:(
Hari pertama terapi berjalan jauh dari yang diharapkan. Prosedur yang seharusnya membantu malah mengguncang Luna hingga ke dasar emosinya, membuat Jacob melihat sisi tergelap dari gadis itu yang belum pernah ia saksikan sebelumnya. Sepulang dari klinik, Luna menjadi lebih pendiam dari biasanya, tatapannya kosong, seolah pikirannya terjebak di masa lalu. Jacob memutuskan untuk mendekat. Ia duduk di sofa, tepat di sebelah Luna yang tengah memandang gedung-gedung pencakar langit di luar jendela. Namun Jacob tahu, pandangan itu tak benar-benar melihat. Luna tampak begitu jauh, terperangkap dalam pikirannya sendiri. "Luna," panggil Jacob dengan nada lembut. Gadis itu sedikit tersentak, akhirnya menyadari kehadirannya. Ia menoleh sebentar, tapi kemudian kembali memalingkan wajah, menatap jendela dengan mata yang berkilauan oleh cahaya kota. "Seharusnya aku tidak memaksamu untuk menjalani terapi seperti itu," ujar Jacob lirih. Suaranya terdengar penuh penyesalan. "Itu bukan salahmu," jaw
Hari mulai terang saat Luna perlahan membuka mata. Ia bangun terlambat dari biasanya, dan ketika menoleh ke samping, Jacob sudah tidak ada di tempat tidur. Dengan kening berkerut, ia duduk di tepi ranjang, mengumpulkan kesadarannya yang masih setengah tertidur. Setelah memastikan dirinya benar-benar sendiri, Luna keluar dari kamar. Pemandangan Jacob yang sibuk menyiapkan sarapan di dapur segera menarik perhatiannya. Pria itu mengenakan kaus sederhana dengan lengan tergulung, rambutnya sedikit acak-acakan, namun tetap terlihat memesona. Sebelum mendekat, Luna melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Perlahan ia melangkah ke arah dapur, dan Jacob yang menyadari kehadirannya langsung menyunggingkan senyum hangat. "Sarapan hampir siap. Duduklah," ujar Jacob sambil meliriknya sekilas. "Kau tidak ke kantor hari ini?" tanya Luna sambil menarik kursi dan duduk di meja makan. Jacob menggeleng sambil membalikkan pancake di wajan. "Aku akan bekerja dari ruma
Air dingin mengguyur tubuh Luna, membasahi bajunya hingga menempel pada kulit. Terdengar tawa lepas dari balik pintu bilik toilet, memantul di dinding ruangan sempit itu seperti gema ejekan yang tiada akhir. Luna menahan nafas, menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri meski tubuhnya bergetar, bukan karena air dingin, tetapi karena rasa malu dan amarah yang membara di dadanya. Ketika akhirnya dia memberanikan diri keluar, tiga gadis berdiri di hadapannya dengan senyum penuh kemenangan. Keith, pemimpin kelompok itu melipat tangannya sambil menunjuk dada Luna dengan tatapan mengejek. "Kasihan sekali, kucing liar kita sekarang basah kuyup," ucap Keith, suaranya diiringi derai tawa teman-temannya. "Sebentar lagi jam pelajaran dimulai, dan kau pasti mendapat hukuman. Mrs. Wesley tidak akan memaafkanmu karena terlambat." Sebelum Luna bisa merespons, Keith mengambil baskom kosong yang tadi mereka gunakan untuk mengguyurnya dan melemparkannya ke arah Luna, seolah memastikan penghinaan te
