Home / Pernikahan / Dianggap Benalu Oleh Suamiku / 6. Mas Agus Tak Kunjung Kembali

Share

6. Mas Agus Tak Kunjung Kembali

Author: Yosi Hanr
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Siapa perempuannya, Pak Rahmad?" tanyaku penasaran. Meski hati sudah tidak karuan rasanya, tapi aku berusaha untuk tetap tenang.

"Aku nggak tau, Mbak Selvi. Orang di dalam bilang itu cewek panggilan," jawab Pak Rahmad ragu.

"Astaghfirullahhal'adzim!" pekikku syok mendapati suamiku mulai bertindak di luar kebiasaannya.

Mas Agus memang sudah jauh sekali berubah semenjak menjadi karyawan ini. Dia mulai bertindak semaunya. Sudah lama sekali dia tidak mabuk-mabukkan seperti ini, kalau tidak salah terakhir dia melakukannya saat kami hendak menikah dulu. Alasan dia melakukannya waktu itu untuk menghilangkan beban pikiran yang memenuhi kepalanya. Memang Mas Agus dulu stres mencari cara untuk mendapatkan restu dari orang tuaku. Walaupun akhirnya kami tetap bisa menikah, meski tanpa restu dari mereka.

Dan sekarang, apa yang membuatnya banyak pikiran? Dia sudah memiliki pekerjaan tetap dengan gaji mengalir tiap bulan. Sedangkan sepuluh tahun ke belakang dengan penghasilan seadanya dia tidak merasa terbebani. Kenapa setelah mendapatkan pekerjaan layak justru membuatnya mabuk-mabukkan? Atau Mas Agus melakukannya sekarang hanya sekadar untuk gaya-gayaan? Membanggakan diri dengan penghasilan yang dimilikinya.

"Terus gimana, Pak? Kita harus mencari Mas Agus ke mana?" imbuhku gelisah. Hatiku semakin tak tenang mendapati Mas Agus tidak ada di sini. Terlebih mendapat kabar dia pergi dengan seorang perempuan.

"Aku juga bingung harus mencari Agus ke mana, Mbak Selvi. Apa perlu kita cek ke hotel yang ada di kota kecamatan?" Pak Rahmad terlihat sama gelisahnya denganku. Dia memberi saran yang membuatku semakin meradang. Beberapa hotel memang ada di kota kecamatan, tapi jarak tempuh ke sana dari tempat tinggalku lumayan jauh, bisa menghabiskan waktu kurang lebih satu jam perjalanan. Mustahil berangkat ke sana di tengah malam begini. Lagi pula aku tidak nyaman harus bepergian dengan para suami tetanggaku ini terlalu jauh. Pergi ke warung ini saja sudah membuatku tidak enak.

"Kalau ke kota kecamatan, Mbak Selvi sebaiknya jangan pergi. Biar kami saja yang telusuri ke sana. Sudah hampir tengah malam, tidak baik perempuan berada di luar rumah pada jam segini." Reno Suami Tika ikut menimpali. Dia putra daerah asli kampung sini, masih kuat memegang teguh aturan adat Melayu dalam kehidupannya.

Para pria yang lain pun menyetujui ucapan Reno. "Iya. Sebaiknya kita cepat ambil keputusan apa yang harus dilakukan. Tidak baik lama-lama berdiri di depan warung begini, apalagi ada seorang perempuan di antara kita," ucap salah seorang pria dalam rombongan juga ikut menimpali.

"Mana baiknya saja, Bapak-bapak. Tidak pergi ke kota kecamatan pun tidak masalah. Seandainya terjadi sesuatu pada Mas Agus pasti kabarnya akan sampai pada kita. Sebaiknya kita pulang saja." Aku tidak ingin merepotkan mereka lebih banyak lagi. Sadar beberapa orang di dalam rombongan adalah rekan kerja Mas Agus di pabrik yang harus masuk kerja setengah tujuh pagi, aku tentu tidak ingin membuat mereka terlambat masuk kerja esok pagi karena kesiangan.

"Kita pulang saja, Pak Rahmad," ulangku memastikan.

