Seperti yang dikatakan Henry Crawford tadi siang, orang suruhannya menjemput Emily di apartment wanita itu. Bahkan tepat di depan pintu unitnya.
Hal itu membuat Emily sedikit banyak merasa ngeri. Pria yang akan berkencan dengannya malam ini bukanlah pria sembarangan. Dia tidak takut karena dia yakin pria itu jauh lebih menginginkan bercinta dengannya dibanding menghilangkan nyawanya.
Mereka pernah memiliki hubungan sebagai sepasang kekasih selama beberapa tahun. Tetapi, kesibukan Henry sebagai calon senator berikutnya menggantikan ayahnya yang menjabat sebagai senator saat inilah yang membuat mereka berdua mengambil jalan yang berlawanan arah.
Namun, Emily tidak pernah ambil pusing dengan hal itu. Ketika terlalu banyak pilihan pria untuk berbagi sisi romantisme bersamanya. Dia tidak mencari dan tidak menawarkan dirinya seperti seorang pelacur. Pria-pria itu yang mendekatinya, mengejar perhatiannya yang mahal dari waktunya yang berharga.
"Nona Emily, silakan ikut saya ke mobil. Tuan Crawford sudah menantikan kehadiran Anda." Pria yang memakai setelan jas hitam itu mengawal Emily menuju limosine di depan pintu lobi apartmentnya.
Emily mengenakan gaun sutera merah dengan belahan punggung rendah berkerah halterneck yang memperlihatkan sebagian belahan dadanya. Gaun itu sepanjang mata kakinya dengan belahan setinggi setengah pahanya. Penampilannya anggun dan seksi, membuat semua mata yang menatapnya tak berkedip ketika dia melenggang melewati lobi apartmentnya.
Dia naik ke dalam limosine itu sendirian. Pria suruhan Hendry duduk di samping kursi pengemudi.
Mobil itu pun melaju membelah keramaian lalu lintas. Emily menatap lampu-lampu kota Chicago yang sudah dinyalakan menerangi kegelapan malam. Dia pun teringat akan ayahnya, sudah hampir sebulan dia tidak memberi kabar pada ayahnya. Kesibukan persidangan yang jadwalnya sangat padat membuatnya terlupa pada keluarga satu-satunya yang tersisa di dunia ini.
Mama Emily sudah berpulang mendahului mereka 2 tahun yang lalu karena penyakit kanker darah yang sudah mencapai stadium 4. Baik Emily maupun Jaksa Lincoln, ayahnya, sudah merelakan kepergian wanita yang sangat mereka kasihi itu. Mereka tak tega melihat penderitaan yang terkasih karena penyakit yang menggerogoti tubuhnya.
Setelah 30 menit perjalanan, Emily pun tiba di salah satu gedung pencakar langit di kota Chicago. Dia turun dari limosine dan langsung menuju ke lift. Emily menekan tombol angka 50, lantai tempat penthouse Henry Crawford berada.
Ketika pintu lift terbuka, pria tampan itu berdiri di hadapannya. Emily pun tertawa renyah, dia merasa tersanjung Henry menjemputnya hingga pintu lift. Mungkin pengawalnya yang telah memberitahukan kedatangannya pada tuannya itu.
"Selamat malam, Cantik. Kau begitu memukau malam ini. Aku tak sabar untuk menikmati malam panjang ini bersamamu," ujar Hendry Crawford seraya mengulurkan tangan kanannya ke hadapan Emily seperti seorang gentlemen. Dia memakai setelan jas warna hitam dengan dalaman kemeja abu-abu tua tanpa dasi.
"Selamat malam, Henry. Kau sangat tampan malam ini. Apa kita benar-benar hanya akan makan malam di penthouse-mu? Kau rapi sekali ...," balas Emily sembari melangkah bersisian dengan pria itu menuju penthouse yang super mewah itu.
