Pagi itu Senator Gordon Crawford menggebrak meja makan dengan kemarahan yang menyala-nyala, dia pun berteriak pada putera tunggalnya, Henry.
"Henry, bagaimana bisa kau dipanggil ke persidangan hari ini?! Itu bisa merusak citramu sebagai calon senator potensial berikutnya. Kita tidak membutuhkan kehebohan publikasi yang negatif saat ini," ujar Gordon dengan nada tak sabar dan penuh amarah.
Pria muda berparas tampan itu tidak terpengaruh dengan amarah ayahnya. Dia seolah menjalani pagi yang tenang tanpa badai emosi menyentuh wajahnya yang rupawan. Henry adalah kandidat terkuat calon pengganti posisi senator ayahnya yang telah memegang posisi bergensi dan sarat kekuasaan itu selama 3 periode.
Bukan karena Gordon Crawford orang yang bersih dari kejahatan, tetapi hal itu dikarenakan koneksinya yang kuat yang dapat menyimpan segala kejahatannya tetap terpendam di bawah tanah. Menghilangkan nyawa adalah hal yang remeh dan biasa bagi Gordon Crawford. Tapi di mata publik, dia adalah pejabat loyal dan berhati mulia.
"Jaksa penuntut umum yang menangani kasusmu itu terkenal dengan reputasinya yang bersih tak bercacat sedikit pun. Emily Rose, puteri tunggal jaksa legendaris, Lincoln Carter. Bukankah kalian pernah dekat satu sama lain? Kenapa kau tidak memintanya untuk menolak gugatan kasusmu, Henry?" celoteh Gordon panjang lebar pada puteranya yang hanya dibalas dengan senyuman.
Henry tidak ingin membuat ayahnya lebih bad mood lagi pagi ini. Dia pun akhirnya angkat bicara, "Dad, aku memang dekat dengan Emily. Tapi dia sekeras tembok, aku sangat mengenalnya. Dan ... aku menyukainya. Dia pasangan yang sepadan untukku seandainya aku mencalonkan diri sebagai senator tahun depan. Biarkan dia membacakan tuntutan hukumnya untukku kali ini. Kasus ini hanyalah kasus suap pegawai negeri yang ringan. Kita bisa membayar dendanya nanti. Aku akan membereskan sisanya, tidak akan ada wartawan yang berani meliput berita ini, jadi tenanglah. Jangan merusak pagi yang indah ini dengan amarahmu, Dad."
Setelah menjawab pertanyaan ayahnya, Henry pun meminum kopinya lalu berpamitan untuk berangkat ke tempat pengadilan kasusnya pagi ini.
Sesampainya di depan balai kota Chicago, puluhan wartawan mengerubungi mobilnya. Kilatan lampu blitz kamera dengan rakus mengambil potret pria tampan dan terkenal itu. Henry memakai kaca mata hitam dengan stylish tak terpengaruh dengan cahaya menyilaukan mata itu. Dia tidak melayani pertanyaan wartawan satu pun, para pengawalnya yang bertubuh kekar membukakan jalan untuknya masuk ke ruang persidangan.
Henry pun membuka kaca mata hitamnya dan menyimpan di saku jas hitamnya yang mahal. Dia duduk menunggu sidang dengan tenang di kursi pihak terdakwa bersama para pengacaranya.
Pintu ruang persidangan pun terbuka lebar dengan suara keras. Hakim dan jaksa penuntut umum masuk ke ruang sidang lalu duduk di tempatnya masing-masing. Suasana ruangan persidangan mendadak hening.
Ketukan palu hakim memulai jalannya persidangan pagi itu. Nama Henry Crawford dipanggil untuk duduk di kursi terdakwa di depan hakim. Tanpa berlama-lama, Emily Rose menanyai saksi perkara kasus penyuapan pejabat tinggi negara terkait dengan asuransi jaminan sosial tenaga kerja pemerintahan.
"Tuan Albert Jenkins, apakah benar Anda mentransfer sejumlah uang ke rekening Tuan Henry Crawford?" tanya Emily dengan tatapan mata tajamnya pada saksi.
Pria itu gugup dan menggosok-gosok telapak tangannya yang basah. "Iya." jawabnya lirih.
