Setelah satu malam terkurung di ruangan mewah yang dijaga ketat, Luna akhirnya diizinkan keluar. Namun, kebebasan yang ia dapatkan hanyalah ilusi. Beberapa orang berbadan tegap dengan wajah serius mengelilinginya, membuatnya merasa seperti tahanan berstatus tinggi.Setiap langkahnya diawasi, setiap gerak-geriknya dicatat. Luna menundukkan kepala, mencoba menghindari pandangan orang-orang yang penasaran. Rasanya seperti menjadi selebritas yang tak pernah ia inginkan.Begitu sampai di depan mobil mewah yang sudah menunggu, salah satu anak buah Russel dengan sigap membukakan pintu untuknya. Luna tidak banyak bicara. Ia langsung masuk ke dalam mobil, lebih memilih menghindari tatapan orang-orang yang membuatnya tidak nyaman. Begitu pintu tertutup, ia merasa sedikit lega, meski hanya sesaat.“Kalian akan membawaku ke mana?” tanya Luna pada pria yang duduk di depan kemudi. Pria itu adalah asisten pribadi Russel, wajahnya tenang namun matanya tajam.Pria itu melirik Luna melalui kaca spion, s
Hal yang tidak pernah Luna bayangkan dalam hidupnya adalah duduk di satu meja makan dengan ayahnya, Russel Calderon dan juga saudara yang bahkan tampak sangat membencinya. Suasana makan malam itu begitu kaku, seperti udara yang dipenuhi oleh ketegangan yang tak terucapkan. Hanya suara denting sendok yang beradu dengan piring yang memecah keheningan. Luna mencoba menikmati makanannya, tapi setiap suapan terasa seperti batu yang sulit ditelan. Pandangan tajam Nico yang sesekali meliriknya membuat Luna semakin tidak nyaman.“Sialan, ayahku menemukan perempuan ini lebih dulu,” batin Nico, matanya menyipit seperti sedang mempelajari musuh. Ia menatap Luna dengan tatapan dingin, seolah mencoba mengirim pesan tanpa kata-kata. 'Kau tidak diinginkan di sini.'Makan malam akhirnya selesai, tapi tak satu pun dari mereka yang langsung meninggalkan meja. Russel menatap putranya di sebelah kiri, lalu beralih ke Luna yang duduk di sebelah kanannya.“Nico, Luna,” ucapnya, suaranya tegas namun pe
Kamar yang luas dan mewah itu seharusnya menjadi tempat yang nyaman untuk beristirahat, tapi bagi Luna, itu justru terasa seperti penjara. Jam telah menunjukkan pukul dua belas malam, dan Luna masih terjaga, matanya menatap langit-langit kamar yang tinggi.Pikirannya berputar-putar, tak bisa tenang memikirkan segala hal yang terjadi di luar dugaannya. Kehidupan yang tiba-tiba berubah drastis, ayah yang ternyata adalah Russel Calderon, semua itu membuatnya sulit memejamkan mata.Setelah berjam-jam hanya berbaring di ranjang, Luna akhirnya memutuskan untuk bangkit. Ia berjalan menuju balkon kamarnya, berharap hembusan angin malam bisa menenangkan pikirannya yang kacau. Begitu ia membuka pintu balkon, udara segar langsung menyambutnya. Luna menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sambil matanya menatap langit malam yang dipenuhi bintang.Pikirannya melayang ke Keith. Sebelumnya, Keith mengaku sebagai anak Russel Calderon. Tapi sekarang, setelah Russel menemukan Luna, apa arti
