Sebuah panggilan telepon masuk ke ponsel Emily ketika dia asik mengobrol dengan Russel Banning mengenai situs konten dewasa yang diduga dikelola oleh Henry Crawford. Ternyata Letnan Benjamin Roosevelt yang meneleponnya, maka Emily pun segera mengangkat panggilan itu."Halo—" Jawaban Emily langsung terpotong oleh ucapan lawan bicaranya. "Halo, Em. Kurasa kau akan syok bila mendengar hal ini. Aku sedang berada di rumah saksi ketiga kasus putera senator Crawford. Cassandra Olivia Barnes, dia mengalami depresi dan kondisinya sangat mengenaskan. Aku dan Rodney berbicara dengan ayah dan ibunya di rumah. Kau bisa memutar hasil rekaman kesaksian mereka mengenai pelecehan seksual yang dialami Sandra," cerocos Letnan Benjamin tanpa jeda. Entah karena kegugupannya atau tekanan mental saat mengambil kesaksian dari saksi kunci sebuah kasus besar.Sebelum Emily sempat menjawab sepatah kata pun, panggilan itu terputus. Dia pun mendesah lelah seraya mengendikkan bahunya. Sebuah kiriman rekaman suara
Sebuah lenguhan pelan yang panjang terlepas dari bibir mungil Emily, sejenak ia memejamkan matanya meresapi kelembutan sentuhan pria Perancis itu di sepanjang tulang belakangnya. Wanita itu terbaring tertelungkup tanpa selembar pakaian pun di atas ranjang yang seprainya berantakan.Detak jantungnya berpacu begitu kencang dengan napas terengah di dalam ruangan yang temaram. Sore itu awan gelap mulai berarak di angkasa menandai kedatangan badai topan bercampur petir susulan yang terjadi beberapa hari yang lalu di kota Chicago. "Badai sepertinya datang lagi, Ray—"Bibir pria itu seolah tak pernah puas menelusuri, mencecap, dan menikmati rasa seorang Emily. "Hmm ... itulah kenapa orang menyebut Chicago sebagai the windy city. Terlalu sering diterjang badai angin kencang bukan? Namun, tak perlu kuatir ... tempat tinggalku aman, Sayang," jawab Rayden tanpa menghentikan jemarinya berkelana di tubuh Emily yang meringkuk di bawah tubuh kekarnya.Ketika ia mendengar suara perut Emily yang kela
Wiper kaca depan mobil dinas kepolisian itu menepis air hujan yang deras membasahi kaca dan membuat pandangan Sersan Rodney Bradford buram. Dia tak berani mengemudi dengan kecepatan tinggi di tengah cuaca buruk kota Chicago. Angin menerbangkan daun-daun pepohonan yang ditanam di ruang hijau trotoar kanan kiri jalan raya the windy city itu. "Rod, menginaplah di apartmentku kalau kau mau daripada berkendara jauh untuk pulang di tengah cuaca buruk. Aku juga ingin mempelajari semua bukti dan kesaksian kasus Crawford bersamamu," saran Letnan Benjamin.Sersan Rodney pun mengiyakan saran atasannya itu. Dia menyetir ke arah Arlington Heights. Dalam waktu setengah jam, mereka pun akhirnya sampai di Buffalo Tall Tower, apartment tempat tinggal Letnan Benjamin. Kemudian mereka naik ke lantai 8 sambil membawa kotak berisi berkas barang bukti untuk dikerjakan malam ini."Aku akan membuat seteko kopi, lakukan apa yang kau inginkan, anggap saja rumah sendiri, Rod!" Letnan Benjamin melepas sepatu b
