Akhirnya, Marsya sudah tidak bisa menahannya. Niat hati tidak ingin mengatakan hal itu. Namun, perkataan Pak Bowo membuat Marsya geram.
"Marsya kamu bicara apa? Kamu anak Ibu dan Bapak. Kamu jangan berkata seperti itu." Bu Tasya memeluk Marsya.
"Ke mana orang tua Marsya, Bu? Kenapa Marsya bisa sama, Ibu dan Bapak?" Marsya memeluk erat Bu Tasya sambil menangis tersedu-sedu.
Pak Bowo sama sekali tidak merasa simpatik kepada Marsya. "Sudah-sudah ngapain kalian pada menangis. Tidak penting, cuma masalah anak kandung atau bukan. Tahu dari mana kamu, kalau Bapak sama Ibu bukan orang tua kandungmu?" tanya Pak Bowo.
Bu Tasya melepaskan pelukan Marsya. Dia lalu mengusap pipi Marsya yang sudah basah oleh air mata. Bu Tasya tidak habis pikir dengan kelakuan suaminya.
"Bapak tidak perlu tahu! Toh, itu tidak penting, 'kan buat, Bapak. Marsya benci sama, Bapak. Bapak jahat!" Marsya berlari meninggalkan Pak Bowo dan Bu Tasya.
"Mau ke mana kamu,
Ketika Marsya dan Reval sedang makan di cafe. Tiba-tiba saja Angel menghampiri mereka. Yang membuat geram Reval dan Marsya bisa-bisanya Angel mencium pipi Reval.Reval tidak bisa menghindar karena kedatangan Angel begitu sangat tiba-tiba. Begitu pun dengan ciuman Angel kepada pipi Reval. Dada Reval kembang kempis karena ulah Angel yang menurutnya sangat menyebalkan."Kamu apa-apaan sih, Angel, sembarangan saja kamu melakukan hal ini. Minggir sana!" Reval menatap tajam Angel sambil mendorong tubuh Angel.Angel menyunggingkan senyumnya. "Kenapa kamu marah-marah sih, Sayang. Aku kangen lho, sama kamu," ucap Angel masih merasa tidak bersalah, "kamu bawa pembantu kamu buat makan di sini?" Angel menatap sinis Marsya sambil berdiri."Kamu jangan sembarangan bicara, Angel!" bentak Reval."Maksud kamu, Reval? Memang kenyataannya kaya begitu, 'kan. Dia itu pembantu di rumahmu. Kamu sendiri, 'kan yang bilang sama aku kalau dia pembantu." Angel menunjuk
Di saat Reval masuk kamar. Ternyata Marsya sudah berada di atas kasur dan sedang menangis. Reval semakin merasa bersalah terhadap Marsya."Marsya, maafkan aku, ya. Aku sebenarnya tadi mau mengejarmu, tapi Angel malah menghalangiku. Maafkan aku, ya. Sudah kamu jangan menangis lagi. Kamu tidak marah, 'kan sama aku?" Reval duduk di tepi kasur lalu mengusap pipi Marsya.Marsya hanya diam saja sambil menatap wajah Reval."Kenapa kamu diam saja. Aku, 'kan sudah minta maaf.""Buat apa, Tuan minta maaf? Memangnya, Tuan salah apa sama saya?" tanya Marsya."Ya ... karena aku tidak bisa mengejarmu. Kamu jadi pulang sendiri, terus Angel juga malah mendekatiku dan ... dia juga bilang kalau kamu pembantuku. Kamu jangan marah, ya.""Siapa yang marah. Saya cuma ...." Marsya tidak melanjutkan kata-katanya. "Saya memang pembantu di sini. Pernikahan kita hanya terpaksa. Tuan pun memang menganggap saya pembantu. Nona Angel tidak salah mengatak
Bu Tasya mengambil ponsel lalu menghubungi Marsya. "Hallo, Marsya kamu sedang apa?" tanya Bu Tasya yang sedang menghubungi Marsya, "kamu baik-baik saja, 'kan?""Marsya baik, Bu. Kenapa memangnya?" jawab Marsya."Kamu jangan bohong. Kamu mau menyembunyikan semuanya dari Ibu. Maafkan Ibu, ya! Ibu tidak bisa berbuat apa-apa buat kamu. Walaupun kamu sudah tahu kalau Ibu dan Bapak bukan orang tua kandungmu. Ibu tetap sayang sama kamu." Bu Tasya meneteskan air mata lalu mengusapnya."Ibu bicara apa, sih? Marsya baik-baik saja, kok. Benaran, Bu," kelit Marsya."Berarti gosip itu bohong?" tanya Bu Tasya."Gosip! Gosip apaan, Bu?""Ibu barusan lihat acara gosip di televisi. Tuan Reval Adrian Altezza suamimu, 'kan? Dia mau bertunangan sama Angel dan kamu ... kamu katanya hanya seorang pembantu di rumah tuan Reval. Itu pertanyaan dari salah satu wartawan dan Angel malah menjawab seperti itu. Nama kamu juga disebut sama Angel. Sementara suam
