"Ternyata masih berani pulang dia," geram Rafni sambil menggeser langkahnya di belakangku, seperti berlindung dari pantauan Mas Agus. Sedangkan adiknya sudah tertawa riang dalam pelukan Mas Agus. Mas Agus pulang masih mengenakan pakaian yang dia pakai kemarin. Wajahnya terlihat sama kusutnya dengan pakaian yang dia kenakan, seperti orang bangun tidur. "Kakak jahat sama Adek, Pa. Suka bentak bentak." Terdengar Ayuni mulai mengadu. Mendengar pengaduan Ayuni semakin membuat Rafni menempelkan tubuhnya padaku. Walau pun kemarahannya sampai ke ubun-ubun, aku tahu putri sulungku ini takut pada papanya. "Kenapa kakak marah? Pasti Adek melakukan sesuatu yang membuat Kak Rafni marah." Ternyata Mas Agus menanggapi dengan cukup bijak. Dia tidak langsung meng-aminkan aduan Ayuni. "Adek mau ketemu Papa, terus kakak langsung marah-marah."Hening sewaktu-waktu. Mungkin Mas Agus bingung harus menjawab seperti apa. Aku dan Rafni juga masih membisu. Memperhatikan dua beranak itu dari jauh. Tidak ingi
"Mas, kenapa sambel dan sayur sebanyak itu kamu habiskan? Seharusnya cukup untuk makan kita sampai malam. Dan, ini aku belum makan tapi semuanya sudah ludes," cecarku didepan yang sibuk bermain ponsel. Sementara Ayuni sudah terlelap di sampingnya. Terpaksa aku melahap nasi putih yang dioles pada sambal mangkok supaya ada sedikit rasanya.Mas Agus cuek saja, seakan suaraku tidak sampai ke telinganya. Terlebih dia tidak mendongak dengan kedatanganku, tetap fokus pada ponsel dalam genggamannya."Itu sisa bahan kemarin yang aku masak, Mas. Udah nggak ada apa-apa lagi di rumah yang bisa di masak. Nanti malam kita mau makan apa?" Aku kembali berucap meski Mas Agus terus mengabaikanku."Kamu pikir sendiri lah gimana supaya bisa makan. Salah sendiri kenapa kamu habiskan jatah belanja yang aku berikan," pungkas Mas Agus santai tanpa menoleh ke arahku."Mau cari di mana, Mas? Mas tahu sendiri kalau selama ini aku hanya mengandalkanmu, Mas," ujarku pasrah.Tak habis pikir melihat Mas Agus yang s
"Mulai berani kamu sekarang, ya! Berani kamu mengadukan perbuatan Mas pada ibu-ibu komplek!" tuding Mas Agus begitu aku sampai di depannya. "Udah puas menertawakan, Mas? Hah!" Tatapannya garang menatapku. Seakan mampu melahapku hidup-hidup. "Maaf, Mas. Aku pergi hanya untuk menghibur diri. Apa salahnya jika aku berkumpul dengan ibu-ibu yang lain. Sementara Mas juga nongkrong bersama teman-teman, Mas. Bahkan sampai pergi dengan perempuan panggilan pula." Entah apa yang membuatku mulai berani untuk melawannya. Rasanya tidak betul jika aku harus selalu mengalah. Dia yang salah."Tuh kan, liat saja! Baru sekali berkumpul dengan mereka, kamu sudah mulai berani melawan suami. Memang dasar istri benalu tidak tahu diri, masih untung aku mau menampung dan memberimu makan. Jika tidak, sudah jadi gembel kamu di sini!" Setiap kata yang keluar dari mulut Mas Agus kini hanya umpatan dan kemarahan."Jaga bicara kamu, Mas! Aku ini istrimu, memang wajib kamu nafkahi," bentakku ikut meninggikan suara