"Terus si Agus gimana?"

"Biarkan saja. Aku terima apa pun nanti kabar yang akan datang ke rumah. Dia yang memilih jalannya sendiri," ujarku pasrah. Walau pun nanti dicari, pasti susah menemukannya karena tidak memiliki tanda-tanda keberadaan Mas Agus.

Akhirnya semua sepakat untuk kembali ke rumah. Meski ada beberapa di antara bapak-bapak dalam rombongan yang menawarkan diri untuk terus mencari Mas Agus, tapi kularang. Percuma saja rasanya. Toh, nanti Mas Agus juga akan pulang sendiri jika dia masih ingat dengan kami keluarganya.

**

Hingga pagi aku tidak bisa memejamkan mata sepicing pun. Aku terus gelisah menunggu kepulangan Mas Agus. Matahari sudah menyingsing tinggi, semua orang sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Namun, Mas Agus tak kunjung memperlihatkan tanda-tanda kepulangannya.

"Papa belum pulang juga, Ma?" Ayuni bertanya padaku ketika mendapati rumah masih tetap kosong. Kami baru saja kembali dari menjemput Rafni pulang sekolah.

"Biarkan saja orang jahat itu nggak pulang!" Rafni ikut menimpali. Dia berceletuk sambil membuka sepatu.

"Papa bukan orang jahat! Kak Rafni yang jahat! Kak Rafni yang membuat papa pergi dari rumah." Ayuni langsung meneriaki kakaknya. Tidak terima mendengar ucapan sang kakak.

"Kamu nggak liat kemarin Mama pingsan gara-gara papa? Itu tandanya papa yang jahat!" Rafni kembali membalas dengan lengkingan tak kalah tinggi.

"Kak ... ganti baju gih, setelah itu kita makan." Aku berusaha menengahi. Tidak nyaman juga melihat kedua putriku bertengkar karena papanya. Sementara orang yang mereka bicarakan entah berada di mana saat ini. Tanpa peduli pada mereka.

"Iya, Ma," jawab Rafni lesu. Dia berjalan gontai menuju kamarnya. Sementara Ayuni mengekor di belakangku menuju meja makan.

"Adek nggak mau makan, Ma. Adek maunya ketemu papa," ucap Ayuni memasang wajah cemberut.

"Kita makan sambil menunggu papa pulang, ya. Mungkin sebentar lagi papa pulang," bujukku lembut. Kasihan rasanya harus membohongi Ayuni dengan mengatakan Mas Agus akan pulang. Padahal aku sendiri ragu akan suamiku itu apa dia ingat jalan pulang atau sudah melupakan kami.

Aku tidak menyangka hanya karena masalah kecil, aku kepergok membuka dompetnya, Mas Agus pergi meninggalkan kami. Memang kuakui perbuatanku salah, tapi itu kulakukan demi anak-anak bisa makan dan demi perut dia juga bisa terisi. Jika dia tidak mematok jatah belanjaku mungkin semuanya akan berjalan seperti biasa. Pagi ini dia akan pergi berangkat kerja dan malamnya kembali ke rumah.

Sekarang aku hanya bisa pasrahkan nasibku dan anak-anak pada Dzat Pengatur Kehidupan. Terserah Tuhan mau menuntun jalanku ke mana. Aku tidak mempunyai siapa-siapa di sini selain Mas Agus. Kedua orang tuaku dan orang tua Mas Agus tinggal di Pulau Jawa. Sementara kami setelah menikah dulu memilih merantau ke Pulau Sumatera, nekat mengadu nasib jauh dari keluarga.

Aku tidak ingin memikirkan nasibku yang harus berjuang sendirian menghidupi anak-anaknya tanpa Mas Agus. Selama ini aku selalu fokus menjadi ibu rumah tangga yang baik dan bergantung pada Mas Agus sehingga aku menjadi seorang perempuan tanpa memiliki skill apa-apa.

"Nggak mau! Pokoknya mau ketemu papa!" Ayuni berteriak lantang, menyentak lamunanku.