"Tidak ada pertanyaan lagi, Hakim Yang Terhormat."
Kasus penyuapan itu sudah memiliki bukti kuat dengan ditambah jawaban konfirmasi saksi. Tanpa perlu berbelit-belit, vonisnya sudah jelas.
Emily membacakan tuntutan hukum, pasal beserta sanksi hukum untuk Henry Crawford. Hakim pun menyetujui pengajuan itu dan mengetuk palunya tanda putusan perkara hukum selesai.
Sidang pun selesai tanpa drama yang tidak diperlukan. Emily mengikuti Hakim keluar dari ruang sidang.
Hakim Malcom pun berkata pada Emily, "Em, kau sungguh berani menerima kasus suap putera Senator Crawford. Gordon Crawford, pria itu memiliki banyak koneksi, kau harus berhati-hati karena telah menyinggungnya."
Emily tidak bergeming, dia pun menjawab Hakim Malcom, "Tentu, Mr. Malcom. Saya akan berhati-hati."
Mereka pun berpencar ke ruang kerja masing-masing.
Setelah masuk ke ruang kerjanya, Emily melepas
pakaian jaksanya. Menampilkan baju seksinya seperti biasa.Dia mengambil Mr. Long, ular Boa albino yang sudah dia pelihara selama 5 tahun belakangan ini. Dia memeliharanya di sebuah akuarium di samping meja kerjanya. Ular itu jinak pada Emily dan sangat suka membelit pinggang ramping Emily dengan tubuh panjangnya serta menaruh kepalanya di bahu Emily, menghadap ke arah yang sama dengan Emily, membuat Emily nampak seperti ratu ular.
Emily kadang membiarkan Mr. Long berada di tubuhnya hingga berjam-jam sambil melakukan pekerjaannya membaca kasus-kasus yang mampir ke meja kerjanya.
"Tok tok tok."
"Silakan masuk," jawab Emily sambil menekuri berkas kasus yang akan dia sidangkan besok.
Seorang pria necis berkacamata hitam masuk ke ruang kantor Emily. "Em!" panggilnya.
Emily pun sontak mendongakkan wajahnya ke arah suara yang memanggilnya. "Henry!"
Dengan segera Emily pun berdiri bersama Mr. Long di tubuhnya mendekati Henry Crawford untuk memberinya pelukan. Namun, pria itu sepertinya phobia ular dan segera menjauhkan dirinya dari Emily.
Emily pun tertawa renyah melihat reaksi Henry Crawford. Dia pun menaruh Mr. Long ke akuarium, tempat ular itu biasa tinggal. Kemudian dia berjalan ke hadapan Henry yang dengan segera mendekap tubuh Emily serta melumat bibirnya tanpa permisi.
"Uugghhh ...," desah Emily memprotes tindakan Henry yang justru membuatnya lebih mengeratkan dekapannya di tubuh Emily.
Ketika kadar oksigen di otaknya menipis, Henry menghentikan ciumannya. Wanita cantik itu sungguh membuatnya lepas kendali. Dia sempat berpikir untuk mengangkat dan menindih tubuh wanita itu di meja kerja kantornya. Tapi tindakan itu sangat berisiko, dia pun membatalkan niatnya.
Pria itu berjalan ke arah jendela melihat jalanan di depan kantor departemen kehakiman. Dia pun berkata, "Mengapa kau tidak memberitahuku bahwa jaksa penuntut umum yang bertugas menyidangkan kasusku hari ini adalah kau sendiri, Em?"
Henry lalu menatap langsung ke wajah Emily yang tersenyum dengan mata yang dingin kepadanya.
"Ohh oke, aku memang bersalah, Manis. Tapi segalanya sudah selesai bukan? Aku membayar denda yang cukup besar ke negara." ucap Henry mengangkat kedua tangannya tanda menyerah dengan keteguhan Emily. Dia kenal betul siapa Emily, bagi wanita itu vonis 'bersalah' adalah perbuatan melawan hukum.
Dia pun meraih Emily ke dalam pelukannya seraya berkata, "Apa kau ada waktu untuk makan malam bersamaku malam ini, Em?"
