah saat pak penghulu pergi, di ruang tamu banyak anak-anak duduk lesehan yang sudah disiapkan Mbok Darsih. Ternyata anak-anak itu atas ide Rahman sendiri. Sebagai bentuk syukur mala mini berbagi dengan anak-anak yatim. Niken membantu Mbok Darsih untuk memberikan kotak makan. Selain itu juga ada acara pengajian yang dipimpin oleh pemilik panti asuhan.&
Aisyah tidak akan lupa dengan pernikahan yang harus membuatnya bisa segera hamil. Dia harus membantu Rahman, meski harta ini hanyalah titipan seperti yang dikatakan Rahman. Namun jika harus berpindah ke tangan lawan bisnisnya, Aisyah juga tidak ingin itu terjadi. Dengan pengalamannya menulis di buku diary, hingga akhirnya ditemukan oleh gurunya dan terbit menjadi novel maka tidak sulit bagi Aisyah untuk menyusun rencana. Langkah-langkah yang sudah dipikirkan, sudah siap untuk dijalankan. Day 1.&n
Pov RahmanBisa terhitung sangat lama aku tidak melampiaskan hasrat ini. Sejak perempuan memakai niqam singgah dalam hidupku. Pertemuan ini bukanlah suatu rencana yang kubuat. Namun takdir berkata lain.Nur Aisyah.Nama yang selalu terngiang setiap malamku. Aku masih dengan sifat arrogantku yang suka melampiaskan emosiku. Perlakuanku terhadapnya tidak membuatnya dia membenciku. Perempuan itu sangat unik. Ucapannya bagaikan busur panah yang menghujam jantungku. Aku dibuatnya kehilangan separuh napas. Namun aku harus tetap terlihat kuat dan menganggap ucapannya sebagai angina lalu.Aku pikir dia telah gila. Minta dinikahi dan menghalalkan sentuhan yang terjadi. Padahal aku sudah tidak percaya dengan namanya cinta. Apalagi suatu kom
Rahman pulang ke rumah dalam keadaan bimbang dan gelisah. Perkataan Robi memang sialan. Jika bersaing dengan cara cuang memang itu sudah sifatnya dari dulu. Wajah Rahman tampak kusut. Dia mematung di dekat jendela menghadap taman. Bahkan sampai kehadiran Aisyah tidak disadarinya. “Mas Rahman, ada apa? Tampaknya murung sejak pulang tadi?” Aisyah memberikan secangkir teh hangat. Dengan tatapan penuh keraguan Rahman mengambil secangkir teh yang dibawakan oleh istrinya itu. Bagaimana jika suatu hari nanti Aisyah menginginkan seorang anak dan lalu dia akan meninggalkannya. Rahman mulai merasa khawatir. Penuh kelembutan Aisyah mengelus dada Rahman. Sambil tersenyum, Aisyah menyarakan Ra
Sebuah tanggalan meja dilingkari dengan puplen warna merah oleh Aisyah. Dia memperkirakan dengan aplikasi penghitung masa kesuburan setelah menstruasi hari pertama. Pada tanggal dan hari berapa nanti untuk memulai berhubungan dengan suami.Setelah Rahman berangkat bekerja sekitar dua puluh menit yang lalu, Aisyah memilih untuk masuk ke kamar dan merapikan barang-barang. Walau semua tampak rapi dan bersih, namun tetap saja Aisyah ingin melihat perbedaan dengan isi kamar. Mungkin saja dengan sedikit merubah posisi barang-barang yang di kamar akan menambah suasana lebih segar. Terlalu banyak juga kenangan masa lalu Rahman dengan perempuan yang dibawa pulang.Tidak sedikit pun Aisyah meminta bantuan Mbok Darsih, walau keringat sudah membasahi tubuhnya. Cuaca hari ini juga tampak sangat panas sekali. Peluh Aisyah sampai membuat bajunya basah.Saat turun ke bawah, Aisyah melihat Mbok Darsih yang sedang mengobrol dengan Pak Darto. Tapi kenapa Rahman tidak ada di rumah.