"Gini aja, kita makan dulu, setelah itu baru pergi mencari papa. Adek harus makan supaya ada tenaga untuk mencari papa." Aku terus membujuk si bungsu.

"Biarin aja dia nggak makan, Ma. Nanti kalau sakit biar dia tanggung sendiri akibatnya." Rafni sudah selesai berganti pakaian, sepertinya dia mendengar amukan Ayuni yang tidak mau makan. Putri sulungku kembali berujar ketus menanggapi Ayuni yang kembali menyinggung papa mereka.

"Kakak ...." Aku mendelik ke arahnya. "Jangan memarahi adikmu, dia tidak tahu apa-apa," ucapku menasehatinya. Meski aku juga ragu Rafni mengetahui yang sebenarnya. Bagiku Rafni masih terlalu kecil untuk mengetahui permasalahan orang dewasa.

"Kakak jahat! Kakak jahat! Adek nggak mau berteman sama kakak!" Ayuni yang semula mulai melunak, kembali menangis histeris mendengar ucapan Rafni. Bocah empat tahun itu bersimbah air mata sambil terus memanggil Mas Agus dalam tangisnya. "Papa, papa ... papa."

Aku kehilangan cara untuk menenangkan Ayuni. Kubiarkan dia menangis sejadi-jadinya, mungkin dengan begitu nanti hatinya akan menjadi sedikit tenang. Aku juga tidak ingin memarahi Rafni karena telah membuat adiknya menangis, menurutku tindakan dia sudah benar meski cara penyampaiannya masih terlalu keras.

Ketika aku dan Rafni saling diam memperhatikan Ayuni menangis, terdengar suara seseorang dari arah pintu depan. "Adek, kenapa menangis?"

Kami sontak menoleh ke sumber suara.

Seketika Ayuni langsung menghentikan tangisannya melihat siapa yang datang. Dia berseru riang sambil berlari mengejar papanya. "Papa ...."

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Riris Binben
laki2 pelit.... buang aja kelaut
goodnovel comment avatar
Fajar Indah
kasihan selvi
goodnovel comment avatar
Zudia
ikut mewek ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Dianggap Benalu Oleh Suamiku   7. Saling Membenci

    "Ternyata masih berani pulang dia," geram Rafni sambil menggeser langkahnya di belakangku, seperti berlindung dari pantauan Mas Agus. Sedangkan adiknya sudah tertawa riang dalam pelukan Mas Agus. Mas Agus pulang masih mengenakan pakaian yang dia pakai kemarin. Wajahnya terlihat sama kusutnya dengan pakaian yang dia kenakan, seperti orang bangun tidur. "Kakak jahat sama Adek, Pa. Suka bentak bentak." Terdengar Ayuni mulai mengadu. Mendengar pengaduan Ayuni semakin membuat Rafni menempelkan tubuhnya padaku. Walau pun kemarahannya sampai ke ubun-ubun, aku tahu putri sulungku ini takut pada papanya. "Kenapa kakak marah? Pasti Adek melakukan sesuatu yang membuat Kak Rafni marah." Ternyata Mas Agus menanggapi dengan cukup bijak. Dia tidak langsung meng-aminkan aduan Ayuni. "Adek mau ketemu Papa, terus kakak langsung marah-marah."Hening sewaktu-waktu. Mungkin Mas Agus bingung harus menjawab seperti apa. Aku dan Rafni juga masih membisu. Memperhatikan dua beranak itu dari jauh. Tidak ingi