Emily sudah lama tidak bertemu dengan Henry sejak musim dingin tahun lalu yang terasa begitu hangat bagi mereka. Henry membawanya ke Swiss untuk ski bersamanya. Namun, mereka lebih sering menghabiskan waktu di kamar hotel untuk bergumul di atas ranjang sepanjang hari.
"Baiklah. Di mana kita akan makan malam?" balas Emily berusaha menyenangkan Henry karena hari ini dia menuntut Henry dengan denda yang cukup menguras kantongnya yang tebal.
Pria itu tersenyum puas seraya menjawab, "Di penthouseku tentunya. Berdandanlah yang cantik, Sayang. Supirku akan menjemputmu pukul 19.00."
Emily menggigit bibir bawahnya, tampaknya dia akan menjalani malam yang panas lagi bersama Henry.
Pria itu pun mengecup bibir Emily dengan lembut lalu berpamitan meninggalkan ruang kantor Emily dengan langkahnya yang elegan.
Seperti yang dikatakan Henry Crawford tadi siang, orang suruhannya menjemput Emily di apartment wanita itu. Bahkan tepat di depan pintu unitnya.Hal itu membuat Emily sedikit banyak merasa ngeri. Pria yang akan berkencan dengannya malam ini bukanlah pria sembarangan. Dia tidak takut karena dia yakin pria itu jauh lebih menginginkan bercinta dengannya dibanding menghilangkan nyawanya.Mereka pernah memiliki hubungan sebagai sepasang kekasih selama beberapa tahun. Tetapi, kesibukan Henry sebagai calon senator berikutnya menggantikan ayahnya yang menjabat sebagai senator saat inilah yang membuat mereka berdua mengambil jalan yang berlawanan arah.Namun, Emily tidak pernah ambil pusing dengan hal itu. Ketika terlalu banyak pilihan pria untuk berbagi sisi romantisme bersamanya. Dia tidak mencari dan tidak menawarkan dirinya seperti seorang pelacur. Pria-pria itu yang mendekatinya, mengejar perhatiannya yang mahal dari waktunya yang berharga."Nona Emily, silak
Selepas tengah malam, Emily melepaskan tubuhnya dari pelukan Henry Crawford. Pria itu memang selalu memaksakan dirinya sendiri hingga batas kekuatannya ketika bercinta dengannya. Emily rasa Henry tidak akan terbangun hingga pagi tiba ketika matahari sudah tinggi.Dia pun membersihkan tubuhnya di bawah shower lalu merapikan make-up di wajahnya supaya tidak tampak terlalu kacau dan menimbulkan penilaian buruk dari orang yang berpapasan dengannya.Ketika Emily merasa dirinya sudah rapi, dia pun meninggalkan penthouse milik Henry Crawford untuk pulang ke apartmentnya sendiri dengan taksi hotel.Lift hotel mulai naik dari lantai lobi hingga angka-angka di atas tombol lift bertambah tinggi. Dia berada di lantai 50, agak lama rasanya menunggu hingga lift itu menjemputnya.Akhirnya, angka 50 itu pun muncul. Emily pun bersiap untuk masuk ke lift dan dia bertatapan dengan seorang pria yang menurutnya tampan di atas rata-rata. Pria itu tidak turun ke lantai 50
Rayden hanya bergeming menatap wanita cantik yang terbaring di bawah tubuhnya dalam kondisi polos itu. "Sayang sekali, aku belum pernah mendengar namamu, Cantik. Kupikir kau PSK yang pulang melayani pelangganmu tadi saat bertemu di lift ...," ujar Rayden sengaja menutupi keterkejutannya tadi."PSK, matamu!" umpat Emily meradang.Pria yang menindih tubuhnya ini benar-benar membuatnya hilang kendali pada apapun. Emily cenderung bersikap kasar dan kehilangan ketenangan ketika berbicara dengannya. Dia rasanya tidak ingin mengenal pria misterius itu."Minggir dari tubuhku, Pria Sialan Bangsat Hidup!""Tidak! Aku masih menginginkanmu ...," balas pria itu melumat bibir Emily tanpa ampun sembari mengunci setiap sisi tubuh gadis itu dengan tubuhnya."Aku tidak ingin!" Emily meronta berusaha melepaskan dirinya dari kungkungan pria misterius itu.Emily berpikir cepat, apa yang harus dia katakan agar ego pria itu terluka dan akan melepaskann
