Suasana di ruangan itu terasa sunyi. Hanya suara detak jam dan tarikan nafas yang terdengar samar. Setelah memastikan Xavier tidak lagi membuntuti mereka, Jacob segera membawa Luna ke seorang dokter di kapal. Namun, bukan karena luka atau alasan sepele lainnya. Jacob ingin memastikan sesuatu, sesuatu yang bahkan belum terlintas di benak Luna."Aku ingin tahu apakah dia hamil atau tidak," ucap Jacob tanpa ragu.Luna membelalakkan mata, jantungnya berdegup lebih cepat. "Hamil?" Suaranya hampir bergetar. "Aku rasa aku tidak hamil."Namun, sebelum Jacob sempat menanggapi, dokter sudah mengisyaratkan agar Luna menjalani pemeriksaan. Luna masih terpaku dalam kebingungan, tapi akhirnya mengikuti arahan. Langkahnya terasa berat. Ia memang yakin dirinya tidak hamil, tapi… beberapa hari sebelum pertunangannya dengan Xavier, ia dan Jacob memang pernah menghabiskan malam bersama selama beberapa hari.Hampir satu bulan berlalu sejak saat itu. Apakah sekarang Jacob sedang memastikan bahwa benih yang
Berada di hadapan Jacob dengan nafas yang belum juga stabil, Luna berusaha menenangkan pikirannya yang dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Tatapan matanya masih menunjukkan kepanikan, seolah ia baru saja menjatuhkan bom yang bisa meledak kapan saja."Apa aku menawar terlalu mahal? Hanya... hanya sebuah pedang, Jacob. Tapi aku menghabiskan satu juta dolar. Kalau Xavier tahu, apa dia akan marah?" tanyanya dengan suara pelan, namun nadanya jelas dibalut ketakutan.Jacob menatapnya dengan tenang, kemudian kedua tangannya terangkat, menepuk pelan pundak Luna, sebuah gestur yang mencoba meredam gejolak di dalam diri gadis itu.“Iya, memang mahal,” katanya jujur. “Tapi, Luna... ini Xavier yang kita bicarakan. Pria itu bisa membakar satu juta dolar hanya untuk melihat siapa yang berani memadamkan apinya.”Luna mendongak, matanya menatap dalam ke arah Jacob, mencoba membaca kejujuran dari setiap kalimat yang keluar dari bibir pria itu. “Benarkah? Tapi… tapi bagaimana kalau ternyata aku menghab
Setelah suara itu terdengar, Luna menoleh cepat dan seketika rasa lega memenuhi dadanya. Bukan musuh, melainkan sosok yang cukup familiar. Hazel.Dengan langkah mantap, Hazel mendekat, meski dari caranya berjalan, Luna bisa merasakan bahwa perempuan itu tahu kehadirannya telah mengganggu momen antara dirinya dan Jacob."Kau dari mana?" tanya Jacob datar, namun matanya memeriksa Hazel dengan sedikit khawatir.Hazel menarik nafas panjang, wajahnya tampak lelah, dan matanya tak seterang biasanya. “Ada urusan penting yang... cukup menguras tenaga,” jawabnya singkat, seperti tak ingin membahas lebih dalam.Luna menatap Hazel, lalu Jacob bergantian, membaca bahasa tubuh keduanya, dan sebelum ia sempat membuka suara, Hazel menyampaikan kabar yang membuat jantung Luna mencelus ke perutnya."Aku melihat Xavier berjalan ke arah kamarmu... sepertinya dia mencarimu.""Apa?" Luna terlonjak. Wajahnya yang tadi masih semu karena keintiman dengan Jacob kini berubah pucat. Panik jelas terpampang. “Kal
Keesokan harinya, suasana di kapal terasa sedikit berbeda karena untuk pertama kalinya, Luna bisa menghela nafas tanpa bayang-bayang teror mengikutinya.Xavier yang biasanya memancarkan aura tajam dan mengintimidasi itu, pagi ini justru tampil dengan sikap yang mengejutkan. Saat mereka berpapasan di lorong utama, tak ada tatapan menusuk seperti biasanya. Tak ada kata tajam, tak ada tekanan dalam suaranya. Ia hanya berjalan melewatinya sambil berbicara dengan salah satu anak buahnya, lalu berlalu dengan lirikan sekilas, dingin, datar, tapi tidak mengancam.Luna berdiri diam beberapa saat, mencoba mencerna perubahan sikap itu. Apa yang terjadi? batinnya. Tapi meski hatinya masih menyisakan kegelisahan, ia tak bisa memungkiri bahwa kelegaan mulai mengalir pelan dalam dadanya.Dan seperti membaca pikirannya, suara ceria tiba-tiba membuyarkan lamunannya.“Hei, disini rupanya!” seru Hazel yang muncul entah dari mana, langsung merangkul bahu Luna dengan semangat. “Ayo, ikut aku. Kapal ini ter