"Rodney, kita harus segera pergi ke rumah karantina perlindungan saksi!" seru Letnan Benjamin Roosevelt menghambur masuk ke mobil dinas diikuti oleh rekannya.Tanpa banyak bertanya, Sersan Rodney segera mengemudikan mobil dinas Ford SUV hitam itu menembus badai yang tengah melanda kota Chicago malam itu. Konsentrasinya penuh ke jalanan yang berkabut dengan hujan berangin yang cukup deras."Sepertinya ada yang telah membocorkan data saksi dan mengejar nyawa kedua saksi kita yang masih hidup. Damn it! Aku curiga Kapten Ryan Falderson mengakses data di pc kantorku melalui otoritasnya," rutuk Letnan Benjamin dengan dada yang penuh rasa amarah karena terkhianati oleh rekan sejawatnya."Polisi korup adalah yang terburuk, Letnan. Kain pel kotor untuk membersihkan lantai kotor. Huh!" timpal Sersan Rodney dengan ekspresi jijik.Benjamin menyugar rambutnya ke belakang. "Kuharap kita belum terlambat, Rod! Kita harus memindahkan kedua saksi, Julia dan Brenda keluar dari rumah karantina perlindung
Seusai menelepon petugas penjaga rumah karantina perlindungan saksi, Emily mengetik beberapa pesan percakapan dengan Letnan Benjamin Roosevelt. Situasinya semakin tak terkendali dan korban yang berkaitan dengan kasus Henry Crawford semakin banyak.Wanita itu duduk di tepi ranjang milik Rayden dan menekuri ponselnya dengan serius. Hal itu sedikit mengganggu bagi Rayden. "Letakkan ponselmu, Emily Sayang. Kita belum selesai—" "F*ck off, Ray. Pekerjaanku lebih penting!" potong Emily tanpa menoleh sedikit pun ke arah Rayden. Detik selanjutnya ponsel itu melayang jauh ke sofa. Rayden melemparkan benda pipih itu bagaikan atlet NBA melakukan three point shot. Kemudian dia melakukan sebuah manuver ala atlet WWF membanting tubuh ramping Emily dan menguncinya di bawah tubuh kekarnya."Lepas—" Emily tak akan pernah melanjutkan kata-kata protes dari mulutnya karena bibirnya tersandera oleh lumatan bibir pria Perancis itu. Tiba-tiba segalanya gelap gulita sekali lagi. Listrik gedung tempat ting
Ian McFaden menghela napas lega setelah melihat kedatangan pasangan letnan-sersan itu tiba di TKP pembantaian sebuah keluarga di Auburn. "Syukurlah kalian bisa menembus badai untuk datang kemari. Kasus pembunuhan ini jelas karena mirip dengan kasus pembunuhan ajudan jaksa beberapa hari yang lalu. Mungkin kalian tertarik menanyai tetangga korban!" ujar kepala tin forensik itu berdiri berhadapan dengan Letnan Benjamin dan Sersan Rodney.Sersan Rodney pun mengiyakan saran Ian, dia berkata, "Letnan, biarkan aku yang menginterogasi tetangga korban. Silakan mengambil foto TKP beserta korban. Permisi, Gentlemen!"Kemudian pria itu pun mendekati wanita tua tetangga korban. Dia duduk berhadapan di sofa ruang tengah tak jauh dari lokasi penembakan bersama Nyonya Suzanne Brighton."Selamat malam, Nyonya Suzanne. Perkenalkan saya Sersan Rodney Bradford. Saya mewakili Kepolisian Chicago ingin menanyakan beberapa pertanyaan mengenai kasus pembunuhan keluarga Barnes." Pria itu menghidupkan alat per
"Katakan ... kenapa kau menamparku, Emily?!" tuntut Rayden sembari menindih tubuh lembut itu di bawah badannya yang berukuran dua kali tubuh Emily.Dengan enggan wanita itu menjawab, "Kau mengabaikan perkataanku dan mulai berbuat cabul di pagi hari, Prince of Darkness! Menyingkir dari tubuhku sekarang juga sebelum lututku melesak ke atas—"Sembari tertawa Rayden melepaskan tubuh ramping itu dari dominasinya. "Menyerah bukan berarti kalah. Aku lebih menyukai ide untuk mencobanya di lain kesempatan," ucapnya sambil berjalan ke arah pantry.Sedangkan, Emily tak menyia-nyiakan kesempatan untuk kabur ke kamar mandi dan juga menelepon asisten jaksanya. Dia berdiri di depan cermin wastafel. "Halo, pagi Murat. Malam yang buruk dan aku butuh jemputan pulang sebelum berangkat ke kantor. Apa kau bisa menjemputku di lantai 50 Baltimore Eclat Tower?" ujarnya cepat dan jelas setiap patah katanya seperti dirinya ketika sedang membacakan tuntutan terdakwa di persidangan.Suara di seberang sambungan