Di lantai 50 yang merupakan lantai teratas dari gedung pencakar langit itu, hanya ada 2 penthouse. Yang satu milik Henry Crawford dan satunya dia tidak tahu milik siapa karena belum pernah berpapasan dengan sang empunya penthouse super mewah itu, yang jelas pasti orang super kaya juga.
"Kita hanya akan berada di penthouse-ku. Aku tidak ingin berbagi pemandangan indah tubuhmu dengan orang lain." Hendry membuka pintu penthouse-nya mempersilakan Emily untuk masuk kemudian menutupnya lagi.
Mereka berjalan bergandengan tangan menuju ke meja makan dimana sudah tersaji begitu banyak menu makan malam mewah masakan chef. Seorang pramusaji berdiri di samping meja makan untuk melayani acara makan malam mereka berdua, sebuah romantic dinner.
Emily hanya tersenyum menatap Henry ketika mereka sudah duduk bersisian di meja makan bundar itu.
"Kita mulai saja makan malamnya, Emily Sayang. Tolong tuangkan champagne-nya, Bernie!" ucap Henry dengan elegan.
Mereka berdua pun mendentingkan gelas dan mengatakan 'cheers'. Dengan penuh perhatian, Henry mengambilkan menu appetizer ke piring Emily, sebuah canape udang alpokat dengan keju.
"Masakan chef ini sungguh lezat, Henry," puji Emily setelah menghabiskan canape itu.
"Ya, dia memang rising star chef, apa kau pernah mendengar namanya ... Chef Olaf Loubotin. Dia kenalanku, pria yang sangat baik dan sangat berbakat di bidang kuliner," ujar Henry menceritakan chef yang menyiapkan makan malam mereka berdua.
"Biarkan aku mengambil makananku sendiri, Henry. Aku tak ingin merepotkanmu untuk melayaniku terus-menerus," sergah Emily ketika Henry akan mengambilkannya menu main course.
"Baiklah, silakan saja, Em. Jangan sungkan ya," balas Henry menyeringai geli.
Emily pun mengambil sepotong lamb chop panggang dengan mashed potato dan sauted vegetables. Ternyata rasanya enak sekali, dia akan mengingat nama chef tadi, Chef Olaf Loubotin. Nanti dia akan meminta nomor kontaknya pada Henry bila suatu hari dia ingin makan malam bersama ayahnya.
Seusai makan malam, Henry menyuruh pramusaji itu meninggalkan mereka berdua. Dia mengajak Emily duduk di sofa sambil menonton televisi yang menyiarkan acara berita dalam negeri. Wajar karena dia harus selalu update dengan berita sosial politik sebagai calon senator berikutnya.
"Em, bolehkah aku bertanya sesuatu yang agak serius?" tanya Henry sambil merengkuh tubuh ramping Emily di sisinya saat mereka duduk di sofa.
"Tanyakan saja, Henry."
"Apa kau mau menerimaku seandainya aku melamarmu untuk menjadi istriku?" ucap Henry dengan suara baritonnya yang merdu.
Emily sontak menoleh terkejut dengan pertanyaan Henry. Dia terperangah seakan tak percaya dengan apa yang dia dengar.
"Apa aku tidak salah dengar, Henry? Kau ingin melamarku menjadi istrimu?" ulang Emily.
Hendry merapikan rambut cokelat panjang bergelombang milik Emily ke sisi kiri wajahnya lalu mengecup ceruk leher wanita itu yang beraroma parfum mahal.
"Kau tidak salah dengar, Em. Aku serius."
Dengan perlahan Emily beringsut menjauh dari tubuh Henry. "Aku tak bisa menerima lamaranmu, Henry. Maafkan aku ...," jawab Emily dengan raut wajah datar. Dia sangat menyukai kebebasannya, menikah berarti terikat pada satu pria seumur hidupnya. Padahal dia mudah bosan. Bercerai tak semudah yang dipikirkan orang dan bukan solusi bila suatu ketika dia bosan.