“Mas, berangkat, Dek,” kata Mas Agus di depan pintu. Dia selesai memakai sepatu hendak berangkat. Sikapnya kembali biasa, seperti tidak ada bencana dalam bahtera kami.“Iya, Mas,” jawabku menyusul mendekatinya untuk mengecup punggung tangannya. Sebuah kebiasaan yang tidak perah lupa aku lakukan semenjak awal menikah, berharap keberkahan di sana. Mungkin saja kebiasaan kecil ini yang membuat rumah tangga kami masih bertahan. Meski hati marah, kebiasaan seakan sudah menjadi hal wajib yang harus aku lakukan.Seperti biasa Mas Agus langsung berangkat kerja setelah sarapan. Dia tidak mau tau dengan anak sulung kami yang juga akan berangkat sekolah. Baginya tugas mengantar Rafni ke sekolah adalah tanggung jawabku. Tugas dia menjamin uang jajan dan biaya sekolah Rafni terpenuhi. Walaupun belakangan dia mulai lupa dengan tanggung jawabnya.Kami hanya mempunyai satu kendaraan, yaitu sepeda motor yang selalu dipakai Mas Agus untuk pergi kerja. Makanya aku tidak bisa pergi kemana-mana karena
“Saatnya berikan hidangan terbaik untuk tetangga yang baik hati,” ujarku girang seraya melangkah ringan menuju rumah. Aku tidak mau mengecewakan Mbak Jum yang telah menyelamatkanku dari ancaman kelaparan hari ini. Sementara Ayuni kutitipkan bersama Mbak Jum, putri bungsuku itu senang bermain di rumah Mbak Jum karena banyak mainan bekas anak Mbak Jum yang sekarang sudah besar. Ikan pemberian Mbak Jum langsung kumasak tumis cabe hijau sesuai permintaannya. Beberapa ekor aku bakar untuk kedua putriku yang tidak suka pedas, kemudian sisanya aku goreng, disimpan buat stok besok.Selesai bagian tumis, langsung aku bagi dua, satu mangkok untukku, satu lagi untuk Mbak Jum. Untuk bagian Mbak Jum sengaja aku buat lebih banyak. Segera kuantar mangkok yang berisi tumis ikan itu ke rumah Mbak Jum, khawatir Mas Rahmad, suami Mbak Jum pulang cepat pada jam istirahat makan siang. Berbeda dengan Mas Agus, Mas Rahmad selalu pulang ke rumah saat istirahat siang. Selain itu aku juga harus segera m
“Pantas saja kamu terlihat begitu kelelahan, Mas. Ternyata kamu habis senang-senang dengan perempuan lain,” lirihku dengan suara bergetar.Menyesal rasanya karena sempat kasihan melihat dia yang begitu keletihan, ternyata letihnya Mas Agus disebabkan hal lain bukan karena sibuk banting tulang demi kami, keluarganya.“Aku kira kemarin, kamu sekedar nongkrong aja dengan perempuan itu. Ternyata telah berbuat lebih. Kurang ajar kamu, Mas!” Dalam pikiran awamku, Mas Agus tidak akan pernah menduakanku.Memang bodohnya aku yang masih mengira Mas Agus mencintaiku. Padahal kemarin sudah nyata bukti di depan mata namun hatiku masih terus ingin menyangkalnya dan kini kudapati bukti satu lagi. Entah lah, rasanya ada yang luka tapi tidak berdarah.Isak tangisku yang cukup keras membangunkan Mas Agus. Namun, dia hanya memandangku sekilas, setelah itu berlalu begitu saja meninggalkan kamar dan tidak kembali lagi hingga aku terlelap.“Melihatku menangis saja kamu tidak peduli, Mas. Memang sudah
“Ya, Allah kenapa seberat ini cobaan yang Engkau berikan padaku?” lirihku mulai terisak ketika Mas Agus sudah berangkat.Aku merosot di lantai ketika semua persendianku kehilangan tenaga untuk menopang bobot tubuhku. Sakit yang kurasakan ini lebih pedih dari pada pengusiran mama dan papa dulu. Terlebih saat ini aku tidak mempunyai siapa-siapa untuk tempat mengadu.Sepuasnya aku menumpahkan air mata, berharap bisa menghilangkan sedikit sesak yang memenuhi dada. “Mama kenapa menangis? Berantem lagi sama papa?” Tanpa kusadari ternyata Ayuni sudah berada di dekatku. Tangan mungilnya menyeka air mata yang mengalir di pipiku. Semakin tersayat hatiku melihat perhatiannya, tidak seharusnya anak sekecil itu menyaksikan permasalahan orang tuanya.“Tidak, Nak. Mama tadi kelilipan debu pas membersihkan jendela,” ucapku berkilah. Segera aku mengusap semua sisa air mata.“Tapi Mama tidak lagi memegang kemoceng.” Ayuni terlalu pintar untuk bisa kubohongi.“Sini peluk Mama dulu.” Aku mengalihkan pemb
