Hal tak terduga terjadi, Mas Alif langsung buru-buru mengambil gawainya. Sedangkan tanganku melayang di udara bersama gelas yang berada di genggaman.
Aku tertawa miris.Luar biasa tingkah yang kau buat Mas, batinku perih."Aku hanya ingin mengisikan air ke dalam gelasmu yang kosong ini," ucapku tanpa menatapnya."E-eh itu, maaf, Dek. Mas hanya takut gelasnya jatuh, lalu gawai Mas rusak kan bisa ribet urusannya." Mas Alif mencoba memberi alasan. Tak perlu mengungkapkan alasan, karena aku sudah sedari tahu lebih awal. Banyak dusta yang sengaja kamu tutupi, Mas.Sekali saja dia berbohong, maka seterusnya akan begitu.Orang yang pandai berbohong, akan selalu mencari celah agar kebohongannya tersimpan rapi, tanpa ada yang harus mengetahui. Padahal kenyataannya salah, karena serapi apapun bangkai disembunyikan, suatu saat nanti pasti akan tercium baunya."Kalo rusak bisa beli lagi kan?" tanyaku, lalu mengembalikan gelas yang awalnya kosong itu."Bukan masalah hapenya, Dek. Tapi nomor penting yang ada di sini yang akan sulit untuk dikembalikan." Nada bicara Mas Alif terdengar naik beberapa oktaf. Sepertinya dia kesal denganku."Lagian aku tak akan seceroboh itu, Mas. Untuk apa aku menjatuhkan gelas di gawaimu, alasanmu sangat tidak logis," ucapku sambil memegang sendok di tangan. Lalu menatap kosong ke depan. Hampa, ya aku merasakan hampa saat kami kembali bertemu. Tak ada kehangatan lagi di antara kami berdua, semuanya hilang seketika semenjak Mas Alif ketahuan menghianatiku"Maaf, Dek." Mas Alif berucap lirih. Mungkin dia tersadar akan nada suaranya yang meninggi. Karena seumur-umur baru kali ini ia berbicara seperti itu."Sudahlah, lanjutkan saja makanmu, Mas. Aku mau ke kamar mandi," ucapku, lalu langsung berdiri meninggalkannya sendiri."DEK! Jangan marah, aku minta maaf," ujarnya yang langsung memegang tanganku. Terlihat rasa bersalah di matanya."Aku tak marah, aku hanya kebelet," ucapku sambil memberikan senyum manis padanya. Setelahnya melepaskan genggaman tangannya pada telapak tanganku.Bukan Laura namanya, jika tidak cerdas.Aku pergi ke kamar mandi tidak sungguh-sungguh. Namun ini kulakukan untuk melihat hal apa yang akan dilakukan Mas Alif setelah aku pergi.Dari kejauhan dapat kulihat, Mas Alif menoleh ke sana kemari, matanya menyapu ke sekeliling. Mungkin memastikan bahwa tak ada siapapun di dekatnya.Ya, seperti takut ketahuan lah intinya.Terlihat Mas Alif berdiri dari duduknya, makanan yang berada di piringnya pun sudah tak tersentuh lagi.Sebegitu pentingkah orang yang berada di balik panggilan itu, Mas, gumamku lirih.Mas Alif berjalan menuju luar rumah, aku mengikutinya dengan posisi yang agak jauh.Terlihat di sana Mas Alif sedang menelepon. Dua tiga kali sepertinya tak kunjung diangkat."Kamu ngapain sih nelfon terus?" tanya Mas Alif di balik gawainya.Aku tak mendengar apa yang dibicarakan orang di ujung sana. Namun, aku mendengar apa yang akan dibicarakan Mas Alif."Tau tempat dong, By," ucap Mas Alif. Nada suaranya terdengar kesal."Iya tau. Harusnya kamu ngerti dong, aku baru sampai di rumah."Mas Alif masih terlihat kesal. Bahkan dia berjalan gelisah mondar-mandir ke sana kemari."Di sini ada Laura, istriku. Kamu