Hendry memajukan tubuhnya hingga berada di atas tubuh Emily yang terbaring di sofa karena terdesak ke belakang. Dia membelai wajah Emily dengan punggung tangannya. "Kenapa tidak bisa? Aku sanggup memuaskanmu di ranjang, Cantik. Status kita di masyarakat pun sepadan, tentu akan menjadi pasangan idaman. Kau cantik dan cerdas serta berkarir gemilang sebagai jaksa, sedangkan aku pria tampan dan berkuasa, calon senator berikutnya. Apa lagi yang membuatmu ragu?"
Bibir Henry menyusuri garis rahang Emily lalu turun ke lehernya yang jenjang dan terus turun hingga gundukan kembar yang membulat penuh di dada wanita itu.
Sentuhan itu memang membuat Emily sedikit melayang rasanya. Namun, dia tidak ingin memiliki suami dalam waktu dekat. Dia memutuskan untuk bersikap elegan, tidak ada gunanya menjawab tawaran Henry dengan frontal. Itu akan membuatnya mengalami kesulitan di masa depan, pikir Emily.
"Henry ... bisakah kita membicarakannya nanti saja. Aku ingin menikmati malam indah ini bersamamu. Apa boleh?" rayu Emily berkelit.
Pria itu tentunya tidak dapat menolak permintaan Emily yang serasa melambungkan angannya. Wanita yang mempesona mengajaknya bercinta, apa dia akan melewatkan kesempatan seperti ini begitu saja, pikirnya.
Henry pun menggendong tubuh Emily yang ramping ke ranjangnya. Dia akan memastikan wanita itu puas dan menerima lamaran pernikahannya.
Dia melepaskan setelan jas dan kemajanya hingga seluruh tubuhnya polos sembari menatap Emily yang sedang tersenyum menunggunya di atas ranjang. Seingatnya Emily adalah partner ranjang yang aktif dan menyenangkan, bukan tipe wanita pemalu dan sangat berpengalaman memperlakukan seorang pria yang bergairah.
Emily pun membiarkan tangan Henry menelusuri tubuhnya dan melepaskan gaun merahnya yang menantang itu. Tangannya pun menyentuh tubuh Henry dengan belaian lembut dari belakang kepala pria itu turun ke leher lalu dada dan perut Henry yang berotot naik dan turun dengan menggoda. Menatap mata biru pria itu sembari tersenyum menggoda. Mereka berpagutan bibir dengan lapar, menautkan lidah satu sama lain sembari saling menyentuh menggoda satu sama lain.
Henry membawa tangan Emily untuk menyentuh bukti gairahnya yang begitu kuat dan siap untuk membawanya ke puncak keindahan percintaan mereka malam ini. Dia mendesis merasakan sentuhan tangan Emily yang begitu lembut dan berpengalaman. Dia merasa tak tahan lagi untuk menyatukan asa yang ada. Maka dia pun melebarkan paha Emily dengan lututnya dan memposisikan miliknya di liang cinta wanita itu.
"Emily ... apa kau siap?"