"Bagiku sudah jelas, seorang terdakwa yang bersalah di mata hukum harus mendapat pengadilan yang sepantasnya. Sekalipun ia seorang penguasa tak tersentuh," jawab Jaksa Emily Carter.Mendengar jawaban Emily yang tegas, Letnan Benjamin pun bertepuk tangan dengan rasa salut terhadap pandangan idealis jaksa wanita itu. Dia lalu berpesan, "Aku hanya bisa menjanjikan kau akan mendapat dukungan loyalitas dariku dan Sersan Rodney. Meskipun di dalam institusiku ada banyak hama dan polisi kotor yang kehilangan nuraninya akan rasa keadilan. Sepertinya kau perlu menjerat Kapten Ryan Falderson juga bila memungkinkan, Em. Dia yang membocorkan data saksi dan membahayakan nyawa mereka.""Pengadilan institusi kepolisian dengan sidang kode etik mungkin dapat menyelesaikannya, Letnan Benjamin. Kalau Anda butuh rujukan, saya bisa memberikan ke kolega yang tepat," jawab Emily sebelum kedua petugas polisi itu berpamitan dengannya untuk melakukan interogasi terhadap Henry Crawford di markas kepolisian Chica
Langkah-langkah kaki yang cepat itu terdengar di telinga Emily yang sedang membantu putera bungsunya mengenakan pakaian di kamar pangeran cilik tersebut."Darling, aku mencari-carimu sedari tadi!" ujar Sultan Murat berdiri di ambang pintu kamar putera kedua mereka."Ini kebiasaan rutinku di sore hari, memandikan putera-putera kita. Ada apa, Yang Mulia?" sahut Emily yang baru saja usai menyisir rambut Pangeran Fazil yang berusia 3 tahun di pangkuannya.Murat pun tersenyum memandangi putera-puteranya yang terawat dengan baik oleh istri tercintanya. Akan tetapi, dia membutuhkan Emily saja saat ini. Maka dia pun berkata, "Baiklah, aku yang kurang mengerti kebiasaanmu, Emily Sayang. Hmm ... ikutlah pergi berkereta bersamaku. Ini hari yang spesial untuk kita berdua. Titipkan anak-anak kepada pengasuh mereka!"Tawa geli meluncur dari bibir ranum berbelah milik Emily. Dia merasa curiga, suaminya akan mengajaknya bernostalgia penuh kemesraan bersamanya. "Siap, Yang Mulia. Keinginan Anda adalah
Seusai menanda tangani akte pernikahan bersama pria yang telah sah menjadi suaminya baru saja di balai kota, Emily berbicara empat mata dengan papanya."Pa, bagaimana dengan pekerjaanku sebagai jaksa wilayah di Illinois?" tanya Emily merasa bingung dengan segala perubahan statusnya yang mendadak serta rencana Murat yang akan membawanya ke Istanbul secepatnya. Lincoln Carter pun menjawab segala kegundahan hati puterinya, "Emily, papa akan memberimu nasihat. Terkait pekerjaanmu, ajukan pengunduran diri sesuai alasan terfaktual. Lembaga Kehakiman United States akan memaklumi alasan pengunduran dirimu yang terkesan mendadak ini.""Tapi, Pa—""Tidak ada kata tapi. Dengarkan papa, seorang pejuang yang baik saat dia mencapai puncak dari perjalanan panjang perjuangannya akan tahu kapan harus berhenti. Maka dari itu ada istilah gantung sarung tinju, hal itu pun sama untukmu, Emily. Biarlah kenangan baik tentangmu dan segala reputasi tak bercela sepanjang karir hukum yang kau torehkan akan dii