Marsya baru menyadari kalau dia sedang memarahi sang suami. "Maaf, Tuan saya tidak sengaja, keceplosan. Efek saya ketiduran jadi saya mengigau." Reval menghela napas panjang. "Aku mau mandi siapkan air hangat!" Reval melonggarkan dasinya. "Iya, Tuan." Marsya bangun dari duduknya. Reval memperhatikan Marsya yang sedang berjalan. "Dasar wanita aneh!" *** "Tadi siang kamu ngapain saja?" Reval naik ke atas ranjang dan mendekati istrinya. "Seperti biasa." Marsya memainkan ponselnya tanpa melihat ke arah Reval. "Seperti biasa apa? Aku, 'kan tidak tahu!" kesal Reval. "Nonton drama sama film." "Selain itu?" "Tidak ada." Marsya menyimpan ponselnya. "Yakin!" Reval membenarkan posisi tidurnya menghadap Marsya. "Iya," jawab Marsya, "terus, Tuan dari mana? Kenapa baru pulang jam segini?" "Aku ada perlu dulu sebentar." "Perlu apa?" "Jadi sekara
Marsya tidak percaya Reval mengatakan hal demikian. "Tuan tidak bohong, 'kan?" Reval malah diam ketika mendengar ucapan Marsya sambil menatapnya tajam. "Tuan kenapa? Saya, 'kan ... maaf, Tuan. Eh, emmm ... Reval. Maaf saya belum terbiasa." Marsya menundukkan kepalanya. "Kenapa kamu kaku sekali hanya mengatakan namaku saja. Kamu lebih suka panggil aku tuan! Aku ini suamimu," kesal Reval. "Iya, maaf. Aku, 'kan belum terbiasa." "Ya, sudah. Makanya dibiasakan dari sekarang. Kalau bisa panggil aku sayang." Marsya hanya tersenyum setelah mendengar ucapan Reval. *** Hari ini Reval libur ke perusahaannya karena akhir pekan. "Hari ini kita shopping dan nonton bioskop, besok kita ke pantai. Bagaimana?" Reval menoleh sesaat lalu fokus menyetir kembali. "Iya, Tuan ... eh, Reval. Maaf aku belum terbiasa," kata Marsya. Reval hanya bisa geleng-geleng kepala. Sebenarnya dia berharap Marsya memanggilnya sayang. Namun, ternyata sang istri malah memanggilnya nama. Ada rasa kecewa pada diri Reva
"Memang selama ini aku tidak baik sama kamu? Aku sudah tidak pernah marah, 'kan sama kamu. Aku berpikir karena kamu istriku. Jadi wajar aku baik sama kamu," jelas Reval, "kenapa kamu menanyakan hal ini?" lanjut Reval. "Ya ... aku cuma mau tahu saja isi hatimu. Kamu begini sama aku karena Angel selingkuh dari kamu, 'kan dan Angel ternyata hanya mengincar hartamu saja. Seandainya Angel tidak seperti itu, apa kamu akan baik denganku?" "Sudahlah! Ngapain kamu harus mempertanyakan ini semua. Yang terpenting aku sudah memenuhi kebutuhanmu. Ya, walaupun kamu tidak cinta sama aku. Tapi karena kamu istriku, aku harus memenuhi semua kebutuhanmu. Apalagi yang harus kamu pertanyakan." Marsya hanya bisa menghela napas. "Ternyata kamu tidak mencintaiku," batin Marsya. *** Marsya sedang memainkan ponsel di dalam kamar. Ponsel Reval berdering, dia kemudian menoleh ke arah nakas dan membiarkan ponsel itu berdering. Marsya tidak ingin sembarangan m