Empat jam telah berlalu.Luna tampak berseri, matanya memantulkan cahaya senja yang mulai turun pelan-pelan dari langit jingga. Ia menikmati setiap detik kebersamaan dengan Hazel, berdua saja, jauh dari tatapan tajam dan tekanan yang selama ini menghantuinya.Suara langkah kaki mereka berpadu dengan suara tawa kecil di antara percakapan ringan, kadang berhenti sejenak untuk sekadar memandangi etalase toko yang menggoda, atau mengomentari hal-hal sepele yang terasa menyenangkan hanya karena mereka membicarakannya bersama.“Kau mau kembali ke kapal atau masih mau keliling di sekitar sini?” tanya Hazel, tanpa benar-benar menatap Luna karena matanya sibuk mengejar deretan toko baru yang belum mereka jelajahi.Luna melirik kantong belanjaan yang tergantung di tangannya sudah cukup berat.“Aku rasa kita sebaiknya kembali, Hazel. Jangan sampai kapal berangkat tanpa kita,” katanya, separuh bercanda, tapi ada nada khawatir di ujung kalimatnya.Hazel tertawa, tawa khasnya yang renyah dan santai
Xavier berusaha mencari tahu apa yang dimaksud oleh Jacob sebelumnya, tapi sangat disayangkan karena internet di dalam kapal pesiar sangat terbatas, hal itu tentunya menghambat informasi yang harusnya ia terima.Mengabaikan hal itu, yang terpenting ia harus menyelesaikan pekerjaannya lebih dulu di kapal mewah tersebut sebelum mengetahui apa maksud Jacob sebenarnya.Pikirannya buyar saat suara jengkel menyentaknya dari sisi kanan.“Bisakah kau lepaskan tanganmu itu dariku?” Luna mendesis pelan, berusaha melepaskan pelukan Xavier yang erat di pinggangnya.Pria itu menoleh ke samping dimana perempuan yang lebih pendek darinya tengah berusaha melepaskan tangan yang merangkul pinggangnya.Xavier sengaja melakukan itu, jelas untuk memancing kecemburuan Jacob. Ia tau, Jacob sangat mencintai Luna, dan membuat Jacob marah dengan hal kecil seperti ini adalah sebuah kesenangan yang ingin Xavier lakukan.Alih-alih melepaskan tangannya dari Luna, Xavier justru lebih erat memeluk perempuan itu, tent
Sebuah keheningan yang tidak biasa. Dua hari telah berlalu sejak Luna pergi bersama Jacob dari pesta, namun tidak ada tanda-tanda Xavier mencarinya. Bahkan ketika anak buah Xavier sempat berpapasan dengannya di dek kapal, mereka hanya berlalu begitu saja tanpa reaksi sedikit pun. Tidak ada tatapan mencurigakan, tidak ada usaha untuk membawanya kembali. Sangat tidak seperti Xavier.Jika pria itu menginginkannya, seluruh kapal ini pasti sudah dipenuhi pencarian. Tapi kali ini… seolah dia tidak peduli.Dengan jantung yang berdegup gelisah, Luna mempercepat langkah menuju lounge tempat Jacob biasa bersantai. Ia menemukan pria itu tengah duduk sambil menatap laut lepas, pikirannya melayang entah ke mana."Hei, ini tidak masuk akal. Xavier… dia tidak mencariku sama sekali selama dua hari. Kau tidak merasa ini aneh?" ucap Luna cepat, nyaris panik.Jacob menoleh, wajahnya serius. "Hazel juga tak terlihat sejak kemarin. Biasanya dia selalu memeriksaku atau memberi kabar… tapi sekarang, tidak ad