Setelah puas menjelajahi pameran akuarium yang memukau, Jacob mengarahkan Luna ke butik mewah di pusat kota. Gadis itu tampak ragu saat melangkah masuk, matanya segera tertarik pada deretan pakaian yang tertata elegan. "Silakan pilih baju mana yang kau suka," ucap Jacob santai sambil menunjuk rak pakaian wanita. Luna mengambil sebuah dress lembut berwarna pastel, tapi begitu matanya menangkap label harga yang tergantung di sisi baju itu, ia buru-buru mengembalikannya ke tempat semula. "Tidak perlu," katanya dengan suara pelan, hampir berbisik. "Baju yang kau belikan sebelumnya masih cukup untukku." Jacob mengerutkan kening, lalu dengan gerakan cepat meraih dress itu kembali. "Kenapa? Kau khawatir soal harga?" tanyanya dengan nada setengah bercanda. "Jangan pikirkan itu. Aku ingin kau memilih pakaian yang kau suka." Tanpa menunggu jawaban, Jacob mulai mengambil beberapa dress lainnya, lalu menyerahkannya ke tangan Luna. "Coba di ruang ganti," perintahnya lembut sambil mendorong gad
Jacob dan Luna tiba di apartemen. Tumpukan tas belanja yang sebelumnya mereka beli kini sudah tersusun rapi di dalam ruangan. Luna melirik Jacob yang tampak santai, meski dirinya merasa sedikit bersalah. "Kau sudah banyak membantuku hari ini," ujar Luna, suaranya terdengar tulus, meski ada sedikit nada canggung. "Aku merasa telah mengganggu pekerjaanmu." Jacob hanya tersenyum kecil, lalu tanpa peringatan, dia membuka dua kancing teratas kemejanya, menggulung lengan baju hingga siku. Gerakannya santai tapi penuh percaya diri. Kemudian dengan sekali langkah, ia meraih pinggang Luna, menarik gadis itu mendekat hingga nyaris tak berjarak. Seringai nakal muncul di wajahnya. "Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Luna waspada, kedua alisnya terangkat. Jacob menggeleng pelan, tapi bukannya melepaskan, kedua tangannya malah semakin erat memeluk pinggang Luna. "Aku merasa ada yang kurang hari ini," katanya dengan nada suaranya rendah namun menggoda. Luna mengerutkan dahi, mencoba mencerna m
Dengan perasaan malu yang tertahan, Luna mulai memainkan benda itu dengan kedua tangannya. Dari yang tadinya biasa saja, kini benda itu terasa semakin keras. Dan Luna masih tidak habis pikir bahwa benda yang ia pegang sekarang adalah benda yang pernah membuatnya merasa sesak dan penuh. Ia hanya sedikit heran, bagaimana itu bisa masuk ke dalam sana? Setiap kali tangannya bermain di bawah air bersama milik Jacob, Luna masih tidak percaya mengenai apa yang pernah ia lakukan dengan Jacob sebelumnya. "Mau berapa lama lagi aku harus melakukan ini?" tanya Luna. Jacob yang menikmati pijatan Luna membuka matanya, senyum simpul menghiasi bibir pria itu. "Sepertinya tidak adil kalau hanya aku saja yang telanjang di depanmu." katanya. "A.apa maksudmu?" Perlahan Jacob menarik baju Luna, tapi gadis itu langsung menyilangkan tangan di depan dadanya. Kedua alis Jacob terangkat tinggi, "Angkat tanganmu, biar aku melepasnya." "Tidak, biarkan aku menggunakan bajuku." tolak Luna. Jacob menghela naf
Saat bangun keesokan harinya, hal pertama yang Luna rasakan adalah nyeri di sekujur tubuh. Pinggangnya terasa akan patah saat ia beranjak duduk, bukti betapa brutalnya Jacob semalam membuatnya tak berdaya."Aku sudah berusaha menghindarinya, tapi dia tetap saja berhasil melakukan hal ini padaku." batin Luna sambil meringis, ia turun dari tempat tidur dan saat itu juga ia jatuh ke lantai yang dingin.Bertepatan dengan itu, pintu kamar terbuka dan Jacob masuk. "Luna, kau tidak apa-apa?" dengan cepat pria itu menghampiri, membantu Luna berdiri, namun kedua kaki Luna rasanya seperti mati rasa dan ia bahkan tak mampu untuk berdiri.Gadis itu menatap Jacob dengan pandangan tajam, "Kau tau siapa yang membuatku sampai seperti ini?!" geramnya."Harusnya kau bilang dari awal kalau membutuhkan bantuan," dengan tanpa rasa bersalah, Jacob menggendong Luna ke kamar mandi, membantu gadis itu membersihkan diri.Luna hanya diam memperhatikan, ia tak punya tenaga untuk membalas Jacob. Setelah selesai,