Hanya Marsyalah perempuan satu-satunya yang biasa saja terhadap dirinya. Dari awal mereka bertemu, di saat dirinya pertama kali bertemu Marsya. Masih terngiang-ngiang oleh Reval kalau Marsya menolak dirinya di saat dia mengajak Marsya menikah. Mereka pun sampai di rumah Reval. Di saat Marsya masuk ke dalam kamar tiba-tiba Bu Tasya menghubunginya. Marsya duduk di sofa lalu mengangkatnya. "Iya, Bu. Ada apa?" tanya Marsya. "Marsya. Bapakmu, Marsya," rengek Bu Tasya. "Bapak! Kenapa sama, Bapak?" "Bapakmu ngamuk-ngamuk di rumah sambil mabuk. Bapak nanyain kamu, Ibu takut Marsya." "Ya, ampun! Ya, sudah, Ibu tunggu ya, Marsya ke sana," ucap Marsya lalu menutup panggilan tersebut. "Ada apa?" tanya Reval yang sadari tadi memperhatikan Marsya. "Bapak ngamuk-ngamuk di rumah. Katanya Bapak nanyain aku," jawab Marsya. "Terus apa hubungannya sama kamu! Ingat dia bukan Bapakmu!" "Tapi aku kasihan sama Ibu. Gimana kalau terjadi apa-apa sama Ibu?" "Dia juga bukan Ibumu, 'kan? Ngapain kamu ng
Di rumah, Reval melarang Pak Jaya untuk menjemput Marsya. Dia ingin mengetahui keadaan Marsya. Dia berinisiatif untuk menjemput sang istri. Di saat Reval baru masuk ke dalam rumah orang tua Marsya. Dia mendengar suara Pak Bowo berteriak di ruang keluarga. Reval langsung berlari dan masuk ke ruangan tersebut. Reval melihat Pak Bowo sedang menarik tas selempang Marsya dan juga menampar pipi Marsya. "Anda sudah keterluan dengan istriku. Ingat, Anda tidak berhak minta apa pun kepada istriku! Sepeser pun aku tidak akan mengizinkan uangku di ambil oleh Anda. Camkan itu!" Reval menunjuk wajah Pak Bowo. "Tapi dia anak saya, Tuan, bukannya dia berhak memberi uang kepada orang tuanya," jawab Pak Bowo. "Oh, sekarang Anda mengaku anak sama Marsya dan Anda berani sekali menjawab omonganku. Bukannya Anda sudah menjual Marsya kepadaku. Jadi Anda sama sekali tidak berhak atas Marsya. Uang pun Anda tidak berhak memintanya kepada Marsya dan satu lagi Marsya buk
"Saya mohon maafkan saya. Jangan masukkan saya ke penjara. Saya mohon Tuan. Saya mengakui saya telah bersalah kepada Marsya. Saya ... Saya benar-benar minta maaf." Pak Bowo mengangkat kedua tangannya memohon sambil menundukkan kepalanya. Reval menyunggingkan senyumnya sambil memperhatikan Pak Bowo. "Minta maaf? Aku tidak salah dengar! Anda jangan minta maaf kepadaku, tetapi kepada Marsya anakmu!" jerit Reval, "Sekarang Anda minta maaf setelah semuanya sudah terbongkar. Ke mana saja Anda selama ini? Bahkan Anda masih memanfaatkan Marysa dan akan menjadikan mantan istriku sebagai wanita malam. Dan sekarang Anda berkata menyesal. Dasar manusia tidak tahu diri. Jika Marsya tidak mengenal teman Anda, Anda tidak mungkin melakukan hal ini. Oke, tunggu saja. Dalam waktu satu kali dua puluh empat jam Anda dan teman Anda akan masuk ke penjara!" desis Reval.Pak Bowo bangun dari duduknya lalu menghampiri Reval. "Tuan saya mohon jangan penjarakan saya. Saya mohon, Tuan!" Pak
Marsya tiba-tiba berteriak dan menangis histeris. Jantungnya berdetak tidak karuan dan tubuhnya bergetar hebat. Reval merasa bingung melihat Marsya. "Sayang kamu kenapa?" Reval memegangi tubuh Marsya sambil memperhatikan wajah sang mantan istri dengan penuh khawatir. "Orang itu ... orang itu ada lagi." Marsya berucap dengan terbata dan menangis lalu menyembunyikan wajahnya di dada Reval. Reval mengerutkan keninnya sambil berpikir lalu memperhatikan Pak Bowo dan teman pemilik rumah bordil yang sedang berjalan. "Tuan Reval." Pak Bowo menundukkan kepalanya setelah berada di depan Reval. Namun, dia merasa bingung melihat Marsya sedang menangis. "Ada ... ada apa dengan anak saya?" tanya Pak Bowo lalu menoleh kepada pemilik rumah bordil. Sang pemilik rumah bordil pun merasa bingung sambil mengerutkan keningnya.