Tiba di rumah megah keluarga Calderon yang terpencil jauh dari jalan utama, Luna langsung melesat menuju kamarnya. Namun, alih-alih berbaring di tempat tidur yang nyaman, ia justru masuk ke toilet dan dengan cepat mengunci pintu dari dalam. Ruangan kecil itu terasa seperti satu-satunya tempat di mana ia bisa merasa aman, jauh dari pengawasan kamera atau alat penyadap yang mungkin tersembunyi di sudut-sudut rumah ini.Duduk di atas closet, Luna segera mengeluarkan ponsel barunya. Ia ingat peringatan dari Jacob, kediaman orang kaya mungkin terlihat indah dan mewah, tapi di balik kemewahan itu, ada bahaya yang mengintai. Kamera pengawas, alat penyadap suara, semua itu bisa saja terpasang di tempat yang tak terlihat. Meski Luna tidak yakin apakah Russel sampai melakukan hal seperti itu, ia memilih untuk tetap waspada. Bagaimanapun, ini adalah rumah orang asing baginya, dan ia tidak bisa mempercayai siapapun sepenuhnya."Aku tidak boleh diam saja," batin Luna, matanya menatap layar ponsel d
Tiga hari telah berlalu sejak Luna tinggal di kediaman megah keluarga Calderon. Tiga hari yang terasa seperti tiga tahun bagi Luna. Setiap hari, ia harus berhadapan dengan Nico, saudara tirinya yang selalu menatapnya dengan tatapan dingin dan penuh kebencian. Meski begitu, Luna berusaha bertahan, mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupan baru yang serba asing ini.Namun, sejak kemarin, Luna mulai menyadari sesuatu yang menarik. Penjagaan di sekitar rumah yang biasanya ketat, tiba-tiba mulai berkurang. Biasanya, para penjaga lalu-lalang di sekitar rumah, mengawasi setiap sudut. Tapi sekarang, hanya tiga penjaga yang terlihat masih menjalankan tugasnya. Luna diam-diam memperhatikan semua ini, dan ia yakin, Russel mulai percaya bahwa Luna tidak akan melarikan diri.Pagi itu, Luna sedang berada di dapur, mengambil segelas air ketika Russel tiba-tiba muncul di belakangnya. "Apa kamu senang tinggal di sini?" tanya Russel, suaranya lembut namun penuh perhatian.Luna tersenyum tipis, mencoba
Gaun merah muda dengan taburan payet yang berkilauan di bawah cahaya lampu membuat Luna terlihat seperti bintang yang baru saja turun dari langit. Gaun itu melekat sempurna di tubuhnya, dipadukan dengan sepatu heels hitam yang menambah kesan elegan.Rambutnya yang ditata dengan sempurna oleh penata rambut profesional membuat penampilannya semakin memukau. Luna berdiri di depan cermin besar, matanya menatap pantulan dirinya yang terlihat begitu berbeda. Untuk pertama kalinya, ia merasa asing dengan penampilannya sendiri namun juga mengagumi tampilan barunya.Suara pintu yang terbuka di belakangnya tidak langsung menarik perhatian Luna. Tapi begitu ia melihat pantulan bayangan Russel di cermin, ia segera berbalik. Russel berdiri di sana, matanya penuh kekaguman."Kau terlihat luar biasa, Luna," puji Russel, suaranya penuh kebanggaan.Luna tersenyum tipis, tapi senyum itu terasa kaku. Ia tidak tahu harus merespons seperti apa. Hari ini adalah hari besar, hari di mana Russel akan memperken
Waktu masih menunjukkan pukul sepuluh malam, suasana kamar terasa hangat sejak mereka menghabiskan waktu bersama beberapa waktu lalu. Jacob duduk dengan santai di sofa, tangannya dengan cekatan menuangkan wine merah ke dalam gelas kristal. Saat ia mengangkat gelasnya, ujung matanya menangkap bayangan Luna yang perlahan mendekat, tubuhnya terbungkus jubah mandi sutra yang mengikuti setiap gerakannya. Rambutnya yang terurai sedikit berantakan, menambah aura misterius yang selalu membuat Jacob terpana."Apa kau akan segera pergi?" tanya Luna, matanya menatap Jacob yang terlihat begitu tenang menikmati wine-nya, seolah tidak ada yang bisa mengganggu ketenangannya.Saat Luna sudah hampir berada di sampingnya, tiba-tiba Jacob bergerak cepat. Tangannya yang kuat menarik pergelangan tangan Luna, membuatnya terjatuh dengan lembut ke pangkuannya."Malam ini tidak," bisik Jacob, suaranya dalam dan wajahnya menunjukkan ekspresi jahil. "Aku ingin menghabiskan waktu bersamamu."Gelas wine yang ia pe