Selepas tengah malam, Emily melepaskan tubuhnya dari pelukan Henry Crawford. Pria itu memang selalu memaksakan dirinya sendiri hingga batas kekuatannya ketika bercinta dengannya. Emily rasa Henry tidak akan terbangun hingga pagi tiba ketika matahari sudah tinggi.Dia pun membersihkan tubuhnya di bawah shower lalu merapikan make-up di wajahnya supaya tidak tampak terlalu kacau dan menimbulkan penilaian buruk dari orang yang berpapasan dengannya.Ketika Emily merasa dirinya sudah rapi, dia pun meninggalkan penthouse milik Henry Crawford untuk pulang ke apartmentnya sendiri dengan taksi hotel.Lift hotel mulai naik dari lantai lobi hingga angka-angka di atas tombol lift bertambah tinggi. Dia berada di lantai 50, agak lama rasanya menunggu hingga lift itu menjemputnya.Akhirnya, angka 50 itu pun muncul. Emily pun bersiap untuk masuk ke lift dan dia bertatapan dengan seorang pria yang menurutnya tampan di atas rata-rata. Pria itu tidak turun ke lantai 50
Rayden hanya bergeming menatap wanita cantik yang terbaring di bawah tubuhnya dalam kondisi polos itu. "Sayang sekali, aku belum pernah mendengar namamu, Cantik. Kupikir kau PSK yang pulang melayani pelangganmu tadi saat bertemu di lift ...," ujar Rayden sengaja menutupi keterkejutannya tadi."PSK, matamu!" umpat Emily meradang.Pria yang menindih tubuhnya ini benar-benar membuatnya hilang kendali pada apapun. Emily cenderung bersikap kasar dan kehilangan ketenangan ketika berbicara dengannya. Dia rasanya tidak ingin mengenal pria misterius itu."Minggir dari tubuhku, Pria Sialan Bangsat Hidup!""Tidak! Aku masih menginginkanmu ...," balas pria itu melumat bibir Emily tanpa ampun sembari mengunci setiap sisi tubuh gadis itu dengan tubuhnya."Aku tidak ingin!" Emily meronta berusaha melepaskan dirinya dari kungkungan pria misterius itu.Emily berpikir cepat, apa yang harus dia katakan agar ego pria itu terluka dan akan melepaskann
Mendengar deheman pria yang ada di dalam lift, mereka berdua pun langsung saling menjauh lalu bergiliran masuk ke dalam lift.Rayden melingkarkan lengannya di pinggang Emily, sementara wanita itu berusaha melepaskan tangan Rayden dari pinggangnya.Pria lain di dalam lift itu mengamati mereka berdua dengan agak bingung."Apa kalian suami istri?" tanyanya penasaran."Bukan," jawab Emily cepat.'Lift ini begitu lama turun ke lobi, sampai kapan aku harus disandera oleh pria gila ini,' pikir Emily.Mereka bertiga turun hingga lantai lobi. Pria asing di lift yang sepertinya orang Turki itu berjalan ke pintu keluar lobi sembari memperhatikan Emily dan pria satunya dengan penasaran. Ini bukan waktu orang normal berkeliaran. Saat ini pukul 03.30, lewat malam dan belum cukup pagi untuk beraktivitas. Dan ... mereka bukan suami istri, selain itu tak ada tanda-tanda kesamaan genetik di antara kedua orang itu."Emily, tunggu!" ser
"TOK TOK TOK." Suara ketukan jamak di pintu kantor jaksa Emily Rose Carter terdengar nyaring."Masuk saja," sahut Emily santai. Dia sedang menekuri berkas kasus kriminal yang sudah mengantre untuk disidangkan dalam waktu dekat, sebuah kasus pembunuhan berencana yang berkaitan dengan perebutan harta warisan. Dia telah menarik kesimpulan praktis ketika membaca data mentah dari catatan saksi dan bukti. Tugasnya adalah mengajukan tuntutan hukum pidana serta denda kepada terdakwa, bukan menyelidiki sekalipun terkadang kasus yang pelik pun membutuhkan campur tangannya secara tidak langsung bekerja sama dengan pihak kepolisian Chicago.Seorang pria muda bertampang keturunan Timur Tengah memasuki ruang kantornya bersama Brendan Nieson, asisten Emily. Kedua pria berbeda generasi itu duduk bersebelahan di seberang meja kerja Emily.Ingatan Emily tentang wajah pria muda bercambang dan berkumis tipis itu masih hangat dalam benaknya, dini hari tadi mereka bertemu di lift Baltimore Eclat Tower. Na