jangan egois dong!" Terdengar bentakan dari Mas Alif.Beberapa menitnya lamanya Mas Alif tak kunjung berbicara, sepertinya dia sedang diomeli orang yang berada dari balik layar handphone-nya."Iya-iya, maaf. Udah jangan nangis lagi," ucap Mas Alif. Apakah ini adalah salah satu trik yang dipakai wanita itu untuk meluluhkan hati Mas Alif?"Iya janji nggak bakal bentak kamu lagi." Mas Alif mengacak rambutnya. Sedang frustasi sepertinya dia.Aku penasaran apa sebenarnya yang mereka bicarakan.Eits, dan kalian harus tau. Sekarang aku juga sedang merekam pembicaraan mereka, seperti kata Tiara. Aku harus mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya, agar dapat mempermudah berpisah dengan Mas Alid."Ya, Sayang." Mas Alif menjawab seperti tak berselera.'Sayang', sekarang panggilan itu bukan hanya milikku, tapi milik wanita lain di luar sana. Sangat menyakitkan.Kulihat ia ingin mengakhiri panggilannya, bergegas aku masuk ke dalam rumah. Lalu, duduk di sofa ruang tamu sambil menonton tv yang menyalaKamu bisa berbohong, aku juga bisa, Mas. Kebohonganku adalah terus berpura-pura tak tau, apa yang sebenarnya kamu lakukan.Mas Alif masuk ke rumah, lalu menghampiriku."Sayang," ucap Mas Alif yang langsung merebahkan kepalanya di pangkuanku."Hm, sudah makannya?" tanyaku dengan nada tak acuh."Sudah, Sayang. Kamu nggak ke toko ya?" tanya Mas Alif.Astaga.Aku lupa, belum memeriksa barang-barang di toko. Ah, sudahlah ini semua juga gara-gara Mas Alif."Enggak, Mas. Kan kamu pulang hari ini, jadi aku milih di rumah aja," jawabku tanpa menolehnya."Duh dedeknya, Mas. Sosweet banget sih," ucapnya sambil mencubit pipiku dengan gemas.Aku hanya diam diperlakukan begitu. Ingin menghindar juga tak bisa, karena aku merindukan momen ini.****Mas Alif tertidur di pangkuanku, mungkin dia lelah.Aku memindai wajahnya, kenapa lelaki sebaik dia harus memiliki celah untukku membencinya.Apa alasanmu dibalik perselingkuhan ini, Mas?Motif apa yang sedang kamu jalani?Banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak, tanpa berani kuungkapkan.Ting!Satu pesan masuk ke gawaiku. Kuambil gawai dari dalam kantong baju gamisku.Ternyata Tiara yang mengirimkan pesan.[Assalamualaikum, Lau. Apa Alif membawa perempuan itu?] tanya Tiara.Belum sempat kubalas, masuk lagi pesan berikutnya.[Aku tadi saat pulang, tak sengaja berpapasan dengan sebuah mobil yang menuju rumahmu. Apa itu mobil Alif?] tanyanya lagi.[Wa'alaikumsalam iya, Ra. Itu mobil Mas Alif, tapi perempuan itu tak ikut bersamanya,] jawabku cepat.[Aku dapat informasi dari Adik sepupuku, Lau. Kalo mantan yang menikah dengan Alif suamimu itu tinggal di kota ini. Dan yang kutahu, wanita itu berasal dari luar negeri, Lau,] tulis Tiara.Aku mengernyitkan dahi, dari luar negeri. Sejak kapan Mas Alif kenal dengan wanita itu, sampai-sampai dia harus menikahinya.Apa dia teman masa kecil Mas Alif? Pikirku.[Ngawur kamu, Ra. Masa orang luar negeri itu nyasar ke sini, buat apa juga dia masuk ke dalam kehidupan kami,] ucapku lagi.