Di dalam sebuah apartemen dengan suasana temaram, televisi menyala menampilkan tayangan berita malam. Di sofa, seorang wanita duduk dengan anggun, memegang segelas wine di tangannya. Ia memutar gelas itu perlahan, memperhatikan cairan merah gelap yang berputar seiring pikirannya yang bergulir.Di dapur, seorang pria dengan penampilan santai sedang memilih botol minuman dingin dari lemari pendingin. Suara kaca yang bersentuhan terdengar samar di tengah keheningan apartemen."Kau sudah menerima surat panggilan dari perusahaan Lawson?" tanya Eric dengan nada datar, tanpa menoleh.Leah menghela nafas ringan, menyandarkan tubuhnya pada sofa sambil meneguk sedikit wine. "Belum," jawabnya singkat. "Tapi aku yakin mereka akan mempertimbangkanku. Lagi pula, kemampuan seperti milikku jelas tak mudah mereka temukan." Ada nada percaya diri dalam suaranya, meski matanya tampak menerawang jauh.Sejenak keheningan melingkupi ruangan. Leah menghabiskan sisa wine di gelasnya dengan satu tegukan. Namun
Suara deru mesin mobil memecah keheningan malam saat kendaraan hitam berhenti di dermaga. Xavier turun lebih dulu, langkahnya tegas dan tanpa ragu, langsung berbicara dengan seseorang yang sudah menunggunya. Wajahnya tetap dingin, tanpa ekspresi, seakan kehadirannya saja sudah cukup untuk membuat orang lain merasa terintimidasi.Dari sisi lain, Luna turun dengan sedikit ragu. Begitu kakinya menginjak dermaga, matanya langsung tertuju pada dua kapal pesiar megah yang bersandar tak jauh dari tempatnya berdiri. Cahaya lampu dari kapal itu memantul di permukaan air laut, menciptakan pemandangan yang begitu menakjubkan, namun sekaligus membuatnya merasa kecil.Jantungnya berdetak lebih cepat. Selama satu minggu kedepan, ia harus berada di dalam kapal itu bersama pria yang ... jujur saja ... menakutkan. Ditambah lagi, ini pertama kalinya ia berada di kapal sebesar itu, yang tingginya nyaris menyamai gedung lima belas lantai.Tanpa memperdulikan keterpanaan Luna, suara dingin Xavier menginte
Teriakan penuh amarah mengguncang ruangan, menggema hingga ke dinding-dinding yang seolah ikut bergetar karena kemarahan Russel. Dengan gerakan kasar, ia meraih vas bunga di atas meja dan melemparkannya ke lantai. Pecahan keramik berhamburan, nyaris mengenai kaki anak buahnya yang hanya bisa berdiri dengan kepala tertunduk."Brengsek!" Russel berbalik dengan mata membara, jemarinya teracung tajam ke arah pria yang berdiri membeku di hadapannya. "Bukankah aku sudah menyuruhmu memastikan bahwa Jacob ada di dalam mobil itu?! Tapi lihat apa yang terjadi! Dia masih hidup! Itu berarti yang kalian ledakkan tadi hanyalah mobil kosong! Kegagalan macam apa ini?!"Anak buahnya tetap diam, tahu betul bahwa berdebat hanya akan memperparah situasi. Russel tidak butuh alasan, yang ia inginkan hanyalah hasil.Pria itu semakin murka. Rahangnya mengeras, pikirannya berputar liar. Bagaimana mungkin Jacob bisa lolos? Apakah dia sudah mengetahui rencananya sejak awal? Mungkinkah ini semua adalah jebakan y