Kantor kepolisian Chicago selalu ramai dengan aktivitas para penegak hukum berlencana dan tentunya para kriminal baik yang kelas teri maupun kelas kakap. Semua bertumpah ruah di gedung berlantai 10 itu menimbulkan suara berdengung bagai kumpulan lebah yang sibuk. Dering telepon tanpa jeda membuat stres para penegak hukum itu meningkat, tidak jarang mereka harus mengonsumsi obat tidur hanya untuk meredakan migren dan beristirahat beberapa jam. Berhenti dari kewajiban mereka di jam-jam tak normal dimana orang lain telah terlelap ke alam mimpi.Dan di sanalah Emily Rosalyn Carter saat ini, langkah ringan kakinya di atas high heels 10 cm mengetuk-ngetuk lantai kayu di koridor department kriminal Kepolisian Chicago hingga terhenti di depan sebuah pintu tertutup bertuliskan Detektif Ryan Falderson. Wanita itu tersenyum tipis sembari mengetok pintu kantor sang kapten.Pria itu menyuruhnya masuk dengan suara bernada tak sabar dari dalam ruangan. Dengan perlahan Emily menarik gagang pintu di
"Baiklah, Ryan. Kau memberiku cukup banyak PR kali ini, mungkin aku harus pulang ke kantorku sendiri sekarang untuk segera mengerjakannya!" pamit Emily seraya berpelukan dengan Kapten Ryan Falderson sebelum meninggalkan ruangan 3 x 4 meter persegi bercat dinding putih membosankan itu.Saat Emily keluar dari ruang kerja Kapten Ryan Falderson, kedua ajudannya telah menunggu di bangku yang ada di koridor depan ruangan itu."Kita kembali ke kantorku, Ron, Thomas!" ucap Emily lalu berjalan mendahului kedua pria itu menuju ke mobil dinasnya yang terparkir di depan gedung Kepolisian Chicago.Sesampainya di kantornya, Emily tak menduga dia akan kedatangan tamu yang memang sudah dia rindukan."Papaaa ..., apa sudah lama menungguku?" sapa Emily lalu memeluk mantan jaksa legendaris yang telah memasuki masa pensiunnya itu.Lincoln John Carter masih tampak gagah di usianya yang menginjak kepala 6. "Hey, Gadis Cantik Papa! Dari mana saja kau, Emily?" balasnya."Dari Kantor Kepolisian Chicago, Pa. A
Aroma tubuh pria itu bercampur parfum mahal yang terhirup hidung Emily bersama air hangat shower seolah membuat paru-parunya sesak hingga ia terbatuk-batuk hebat.Tatapan nanar mata Emily mengenali siapa pria itu. 'Bagaimana dia bisa menerobos masuk ke apartmentku?!' batin Emily panik saat tubuh kekar pria itu menghimpitnya hingga punggungnya membentur dinding kamar mandi."Menerobos kediaman seorang jaksa adalah tindakan kriminal berat, kuperingatkan kepadamu—"Pria itu terkekeh dengan nada menghina lalu menjawab perkataan Emily, "Ohh ... jadi pasal-pasal hukum itu akan kau bacakan kepadaku sekarang?! Aku akan dengan senang hati mendengarkannya, tapi dengan satu syarat—""Hah? Syarat ...!" tukas Emily geli dengan nada sarkastis memalingkan wajahnya menghindari tatapan tajam nan menggoda dari pria yang tak mau menyebutkan nama kepadanya."Bacakan pasal-pasal hukum itu sambil mendesah di bawah tubuhku, Jaksa Emily Carter yang cantik. Apa kau setuju?" ujar pria dengan suaranya yang bera