[Sepertinya Alif dan wanita itu pernah saling mengenal, Lau. Tapi info selanjutnya nanti deh aku tanya lagi dengan adikku. Soalnya dia lagi sibuk katanya, sibuk memperbaiki kepingan hati yang retak,] balas Tiara.Aku tersenyum membaca kalimat akhir, sibuk memperbaiki kepingan hati yang retak.Itu pun terjadi denganku sekarang, aku juga sedang mencoba menguatkan hati agar tak retak jika benar itu terjadi.Kamu lalu mengakhiri pesan kami.Aku lalu menatap wajah Mas Alif kembali."Nggak usah ditatap gitu, Dek. Aku tau aku ganteng," ucapnya.Aku buru-buru mengalihkan pandangan, dan mengangkat kepalanya dari pangkuan, lalu berlalu pergi.****Tak terasa malam sudah tiba, jam di dinding menunjukkan pukul sembilan malam.Aku lagi membersihkan wajah di depan kaca, pelukan hangat terasa di pinggangku."Mas, merindukanmu, Dek. Kenapa Mas rasa sikapmu berubah. Mas rindu sikap manja kamu," ucapnya terdengar lirih.Belum sempat aku menjawab, terdengar dering pesan yang masuk ke gawai.Mas Alif melepaskan pelukannya, lalu berjalan ke arah tempat tidur.Aku berbalik dan menatapnya.Mas Alif terlihat terburu-buru. Seperti ingin pergi ke suatu tempat."Mau kemana malam-malam?" tanyaku."Dek, Mas mau ke kantor dulu ya. Ada hal penting yang harus dilakukan," ucap Mas Alif. Lalu mengganti bajunya.Oh tidak bisa, enak saja. Pasti dia ingin menemui istri barunya."Nggak mau," ucapku langsung berlari memeluknya."Sebentar saja, Sayang." Mas Alif mencoba melepaskan pelukanku."Enggak, kamu baru pulang. Katanya rindu, kok mau pergi lagi. Plis jangan pergi ya, temani aku. Aku ... aku juga merindukanmu, Mas," ucapku lirih."Tapi, Dek ...." Ucapan Mas Alif menggantung di udara ketika aku menampilkan wajah memohon sambil diimut-imutkan."Kalo sudah begini, Mas nyerah deh. Ya udah Mas di rumah aja," ucapnya lalu membalas pelukanku.'Enak saja wanita itu. Kita lihat siapa yang akan menang, aku atau istri baru Mas Alif itu. Malam ini Mas Alif menjadi milikku, maafkan aku ya. Semoga aku tidak berdosa.' Aku bersorak riang di dalam hati, karena Mas Alif lebih memilih bersamaku daripada wanita itu.'Selamat menikmati tidur sendiri malam ini, wanita penggoda,' batinku. Aku tersenyum sinis, membayangkan bagaimana kesalnya wanita itu.--Next?Sehat selalu untuk kalian semua❤️❤️❤️❤️'Enak saja wanita itu. Kita lihat siapa yang akan menang, aku atau istri baru Mas Alif itu. Malam ini Mas Alif menjadi milikku, maafkan aku ya. Semoga aku tidak berdosa.' Aku bersorak riang di dalam hati, karena Mas Alif lebih memilih bersamaku daripada wanita itu.'Selamat menikmati tidur sendiri malam ini, wanita penggoda,' batinku. Aku tersenyum sinis, membayangkan bagaimana kesalnya wanita itu.****Saat pagi hari, kurasakan sentuhan di pipiku terasa dingin. Saat menoleh, ternyata di sana ada Mas Alif sudah berdiri lengkap dengan pakaian untuk salat."Ayo bangun, Sayang. Sebentar lagi azan Subuh," ucap Mas Alif padaku.Dengan kepala yang sedikit pusing, aku bangun untuk melafazkan doa bangun tidur."Udah jam berapa, Mas?" tanyaku dengan suara serak."Hampir jam empat pagi lah, siap-siap aja dulu. Mandi dulu sana, habis itu baru salat berjamaah," ucapnya sambil mengecup keningku.Ia lalu mempersiapkan sajadah untuk kami.Tak menunggu waktu lama, aku bergegas melaksanakan tugas yang