Mendengar deheman pria yang ada di dalam lift, mereka berdua pun langsung saling menjauh lalu bergiliran masuk ke dalam lift.Rayden melingkarkan lengannya di pinggang Emily, sementara wanita itu berusaha melepaskan tangan Rayden dari pinggangnya.Pria lain di dalam lift itu mengamati mereka berdua dengan agak bingung."Apa kalian suami istri?" tanyanya penasaran."Bukan," jawab Emily cepat.'Lift ini begitu lama turun ke lobi, sampai kapan aku harus disandera oleh pria gila ini,' pikir Emily.Mereka bertiga turun hingga lantai lobi. Pria asing di lift yang sepertinya orang Turki itu berjalan ke pintu keluar lobi sembari memperhatikan Emily dan pria satunya dengan penasaran. Ini bukan waktu orang normal berkeliaran. Saat ini pukul 03.30, lewat malam dan belum cukup pagi untuk beraktivitas. Dan ... mereka bukan suami istri, selain itu tak ada tanda-tanda kesamaan genetik di antara kedua orang itu."Emily, tunggu!" ser
"TOK TOK TOK." Suara ketukan jamak di pintu kantor jaksa Emily Rose Carter terdengar nyaring."Masuk saja," sahut Emily santai. Dia sedang menekuri berkas kasus kriminal yang sudah mengantre untuk disidangkan dalam waktu dekat, sebuah kasus pembunuhan berencana yang berkaitan dengan perebutan harta warisan. Dia telah menarik kesimpulan praktis ketika membaca data mentah dari catatan saksi dan bukti. Tugasnya adalah mengajukan tuntutan hukum pidana serta denda kepada terdakwa, bukan menyelidiki sekalipun terkadang kasus yang pelik pun membutuhkan campur tangannya secara tidak langsung bekerja sama dengan pihak kepolisian Chicago.Seorang pria muda bertampang keturunan Timur Tengah memasuki ruang kantornya bersama Brendan Nieson, asisten Emily. Kedua pria berbeda generasi itu duduk bersebelahan di seberang meja kerja Emily.Ingatan Emily tentang wajah pria muda bercambang dan berkumis tipis itu masih hangat dalam benaknya, dini hari tadi mereka bertemu di lift Baltimore Eclat Tower. Na
Kantor kepolisian Chicago selalu ramai dengan aktivitas para penegak hukum berlencana dan tentunya para kriminal baik yang kelas teri maupun kelas kakap. Semua bertumpah ruah di gedung berlantai 10 itu menimbulkan suara berdengung bagai kumpulan lebah yang sibuk. Dering telepon tanpa jeda membuat stres para penegak hukum itu meningkat, tidak jarang mereka harus mengonsumsi obat tidur hanya untuk meredakan migren dan beristirahat beberapa jam. Berhenti dari kewajiban mereka di jam-jam tak normal dimana orang lain telah terlelap ke alam mimpi.Dan di sanalah Emily Rosalyn Carter saat ini, langkah ringan kakinya di atas high heels 10 cm mengetuk-ngetuk lantai kayu di koridor department kriminal Kepolisian Chicago hingga terhenti di depan sebuah pintu tertutup bertuliskan Detektif Ryan Falderson. Wanita itu tersenyum tipis sembari mengetok pintu kantor sang kapten.Pria itu menyuruhnya masuk dengan suara bernada tak sabar dari dalam ruangan. Dengan perlahan Emily menarik gagang pintu di