Luna bangkit dari tempat tidur dengan nafas yang masih tersengal-sengal, dadanya naik turun tak beraturan. Matanya menatap Jacob yang dengan tenangnya berbalik dan berjalan menuju kamar mandi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Suara air yang mengalir dari balik pintu kamar mandi memecah kesunyian ruangan. Luna duduk di tepi tempat tidur, tangannya menggenggam erat seprei, mencoba menenangkan diri.Ketika Jacob kembali, rambutnya setengah basah, dan tubuhnya hanya mengenakan celana pendek sederhana. Luna menatapnya, bibirnya bergerak seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya ia memilih untuk melontarkan pertanyaan yang telah mengganggu pikirannya."Tuan," ucap Luna, suaranya gemetar penuh keraguan. "Barusan itu... apa itu akan membuatku hamil?"Jacob tersenyum tipis, senyum yang penuh dengan makna tersembunyi. Bahunya sedikit membungkuk saat ia mendekati Luna, lalu tangannya yang hangat menyentuh wajah gadis itu dengan lembut. "Aku tidak tahu," jawabnya, suaranya rendah namun teg
Hari yang dinantikan itu akhirnya tiba, hari pernikahan yang telah lama mereka perjuangkan. Halaman belakang rumah Jacob kini telah berubah menjadi taman kecil penuh kehangatan. Rangkaian bunga putih dan emas menjuntai indah di setiap sudut, kursi-kursi tamu tersusun rapi, dan langit biru seolah memberkati segala hal yang akan terjadi hari ini.Tak ada keramaian mewah, tak ada kilatan media. Hanya keluarga, orang-orang yang ikut meramaikan pesta pernikahan sederhana tersebut. Sebuah pesta kecil yang hangat, seperti yang Jacob dan Luna impikan.Jacob duduk di kursi rodanya, mengenakan tuksedo hitam yang disesuaikan dengan elegan. Tatapannya sesekali melayang ke arah pintu rumah yang masih tertutup rapat. Di balik pintu itu, mungkin saja Luna tengah bersiap. Dan sebentar lagi, pintu itu akan terbuka… membiarkannya melihat sosok perempuan yang sebentar lagi akan menjadi istrinya.Jantung Jacob berdebar tak karuan. Ia bukan pria yang mudah gugup, namun hari ini berbeda. Di balik senyum te
Beberapa jam telah berlalu sejak panggilan tak terduga dari Russel. Kini, Luna dan Jacob tengah duduk berdampingan di dalam mobil yang perlahan melaju memasuki kawasan rumah keluarga Calderon. Gerbang utama terbuka otomatis, memperlihatkan jalanan beraspal mulus yang membentang panjang, diapit pepohonan tinggi dan taman yang tertata rapi.Luna menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Mobil terus melaju, tapi pikirannya seolah terhenti di masa lalu, masa di mana rumah itu tak pernah benar-benar terasa seperti rumah baginya. Butuh hampir sekitar sepuluh menit bagi kendaraan itu untuk sampai ke pintu utama, dan tiap detik terasa seperti perjalanan menyusuri kenangan yang tak selalu menyenangkan.Mobil akhirnya berhenti di depan anak tangga marmer yang megah. Luna turun lebih dulu, mengenakan gaun sederhana berwarna pastel, lalu berbalik melihat Jacob yang sedang dibantu keluar oleh asistennya. Namun sebelum asistennya sempat mendorong kursi roda Jacob, sosok yang tak asing tiba-ti