“Mba Selvi bicara apa sih! Mana mungkin lah aku chat suami, Mbak. Tujuannya apa, coba?” jawab Yuni terkekeh sambil mengibaskan tangannya. Namun, aku bisa menangkap kegugupan dari sikapnya.Aku yakin jika foto profil kontak baru yang menghubungi Mas Agus semalam adalah foto Yuni, wanita dalam foto tersebut terlihat mirip sekali dengan dirinya. Ketika berhadap-hadapan begini aku langsung membayangkan foto profil kontak wa semalam. Tentu Yuni tidak akan berterus terang, bisa turun derajatnya jika ketahuan selingkuh dengan seorang karyawan bawahan sementara dia adalah staf inti di pabrik pengolahan buah sawit tersebut.“Oh, kalau bukan Mbak Yuni syukur, deh,” timpalku santai seraya mengangkat bahu. Aku beralih menatap Mbak Jum yang melongo memandangku. “Cuma nanya aja,” ujarku seakan menjawab rasa penasaran Mbak Jum yang tak terucapkan.Kemudian kami mulai menyibukkan diri masing-masing ketika rasa canggung mulai tercipta. Tidak ada lagi yang berani bersuara hingga Yuni selesai mem
Tanpa menjelaskan apa-apa, Salman langsung memerintahkan dua orang pria berseragam polisi untuk menangkap Mas Agus.Bukan Mas Agus saja yang terlonjak kaget, aku pun heran mendapati Salman yang langsung membawa polisi masuk ke ruanganku, terlebih untuk menangkap Mas Agus, ayah dari anak-anakku.Dua orang polisi itu pun langsung bergerak sesuai perintah Salman mendekati Mas Agus yang tidak sempat melawan. Dengan gerakan sigap keduanya memegang tangan Mas Agus kemudian memborgolnya.. Mas Agus yang masih kaget tidak bisa berbuat apa-apa, terlihat pasrah ketika gelang besi itu sudah melingkar di pergelangan tangannya.“Ada apa ini, Salman? Kenapa kamu menyuruh polisi menangkap Mas Agus?” tanyaku heran. Protes lebih tepatnya, kenapa dia membuat keputusan sepihak begitu tanpa persetujuanku.Memang secara nyata hanya gelar CEO yang aku miliki, sementara semua pekerjaannya dia yang handle. Tapi tidak begini juga.Aku tahu Mas Agus telah banyak berbuat salah. Namun, di sisi lain dia salah
Ternyata perkenalan dengan para karyawan tidak semenakutkan yang aku bayangkan. Mereka menerimaku dengan sambutan yang meriah, meski masih ada beberapa pandangan tak suka yang kutangkap dari yang duduk di kursi bagian depan, yang kuduga mereka adalah para staf.Aku mencoba tak peduli dengan mereka yang tidak suka, toh masih banyak para karyawan yang menyambutku dengan baik. Aku anggap itu sebagai dukungan.“Lega akhirnya bisa berdiri memperkenalkan diri di hadapan mereka semua,” ucapku semringah pada Salman yang terus mendampingiku hingga acara selesai.Kini kami melangkah beriringan kembali ke ruanganku setelah acara selesai.Semenjak acara berlangsung tadi aku menahan diri supaya tidak berbicara dengannya. Padahal tanganku sudah bergerak-gerak ingin menyentuhnya untuk meluapkan kebahagiaan yang memuncak di dada. Tak ku pikirkan lagi Mas Agus yang sekarang entah berada di mana.Kebahagiaan ini hanya ingin kubagi dengan Salman saja.“Kamu kira menghadapi gerombolan monster sampa