"Baiklah, Ryan. Kau memberiku cukup banyak PR kali ini, mungkin aku harus pulang ke kantorku sendiri sekarang untuk segera mengerjakannya!" pamit Emily seraya berpelukan dengan Kapten Ryan Falderson sebelum meninggalkan ruangan 3 x 4 meter persegi bercat dinding putih membosankan itu.Saat Emily keluar dari ruang kerja Kapten Ryan Falderson, kedua ajudannya telah menunggu di bangku yang ada di koridor depan ruangan itu."Kita kembali ke kantorku, Ron, Thomas!" ucap Emily lalu berjalan mendahului kedua pria itu menuju ke mobil dinasnya yang terparkir di depan gedung Kepolisian Chicago.Sesampainya di kantornya, Emily tak menduga dia akan kedatangan tamu yang memang sudah dia rindukan."Papaaa ..., apa sudah lama menungguku?" sapa Emily lalu memeluk mantan jaksa legendaris yang telah memasuki masa pensiunnya itu.Lincoln John Carter masih tampak gagah di usianya yang menginjak kepala 6. "Hey, Gadis Cantik Papa! Dari mana saja kau, Emily?" balasnya."Dari Kantor Kepolisian Chicago, Pa. A
Aroma tubuh pria itu bercampur parfum mahal yang terhirup hidung Emily bersama air hangat shower seolah membuat paru-parunya sesak hingga ia terbatuk-batuk hebat.Tatapan nanar mata Emily mengenali siapa pria itu. 'Bagaimana dia bisa menerobos masuk ke apartmentku?!' batin Emily panik saat tubuh kekar pria itu menghimpitnya hingga punggungnya membentur dinding kamar mandi."Menerobos kediaman seorang jaksa adalah tindakan kriminal berat, kuperingatkan kepadamu—"Pria itu terkekeh dengan nada menghina lalu menjawab perkataan Emily, "Ohh ... jadi pasal-pasal hukum itu akan kau bacakan kepadaku sekarang?! Aku akan dengan senang hati mendengarkannya, tapi dengan satu syarat—""Hah? Syarat ...!" tukas Emily geli dengan nada sarkastis memalingkan wajahnya menghindari tatapan tajam nan menggoda dari pria yang tak mau menyebutkan nama kepadanya."Bacakan pasal-pasal hukum itu sambil mendesah di bawah tubuhku, Jaksa Emily Carter yang cantik. Apa kau setuju?" ujar pria dengan suaranya yang bera
Langkah-langkah kaki yang cepat itu terdengar di telinga Emily yang sedang membantu putera bungsunya mengenakan pakaian di kamar pangeran cilik tersebut."Darling, aku mencari-carimu sedari tadi!" ujar Sultan Murat berdiri di ambang pintu kamar putera kedua mereka."Ini kebiasaan rutinku di sore hari, memandikan putera-putera kita. Ada apa, Yang Mulia?" sahut Emily yang baru saja usai menyisir rambut Pangeran Fazil yang berusia 3 tahun di pangkuannya.Murat pun tersenyum memandangi putera-puteranya yang terawat dengan baik oleh istri tercintanya. Akan tetapi, dia membutuhkan Emily saja saat ini. Maka dia pun berkata, "Baiklah, aku yang kurang mengerti kebiasaanmu, Emily Sayang. Hmm ... ikutlah pergi berkereta bersamaku. Ini hari yang spesial untuk kita berdua. Titipkan anak-anak kepada pengasuh mereka!"Tawa geli meluncur dari bibir ranum berbelah milik Emily. Dia merasa curiga, suaminya akan mengajaknya bernostalgia penuh kemesraan bersamanya. "Siap, Yang Mulia. Keinginan Anda adalah
Seusai menanda tangani akte pernikahan bersama pria yang telah sah menjadi suaminya baru saja di balai kota, Emily berbicara empat mata dengan papanya."Pa, bagaimana dengan pekerjaanku sebagai jaksa wilayah di Illinois?" tanya Emily merasa bingung dengan segala perubahan statusnya yang mendadak serta rencana Murat yang akan membawanya ke Istanbul secepatnya. Lincoln Carter pun menjawab segala kegundahan hati puterinya, "Emily, papa akan memberimu nasihat. Terkait pekerjaanmu, ajukan pengunduran diri sesuai alasan terfaktual. Lembaga Kehakiman United States akan memaklumi alasan pengunduran dirimu yang terkesan mendadak ini.""Tapi, Pa—""Tidak ada kata tapi. Dengarkan papa, seorang pejuang yang baik saat dia mencapai puncak dari perjalanan panjang perjuangannya akan tahu kapan harus berhenti. Maka dari itu ada istilah gantung sarung tinju, hal itu pun sama untukmu, Emily. Biarlah kenangan baik tentangmu dan segala reputasi tak bercela sepanjang karir hukum yang kau torehkan akan dii