"Sudah tahu Marsya masih mencintaiku. Kenapa kamu memaksanya?" kesal Reval, "asal kamu tahu, Garvin. Sebenarnya aku malas menemuimu, tetapi demi mengembalikan cincin ini aku terpaksa menemuimu. Aku tidak mau kamu berpikiran kalau Marsya masih menyimpan cincin pemberianmu. Hanya cincin pemberian dariku yang akan melingkar di jari manisnya." Reval mencondongkan badannya ke arah Garvin. Garvin menyunggingkan senyumnya. "Oke, sekali lagi aku mengaku kalah. Harusnya kamu berterima kasih kepadaku. Kalau malam itu bukan aku yang menemui Marsya. Marsya tidak akan selamat. Dia mungkin sudah dijamah dan ditiduri oleh pria hidung belang. Apa lagi penampilan Marsya saat itu sangat cantik dan seksi. Siapa yang tidak akan tergoda melihat ...." Garvin malah membayangkan penampilan Marsya lalu menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Sialan! Kamu sedang membayangkan apa, hah?" Reval bangun dari duduknya. "Tuan Reval. Su
Marsya dan Reval sedang dalam perjalanan pulang ke rumah Marsya. Mereka duduk berpelukan dan saling tersenyum. Reval tidak henti-hentinya menciumi kening sang mantan istri. "Senang sekali melihat mereka bahagia. Aku harap kalian berdua tidak akan terpisahkan." Farhan sekilas menoleh ke kaca spion sambil berbicara dalam hati. "Kamu kalau ada apa-apa cerita sama aku, ya. Kalau ada orang yang menekanmu jangan diam saja." Reval memeluk Marsya sambil tangan kanannya mengelus rambut Marsya. "Iya, Reval. Sekali lagi terima kasih, ya. Kamu sudah menolongku," ucap Marsya, "emm, tapi ...." Marsya tidak melanjutkan kata-katanya. "Kenapa?" tanya Reval khawatir. "Aku takut pulang, Reval. Bapak mau ...." "Sudah kamu pulang saja, tidak apa-apa kamu aman," ucap Reval lalu mencium kening Marsya. "Aman?" tanya Marsy
"Kita tunggu di sini saja. Aku ingin menunggu Marsya." Reval duduk di kursi. "Baik, Tuan." Farhan ikut duduk di samping Reval. Beberapa menit kemudian Garvin berjalan sambil menarik tangan Marsya. Dia melewati Reval dan Farhan yang sedang duduk dan sama sekali dia tidak menyadari adanya mereka. "Marsya!" Reval bangun dari duduknya. "Kenapa dia membawa Marsya seperti itu?" kesal Reval, "Kita ikuti dia! Awas saja kalau dia macam-macam!" Reval berjalan mengikuti Garvin secara pelan agar Garvin tidak mengetahuinya. "Hati-hati Tuan jangan sampai Mr. Garvin tahu kita mengikutinya." "Hhhmmm." Reval berjalan sambil memicingkan matanya. Reval kemudian berhenti dan memperhatikan Garvin yang sudah berada di depan mobil. "Berengsek! Kasar sekali dia!" Reval mengepalkan tangannya lalu melangkah. "Tuan ... jangan gegabah. Kita lihat saja dulu. Kita
"Honey, sepertinya mantan suamimu sedang cemburu." Garvin menatap tajam Reval sambil berbisik kepada Marsya. "Reval?" kaget Marsya lalu matanya mencari keberadaan sang mantan suami. "Kita temui dia." Garvin meraih tangan Marsya lalu menggenggam jari jemari Marsya. "Buat apa?" Marsya menahan langkahnya dan berusaha melepaskan tangannya dari Garvin. "Sudah kita temui dia!" Garvin tetap berjalan membawa Marsya. Marsya ingin sekali menolak. Dia tidak ingin membuat sang mantan suami sakit hati melihat dirinya bersama Garvin. "Reval maafkan aku, aku tidak mau seperti ini." Marsya berbicara dalam hati sambil mengikuti Garvin. "Hai, Reval," sapa Garvin setelah berada di hadapan Reval. Reval menundukkan kepalanya lalu menatap Marsya. "Tahan, Reval jangan memperlihatkan kemarahan dan kecemburuan di mata bule berengsek ini!" batin Reval. "Asisten Farhan," sapa Garvin. Mr. Garvin." Farhan menundu