Keesokan paginya, rumah Jacob tampak lebih sibuk dari biasanya. Ia telah mengatur seseorang untuk membawakan beberapa model gaun pengantin untuk Luna. Waktu mereka memang terbatas, tak cukup untuk membuat desain gaun dari nol. Tapi Jacob memastikan satu hal, gaun itu tetap harus pas dan spesial, disesuaikan dengan bentuk tubuh Luna yang mungil, sebelum kehamilannya mulai mengubah segalanya.Jacob ingin mempercepat hari pernikahan, bukan karena terburu-buru, melainkan agar Luna bisa merasakan momen indah menjadi seorang mempelai wanita sepenuhnya, tanpa harus menunggu hingga bayinya lahir.Kali ini, Jacob menolak mengadakan pesta besar seperti dulu. Ia masih dibayangi trauma atas insiden yang merenggut kebahagiaannya di masa lalu. Ia menginginkan sebuah pemberkatan sederhana di halaman belakang rumah, di antara keluarga dan orang-orang yang benar-benar mereka cintai.Satu per satu gaun dicoba. Luna keluar dari kamar mengenakan gaun pertamanya. Mata Jacob mengamati seksama, gaun itu mema
Mobil hitam itu akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan bergaya klasik. Dengan penuh kehati-hatian, asisten pribadi Jacob mendorong kursi rodanya masuk ke dalam. Di sebuah ruangan luas namun terasa sepi, Russel telah menunggu. Begitu pintu tertutup, hawa ruangan seketika berubah tegang, seolah udara pun ikut menahan nafas.Jacob mengangkat tangannya, memberi isyarat pada asistennya untuk pergi. Ia ingin bicara tanpa perantara, hanya ia dan Russel.Tak ada sapaan. Tak ada basa-basi. Hanya tatapan tajam yang saling bersilangan di antara mereka.Hingga akhirnya, Jacob yang pertama kali memecah keheningan. Suaranya tenang, namun ada ketegasan yang tak bisa disangkal."Aku rasa, Anda sudah tahu alasan kedatanganku ke sini."Russel menatapnya dalam-dalam. Jacob bisa merasakan beratnya tatapan itu, sebuah penolakan yang belum diucapkan, sebuah pertarungan harga diri yang tak terlihat."Ya," jawab Russel akhirnya, suaranya dalam dan berat. "Aku sudah tahu segalanya tentang dirimu dan Luna.
Jacob jadi kepikiran dengan apa yang Nico katakan, namun ia mencoba untuk mengenyahkan hal itu karena mulai hari ini ia akan mulai menyiapkan pernikahannya dengan Luna."Jadi... kau benar-benar akan menikah dengan Luna minggu depan?" tanya Nico sekali lagi, memastikan dengan nada setengah tak percaya.Jacob mengangguk, kali ini dengan ketegasan yang tak bisa digoyahkan. "Aku serius," jawabnya mantap.Nico tampak berpikir sejenak, lalu berkata, "Kalau begitu, kau harus membujuk ayahku. Kau tahu betapa besarnya kebenciannya padamu."Jacob tersenyum tipis, seolah semua kebencian Russel sudah menjadi bagian dari masa lalu yang tak lagi menakutkannya. "Aku tahu. Tapi itu urusanku. Kau tak perlu memikirkannya."Nico hanya mengangguk, kemudian matanya mencari-cari sosok lain di sekitar ruangan. "Aku ingin bicara dengan Luna," katanya, dan tanpa menunggu jawaban, ia beranjak pergi meninggalkan Jacob.Melihat itu, Jacob pun segera meraih ponselnya dan menghubungi seseorangSementara itu, di si
Rumah Jacob kembali sunyi setelah kepergian Hazel dan ketiga anak Deon. Riuh tawa yang tadi memenuhi setiap sudut kini tinggal kenangan samar di dinding. Hanya ada Luna dan Jacob yang duduk berdekatan di sofa ruang tamu, dalam diam yang terasa asing namun nyaman. Sisa tawa dan langkah kaki yang hilang, tergantikan oleh suara alam malam dan detak pelan waktu.Selama lima belas menit mereka hanya duduk, membiarkan keheningan menjadi jeda dari semua keramaian yang tadi terjadi. Hingga akhirnya, suara pelan Luna memecah sunyi itu."Apakah kau benar-benar serius ingin melangsungkan pernikahan secepat itu?"Jacob menoleh padanya, lalu mengangguk mantap. “Ini waktu yang paling tepat. Sebelum musim gugur datang dan hari-hari menjadi lebih dingin. Aku ingin kita mengikat janji sebelum daun-daun berguguran.” Suaranya tenang, penuh keyakinan. “Dan jangan khawatir soal persiapannya, aku akan urus semuanya. Kita akan buat pesta kecil saja di halaman belakang, sederhana, tapi hangat, bersama keluar