Dengan langkah tergesa dan wajah penuh tanya, Xavier segera melajukan mobilnya menuju kediaman George. Ia bahkan tak sempat berpikir panjang saat memerintahkan anak buahnya untuk mengantar Luna pulang lebih awal ke apartemennya. Panggilan mendadak dari George terasa janggal, tidak biasanya George ingin bertemu dadakan seperti ini tanpa alasan yang jelas.Sementara itu, Luna justru merasa sedikit lega. Setidaknya, hari ini ia bisa pulang lebih cepat dan menikmati waktu tanpa perlu berurusan dengan Xavier. Begitu tiba di apartemen, ia mengganti pakaian dengan yang lebih nyaman, lalu menjatuhkan diri ke sofa sambil membawa beberapa camilan. Jari-jarinya meraih remote, dan dengan satu klik, televisi menyala.Ia penasaran, berita baru apa yang berkembang selama seminggu terakhir? Tapi baru beberapa detik menyaksikan siaran, tangan Luna yang hendak menyuapkan makanan mendadak terhenti di udara. Tatapannya terpaku ke layar melihat nama dan wajah ayahnya, Russel Calderon, muncul besar-besar d
Beberapa jam telah berlalu sejak panggilan tak terduga dari Russel. Kini, Luna dan Jacob tengah duduk berdampingan di dalam mobil yang perlahan melaju memasuki kawasan rumah keluarga Calderon. Gerbang utama terbuka otomatis, memperlihatkan jalanan beraspal mulus yang membentang panjang, diapit pepohonan tinggi dan taman yang tertata rapi.Luna menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Mobil terus melaju, tapi pikirannya seolah terhenti di masa lalu, masa di mana rumah itu tak pernah benar-benar terasa seperti rumah baginya. Butuh hampir sekitar sepuluh menit bagi kendaraan itu untuk sampai ke pintu utama, dan tiap detik terasa seperti perjalanan menyusuri kenangan yang tak selalu menyenangkan.Mobil akhirnya berhenti di depan anak tangga marmer yang megah. Luna turun lebih dulu, mengenakan gaun sederhana berwarna pastel, lalu berbalik melihat Jacob yang sedang dibantu keluar oleh asistennya. Namun sebelum asistennya sempat mendorong kursi roda Jacob, sosok yang tak asing tiba-ti
Keesokan paginya, rumah Jacob tampak lebih sibuk dari biasanya. Ia telah mengatur seseorang untuk membawakan beberapa model gaun pengantin untuk Luna. Waktu mereka memang terbatas, tak cukup untuk membuat desain gaun dari nol. Tapi Jacob memastikan satu hal, gaun itu tetap harus pas dan spesial, disesuaikan dengan bentuk tubuh Luna yang mungil, sebelum kehamilannya mulai mengubah segalanya.Jacob ingin mempercepat hari pernikahan, bukan karena terburu-buru, melainkan agar Luna bisa merasakan momen indah menjadi seorang mempelai wanita sepenuhnya, tanpa harus menunggu hingga bayinya lahir.Kali ini, Jacob menolak mengadakan pesta besar seperti dulu. Ia masih dibayangi trauma atas insiden yang merenggut kebahagiaannya di masa lalu. Ia menginginkan sebuah pemberkatan sederhana di halaman belakang rumah, di antara keluarga dan orang-orang yang benar-benar mereka cintai.Satu per satu gaun dicoba. Luna keluar dari kamar mengenakan gaun pertamanya. Mata Jacob mengamati seksama, gaun itu mema
Mobil hitam itu akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan bergaya klasik. Dengan penuh kehati-hatian, asisten pribadi Jacob mendorong kursi rodanya masuk ke dalam. Di sebuah ruangan luas namun terasa sepi, Russel telah menunggu. Begitu pintu tertutup, hawa ruangan seketika berubah tegang, seolah udara pun ikut menahan nafas.Jacob mengangkat tangannya, memberi isyarat pada asistennya untuk pergi. Ia ingin bicara tanpa perantara, hanya ia dan Russel.Tak ada sapaan. Tak ada basa-basi. Hanya tatapan tajam yang saling bersilangan di antara mereka.Hingga akhirnya, Jacob yang pertama kali memecah keheningan. Suaranya tenang, namun ada ketegasan yang tak bisa disangkal."Aku rasa, Anda sudah tahu alasan kedatanganku ke sini."Russel menatapnya dalam-dalam. Jacob bisa merasakan beratnya tatapan itu, sebuah penolakan yang belum diucapkan, sebuah pertarungan harga diri yang tak terlihat."Ya," jawab Russel akhirnya, suaranya dalam dan berat. "Aku sudah tahu segalanya tentang dirimu dan Luna.