Pukul 09.00 PM, Moira Jackson sedang mengajak Fluffy, Golden Retrievernya untuk jalan-jalan rutin di sepanjang tepian Sungai Chicago yang biasanya diwarnai hijau pada St. Patrick's Day. Untungnya setelah hujan ringan tadi, cuaca cerah juga jadi rutinitasnya membawa Fluffy buang air besar di luar flat sewaannya bisa terlaksana. Sinar lampu senternya dia pancarkan ke sekeliling jalan yang mereka lewati hingga ketika Moira menyinari ke permukaan air sungai berpermukaan tenang itu, dia merasa ada benda hanyut yang berbentuk memanjang berwarna merah tua.Rasa penasarannya pun muncul dan dia pun menarik tali kekang anjingnya menuju ke dekat sungai. "Sshhh ... Fluffy! Kemari sebentar—" serunya bernada tegas yang diikuti oleh Fluffy dengan bersemangat."AAAAAARRRHHHH!" jerit Moira Jackson ketika menyadari bahwa benda terapung berbentuk panjang itu tak lain adalah cardigan merah yang dikenakan seorang wanita yang dia yakin tak bernyawa lagi."Ohh Gosh ... ohh Gosh! A–aku harus panggil 911!" s
Langkah-langkah kaki yang cepat itu terdengar di telinga Emily yang sedang membantu putera bungsunya mengenakan pakaian di kamar pangeran cilik tersebut."Darling, aku mencari-carimu sedari tadi!" ujar Sultan Murat berdiri di ambang pintu kamar putera kedua mereka."Ini kebiasaan rutinku di sore hari, memandikan putera-putera kita. Ada apa, Yang Mulia?" sahut Emily yang baru saja usai menyisir rambut Pangeran Fazil yang berusia 3 tahun di pangkuannya.Murat pun tersenyum memandangi putera-puteranya yang terawat dengan baik oleh istri tercintanya. Akan tetapi, dia membutuhkan Emily saja saat ini. Maka dia pun berkata, "Baiklah, aku yang kurang mengerti kebiasaanmu, Emily Sayang. Hmm ... ikutlah pergi berkereta bersamaku. Ini hari yang spesial untuk kita berdua. Titipkan anak-anak kepada pengasuh mereka!"Tawa geli meluncur dari bibir ranum berbelah milik Emily. Dia merasa curiga, suaminya akan mengajaknya bernostalgia penuh kemesraan bersamanya. "Siap, Yang Mulia. Keinginan Anda adalah
Seusai menanda tangani akte pernikahan bersama pria yang telah sah menjadi suaminya baru saja di balai kota, Emily berbicara empat mata dengan papanya."Pa, bagaimana dengan pekerjaanku sebagai jaksa wilayah di Illinois?" tanya Emily merasa bingung dengan segala perubahan statusnya yang mendadak serta rencana Murat yang akan membawanya ke Istanbul secepatnya. Lincoln Carter pun menjawab segala kegundahan hati puterinya, "Emily, papa akan memberimu nasihat. Terkait pekerjaanmu, ajukan pengunduran diri sesuai alasan terfaktual. Lembaga Kehakiman United States akan memaklumi alasan pengunduran dirimu yang terkesan mendadak ini.""Tapi, Pa—""Tidak ada kata tapi. Dengarkan papa, seorang pejuang yang baik saat dia mencapai puncak dari perjalanan panjang perjuangannya akan tahu kapan harus berhenti. Maka dari itu ada istilah gantung sarung tinju, hal itu pun sama untukmu, Emily. Biarlah kenangan baik tentangmu dan segala reputasi tak bercela sepanjang karir hukum yang kau torehkan akan dii