Kekacauan masih belum mereda. Kabar pertunangan itu terus bergulir, menyebar bagaikan api yang disiram bensin. Namun, yang lebih menggemparkan adalah terbongkarnya identitas Xavier sebagai cucu George Davis, sebuah fakta yang selama ini terkubur rapi dalam bayang-bayang. Dan kini, untuk pertama kalinya, Xavier tidak punya pilihan selain berdiri di hadapan publik dengan gelar yang selama ini ia hindari.Konferensi pers pun digelar.Di tengah kilatan kamera dan suara gemuruh wartawan yang berlomba mendapatkan sudut terbaik, Xavier melangkah masuk ke ruangan. Setelan hitamnya yang sempurna, sorot mata tajamnya, dan aura dominan yang terpancar dari dirinya membuat suasana seketika terasa lebih tegang.Ia duduk dengan tenang di kursi yang disediakan, sementara wartawan sudah tak sabar melontarkan pertanyaan."Sir, mengapa Anda menyembunyikan identitas sebagai cucu George Davis?""Apa benar transaksi ilegal yang muncul beberapa hari lalu melibatkan Anda?""Kapan pernikahan Anda dengan putri
Rumor seperti api yang membakar reputasi Russel Calderon. Kontrak-kontrak penting mulai dibatalkan satu per satu, saham Zenith merosot tajam, dan ruang kerjanya yang biasanya megah kini terasa seperti sel isolasi. Teleponnya berdering tanpa henti karena pada investor yang panik, rekan bisnis yang curiga, bahkan media yang haus sensasi.Tidak terasa tiga hari berlalu semenjak rumor itu muncul, beberapa pihak kepolisian datang untuk memeriksa dirinya terlibat dalam transaksi pengiriman senjata. Penyelidikan terus dilakukan, saham perusahaan mengalami masalah karena rumor yang terus membesar.Di saat Xavier dan Russel terlibat perselisihan, semua orang tidak ada yang memperhatikan Luna. Hal ini menjadi kesempatan untuk Luna menikmati waktu yang ia punya, karena semenjak Xavier pergi sehari setelah pertunangan, sejak itu pula Luna tak melihat pria itu pulang."Hei, kau dimana?" tanya Luna pada seseorang di sambungan telepon.Begitu seseorang di telepon itu menjawab, Luna langsung pergi me
Pukul tujuh pagi, Luna membuka pintu kamarnya dengan perlahan, udara dingin apartemen mewah Xavier menyergap kulitnya. Namun, sebelum ia sempat mengambil langkah pertama, suara kasar memecah kesunyian pagi."Brengsek! Dia berani melakukannya?!"Suara Xavier yang bergema di ruangan membuat Luna membeku. Dadanya berdegup kencang, apakah kemarahan itu ditujukan padanya?Dengan hati berdebar, ia melihat Xavier berdiri di ruang tamu, wajahnya merah padam, tangan mencengkeram ponsel seolah ingin menghancurkannya. Matanya yang biasanya dingin kini membara seperti api neraka."Siapa yang membuatnya marah seperti ini?" batin Luna.Xavier menoleh tiba-tiba, dan tatapan mereka bertemu. Luna nyaris mundur, ada sesuatu yang mengerikan dalam sorot matanya pagi ini. Tapi sebelum sempat berkata apapun, Xavier mendengus keras, lalu berbalik dan berjalan cepat menuju kamarnya.Beberapa detik kemudian, ia keluar lagi, kini mengenakan jas hitam yang membuatnya terlihat seperti malaikat maut. Tanpa sepata
Pada akhirnya, hari yang tidak diinginkan itu tiba. Yaitu pesta pertunangan, walaupun bukan pesta besar, tapi kabar mengenai hal ini kemungkinan besar akan dengan cepat didengar oleh publik bahwa putri dari Russel Calderon telah bertunangan.Luna menatap keluar jendela kaca besar, pemandangan kota terlihat dari tempat ia berdiri. Langit gelap dan lampu-lampu di gedung tinggi tampak bersinar, ia seperti seekor hewan peliharaan yang berharap untuk bisa mendapatkan kebebasan."Kau terjebak, dan tidak ada cara untuk melarikan diri." ucap Nico yang berdiri tak jauh di belakang Luna.Perlahan Luna berbalik, menatap adik tirinya yang beberapa waktu terakhir sikapnya lebih baik, terlihat dari sorot matanya kalau Nico itu sebenarnya peduli padanya, tapi pria muda itu enggan untuk mengakui hal itu."Kamu benar, aku terjebak. Bagaikan seekor hewan yang terjerat oleh perangkap seorang pemburu," ucap Luna sambil melewati Nico menuju meja dan meraih sepasang anting untuk ia pakai.Nico memperhatika