Pov Aisyah Pagi-pagi sekali kulihat Rahman bersama Ayahnya sudah mengobrol di taman. Keduanya tampak berkeringat setelah jogging. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, kelihatannya sangat serius sekali. Aku yang hanya bisa melihat mereka dari dapur, tidak berani untuk ikut campur, apalagi Bahasa Inggrisku tidak begitu lancar. “Aisyah,” Terdengar suara yang memanggilku, rupanya Ibu mertuaku. Mungkin dia membutuhkan sesuatu dan butuh bantuanku untuk mencarikannya. Sejak kedatangan orangtua Rahman, aku merasa sangat senang karena mempunyai teman mengobrol. Shelin juga lebih suka di rumah daripada jalan-jalan di luar.&n
Pov Aisyah Dear Diary, Senyum ini menjadi saksi. Bahwa hati ini telah sepenuhnya merima dan menjalankan takdir yang Tuhan berikan. Bersanding denganmu di pelaminan, kuanggap sebagai baktiku sebagai seorang istri yang patuh terhadap wasiat terakhirmu. Bukan karena hasrat dunia yang sepi akan kesendirian setelah kepergianmu. Rahman Wijanto. Laki-laki yang hadir dalam napas langkah kaki ini. Di kota asing yang baru pertama kali kujajaki untuk mencari pencarian yang kini telah kusudahi karena pencarian panjang bagaikan langkah buntu yang tidak kutemukan titik pasti, meski aku belum menyerah hanya memilih pasrah. Penjara suc
Pov Aisyah Wajah itu perlahan mulai menghiasi hari-hariku. Semakin hari dunia ini seolah menuntunku untuk menemukan senyuman yang mulai memudar oleh kebimbangan. Saat ini, di sampingku masih setia sosok Bayu yang sigap membantu tanpa pamrih. Betapa khawatirnya hatiku saat mendengar dia ingin pergi. Bukan karena cinta itu tumbuh dalam hatiku, melainkan aku belum siap untuk memapah dunia ini sendirian. Menjaga anak-anak dan perusahaan. Ayah mertua sudah terbaring lemah dan tidak berdaya untuk mengurus semua perusahaan. Di tangan Bayu-lah kami menyerahkan semua kepercayaan. Sedangkan ibu Reta, ibu mertua yang selalu memberikanku keyakinan, akan pernikahan kedua membuat diri ini siap untuk membuka lembaran baru. Meski tidak mudah bagiku untuk membuka pint
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, angina sore masih memberikan nuansa kebimbangan di dalam hati Aisyah. Perut semakin membesar dan masih menyimpan kewajiban serta tanggung jawab yang dia simpan seorang diri. Alhamdulilah, Bilal dan Kuwat tumbuh menjadi anak yang tidak merepotkan. Dua jagoan itu dapat merasakan kebimbangan yang sedang Aisyah rasakan. “Mommy…” Bilal mendekati Aisyah yang tadi tampak menyimpan kesedihan. Sudah satu jam lebih, pena di jemarinya tidak bergerak sama sekali. “Iya, sayang…” “Kapan Adik lahir, Mommy?” “Inysa Allah sebentar lagi sayang. Oh yah
Perut Aisyah sudah tidak lagi menahan lapar. Dalam hati yang masih merintih dalam diam menyaksikan Rahman terbaring lemah. Andai saja dia bisa berbuat sesuatu yang menyembuhkan sakitnya pasti sudah diberikan. Kini hanya doa dan memohon mujizat Tuhan. Apa pun yang terjadi semua itu karena campur tangan-Nya. Bayu berdiri dan berpaling meningglkan Aisyah yang masih menunggu Rahman dengan melantunkan dzikir-dzikir penenang hati. Sudah tugasnya untuk menjemput anak-anak pulang sekolah. Rahman seperti melihat kabut-kabut putih yang sangat lebat. Dia melihat pandangan yang tidak bisa ditembus oleh mata. Betapa pekatnya kabut putih yang menghalangi arah mata pandangan Rahman. Masih berdiri, Rahman menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan keberadaan posisi dirinya. Tid