"Dokter, izinkan saya melihat Rayden untuk terakhir kalinya!" Emily meraih tangan Dokter Wilbur Anderson."Maaf, pesan beliau tadi seandainya tidak dapat bertahan hidup, Anda tidak diizinkan untuk melihat beliau lagi. Jenazah akan dikirim segera dengan pesawat ke Paris untuk dikebumikan. Mungkin Anda lebih baik pulang saja ke rumah, permisi!" jawab dokter poli IGD tersebut lalu membalikkan badan kembali ke tempat praktiknya.Lincoln Carter memeluk puterinya yang terisak-isak karena merasa sangat bersalah untuk segala keputusan tanpa hati yang dilakukannya semenjak awal undangan makan malam dari Rayden tiba di kantornya. "Emily Darling, lepaskan apa yang telah berlalu. Ingatlah kau harus tetap tenang demi janin yang hidup di rahimmu. Ibu yang stres dapat mengalami keguguran!" hibur mantan jaksa itu sembari membelai rambut panjang Emily."Kita pulang sekarang, Pa. Bolehkah aku mengambil cuti besok pagi?" ujar Emily seraya membersit hidungnya yang buntu oleh ingus."Tentu saja boleh. Kam
"Miss Emily Carter, tolong datang ke poli IGD Rumah Sakit Umum Chicago. Pasien kecelakaan lalu lintas bernama Tuan Rayden Zinedine Dabusche membutuhkan kehadiran Anda segera. Kami menunggu kehadiran Anda!" tutur seorang wanita yang mengaku sebagai perawat jaga rumah sakit yang menerima korban tabrakan mobil mengenaskan malam ini.Mendengar permintaan wanita tak dikenal di telepon itu, Emily ragu untuk datang ke rumah sakit yang disebutkan. Namun, bila memang benar Rayden membutuhkan kehadirannya maka dia akan terbeban oleh perasaan bersalah bila menolak datang. "Baiklah, aku akan datang segera!" putus Emily mengikuti dorongan hati nuraninya. Dia berganti pakaian untuk pergi keluar rumah lalu membangunkan papanya untuk menemani dirinya ke rumah sakit.Lincoln Carter yang dibangunkan tengah malam buta oleh puterinya tidak banyak bertanya. Dia memilih untuk melihat situasi gawat apa yang tengah terjadi? Sementara naik taksi yang selalu stand by di depan apartment, Emily menjelaskan tent
Ketika Murat selesai membaca email dari Emily yang mengabarkan bahwa wanita tersebut tengah hamil 6 bulan, dia merasa gelisah. Sang sultan baru negeri Ottoman ingin memboyong kekasihnya ke istana. Namun, pemerintahannya masih dilanda rendahnya tingkat kepercayaan kepada pimpinan dirinya. Kudeta demi kudeta harus dihadapi olehnya. Ancaman pembunuhan terhadap Murat dari kubu oposisi mengintai di setiap sudut istana. Beruntungnya karena Jendral Hersek dan para petinggi militer mendukung penuh pemerintahan Murat. Jaring pengaman diperketat demi menjaga keselamatan nyawa sang sultan baru.Di ujung fajar yang merekah, Murat berdiri di balkon kamar istana yang ada di lantai 3. Pemandangan laut lepas dengan ratusan kapal terapung di semenanjung terbentang di hadapannya. Kekuasaan atas seluruh Turki ada di genggaman tangannya. Sultan muda itu menghela napas panjang sembari mencengkeram besi susuran balkon, dia berteriak kencang melampiaskan rasa tertekannya. "Emily, aku merindukanmu. Aku jug
Emily menjalani kehamilannya ditemani oleh ayah tercintanya, mantan jaksa Lincoln Carter di Chicago. Pria berumur itu yang menemani puteri tunggalnya ke mana-mana, beliau juga membantu Emily memeriksa berkas kasus yang akan disidangkan agar tidak kelelahan bekerja. Alasannya adalah dia masih bisa melakukan pekerjaan jaksa dan menganggur saat ini."Jadi kapan persidangan kasus Harvey Robinson disidangkan perdana, Emily?" tanya Lincoln Carter yang duduk bersebelahan di mobil dinas bersama puterinya. Mereka akan berangkat kerja ke balai kota Chicago pagi ini.Emily yang tadinya duduk melamunkan Murat sambil menatap sisi jalan yang dilalui mobil dinasnya lalu menoleh ke arah ayahnya, dia menjawab, "Lusa persidangan perdana kasus pembunuhan wanita prostitusi itu akan digelar. Hakim Louis Bernard Miller yang akan memimpin sidang, Pa.""Ohh, hakim muda itu. Dia pernah ingin melamarmu dulu sekitar lima tahun silam, tetapi Papa menolaknya karena tahu kamu sedang fokus mengejar kariermu sebagai