Dalam perjalanan menuju ke perusahaan aku tidak berani bersuara. Aku hanya menjawab setiap tanya yang dilontarkan Salman. Wajah merah padamnya terus terngiang di benakku. Bagai mana jika dia melampiaskan kemarahannya padaku karena Mas Agus sudah tidak ada?“Kenapa diam saja? Tak suka suamimu aku bentak-bentak?” Terdengar Salman berbicara di sampingku.“Bukan gitu, aku hanya takut melihat rautmu, kayak ... siap menerkamku.” Jujur aku mengakui perasaan di hati. Biar saja dia beranggapan apa padaku.Terdengar lagi suara keluar dari mulut Salman, kali ini seperti dia sedang membuang napas. Kulihat dia memukul dadanya pelan.“Kenapa? Kamu sakit?” tanyaku berubah cemas.“Nggak, cuman terasa nyeri di sini.” Salman menekan dadanya dengan telapak tangan yang masih menempel di sana.Kecemasanku kian bertambah ketika melihat dia meringis menahan sakit. “Kita ke rumah sakit dulu aja kalau terlalu sakit. Aku nggak mau nanti terjadi apa-apa sama kamu,” pungkasku ikut mengernyit. Aku paling ti
Ceklek! Bam! Pintu bagian belakang terbuka lalu di tutup kembali, bersamaan dengan itu muncul penumpang lain di bagian belakang. Salman yang hendak menghidupkan mobil menjadi urung karena kaget dengan kedatangan penumpang tak diundang itu.Netranya beralih menatapku tajam, bisa kutebak dia ingin menuntut penjelasan padaku mengenai keberadaan Mas Agus bersama kami. Dia mungkin tidak tahu, jika pria yang masih bergelar suamiku itu semalam menginap di rumahku.Aku hanya mengangkat bahu sekilas sebelum berbalik pada Mas Agus.“Mas, kamu ngapain?” pekikku setengah tertahan melihat Mas Agus sudah duduk di bangku belakang. Kudengar geraman rendah keluar dari mulut Salman. Dia pasti kesal melihat penumpang gelap di belakang.“Mau pergi ke perusahaan bareng kamu,” jawab Mas Agus santai. Dia menyugar rambutnya yang masih setengah basah, entah apa maksudnya. Ingin terlihat keren di depan Salman kah? Atau ingin memanasi Salman.“Kamu bisa pergi sendiri, Mas. Nggak harus bareng denganku,” ucapku
Hampir meloncat jantungku mendengar ucapan Mas Agus yang berdiri di depan pintu.Dia bilang apa barusan? Memintaku untuk tidur sekamar dengannya? ‘Dasar laki-laki rakus! Tak akan pernah aku mau satu ranjang dengannya lagi!’ rutukku dalam hati.Bayangan dia bergumul penuh mesra dengan Yuni membuat perutku mual dan perasaan jijik memenuhi dada. Nggak akan pernah aku mau memakai cangkul yang sudah merambah di ladang orang lain, apalagi itu ladang milik Yuni. Najis!“Suaminya manggil tuh, Ma. Cepat temani sana, bukannya Mama yang mengizinkan dia tinggal di sini?” ujar Rafni menyindirku.Baru saja aku hendak menolak Mas Agus, tapi ucapan Rafni yang menohok langsung ke ulu hatiku membuat kuurung untuk bersuara.Jika kutolak Mas Agus sekarang di depan Rafni, dan Rafni juga menolakku tidur bersama mereka akan membuat posisiku tak menguntungkan. Bisa saja Mas Agus mengambil kesempatan untuk mendesakku supaya bisa tidur dengannya.Kupaksa otakku bekerja keras untuk memikirkan jalan keluarnya d
“Ngapain dia di sini, Ma? Mau apa lagi dia ke sini?” Pertanyaan tidak suka itu dilayangkan oleh Rafni begitu melihat Mas Agus rebahan di depan televisi saat dia pulang.Dia menyusulku ke kamar khusus untuk menanyakan keberadaan Mas Agus. Sementara adiknya langsung mengambil mainan baru yang diberikan Sonia. Dia tidak begitu peduli pada Rafni terdengar marah. “Nak, Papa masih orang tuamu, tidak baik kamu berucap seperti itu.” Aku menegur ucapannya yang menurutku kata-katanya tidak cocok keluar dari mulutnya sebagai anak. Sebenci apa pun dia terhadap salah satu orang tuanya, aku tetap tidak suka mendengar dia berucap tak sopan mengenai mereka. Cukup membenci saja.“Aku tidak mempunyai orang tua yang suka menyakiti, Ma. Aku cuma punya Mama.” Meninggi suara Rafni, dadanya terlihat naik turun saat dia harus mengatur napas bersamaan dengan meluapkan emosi yang membuncah di dada.“Mama tidak menyuruhnya ke sini. Tadi, ketika Mama masuk ke rumah Papamu sudah berada di sini sedang bermain den