"Maafkan Mas, Sayang." Mas Alif bersimpuh di depan kakiku."Mari kita bercerai, Mas ...." Ucapan itu tiba-tiba ke luar begitu saja dari mulutku.Aku enggan menatap Mas Alif. Hatiku terasa selalu sakit ketika melihat wajah teduh yang selalu menatapku penuh cinta.Beberapa menit, hening menyelimuti ruangan ini."Astaghfirullah ...." Terdengar hembusan nafas kasar dari Mas Alif.Mas Alif mendekat, belum sempat aku menghindar ia langsung memegang bahuku dengan erat."Istighfar, Dek. Kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan, hah?" tanya Mas Alif. Matanya menatapku dengan tajam. Aku diam, menangis semakin tersedu-sedu. Hatiku benar-benar terasa diremas dengan begitu kuat. Aku sadar, Mas, aku sadar, ucapku di dalam hati. Aku ingin mengeluarkan suara, tapi rasanya tercekat di tenggorokan."Kamu sadar dengan yang kamu ucapkan, Dek!" bentak Mas Alif. Dia mengguncang bahuku lagi dengan pelan. Aku menunduk dalam, entahlah aku hanya ingin lepas dari semua sedih yang terasa menyiksa ini."Jangan bi
'Mas, kamu benar-benar ingin membunuhku secara perlahan, bukan,' batinku benar-benar perih.Aku memijit kepala yang terasa pening. Haish! Masalah ini membuatku terlalu berpikir berat.Tidak bisa! Aku tak boleh terus menerus larut dalam kesedihan. Ini akan membuatku semakin merasa lemah.Enak saja, nanti Mas Alif akan merasa bahwa dia akan sangat mudah meluluhkan hatiku yang terluka.Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku mencintainya, tapi bukan berarti cinta harus membuatku terlihat b*d*h."Mungkin memberitahukan Ibu akan lebih baik, daripada menyimpannya sendiri," gumamku pelan.Aku lalu membersihkan sisa-sisa air mata yang mengalir di pipiku.Sekarang aku ingin pergi ke tempat yang bisa menenangkan aku.Aku perlu udara segar, perlu tempat untuk meluapkan segala sakit. Perlu tempat menenangkan diri, setelah tenaga terkuras habis ketika menangis tadi.Kujalankan mobil ke tempat di mana pertama kalinya aku bertemu dengan Mas Alif. Karena hanya di sana tempat sepi yang bisa dijadik
****Di perjalanan tak ada yang memulai pembicaraan, padahal biasanya kami selalu bercanda.Namun, kali ini suasana berubah menjadi canggung dan lebih serius. Aku juga merasa aneh, tumben-tumbenan sekali Tiara berubah menjadi sosok yang sangat pendiam seperti ini. Biasanya dia lebih banyak bicara daripada diriku. Namun kali ini, dia tak kunjung bicara.Karena Tiara yang tak kunjung berbicara, maka aku mencoba untuk memulai suasana agar terlihat lebih berwarna dan rasanya menjadi lebih hangat."Ra.""Lau."Terkejut atas apa yang terjadi, kami lalu tertawa bersama. Bisa-bisanya kami memanggil nama secara bersamaan. Rupanya kami berdua tadi bergelut dengan pikiran masing-masing."Ya sudah kamu duluan saja, Ra. Mau bicara apa?" tanyaku sambil meliriknya sekilas."Kamu saja duluan," ucap Tiara lagi. Haduh, ada saja ingin menentukan siapa yang berbicara lebih dulu pun kami harus melakukan perdebatan terlebih dahulu.Karena tak ingin memperpanjang perdebatan, aku lalu segera memulai apa yang
'Awas saja kau, Mas! Kau bilang tak cinta, tapi dia kau biarkan duduk di pangkuanmu dengan begitu lama,' ucap batinku dengan geram."Masuk mobil," ucap Tiara sambil membukakan pintunya.Dan sekarang dia yang mengambil alih posisiku sebagai sopir.