Jacob jadi kepikiran dengan apa yang Nico katakan, namun ia mencoba untuk mengenyahkan hal itu karena mulai hari ini ia akan mulai menyiapkan pernikahannya dengan Luna."Jadi... kau benar-benar akan menikah dengan Luna minggu depan?" tanya Nico sekali lagi, memastikan dengan nada setengah tak percaya.Jacob mengangguk, kali ini dengan ketegasan yang tak bisa digoyahkan. "Aku serius," jawabnya mantap.Nico tampak berpikir sejenak, lalu berkata, "Kalau begitu, kau harus membujuk ayahku. Kau tahu betapa besarnya kebenciannya padamu."Jacob tersenyum tipis, seolah semua kebencian Russel sudah menjadi bagian dari masa lalu yang tak lagi menakutkannya. "Aku tahu. Tapi itu urusanku. Kau tak perlu memikirkannya."Nico hanya mengangguk, kemudian matanya mencari-cari sosok lain di sekitar ruangan. "Aku ingin bicara dengan Luna," katanya, dan tanpa menunggu jawaban, ia beranjak pergi meninggalkan Jacob.Melihat itu, Jacob pun segera meraih ponselnya dan menghubungi seseorangSementara itu, di si
Rumah Jacob kembali sunyi setelah kepergian Hazel dan ketiga anak Deon. Riuh tawa yang tadi memenuhi setiap sudut kini tinggal kenangan samar di dinding. Hanya ada Luna dan Jacob yang duduk berdekatan di sofa ruang tamu, dalam diam yang terasa asing namun nyaman. Sisa tawa dan langkah kaki yang hilang, tergantikan oleh suara alam malam dan detak pelan waktu.Selama lima belas menit mereka hanya duduk, membiarkan keheningan menjadi jeda dari semua keramaian yang tadi terjadi. Hingga akhirnya, suara pelan Luna memecah sunyi itu."Apakah kau benar-benar serius ingin melangsungkan pernikahan secepat itu?"Jacob menoleh padanya, lalu mengangguk mantap. “Ini waktu yang paling tepat. Sebelum musim gugur datang dan hari-hari menjadi lebih dingin. Aku ingin kita mengikat janji sebelum daun-daun berguguran.” Suaranya tenang, penuh keyakinan. “Dan jangan khawatir soal persiapannya, aku akan urus semuanya. Kita akan buat pesta kecil saja di halaman belakang, sederhana, tapi hangat, bersama keluar
Malam pertama Jacob di rumah barunya berubah menjadi lebih riuh dari yang ia bayangkan. Bukan karena pesta besar atau acara formal, tapi karena kehadiran empat perempuan yang membuat suasana jadi ramai, ketiga anak Deon dan tentu saja Hazel yang tidak pernah kekurangan energi.Setelah makan malam, mereka semua menghilang ke dalam salah satu kamar. Jacob sempat hendak ikut masuk, penasaran dengan apa yang terjadi, tapi niatnya langsung dipatahkan oleh ucapan tajam dari anak bungsu Deon.“Tidak boleh masuk! Ini area terlarang untuk laki-laki malam ini!” serunya sambil menutup pintu dengan dramatis.Di dalam kamar, suasana jauh dari tenang. Diana si paling cerewet, sedang memandangi rambut Luna dengan penuh semangat.“Kau pernah potong rambut sebelumnya?” tanyanya sambil memegang ujung rambut Luna yang nyaris menyentuh pinggang.Luna tersenyum kecil, lalu menggeleng. "Hampir satu tahun sejak terakhir kali aku memotong rambutku, dulu rambutku sebatas leher."“Astaga, kau pasti kelihatan ma