Malam pertama Jacob di rumah barunya berubah menjadi lebih riuh dari yang ia bayangkan. Bukan karena pesta besar atau acara formal, tapi karena kehadiran empat perempuan yang membuat suasana jadi ramai, ketiga anak Deon dan tentu saja Hazel yang tidak pernah kekurangan energi.Setelah makan malam, mereka semua menghilang ke dalam salah satu kamar. Jacob sempat hendak ikut masuk, penasaran dengan apa yang terjadi, tapi niatnya langsung dipatahkan oleh ucapan tajam dari anak bungsu Deon.“Tidak boleh masuk! Ini area terlarang untuk laki-laki malam ini!” serunya sambil menutup pintu dengan dramatis.Di dalam kamar, suasana jauh dari tenang. Diana si paling cerewet, sedang memandangi rambut Luna dengan penuh semangat.“Kau pernah potong rambut sebelumnya?” tanyanya sambil memegang ujung rambut Luna yang nyaris menyentuh pinggang.Luna tersenyum kecil, lalu menggeleng. "Hampir satu tahun sejak terakhir kali aku memotong rambutku, dulu rambutku sebatas leher."“Astaga, kau pasti kelihatan ma
Setelah melewati hari-hari panjang di rumah sakit, akhirnya Jacob bisa kembali pulang. Tapi kali ini, bukan ke apartemen lamanya di tengah kota, melainkan ke sebuah rumah yang selama ini hanya ia lihat dari kejauhan, rumah yang pernah ia beli, namun belum sempat ia tinggali. Lokasinya tenang, jauh dari hiruk pikuk kota, berdiri megah di tepi danau kecil dengan udara yang segar dan suasana yang mendamaikan.Mobil berhenti tepat di depan rumah. Dua penjaga pribadi segera sigap membantu Jacob turun dari kursi mobil dan membawanya ke kursi roda yang telah disiapkan. Tak ada pilihan lain, kakinya belum mampu menopang tubuhnya sendiri. Kali ini, Jacob benar-benar harus bergantung pada bantuan orang lain."Ini… di mana?" tanya Luna sambil menatap ke sekeliling, kagum oleh keindahan alam yang membingkai rumah tersebut.Jacob menoleh ke arahnya. Senyum tipis terukir di bibirnya. "Ini rumahku. Aku membelinya bertahun-tahun lalu, tapi belum pernah tinggal di sini. Dulu kupikir, tempat ini akan m
Kabar bahwa Jacob telah siuman menyebar secepat cahaya dan sampai ke telinga Luna tepat saat senja menutup hari. Setelah lima belas hari penuh doa, penantian, dan ketidakpastian, akhirnya hari yang ia nantikan datang juga. Hari ketika dua kabar besar mengisi hatinya, kehamilannya... dan kembalinya Jacob dari ambang batas kesadaran.Namun, kebahagiaan itu tak bisa sepenuhnya ia ungkapkan. Hazel sempat menyarankan agar kabar tentang kehamilan Luna tidak langsung disampaikan kepada Jacob. Pria itu baru saja sadar, tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Rasa bahagia yang terlalu intens bisa saja menjadi tekanan baru. Maka, mereka sepakat untuk menunda dua hari saja. Dua hari sebelum kabar tentang dua jiwa kecil di dalam tubuh Luna sampai ke telinga Jacob.Luna duduk di sisi ranjang Jacob, jemarinya menggenggam tangan kekasihnya dengan lembut, seolah tak ingin melepaskannya lagi."Aku senang akhirnya kau sadar setelah tidur selama lima belas hari," bisiknya dengan suara penuh haru.Jacob tak bisa