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, aku masih mengatur nafas yang terasa cepat."Gimana udah enakkan?" tanya Tiara.Aku hanya diam, kesal dengannya. Andai dia tak melarangku, sudah kujambak, kuhantam wanita itu."Jangan marah, aku hanya tak ingin kamu terlibat dalam masalah. Aku hanya takut kamu khilaf menghajar wanita itu, benar, dia akan merasakan sakit tapi nanti malah kamu yang masuk penjara," ucap Tiara panjang lebar.Aku hanya diam, sambil sesekali menghembuskan nafas pelan.Menetralkan perasaan yang campur aduk menjadi satu."Sudah, nanti kita bicarakan jika sampai di rumahmu. Aku tak ingin kamu bertindak gegabah, lalu menghancurkan apa yang sudah direncanakan," ucap Tiara lagi.Aku mengangguk, mengiyakan ucapan Tiara.****Mobil sud
"I-ibu kok di sini?" tanya Mas Alif dengan nada gugup.'Kehancuran menantimu, Mas!' batinku tersenyum penuh makna."Iya, dadakan. Kangen aja sama putri Ibu." Ibu mengusap punggung tanganku."Itu siapa sama kamu?" tanya Ibu seolah-olah tak tau."D-dia ...." Mas Alif seperti kesulitan untuk menjawab.Dia menatapku seakan-akan meminta pertolongan."Dia, pembantu baru di rumah ini, Bu?" jawabku yang berhasil membuat mata Mas Alif melotot ingin keluar."Waduh, pembantu baru ya. Bagus dong, bisa bantu bersih-bersih," ucap Ibu tersenyum sumringah."Iyaa, Bu. Ya udah Mas pembantu barunya biar aku aja yang nyiapin kamar buat dia," ucapku pada Mas Alif yang masih tak percaya.Wanita di sebelah Mas Alif terlihat menahan amarah yang ingin ia luapkan."Beneran pembantu 'kan dia, Lif?" tanya Ibu dengan nada tegas.Raut wajah keterkejutan Mas Alif atas kelakuanku, berubah menjadi pucat karena tatapan Ibu."I-iya, Bu," ucap Mas Alif gugup.Aku tersenyum penuh kemenangan di sini.Awas saja kau wanita
"Kamu ingin Ibu mengetahuinya?" tanyaku tanpa menatapnya.Mas Alif terdiam, lalu bergegas mengambil air putih untuk diminumnya.Karena tergesa-gesa, dia sampai tersedak oleh kelakuannya sendiri. Kasihan.****Selesai makan malam, wanita itu disuruh Ibu untuk mencuci piring. Dia menurut saja tanpa ada perlawanan. Namun kulihat wajahnya benar-benar tercipta sebuah amarah yang dengan kuat ia pendam.Ah, biar saja.Aku melangkahkan kaki menuju kamar utama milikku dan Mas Alif, Ibu sepertinya sudah beristirahat di dalam kamar karena lelah.Tak kulihat Mas Alif di sini, mungkin saja ia sedang bersama istri keduanya.Mataku fokus pada cincin yang melingkar pada jari manis milikku.Tak percaya rasanya, jika Mas Alif benar-benar telah menghianatiku begitu dalam.Dia menciptakan sebuah rasa sakit di hati, tapi dia seolah-olah tak perduli.Kulepaskan cincin itu perlahan, lalu menyimpannya di dalam kotak perhiasan.Biarlah, anggap saja dengan ini hubunganku dan Mas Alif sudah berakhir.Klek.P