  • Dianggap Benalu Oleh Suamiku   Mengurai Sedih

    "Mas, kenapa sambel dan sayur sebanyak itu kamu habiskan? Seharusnya cukup untuk makan kita sampai malam. Dan, ini aku belum makan tapi semuanya sudah ludes," cecarku didepan yang sibuk bermain ponsel. Sementara Ayuni sudah terlelap di sampingnya. Terpaksa aku melahap nasi putih yang dioles pada sambal mangkok supaya ada sedikit rasanya.Mas Agus cuek saja, seakan suaraku tidak sampai ke telinganya. Terlebih dia tidak mendongak dengan kedatanganku, tetap fokus pada ponsel dalam genggamannya."Itu sisa bahan kemarin yang aku masak, Mas. Udah nggak ada apa-apa lagi di rumah yang bisa di masak. Nanti malam kita mau makan apa?" Aku kembali berucap meski Mas Agus terus mengabaikanku."Kamu pikir sendiri lah gimana supaya bisa makan. Salah sendiri kenapa kamu habiskan jatah belanja yang aku berikan," pungkas Mas Agus santai tanpa menoleh ke arahku."Mau cari di mana, Mas? Mas tahu sendiri kalau selama ini aku hanya mengandalkanmu, Mas," ujarku pasrah.Tak habis pikir melihat Mas Agus yang s

  • Dianggap Benalu Oleh Suamiku   Penghinaan yang tak akan terlupakan

    "Mulai berani kamu sekarang, ya! Berani kamu mengadukan perbuatan Mas pada ibu-ibu komplek!" tuding Mas Agus begitu aku sampai di depannya. "Udah puas menertawakan, Mas? Hah!" Tatapannya garang menatapku. Seakan mampu melahapku hidup-hidup. "Maaf, Mas. Aku pergi hanya untuk menghibur diri. Apa salahnya jika aku berkumpul dengan ibu-ibu yang lain. Sementara Mas juga nongkrong bersama teman-teman, Mas. Bahkan sampai pergi dengan perempuan panggilan pula." Entah apa yang membuatku mulai berani untuk melawannya. Rasanya tidak betul jika aku harus selalu mengalah. Dia yang salah."Tuh kan, liat saja! Baru sekali berkumpul dengan mereka, kamu sudah mulai berani melawan suami. Memang dasar istri benalu tidak tahu diri, masih untung aku mau menampung dan memberimu makan. Jika tidak, sudah jadi gembel kamu di sini!" Setiap kata yang keluar dari mulut Mas Agus kini hanya umpatan dan kemarahan."Jaga bicara kamu, Mas! Aku ini istrimu, memang wajib kamu nafkahi," bentakku ikut meninggikan suara

  • Dianggap Benalu Oleh Suamiku   Rezeki tak terduga

    “Mas, berangkat, Dek,” kata Mas Agus di depan pintu. Dia selesai memakai sepatu hendak berangkat. Sikapnya kembali biasa, seperti tidak ada bencana dalam bahtera kami.“Iya, Mas,” jawabku menyusul mendekatinya untuk mengecup punggung tangannya. Sebuah kebiasaan yang tidak perah lupa aku lakukan semenjak awal menikah, berharap keberkahan di sana. Mungkin saja kebiasaan kecil ini yang membuat rumah tangga kami masih bertahan. Meski hati marah, kebiasaan seakan sudah menjadi hal wajib yang harus aku lakukan.Seperti biasa Mas Agus langsung berangkat kerja setelah sarapan. Dia tidak mau tau dengan anak sulung kami yang juga akan berangkat sekolah. Baginya tugas mengantar Rafni ke sekolah adalah tanggung jawabku. Tugas dia menjamin uang jajan dan biaya sekolah Rafni terpenuhi. Walaupun belakangan dia mulai lupa dengan tanggung jawabnya.Kami hanya mempunyai satu kendaraan, yaitu sepeda motor yang selalu dipakai Mas Agus untuk pergi kerja. Makanya aku tidak bisa pergi kemana-mana karena