"Dokter, izinkan saya melihat Rayden untuk terakhir kalinya!" Emily meraih tangan Dokter Wilbur Anderson."Maaf, pesan beliau tadi seandainya tidak dapat bertahan hidup, Anda tidak diizinkan untuk melihat beliau lagi. Jenazah akan dikirim segera dengan pesawat ke Paris untuk dikebumikan. Mungkin Anda lebih baik pulang saja ke rumah, permisi!" jawab dokter poli IGD tersebut lalu membalikkan badan kembali ke tempat praktiknya.Lincoln Carter memeluk puterinya yang terisak-isak karena merasa sangat bersalah untuk segala keputusan tanpa hati yang dilakukannya semenjak awal undangan makan malam dari Rayden tiba di kantornya. "Emily Darling, lepaskan apa yang telah berlalu. Ingatlah kau harus tetap tenang demi janin yang hidup di rahimmu. Ibu yang stres dapat mengalami keguguran!" hibur mantan jaksa itu sembari membelai rambut panjang Emily."Kita pulang sekarang, Pa. Bolehkah aku mengambil cuti besok pagi?" ujar Emily seraya membersit hidungnya yang buntu oleh ingus."Tentu saja boleh. Kam
"Miss Emily Carter, tolong datang ke poli IGD Rumah Sakit Umum Chicago. Pasien kecelakaan lalu lintas bernama Tuan Rayden Zinedine Dabusche membutuhkan kehadiran Anda segera. Kami menunggu kehadiran Anda!" tutur seorang wanita yang mengaku sebagai perawat jaga rumah sakit yang menerima korban tabrakan mobil mengenaskan malam ini.Mendengar permintaan wanita tak dikenal di telepon itu, Emily ragu untuk datang ke rumah sakit yang disebutkan. Namun, bila memang benar Rayden membutuhkan kehadirannya maka dia akan terbeban oleh perasaan bersalah bila menolak datang. "Baiklah, aku akan datang segera!" putus Emily mengikuti dorongan hati nuraninya. Dia berganti pakaian untuk pergi keluar rumah lalu membangunkan papanya untuk menemani dirinya ke rumah sakit.Lincoln Carter yang dibangunkan tengah malam buta oleh puterinya tidak banyak bertanya. Dia memilih untuk melihat situasi gawat apa yang tengah terjadi? Sementara naik taksi yang selalu stand by di depan apartment, Emily menjelaskan tent
Ketika Murat selesai membaca email dari Emily yang mengabarkan bahwa wanita tersebut tengah hamil 6 bulan, dia merasa gelisah. Sang sultan baru negeri Ottoman ingin memboyong kekasihnya ke istana. Namun, pemerintahannya masih dilanda rendahnya tingkat kepercayaan kepada pimpinan dirinya. Kudeta demi kudeta harus dihadapi olehnya. Ancaman pembunuhan terhadap Murat dari kubu oposisi mengintai di setiap sudut istana. Beruntungnya karena Jendral Hersek dan para petinggi militer mendukung penuh pemerintahan Murat. Jaring pengaman diperketat demi menjaga keselamatan nyawa sang sultan baru.Di ujung fajar yang merekah, Murat berdiri di balkon kamar istana yang ada di lantai 3. Pemandangan laut lepas dengan ratusan kapal terapung di semenanjung terbentang di hadapannya. Kekuasaan atas seluruh Turki ada di genggaman tangannya. Sultan muda itu menghela napas panjang sembari mencengkeram besi susuran balkon, dia berteriak kencang melampiaskan rasa tertekannya. "Emily, aku merindukanmu. Aku jug
Emily menjalani kehamilannya ditemani oleh ayah tercintanya, mantan jaksa Lincoln Carter di Chicago. Pria berumur itu yang menemani puteri tunggalnya ke mana-mana, beliau juga membantu Emily memeriksa berkas kasus yang akan disidangkan agar tidak kelelahan bekerja. Alasannya adalah dia masih bisa melakukan pekerjaan jaksa dan menganggur saat ini."Jadi kapan persidangan kasus Harvey Robinson disidangkan perdana, Emily?" tanya Lincoln Carter yang duduk bersebelahan di mobil dinas bersama puterinya. Mereka akan berangkat kerja ke balai kota Chicago pagi ini.Emily yang tadinya duduk melamunkan Murat sambil menatap sisi jalan yang dilalui mobil dinasnya lalu menoleh ke arah ayahnya, dia menjawab, "Lusa persidangan perdana kasus pembunuhan wanita prostitusi itu akan digelar. Hakim Louis Bernard Miller yang akan memimpin sidang, Pa.""Ohh, hakim muda itu. Dia pernah ingin melamarmu dulu sekitar lima tahun silam, tetapi Papa menolaknya karena tahu kamu sedang fokus mengejar kariermu sebagai