'Mampukah aku?' Hanya pertanyaan ini yang tiba-tiba muncul di dalam benakku."Apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu?" tanya Ibu padaku."Seratus persen Laura yakin, Bu. Toh, Mas Alif bisa bahagia tanpa harus ada Laura di sisinya," ucapku pada Ibu.Ibu hanya mengangguk."Ayo kita sarapan dulu, nanti kamu sakit. Ibu sudah memasak makanan kesukaanmu," ucap Ibu.Aku bergegas menyelesaikan kegiatanku, lalu berjalan beriringan bersama Ibu."Apa Tiara sudah bangun, Bu?" tanyaku pada Ibu."Sudah. Dia tadi membantu Bi Narti untuk memasak." Ibu mengamit lenganku.Aku lalu membuka pintu kamar.Dan tiba-tiba sosok seseorang yang kubenci terjatuh tepat setelah pintu terbuka."Aduh ...." Terdengar suaranya yang kesakitan."Ngapain kamu?!" bentak Ibu padanya."Nguping ya, wah mau saya potong telinga kamu!" bentak Ibu kembali.Aku hanya menatap wanita itu dengan raut wajah datar."S-saya ...." Ucapannya menggantung di udara."Nggak punya adab kamu ya! Pergi kamu dari rumah ini!" teriak Ibu, tunjukn
Aku terdiam tatkala Ibu mengungkapkan kekhawatirannya pada Laura. Aku merasakan sedih saat Ibu masih tak dapat memberikan kepercayaannya lagi padaku.Ya, aku sadar luka hati Laura begitu besar. Sikap dan perbuatanku dulu memang tak akan mungkin terlupakan. Aku juga tak ada niatan untuk melakukan pembelaan terhadap diriku sendiri.Kutatap manik mata milik Laura yang sudah basah, bergantian dengan Ibu yang juga terlihat berkaca-kaca. Karenaku, sebuah keluarga mengalami pertengkaran hebat. Karena kehadiranku, mereka tak seharmonis dahulu."Ibu hanya khawatir Laura, Ibu takut kamu tersakiti lagi. Ibu masih belum yakin Alif bisa berubah seperti yang kamu harapkan." Dari awal memang aku memilih untuk diam, mendengarkan pembicaraan antara Ibu dan anak. Masih tak berani ikut berbicara takut menambah keadaan semakin memburuk."Tak perlu mengkhawatirkan Laura, Bu. Mas Alif sudah menjadi sosok suami yang bertanggung jawab. Mas Alif sudah benar-benar berubah, Bu, dia sudah tak lagi mengambil peke
"Bu," tegurku saat mendengar Ibu seperti sedang memojokkan Mas Alif."Laura, Ibu seperti ini karena Ibu tidak ingin kamu merasakan sakit kembali. Ibu tak ingin kejadian yang lalu terulang lagi, cukup sekali saja dia berkhianat dan membuat kamu seperti mayat hidup.""Dari awal memang Ibu kurang setuju jika kamu harus berbalikan dengan Alif, tapi saat melihat binar di matamu. Ibu jadi tidak tega jika harus menghalangimu untuk bersama dengannya. Kamu harus mengerti, Laura, semua yang Ibu lakukan murni untuk kebaikan kamu untuk kebahagiaan kamu dan juga Reyhan. Kalo kalian jauh dari Ibu, Ibu tak bisa memantau rumah tangga kalian, Ibu juga tidak bisa mengawasi Alif lagi." Ucapan membuatku membeku seketika. Pertanyaan demi pertanyaan berputar dalam pikiran.Mengapa?Hanya satu kata yang menimbulkan banyak tanya, mengapa Ibu menjadi berubah, ke mana sosok ibuku yang begitu lembut dahulu. Sosok Ibu yang tak pernah menilai seseorang dari masalalu mereka. Mengapa Ibu seperti sosok yang tak bisa
"Dek, tadi Mami ada menghubungiku," ucap Alif saat sedang menikmati masakan milik istrinya. Sedangkan Laura sibuk mengurus Reyhan yang berlarian ke sana kemari."Oh ya, Masyaa Allah kangen banget aku sama Mami. Gimana kabar Mami sekarang, Mas, udah lama kita nggak ketemu sama beliau," kata Laura pada Alif. Ia lalu berjalan mendekati Alif dengan Reyhan dalam gendongannya."Alhamdulillah baik, Dek. Tapi Mami tadi ada ngomong sesuatu sama, Mas. Mami nyuruh Mas untuk pulang ke B******. Katanya kita disuruh ngurus butik yang dahulu di kelola sama Almarhum Mama. Tapi kalo Adek nggak mau, ya nggak papa. Mas nggak bisa maksa juga, Mas nggak mau kalo Adek nggak nyaman nantinya di sana." Alif berbicara langsung tanpa menunggu jawaban dari Laura. Alif hanya takut Laura tak mau pergi meninggalkan rumah yang penuh kenangan bersama dengannya dan juga pastinya Laura akan berjauhan dengan Ayah dan Ibunya.Sedangkan Laura dia nampak terdiam. Lalu setelahnya menatap Alif dengan wajah tersenyum. "Kata