Sudah satu jam tidak menemukan kata-kata mutiara. Aisyah tampak lelah dengan isi di dalam otaknya. Namun dia berusaha agar tidak membuat stress mengingat ada calon anak yang akan keluar ke dunia. Melihat betapa kehidupan ini tidaklah seindah harapan maupun senyaman dalam perut. Aisyah mengelus perutnya secara perlahan. Seakan menjajak calon bayinya berdialog antara hati ke hati. Langit sudah merona, buku diary di atas meja segera dia simpan dan membawanya kembali ke dalam laci. Anak-anak juga terlihat mengulet dengan perlahan matanya mencoba untuk bergerak. Namun muncul kepanikan saat melihat tubuh kekar Rahman seakan tidak merespon. Dia tampak tenang. Bahkan wajahnya kelihatan lebih pudar. Aisyah mencoba untuk tenang dan meminta anak-anak segera mandi. “Kali
Dari deretan bangku baris ketiga Rahman dan Aisyah duduk untuk menyaksikan persembahan pentas anak-anak. Bayu yang duduk di sebelah Rahman sesekali melirik melihat Rahman yang wajahnya sudah kelihatan pucat. Rahman juga merasakan jika tubuhnya sudah tidak sekuat dahulu. Demi jagoan tercinta, dia paksakan untuk menjadi kuat. Tidak ingin terlihat lemah di depan anak-anak. Bagaikan menghitung hari yang pasti akan datang waktunya. Aisyah menggenggam tangan Rahman sambil tersenyum. Di dalam relung hatinya juga merasakan kekhawatiran. Suara MC sedikit melegakan hati Rahman, itu tandanya pertunjukan segera dimulai. Acara tampak sangat megah dengan hiasan panggung yang artistic. Semua wali murid yang hadir juga kelihatan dari kalangan atas. Rahman menutup mulutnya supaya tidak terlihat menguap.&n
Akhirnya Bayu sampai di depan sekolah Bilal dan Kuwat. Di tempat tunggu sudah ramai para asisten rumah tangga dan sebagian ibu dari anak-anak yang menunggu. Bagi Bayu jika ikut menunggu dengan mereka rasanya malu. Hingga dia memilih menunggu di dalam mobil dengan membuka kaca jendela. Sambil membaca majalah dapat menghilangkan pikiran yang membayangkan apa saja yang dilakukan majikannya di kamar tadi. Hal itu sangat membuat hati kecil Bayu merasakan cemburu namun dia tidak bisa berkata apa-apa. Tidak mungkin mengatakan kejujuran. Lima menit berlalu, Bayu mengarahkan pandangannya melihat ke gerbang sekolah. Satu persatu anak-anak keluar, mereka disambut oleh yang menjemput. Bayu pun bergegas turun dari mobil dan menuju ke depan gerbang. “Om Bayu…”
Di ruangan meeting sudah berkumpul dengan posisi genap. Ini adalah pertama kali Aisyah memimpin rapat. Dari Rahman, Aisyah belajar agar bisa seperti posisi suaminya walau itu tidak mudah. “Lalu anak cabang yang ada di Bali bagaimana proses untuk ke depannya Nyonya Aisyah? Resort itu harus dikelola ulang supaya lebih baik. Selama ini banyak laporan yang ternyata disalah gunakan oleh anak buah Robi.” “Soal resort di Bali, bukankah sudah menjadi tugas Anda Pak Johan untuk memantau? Lalu bagaimana bisa anak buah Robi bisa melakukan tindakan tersebut? Dimana tugas Anda?” “Oh, jadi Anda menyalahkan saya?” “Tidak!”
Jus yang dibuatkan oleh Aisyah telah habis. Tidak menyisakan sedikitpun di gelas. Rahman memang paling bisa menghargai Aisyah. Terkadang apa yang dibuat oleh istrinya untuk dimakan, walau tidak selalunya enak dan manis. Namun ada rasa getir yang membuat lidah merasa ngilu, Rahman tetap menghabiskannya. “Sayang…” Aisyah menghentikan langkah saat Rahman memanggilnya. Ada perasaan khawatir menjadi satu. Bola mata saling beradu menjadi satu ciptakan rasa kelu melanda kalbu. Antara gamam dan kaku lidah membuat mulut sukar mengeluarkan kata-kata. “Istirahatlah Mas…” Aisyah mendekati Rahman dan mengecup bibirnya. Meski Rahman sempat ingin menolak namun Aisyah me