"Ibu sebenarnya sudah menyadarinya. Cuma Ibu ingin kamu yang bercerita sama Ibu. Kalau Ibu yang bertanya duluan kamu tidak akan mungkin menjawab jujur," kata Bu Tasya "Iya, Bu. Marsya belum siap bercerita sama Ibu. Cuma Marysa juga tidak mungkin pendam sendiri. Apa lagi bapak sudah ikut campur dan malah memaksa Marsya untuk merayu Mr. Garvin. Marsya tidak mau, Bu. Merayu salah tidak merayu pun salah," ucap Marsya lalu menghela napas pelan."Kamu minta tolong sama tuan Reval. Kamu putuskan hubunganmu dengan Mr. Garvin. Kamu, 'kan tidak mencintai Mr. Garvin. Kamu tuh cintanya sama tuan Reval. Iya, 'kan?" Marysa mengangguk lalu tersenyum. "tapi Marsya bingung, Bu. Marysa tidak mungkin memutuskan hubungan Marsya dengan Mr. Garvin. Ini sudah pilihan Marsya. Mr. Garvin memberikan pilihan yang aneh sama seperti Bapak," kesal Marsya. "Aneh bagaimana maksudnya?" tanya Bu Tasya. Marsya kemudian menceritakan awal mula dia harus menjadi pacar M
Reval sudah berada di ruangan rapat. Kedua matanya langsung menatap tajam ke arah Garvin yang sedang duduk di meja sebelah kiri. Tatapannya bagaikan elang yang akan memangsa buruannya. "Kamu tidak akan lama bersama Marsya. Lihat saja Garvin. Kamu boleh sombong di hadapanku untuk saat ini dan kesombonganmu tidak akan lama." Reval berbicara dalam hati sambil mengepalkan kedua tangannya. "Tuan Reval! Silakan dimulai," bisik Karin. "Hhhmm." Reval hanya berdeham dan tatapannya masih kepada Garvin. Garvin pun malah membalasnya menatap Reval sambil tersenyum. "Ada yang sedang terbakar cemburu sepertinya," batin Garvin. Sementara Farhan hanya bisa menghela napas pelan. Dia kemudian memperhatikan Reval dan menggelengkan kepalanya kepada sang CEO. Reval pun mengerti melihat Farhan seperti itu. Dia kemudian menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Keadaannya sudah bisa terkontrol dan Reval memulai rapatnya. ***
Marsya membelalakkan matanya ketika secara tiba-tiba Reval langsung bertanya ke inti permasalahan. Dia meremas-remas tangannya sendiri. Tenggorokannya seakan tercekat dan dia tidak berani menatap Reval. "Kenapa diam saja? Ayo, jawab, Marsya!" Reval menatap tajam wajah Marsya yang sedang menunduk.Dada Reval kembang kempis dan dirinya benar-benar emosi. Namun, sebisa mungkin dia menahan emosinya di hadapan Marsya. Sementara Farhan memperhatikan Marsya secara seksama. Dia pun ingin bertanya, tetapi dia tidak ingin ikut campur. "Marsya!" panggil Reval lalu menggelengkan kepalanya, "Aku yakin ada sesuatu yang tidak beres. Makanya kamu seperti ini, ada yang mengancammu, 'kan?" tanya Reval mengintimidasi. Marsya langsung mengangkat kepalanya mendengar pertanyaan sang mantan suami. "Tidak ada. Siapa yang mengancamku? Itu memang keinginanku. Waktu kamu pergi, di situ aku berpikir. Sepertinya aku salah jika harus dekat kembali denganmu. Aku t