Luna baru saja keluar dari bandara sambil membawa koper, tapi matanya langsung melihat dua orang bodyguard yang siap menjemput. Salah satu mendekat, meraih koper dan membawanya pergi sementara satu yang lainnya seakan memastikan Luna tak tersentuh oleh para pendatang di bandara tersebut.Tak ada kebahagiaan yang terpancar di wajah Luna, hanya tekanan batin yang ia rasakan karena harus meninggalkan Jacob tanpa satu katapun. Ia ingin bertahan, hidup bahagia seperti apa yang Jacob tawarkan, tapi itu berat bagi Luna kalau pilihannya itu malah membuat Jacob celaka di kemudian hari."Silakan, Nona," ucap salah satu bodyguard dengan suara datar, membukakan pintu mobil hitam mengkilap yang sudah menunggu. Luna masuk tanpa protes, jendela mobil yang gelap seakan memantulkan bayangannya yang hampa.Kediaman Calderon menyambutnya dengan kemewahan yang tiba-tiba terasa menusuk. Russel tersenyum ramah, tapi sorot matanya tajam, seperti pedagang yang baru saja menutup transaksi menguntungkan."Baga
Waktu terasa berlalu begitu cepat. Luna bergegas dari dapur saat dering ponselnya memecah kesunyian. Jantungnya berdegup kencang ketika melihat nama "Xavier" berkedip di layar. Tangannya gemetar saat mencoba mengatur nafas, memastikan suaranya tak akan terdengar mencurigakan saat menjawab."Baik, tenang," bisiknya pada diri sendiri sebelum akhirnya mengangkat telepon. "Halo?"Suara Xavier langsung memenuhi telinganya, dingin dan penuh ancaman. "Ingat baik-baik, Luna. Kau tidak boleh terlambat satu menit pun untuk acara pertunangan kita. Tiga hari lagi. Liburanmu tersisa satu hari. Jika kau berani melawan..." Ada jeda yang sengaja dibuat dramatis. "Aku tidak akan tinggal diam."Luna memejamkan mata erat-erat, mencoba menahan getar di suaranya. "Aku mengerti. Besok aku akan kembali.""Dan ingat ini," sambung Xavier, suaranya tiba-tiba lebih rendah namun sepuluh kali lebih mengerikan. "Aku benci mengulangi kalimat yang sama. Kalau kau berulah..." Ancaman itu menggantung di udara. "Jangan
Waktu yang seharusnya Luna gunakan untuk menenangkan pikiran dengan cara liburan sendirian, ternyata tak semudah yang ia bayangkan. Jacob menyusulnya, memperlakukannya bagaikan boneka pemuas yang tak ada hentinya.Dari awal Luna datang ke tempat itu ia sudah bertemu dengan Jacob, dan sekarang sudah hari ketiga ia tinggal bersama Jacob tanpa keluar dari penginapan, Jacob melarangnya dan pria itu hanya ingin melakukan apa yang dia inginkan.Tidak ada kata protes lagi yang Luna ucapkan untuk menghentikan Jacob, tiga hari ini ia sudah lelah menghadapi pria yang hanya menggunakan tubuhnya untuk mendapatkan kepuasan. Tidak ada satu katapun yang Jacob dengarkan, semakin Luna memberontak, semakin kasar pria itu memperlakukannya.Sekarang, Luna berdiri di depan cermin kamar mandi, memandangi tubuhnya yang terdapat memar akibat ulah Jacob. "Dia tidak meninggalkan bekas di area terbuka, syukurlah." batin Luna.Karena jika Jacob meninggalkan bekas di tubuh Luna, maka itu bisa langsung diketahui ol