“Ngapain di sini, Mas?” tanyaku kaget pada pria yang sudah lama tak kulihat itu.Di depanku, Mas Agus sedang bermain bersama Ayuni. Membuka perintilan mainan makeup yang tadi Sonia berikan.Tidak terlihat kaget dengan kedatanganku, Mas Agus tampak asyik mendengar ocehan Ayuni yang menjelaskan nama-nama alat makeup di tangannya.“Mas!” panggilku lagi. Sedikit membentak sehingga mampu mengalihkan perhatiannya. Salah sendiri, kenapa pura-pura budek.“Apa salahnya Mas pulang, Dek, ini kan rumah Mas juga.” Mas Agus mendongak sebentar ke arahku kemudian kembali meladeni Ayuni. Panggilannya itu, kembali memanggilku 'Dek' setelah beberapa waktu lalu terang-terangan membentakku dengan memanggil namaku demi membela istri mudanya.Dan, memang benar ini rumah dia, tapi sudah lama sekali dia tidak pulang ke sini. “Aku kira kamu sudah melupakan kami, Mas. Tampak tertutup matamu melihat jalan ke rumah belakangan ini,” sindirku. Ucapanku seperti tak masuk ke pendengaran Mas Agus, terlihat dia cuek
“Emm, Salman ... aku bukan gadis remaja yang bisa kamu gombalin seperti itu. Jadi aku mohon berhenti merayuku dengan kata-kata yang bisa membuatku salah paham.” Aku bukannya perempuan yang terlalu polos sehingga tidak mengerti maksud ucapan Salman. Hati setiap wanita kurasa pasti akan sama, akan tergoyah jika terus-menerus mendengar kalimat gombalan. Sekuatnya aku menahan diri untuk tidak tergoda pada Salman tetap saja pesonanya kadang tak mampu kulewatkan, terlebih dia seperti memberi angin segar padaku yang terlihat juga menaruh perasaan padaku.“Siapa yang bilang kamu gadis remaja? Kamu itu emak-emak beranak dua,” timpal Salman dengan wajah sok polosnya.“Bukan secara harfiah juga, Salman! Au ah, males ngomong sama kamu.” Aku mendengkus seraya membuang muka membelakanginya. Kudengar kekehan di belakang kepalaku.Setelahnya tercipta keheningan cukup lama di antara kami. Aku sedang sibuk menyusun kalimat yang bagus untuk mengutarakan niatku menjodohkan Salman kembali bersama Sonia.
Sonia yang sedang fokus mencatat produk skincare untuk kugunakan mendongak mendengar ucapanku.“Bantu apa?” tanyanya.Dari cara dia bertanya bisa kutangkap dia tak percaya dengan bantuan yang akan kuberikan. Jika dibandingkan aku dengannya, memang tidak meyakinkan sih aku bisa memberinya sesuatu. Bukan dilihat dari segi materi karena aku yakin Sonia bukan wanita penggila harta. Dengan keterampilan yang dia punya aja, dia sudah bisa bebas finansial.“Memang terdengar tidak meyakinkan sih, tapi sebagai imbalan atas kebaikanmu, aku akan berusaha membantumu sebisaku,” imbuhku serius. Terserah dia percaya atau tidak, tapi saat ini sedang bersungguh-sungguh.“Bantuannya ini apa dulu? Aku nggak meragukan kamu kok. Tapi aku harus tau kamu mau membantuku dari segi apa? Biar aku bisa menjelaskan apa saja yang harus kamu lakukan kalau benar-benar mau membantu,” balas Sonia terlihat serius, tapi setengah detik kemudian bibirnya merekah mengeluarkan kekehan lembut.“Bercanda ... apa pun yang akan