  • Dianggap Benalu Oleh Suamiku   Sedih yang Bertubi

    “Saatnya berikan hidangan terbaik untuk tetangga yang baik hati,” ujarku girang seraya melangkah ringan menuju rumah. Aku tidak mau mengecewakan Mbak Jum yang telah menyelamatkanku dari ancaman kelaparan hari ini. Sementara Ayuni kutitipkan bersama Mbak Jum, putri bungsuku itu senang bermain di rumah Mbak Jum karena banyak mainan bekas anak Mbak Jum yang sekarang sudah besar. Ikan pemberian Mbak Jum langsung kumasak tumis cabe hijau sesuai permintaannya. Beberapa ekor aku bakar untuk kedua putriku yang tidak suka pedas, kemudian sisanya aku goreng, disimpan buat stok besok.Selesai bagian tumis, langsung aku bagi dua, satu mangkok untukku, satu lagi untuk Mbak Jum. Untuk bagian Mbak Jum sengaja aku buat lebih banyak. Segera kuantar mangkok yang berisi tumis ikan itu ke rumah Mbak Jum, khawatir Mas Rahmad, suami Mbak Jum pulang cepat pada jam istirahat makan siang. Berbeda dengan Mas Agus, Mas Rahmad selalu pulang ke rumah saat istirahat siang. Selain itu aku juga harus segera m

  • Dianggap Benalu Oleh Suamiku   Hilang Kebahagiaan

    “Pantas saja kamu terlihat begitu kelelahan, Mas. Ternyata kamu habis senang-senang dengan perempuan lain,” lirihku dengan suara bergetar.Menyesal rasanya karena sempat kasihan melihat dia yang begitu keletihan, ternyata letihnya Mas Agus disebabkan hal lain bukan karena sibuk banting tulang demi kami, keluarganya.“Aku kira kemarin, kamu sekedar nongkrong aja dengan perempuan itu. Ternyata telah berbuat lebih. Kurang ajar kamu, Mas!” Dalam pikiran awamku, Mas Agus tidak akan pernah menduakanku.Memang bodohnya aku yang masih mengira Mas Agus mencintaiku. Padahal kemarin sudah nyata bukti di depan mata namun hatiku masih terus ingin menyangkalnya dan kini kudapati bukti satu lagi. Entah lah, rasanya ada yang luka tapi tidak berdarah.Isak tangisku yang cukup keras membangunkan Mas Agus. Namun, dia hanya memandangku sekilas, setelah itu berlalu begitu saja meninggalkan kamar dan tidak kembali lagi hingga aku terlelap.“Melihatku menangis saja kamu tidak peduli, Mas. Memang sudah

  • Dianggap Benalu Oleh Suamiku   Mulai Berencana

    “Ya, Allah kenapa seberat ini cobaan yang Engkau berikan padaku?” lirihku mulai terisak ketika Mas Agus sudah berangkat.Aku merosot di lantai ketika semua persendianku kehilangan tenaga untuk menopang bobot tubuhku. Sakit yang kurasakan ini lebih pedih dari pada pengusiran mama dan papa dulu. Terlebih saat ini aku tidak mempunyai siapa-siapa untuk tempat mengadu.Sepuasnya aku menumpahkan air mata, berharap bisa menghilangkan sedikit sesak yang memenuhi dada. “Mama kenapa menangis? Berantem lagi sama papa?” Tanpa kusadari ternyata Ayuni sudah berada di dekatku. Tangan mungilnya menyeka air mata yang mengalir di pipiku. Semakin tersayat hatiku melihat perhatiannya, tidak seharusnya anak sekecil itu menyaksikan permasalahan orang tuanya.“Tidak, Nak. Mama tadi kelilipan debu pas membersihkan jendela,” ucapku berkilah. Segera aku mengusap semua sisa air mata.“Tapi Mama tidak lagi memegang kemoceng.” Ayuni terlalu pintar untuk bisa kubohongi.“Sini peluk Mama dulu.” Aku mengalihkan pemb

  • Dianggap Benalu Oleh Suamiku   Secercah Harapan

    “Mba Selvi bicara apa sih! Mana mungkin lah aku chat suami, Mbak. Tujuannya apa, coba?” jawab Yuni terkekeh sambil mengibaskan tangannya. Namun, aku bisa menangkap kegugupan dari sikapnya.Aku yakin jika foto profil kontak baru yang menghubungi Mas Agus semalam adalah foto Yuni, wanita dalam foto tersebut terlihat mirip sekali dengan dirinya. Ketika berhadap-hadapan begini aku langsung membayangkan foto profil kontak wa semalam. Tentu Yuni tidak akan berterus terang, bisa turun derajatnya jika ketahuan selingkuh dengan seorang karyawan bawahan sementara dia adalah staf inti di pabrik pengolahan buah sawit tersebut.“Oh, kalau bukan Mbak Yuni syukur, deh,” timpalku santai seraya mengangkat bahu. Aku beralih menatap Mbak Jum yang melongo memandangku. “Cuma nanya aja,” ujarku seakan menjawab rasa penasaran Mbak Jum yang tak terucapkan.Kemudian kami mulai menyibukkan diri masing-masing ketika rasa canggung mulai tercipta. Tidak ada lagi yang berani bersuara hingga Yuni selesai mem