"Dokter, izinkan saya melihat Rayden untuk terakhir kalinya!" Emily meraih tangan Dokter Wilbur Anderson."Maaf, pesan beliau tadi seandainya tidak dapat bertahan hidup, Anda tidak diizinkan untuk melihat beliau lagi. Jenazah akan dikirim segera dengan pesawat ke Paris untuk dikebumikan. Mungkin Anda lebih baik pulang saja ke rumah, permisi!" jawab dokter poli IGD tersebut lalu membalikkan badan kembali ke tempat praktiknya.Lincoln Carter memeluk puterinya yang terisak-isak karena merasa sangat bersalah untuk segala keputusan tanpa hati yang dilakukannya semenjak awal undangan makan malam dari Rayden tiba di kantornya. "Emily Darling, lepaskan apa yang telah berlalu. Ingatlah kau harus tetap tenang demi janin yang hidup di rahimmu. Ibu yang stres dapat mengalami keguguran!" hibur mantan jaksa itu sembari membelai rambut panjang Emily."Kita pulang sekarang, Pa. Bolehkah aku mengambil cuti besok pagi?" ujar Emily seraya membersit hidungnya yang buntu oleh ingus."Tentu saja boleh. Kam
"Miss Emily Carter, tolong datang ke poli IGD Rumah Sakit Umum Chicago. Pasien kecelakaan lalu lintas bernama Tuan Rayden Zinedine Dabusche membutuhkan kehadiran Anda segera. Kami menunggu kehadiran Anda!" tutur seorang wanita yang mengaku sebagai perawat jaga rumah sakit yang menerima korban tabrakan mobil mengenaskan malam ini.Mendengar permintaan wanita tak dikenal di telepon itu, Emily ragu untuk datang ke rumah sakit yang disebutkan. Namun, bila memang benar Rayden membutuhkan kehadirannya maka dia akan terbeban oleh perasaan bersalah bila menolak datang. "Baiklah, aku akan datang segera!" putus Emily mengikuti dorongan hati nuraninya. Dia berganti pakaian untuk pergi keluar rumah lalu membangunkan papanya untuk menemani dirinya ke rumah sakit.Lincoln Carter yang dibangunkan tengah malam buta oleh puterinya tidak banyak bertanya. Dia memilih untuk melihat situasi gawat apa yang tengah terjadi? Sementara naik taksi yang selalu stand by di depan apartment, Emily menjelaskan tent
Ketika Murat selesai membaca email dari Emily yang mengabarkan bahwa wanita tersebut tengah hamil 6 bulan, dia merasa gelisah. Sang sultan baru negeri Ottoman ingin memboyong kekasihnya ke istana. Namun, pemerintahannya masih dilanda rendahnya tingkat kepercayaan kepada pimpinan dirinya. Kudeta demi kudeta harus dihadapi olehnya. Ancaman pembunuhan terhadap Murat dari kubu oposisi mengintai di setiap sudut istana. Beruntungnya karena Jendral Hersek dan para petinggi militer mendukung penuh pemerintahan Murat. Jaring pengaman diperketat demi menjaga keselamatan nyawa sang sultan baru.Di ujung fajar yang merekah, Murat berdiri di balkon kamar istana yang ada di lantai 3. Pemandangan laut lepas dengan ratusan kapal terapung di semenanjung terbentang di hadapannya. Kekuasaan atas seluruh Turki ada di genggaman tangannya. Sultan muda itu menghela napas panjang sembari mencengkeram besi susuran balkon, dia berteriak kencang melampiaskan rasa tertekannya. "Emily, aku merindukanmu. Aku jug