"Mas, mau langsung berangkat kerja, nggak sarapan dulu?" tanya Laura saat melihat Alif yang buru-buru karena bangun kesiangan."Mas langsung berangkat saja ya, Sayang, takut telat. Nanti kalo kamu mau datang aja ke kantor aku ya, ajak Reyhan sekalian. Kapan lagi kan kamu ke kantor aku," ucap Alif sambil memakai sepatunya."Iya, nanti aku ke kantor kamu ya, Mas. Oh ya, mau dibawain apa bekal siang nanti?" tanya Laura lagi sambil mendekat pada sang suami."Apa saja, masakan kamu selalu pas di lidah aku. Jadi apapun itu pasti akan aku makan, termasuk kamunya." Alif langsung tertawa ketika mendapat pelototan tajam dari Laura."Udah, jangan kebanyakan gombal. Lihat tuh udah jam berapa," ucap Laura sambil menggandeng tangan Reyhan dan juga mengamit lengan kekar sang suami."Aku berangkat kerja dulu ya, Sayang. Kamu hati-hati di rumah, jangan terlalu kerja yang berat-berat nanti capek," ucap Alif begitu perhatian pada Laura."Iya, kamu juga, ya, hati-hati di jalan. Jangan ngebut pokoknya kal
"Kamu yakin ingin kembali dengan Alif, Lau?" Tiara tiba-tiba masuk ke dalam ruangan Laura.Bukan hal mudah, apalagi Tiara juga termasuk orang yang ikut dalam kisah hidup Laura. Sosok yang juga ikut serta jatuh bangun bersama dengan Laura."Seminggu lagi hari pernikahanmu dan Alif, Lau. Rasanya aku tak menyangka kau kembali lagi pada seseorang yang sudah membuatmu terluka dahulu.""Jujur, aku sebagai seorang sahabat seperti merasa tak rela sahabatku jatuh ke lubang yang sama. Aku takut dia akan mengulangi kesalahannya lagi.""Tiara, aku meminta banyak terima kasih padamu, karena selalu ada untukku. Aku sangat bersyukur memiliki sahabat dan juga Kakak Ipar sepertimu. Doakan yang terbaik untuk adik iparmu ini. Walau rasanya, ini seperti dejavu. Aku juga tak menyangka akan jatuh cinta kembali pada Mas Alif." Laura memegang tangan sang sahabat, dia menatap Tiara dengan rasa sayang yang dalam. Tiara sendiri langsung memeluk Laura. Air matanya menetes begitu saja, antara rasa tak rela dan ju
Debi terduduk di pinggir jalan, ia menenangkan pikirannya terlebih dahulu. Lalu memutuskan untuk pergi ke tempat penginapan berbekal uang seadanya.Debi ingin mengakhiri hidupnya, akan tetapi teringat bahwa dia memilih melakukan tindakan b*d*h itu agar dirinya tetap hidup.Jadi Debi memutuskan untuk mengistirahatkan pikiran terlebih dahulu, selanjutnya baru ia akan memikirkan tahap selanjutnya.Debi bersyukur polisi tak ada mencarinya, itu artinya mereka tak melaporkan kasus kepada pihak berwajib.Setelah seminggu menghilang, Debi merasakan badannya sering kelelahan, saat malam badannya berkeringat. Selain itu berat badannya pun menurun dan sering mengalami sakit kepala.Jadi Debi memutuskan untuk memeriksa kondisinya ke rumah sakit.****"Lu nggak apa-apa, kan?" tanya Ningsih melihat Ressa yang terbaring lemah di ranjang."Gue baik-baik aja," jawab Ressa. Matanya menatap kosong."Gue ngerasa bersalah sama dia, gue terlalu jauh membuatnya sengsara," ucap Ressa tanpa sadar mengeluarkan