Latest chapter

  • Dianggap Benalu Oleh Suamiku   103

    Tanpa menjelaskan apa-apa, Salman langsung memerintahkan dua orang pria berseragam polisi untuk menangkap Mas Agus.Bukan Mas Agus saja yang terlonjak kaget, aku pun heran mendapati Salman yang langsung membawa polisi masuk ke ruanganku, terlebih untuk menangkap Mas Agus, ayah dari anak-anakku.Dua orang polisi itu pun langsung bergerak sesuai perintah Salman mendekati Mas Agus yang tidak sempat melawan. Dengan gerakan sigap keduanya memegang tangan Mas Agus kemudian memborgolnya.. Mas Agus yang masih kaget tidak bisa berbuat apa-apa, terlihat pasrah ketika gelang besi itu sudah melingkar di pergelangan tangannya.“Ada apa ini, Salman? Kenapa kamu menyuruh polisi menangkap Mas Agus?” tanyaku heran. Protes lebih tepatnya, kenapa dia membuat keputusan sepihak begitu tanpa persetujuanku.Memang secara nyata hanya gelar CEO yang aku miliki, sementara semua pekerjaannya dia yang handle. Tapi tidak begini juga.Aku tahu Mas Agus telah banyak berbuat salah. Namun, di sisi lain dia salah

  • Dianggap Benalu Oleh Suamiku   102

    Ternyata perkenalan dengan para karyawan tidak semenakutkan yang aku bayangkan. Mereka menerimaku dengan sambutan yang meriah, meski masih ada beberapa pandangan tak suka yang kutangkap dari yang duduk di kursi bagian depan, yang kuduga mereka adalah para staf.Aku mencoba tak peduli dengan mereka yang tidak suka, toh masih banyak para karyawan yang menyambutku dengan baik. Aku anggap itu sebagai dukungan.“Lega akhirnya bisa berdiri memperkenalkan diri di hadapan mereka semua,” ucapku semringah pada Salman yang terus mendampingiku hingga acara selesai.Kini kami melangkah beriringan kembali ke ruanganku setelah acara selesai.Semenjak acara berlangsung tadi aku menahan diri supaya tidak berbicara dengannya. Padahal tanganku sudah bergerak-gerak ingin menyentuhnya untuk meluapkan kebahagiaan yang memuncak di dada. Tak ku pikirkan lagi Mas Agus yang sekarang entah berada di mana.Kebahagiaan ini hanya ingin kubagi dengan Salman saja.“Kamu kira menghadapi gerombolan monster sampa

  • Dianggap Benalu Oleh Suamiku   101

    Dalam perjalanan menuju ke perusahaan aku tidak berani bersuara. Aku hanya menjawab setiap tanya yang dilontarkan Salman. Wajah merah padamnya terus terngiang di benakku. Bagai mana jika dia melampiaskan kemarahannya padaku karena Mas Agus sudah tidak ada?“Kenapa diam saja? Tak suka suamimu aku bentak-bentak?” Terdengar Salman berbicara di sampingku.“Bukan gitu, aku hanya takut melihat rautmu, kayak ... siap menerkamku.” Jujur aku mengakui perasaan di hati. Biar saja dia beranggapan apa padaku.Terdengar lagi suara keluar dari mulut Salman, kali ini seperti dia sedang membuang napas. Kulihat dia memukul dadanya pelan.“Kenapa? Kamu sakit?” tanyaku berubah cemas.“Nggak, cuman terasa nyeri di sini.” Salman menekan dadanya dengan telapak tangan yang masih menempel di sana.Kecemasanku kian bertambah ketika melihat dia meringis menahan sakit. “Kita ke rumah sakit dulu aja kalau terlalu sakit. Aku nggak mau nanti terjadi apa-apa sama kamu,” pungkasku ikut mengernyit. Aku paling ti