Setelah melewati hari-hari panjang di rumah sakit, akhirnya Jacob bisa kembali pulang. Tapi kali ini, bukan ke apartemen lamanya di tengah kota, melainkan ke sebuah rumah yang selama ini hanya ia lihat dari kejauhan, rumah yang pernah ia beli, namun belum sempat ia tinggali. Lokasinya tenang, jauh dari hiruk pikuk kota, berdiri megah di tepi danau kecil dengan udara yang segar dan suasana yang mendamaikan.Mobil berhenti tepat di depan rumah. Dua penjaga pribadi segera sigap membantu Jacob turun dari kursi mobil dan membawanya ke kursi roda yang telah disiapkan. Tak ada pilihan lain, kakinya belum mampu menopang tubuhnya sendiri. Kali ini, Jacob benar-benar harus bergantung pada bantuan orang lain."Ini… di mana?" tanya Luna sambil menatap ke sekeliling, kagum oleh keindahan alam yang membingkai rumah tersebut.Jacob menoleh ke arahnya. Senyum tipis terukir di bibirnya. "Ini rumahku. Aku membelinya bertahun-tahun lalu, tapi belum pernah tinggal di sini. Dulu kupikir, tempat ini akan m
Kabar bahwa Jacob telah siuman menyebar secepat cahaya dan sampai ke telinga Luna tepat saat senja menutup hari. Setelah lima belas hari penuh doa, penantian, dan ketidakpastian, akhirnya hari yang ia nantikan datang juga. Hari ketika dua kabar besar mengisi hatinya, kehamilannya... dan kembalinya Jacob dari ambang batas kesadaran.Namun, kebahagiaan itu tak bisa sepenuhnya ia ungkapkan. Hazel sempat menyarankan agar kabar tentang kehamilan Luna tidak langsung disampaikan kepada Jacob. Pria itu baru saja sadar, tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Rasa bahagia yang terlalu intens bisa saja menjadi tekanan baru. Maka, mereka sepakat untuk menunda dua hari saja. Dua hari sebelum kabar tentang dua jiwa kecil di dalam tubuh Luna sampai ke telinga Jacob.Luna duduk di sisi ranjang Jacob, jemarinya menggenggam tangan kekasihnya dengan lembut, seolah tak ingin melepaskannya lagi."Aku senang akhirnya kau sadar setelah tidur selama lima belas hari," bisiknya dengan suara penuh haru.Jacob tak bisa
"Wow!"Satu kata meluncur dari mulut Hazel, penuh kekaguman dan ketidakpercayaan.Luna masih terdiam. Detik-detik setelah dokter mengumumkan kabar itu seperti berhenti di sekitarnya. Bukan satu janin, tapi dua. Kehamilan pertamanya langsung menghadirkan sepasang kehidupan dalam rahimnya. Keajaiban, namun juga tanggung jawab yang terasa begitu besar menimpa pundaknya dalam sekejap.Ia menatap layar monitor yang kini telah dimatikan, namun bayangan dua bulatan mungil itu masih membekas di benaknya.Bisakah aku menjadi seorang ibu? Dua sekaligus? pikirnya, dilanda kekhawatiran. Ia bahkan belum tahu bagaimana cara merawat bayi, apalagi menghadapi kehamilan kembar.Sementara itu, dokter mulai menjelaskan hal-hal penting seputar kehamilan. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, makanan yang sebaiknya dihindari, sampai anjuran rutin kontrol kandungan. Hazel mendengarkan dengan saksama. Wajahnya serius, seolah menyimpan semua informasi untuk disampaikan kepada Jacob ketika pria itu akhirnya