Emily menjalani kehamilannya ditemani oleh ayah tercintanya, mantan jaksa Lincoln Carter di Chicago. Pria berumur itu yang menemani puteri tunggalnya ke mana-mana, beliau juga membantu Emily memeriksa berkas kasus yang akan disidangkan agar tidak kelelahan bekerja. Alasannya adalah dia masih bisa melakukan pekerjaan jaksa dan menganggur saat ini."Jadi kapan persidangan kasus Harvey Robinson disidangkan perdana, Emily?" tanya Lincoln Carter yang duduk bersebelahan di mobil dinas bersama puterinya. Mereka akan berangkat kerja ke balai kota Chicago pagi ini.Emily yang tadinya duduk melamunkan Murat sambil menatap sisi jalan yang dilalui mobil dinasnya lalu menoleh ke arah ayahnya, dia menjawab, "Lusa persidangan perdana kasus pembunuhan wanita prostitusi itu akan digelar. Hakim Louis Bernard Miller yang akan memimpin sidang, Pa.""Ohh, hakim muda itu. Dia pernah ingin melamarmu dulu sekitar lima tahun silam, tetapi Papa menolaknya karena tahu kamu sedang fokus mengejar kariermu sebagai
"Ismael Pasha akan tetap menjalankan fungsi sebagai koordinator pemerintahan sesuai yuridiksi kesultanan. Saya sebagai calon pewaris tahta kesultanan Turki akan menjadi kepala negara sebagai sultan," terang Murat saat berada di ruang rapat istana sultan. Di tengah ruangan, kursi singgasana dibiarkan tetap kosong karena tak ada yang dilantik sebagai pengganti sultan sebelumnya. Semua petinggi kesultanan berdiskusi dengan posisi duduk saling berhadapan. Dan Murat duduk di kursi seberang Ismael Pasha.Pria berjanggut kelabu keperakan dengan kepala botak itu menjawab Murat, "Saya hanya bawahan Anda juga, Pangeran. Jangan menjadikan saya sebagai penghalang untuk naik tahta. Anda mendapatkan kesetiaan penuh dari saya!"Sekalipun jawaban Ismael Pasha menyiratkan persetujuan dan dukungan untuk Murat. Namun, sang pangeran tetap waspada. Kedatangannya di hari pertama langsung mendapat sambutan hujan anak panah tajam. Itu artinya ada pihak yang merasa terancam dengan kehadirannya kembali di ist
Ketika taksi yang ditumpangi oleh Emily berhenti di tepi trotoar, dia pun membayar tarif sesuai argo dan membiarkan sisa kembaliannya sebagai tip untuk sopir taksi. Dengan segera Emily turun dan menutup kembali pintu taksi. Namun, dia tak menduga bahwa pria Perancis yang terobsesi kepadanya itu menguntitnya sedari tadi.Kedua lengan Rayden menangkap perut Emily dari belakang. Dan wanita itu berteriak sembari meronta, "LEPASKAN AKU, RAYDEN!" Namun, telapak tangan Rayden segera membekap mulut Emily."Melepaskanmu? Ohh ... jangan harap, aku sangat mencintaimu hingga nyaris gila, Emily. Cinta ini selalu kau pandang sebelah mata dan kau abaikan begitu saja! Kini setelah pria Turki brengsek itu pergi menjauh, waktunya kita rujuk kembali sebagai sepasang kekasih yang mesra seperti dulu!" tolak Rayden sambil mengangkat tubuh Emily hingga menggantung tak menapak ke tanah."Tolong ... tolong ... lepaskan aku!" jerit Emily sekuat tenaganya sebelum Rayden memasukkannya ke mobil. Sersan Rodney ya
Sementara Murat merunduk di sekelilingnya para prajurit serta petinggi militer melindunginya dari hujan anak panah. Dia beruntung karena serangan mendadak itu gagal. Dia menduga para teroris itu yang kemungkinan besar adalah suruhan pihak yang tak menghendaki kepulangannya ke Turki."Situasinya sudah aman, Pangeran Murat. Mari kita masuk ke paviliun untuk menemui kakek Anda," ajak Jenderal Hersek dengan wajah dicekam rasa panik.Maka Murat pun segera bergegas masuk ke kediaman kakeknya Zaganos. Namun, yang pertama dia temui justru sang nenek di ruang tamu bagian depan Paviliun Taman Narwastu. "Cucuku, selamat datang kembali ke rumahmu!" seru Freya Bey. Dengan penuh kerinduan dia memeluk erat Murat yang bertubuh jangkung dan lebih tinggi darinya."Nenek, maafkan aku yang begitu lama meninggalkan istana. Apa kabar Nenek dan kakek baik-baik saja?" ujar Murat memeriksa keadaan neneknya dari ujung kepala hingga kaki. "Segalanya baik, hanya saja usia kami makin senja. Beruntung sebelum me