"Ismael Pasha akan tetap menjalankan fungsi sebagai koordinator pemerintahan sesuai yuridiksi kesultanan. Saya sebagai calon pewaris tahta kesultanan Turki akan menjadi kepala negara sebagai sultan," terang Murat saat berada di ruang rapat istana sultan. Di tengah ruangan, kursi singgasana dibiarkan tetap kosong karena tak ada yang dilantik sebagai pengganti sultan sebelumnya. Semua petinggi kesultanan berdiskusi dengan posisi duduk saling berhadapan. Dan Murat duduk di kursi seberang Ismael Pasha.Pria berjanggut kelabu keperakan dengan kepala botak itu menjawab Murat, "Saya hanya bawahan Anda juga, Pangeran. Jangan menjadikan saya sebagai penghalang untuk naik tahta. Anda mendapatkan kesetiaan penuh dari saya!"Sekalipun jawaban Ismael Pasha menyiratkan persetujuan dan dukungan untuk Murat. Namun, sang pangeran tetap waspada. Kedatangannya di hari pertama langsung mendapat sambutan hujan anak panah tajam. Itu artinya ada pihak yang merasa terancam dengan kehadirannya kembali di ist
Ketika taksi yang ditumpangi oleh Emily berhenti di tepi trotoar, dia pun membayar tarif sesuai argo dan membiarkan sisa kembaliannya sebagai tip untuk sopir taksi. Dengan segera Emily turun dan menutup kembali pintu taksi. Namun, dia tak menduga bahwa pria Perancis yang terobsesi kepadanya itu menguntitnya sedari tadi.Kedua lengan Rayden menangkap perut Emily dari belakang. Dan wanita itu berteriak sembari meronta, "LEPASKAN AKU, RAYDEN!" Namun, telapak tangan Rayden segera membekap mulut Emily."Melepaskanmu? Ohh ... jangan harap, aku sangat mencintaimu hingga nyaris gila, Emily. Cinta ini selalu kau pandang sebelah mata dan kau abaikan begitu saja! Kini setelah pria Turki brengsek itu pergi menjauh, waktunya kita rujuk kembali sebagai sepasang kekasih yang mesra seperti dulu!" tolak Rayden sambil mengangkat tubuh Emily hingga menggantung tak menapak ke tanah."Tolong ... tolong ... lepaskan aku!" jerit Emily sekuat tenaganya sebelum Rayden memasukkannya ke mobil. Sersan Rodney ya
Sementara Murat merunduk di sekelilingnya para prajurit serta petinggi militer melindunginya dari hujan anak panah. Dia beruntung karena serangan mendadak itu gagal. Dia menduga para teroris itu yang kemungkinan besar adalah suruhan pihak yang tak menghendaki kepulangannya ke Turki."Situasinya sudah aman, Pangeran Murat. Mari kita masuk ke paviliun untuk menemui kakek Anda," ajak Jenderal Hersek dengan wajah dicekam rasa panik.Maka Murat pun segera bergegas masuk ke kediaman kakeknya Zaganos. Namun, yang pertama dia temui justru sang nenek di ruang tamu bagian depan Paviliun Taman Narwastu. "Cucuku, selamat datang kembali ke rumahmu!" seru Freya Bey. Dengan penuh kerinduan dia memeluk erat Murat yang bertubuh jangkung dan lebih tinggi darinya."Nenek, maafkan aku yang begitu lama meninggalkan istana. Apa kabar Nenek dan kakek baik-baik saja?" ujar Murat memeriksa keadaan neneknya dari ujung kepala hingga kaki. "Segalanya baik, hanya saja usia kami makin senja. Beruntung sebelum me