  • Dianggap Benalu Oleh Suamiku   100

    Ceklek! Bam! Pintu bagian belakang terbuka lalu di tutup kembali, bersamaan dengan itu muncul penumpang lain di bagian belakang. Salman yang hendak menghidupkan mobil menjadi urung karena kaget dengan kedatangan penumpang tak diundang itu.Netranya beralih menatapku tajam, bisa kutebak dia ingin menuntut penjelasan padaku mengenai keberadaan Mas Agus bersama kami. Dia mungkin tidak tahu, jika pria yang masih bergelar suamiku itu semalam menginap di rumahku.Aku hanya mengangkat bahu sekilas sebelum berbalik pada Mas Agus.“Mas, kamu ngapain?” pekikku setengah tertahan melihat Mas Agus sudah duduk di bangku belakang. Kudengar geraman rendah keluar dari mulut Salman. Dia pasti kesal melihat penumpang gelap di belakang.“Mau pergi ke perusahaan bareng kamu,” jawab Mas Agus santai. Dia menyugar rambutnya yang masih setengah basah, entah apa maksudnya. Ingin terlihat keren di depan Salman kah? Atau ingin memanasi Salman.“Kamu bisa pergi sendiri, Mas. Nggak harus bareng denganku,” ucapku

  • Dianggap Benalu Oleh Suamiku   99

    Hampir meloncat jantungku mendengar ucapan Mas Agus yang berdiri di depan pintu.Dia bilang apa barusan? Memintaku untuk tidur sekamar dengannya? ‘Dasar laki-laki rakus! Tak akan pernah aku mau satu ranjang dengannya lagi!’ rutukku dalam hati.Bayangan dia bergumul penuh mesra dengan Yuni membuat perutku mual dan perasaan jijik memenuhi dada. Nggak akan pernah aku mau memakai cangkul yang sudah merambah di ladang orang lain, apalagi itu ladang milik Yuni. Najis!“Suaminya manggil tuh, Ma. Cepat temani sana, bukannya Mama yang mengizinkan dia tinggal di sini?” ujar Rafni menyindirku.Baru saja aku hendak menolak Mas Agus, tapi ucapan Rafni yang menohok langsung ke ulu hatiku membuat kuurung untuk bersuara.Jika kutolak Mas Agus sekarang di depan Rafni, dan Rafni juga menolakku tidur bersama mereka akan membuat posisiku tak menguntungkan. Bisa saja Mas Agus mengambil kesempatan untuk mendesakku supaya bisa tidur dengannya.Kupaksa otakku bekerja keras untuk memikirkan jalan keluarnya d

  • Dianggap Benalu Oleh Suamiku   98

    “Ngapain dia di sini, Ma? Mau apa lagi dia ke sini?” Pertanyaan tidak suka itu dilayangkan oleh Rafni begitu melihat Mas Agus rebahan di depan televisi saat dia pulang.Dia menyusulku ke kamar khusus untuk menanyakan keberadaan Mas Agus. Sementara adiknya langsung mengambil mainan baru yang diberikan Sonia. Dia tidak begitu peduli pada Rafni terdengar marah. “Nak, Papa masih orang tuamu, tidak baik kamu berucap seperti itu.” Aku menegur ucapannya yang menurutku kata-katanya tidak cocok keluar dari mulutnya sebagai anak. Sebenci apa pun dia terhadap salah satu orang tuanya, aku tetap tidak suka mendengar dia berucap tak sopan mengenai mereka. Cukup membenci saja.“Aku tidak mempunyai orang tua yang suka menyakiti, Ma. Aku cuma punya Mama.” Meninggi suara Rafni, dadanya terlihat naik turun saat dia harus mengatur napas bersamaan dengan meluapkan emosi yang membuncah di dada.“Mama tidak menyuruhnya ke sini. Tadi, ketika Mama masuk ke rumah Papamu sudah berada di sini sedang bermain den