"Ismael Pasha akan tetap menjalankan fungsi sebagai koordinator pemerintahan sesuai yuridiksi kesultanan. Saya sebagai calon pewaris tahta kesultanan Turki akan menjadi kepala negara sebagai sultan," terang Murat saat berada di ruang rapat istana sultan. Di tengah ruangan, kursi singgasana dibiarkan tetap kosong karena tak ada yang dilantik sebagai pengganti sultan sebelumnya. Semua petinggi kesultanan berdiskusi dengan posisi duduk saling berhadapan. Dan Murat duduk di kursi seberang Ismael Pasha.Pria berjanggut kelabu keperakan dengan kepala botak itu menjawab Murat, "Saya hanya bawahan Anda juga, Pangeran. Jangan menjadikan saya sebagai penghalang untuk naik tahta. Anda mendapatkan kesetiaan penuh dari saya!"Sekalipun jawaban Ismael Pasha menyiratkan persetujuan dan dukungan untuk Murat. Namun, sang pangeran tetap waspada. Kedatangannya di hari pertama langsung mendapat sambutan hujan anak panah tajam. Itu artinya ada pihak yang merasa terancam dengan kehadirannya kembali di ist
Ketika taksi yang ditumpangi oleh Emily berhenti di tepi trotoar, dia pun membayar tarif sesuai argo dan membiarkan sisa kembaliannya sebagai tip untuk sopir taksi. Dengan segera Emily turun dan menutup kembali pintu taksi. Namun, dia tak menduga bahwa pria Perancis yang terobsesi kepadanya itu menguntitnya sedari tadi.Kedua lengan Rayden menangkap perut Emily dari belakang. Dan wanita itu berteriak sembari meronta, "LEPASKAN AKU, RAYDEN!" Namun, telapak tangan Rayden segera membekap mulut Emily."Melepaskanmu? Ohh ... jangan harap, aku sangat mencintaimu hingga nyaris gila, Emily. Cinta ini selalu kau pandang sebelah mata dan kau abaikan begitu saja! Kini setelah pria Turki brengsek itu pergi menjauh, waktunya kita rujuk kembali sebagai sepasang kekasih yang mesra seperti dulu!" tolak Rayden sambil mengangkat tubuh Emily hingga menggantung tak menapak ke tanah."Tolong ... tolong ... lepaskan aku!" jerit Emily sekuat tenaganya sebelum Rayden memasukkannya ke mobil. Sersan Rodney ya
Sementara Murat merunduk di sekelilingnya para prajurit serta petinggi militer melindunginya dari hujan anak panah. Dia beruntung karena serangan mendadak itu gagal. Dia menduga para teroris itu yang kemungkinan besar adalah suruhan pihak yang tak menghendaki kepulangannya ke Turki."Situasinya sudah aman, Pangeran Murat. Mari kita masuk ke paviliun untuk menemui kakek Anda," ajak Jenderal Hersek dengan wajah dicekam rasa panik.Maka Murat pun segera bergegas masuk ke kediaman kakeknya Zaganos. Namun, yang pertama dia temui justru sang nenek di ruang tamu bagian depan Paviliun Taman Narwastu. "Cucuku, selamat datang kembali ke rumahmu!" seru Freya Bey. Dengan penuh kerinduan dia memeluk erat Murat yang bertubuh jangkung dan lebih tinggi darinya."Nenek, maafkan aku yang begitu lama meninggalkan istana. Apa kabar Nenek dan kakek baik-baik saja?" ujar Murat memeriksa keadaan neneknya dari ujung kepala hingga kaki. "Segalanya baik, hanya saja usia kami makin senja. Beruntung sebelum me