Ia benar-benar menyesal dan merasa bersalah karena menjadi penyebab hancurnya keharmonisan rumah tangga orang lain.Dan sekarang Debi mulai terbiasa dengan pekerjaannya, bukan terbiasa tapi terpaksa. Ia harus jatuh ke dalam lembah dosa yang ke sekian kalinya."Maafkan aku, Mas Alif," ujarnya melemah. Debi lalu menghapus jejak air mata dan langsung masuk untuk melakukan pekerjaan yang tak halal itu kembali.****Setelah selesai, Debi lalu pulang bersama dengan Ressa. Mereka berdua pergi ke kontrakan milik Ressa, di sana sudah ada Ningsih dan juga temannya yang lain."Bagi hasil lagi nih kita," ujar Ningsih sambil tertawa.Debi hanya diam, lalu melangkahkan kaki untuk pergi."Mau ke mana lu?" tanya Ressa dengan nada tak enak."Mandi," jawab Debi ketus."Oh, oke, jangan lama-lama. Nggak gue bagi jatah lu entar," ancam Ressa.Debi tak memedulikan ancaman dari Ressa, ia tetap melanjutkan langkah dengan pikiran yang kosong."Gue lihat-lihat tuh anak makin ngelunjak, Res," ujar Ningsih."Iye,
***Setengah tahun sudah berlalu, selama itu juga Alif dan Laura tak pernah bertemu. Tak dipungkiri rasa rindu di hati mereka berdua masih sama.Namun mereka sendiri bingung, bagaimana cara menumpahkan rasa rindu itu. Padahal jelas-jelas mereka berdua tak bersama lagi.Kembali?Tak mungkin, menurut mereka hubungan mereka sudah berakhir sejak lama. Sejak Alif memutuskan untuk mendua. Hari ini Alif harus menarik pelanggan kembali, setelah beberapa bulan itu. Sebenarnya ia bisa saja berhenti bekerja begitu. Dia harusnya pulang ke tempat mamanya, dan mengelola butik yang tersisa.Namun Alif tak mau, dia masih bertekad untuk mencari uang dari hasil keringatnya sendiri. Tabungannya sekarang pun sudah lumayan untuk membeli rumah, walaupun tak terlalu besar. Tapi setidaknya bisa dijadikan tempat untuk tinggal.Ia berhasil membeli rumah sendiri dengan hasil kerja kerasnya saat menjadi buruh bangunan.Tak berapa lama, ia lalu menjemput pelanggannya."Mas ke hotel ***, ya," ujar seseorang yang s
"Laura!" panggil Tiara pada Laura. Tiara mihat Laura yang dari tadi melamun. Ia pikir Laura masih teringat kejadian yang membuatnya merasa takut."Eh." Laura tersentak kaget, lalu menghapus air matanya."Ada apa, Ra?" tanya Laura pada Tiara.Tiara menatap lama mata Laura."Maaf, Lau. Aku benar-benar minta maaf karena sudah datang terlambat," ujar Tiara penuh penyesalan. Ia merasa bersalah karena sudah memperkenalkan Yoga pada Laura.Bahkan merasa sangat berdosa karena menyuruh Yoga untuk perlahan-lahan mendekati Laura."Hey, ini bukan salahmu, Ra. Mungkin itu adalah alur yang diciptakan Tuhan dalam hidupku. Anggap saja sebagai pelajaran, bahwa aku tak boleh terlalu percaya dengan orang yang baru saja dikenal," jawab Laura sambil memegang tangan Tiara.Tiara segera membawa Laura dalam pelukannya."Jika terjadi apa-apa lagi padamu. Aku akan secepatnya datang untuk melindungimu," ujar Tiara lagi. Ia memegang telapak tangan Laura dengan lembut. "Aku sama sekali tak tahu mengapa Yoga sepe