  • Dianggap Benalu Oleh Suamiku   97

    “Ngapain di sini, Mas?” tanyaku kaget pada pria yang sudah lama tak kulihat itu.Di depanku, Mas Agus sedang bermain bersama Ayuni. Membuka perintilan mainan makeup yang tadi Sonia berikan.Tidak terlihat kaget dengan kedatanganku, Mas Agus tampak asyik mendengar ocehan Ayuni yang menjelaskan nama-nama alat makeup di tangannya.“Mas!” panggilku lagi. Sedikit membentak sehingga mampu mengalihkan perhatiannya. Salah sendiri, kenapa pura-pura budek.“Apa salahnya Mas pulang, Dek, ini kan rumah Mas juga.” Mas Agus mendongak sebentar ke arahku kemudian kembali meladeni Ayuni. Panggilannya itu, kembali memanggilku 'Dek' setelah beberapa waktu lalu terang-terangan membentakku dengan memanggil namaku demi membela istri mudanya.Dan, memang benar ini rumah dia, tapi sudah lama sekali dia tidak pulang ke sini. “Aku kira kamu sudah melupakan kami, Mas. Tampak tertutup matamu melihat jalan ke rumah belakangan ini,” sindirku. Ucapanku seperti tak masuk ke pendengaran Mas Agus, terlihat dia cuek

  • Dianggap Benalu Oleh Suamiku   96

    “Emm, Salman ... aku bukan gadis remaja yang bisa kamu gombalin seperti itu. Jadi aku mohon berhenti merayuku dengan kata-kata yang bisa membuatku salah paham.” Aku bukannya perempuan yang terlalu polos sehingga tidak mengerti maksud ucapan Salman. Hati setiap wanita kurasa pasti akan sama, akan tergoyah jika terus-menerus mendengar kalimat gombalan. Sekuatnya aku menahan diri untuk tidak tergoda pada Salman tetap saja pesonanya kadang tak mampu kulewatkan, terlebih dia seperti memberi angin segar padaku yang terlihat juga menaruh perasaan padaku.“Siapa yang bilang kamu gadis remaja? Kamu itu emak-emak beranak dua,” timpal Salman dengan wajah sok polosnya.“Bukan secara harfiah juga, Salman! Au ah, males ngomong sama kamu.” Aku mendengkus seraya membuang muka membelakanginya. Kudengar kekehan di belakang kepalaku.Setelahnya tercipta keheningan cukup lama di antara kami. Aku sedang sibuk menyusun kalimat yang bagus untuk mengutarakan niatku menjodohkan Salman kembali bersama Sonia.

  • Dianggap Benalu Oleh Suamiku   Membalas Kebaikan dengan Menyatukan

    Sonia yang sedang fokus mencatat produk skincare untuk kugunakan mendongak mendengar ucapanku.“Bantu apa?” tanyanya.Dari cara dia bertanya bisa kutangkap dia tak percaya dengan bantuan yang akan kuberikan. Jika dibandingkan aku dengannya, memang tidak meyakinkan sih aku bisa memberinya sesuatu. Bukan dilihat dari segi materi karena aku yakin Sonia bukan wanita penggila harta. Dengan keterampilan yang dia punya aja, dia sudah bisa bebas finansial.“Memang terdengar tidak meyakinkan sih, tapi sebagai imbalan atas kebaikanmu, aku akan berusaha membantumu sebisaku,” imbuhku serius. Terserah dia percaya atau tidak, tapi saat ini sedang bersungguh-sungguh.“Bantuannya ini apa dulu? Aku nggak meragukan kamu kok. Tapi aku harus tau kamu mau membantuku dari segi apa? Biar aku bisa menjelaskan apa saja yang harus kamu lakukan kalau benar-benar mau membantu,” balas Sonia terlihat serius, tapi setengah detik kemudian bibirnya merekah mengeluarkan kekehan lembut.“Bercanda ... apa pun yang akan

DMCA.com Protection Status