Semoga hari kalian menyenangkan :)
Jacob merasa seperti terjebak dalam pusaran yang tak berujung. Pekerjaannya semakin menumpuk, bukannya berkurang, meski ia sudah mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk melawan Russel.Tapi kali ini, segalanya terasa berbeda. Russel bukan lagi musuh yang bisa diremehkan. Dia telah berkembang, menjadi lebih kuat, lebih licik, dan lebih berbahaya. Setiap langkah yang Jacob ambil seakan sudah diantisipasi oleh Russel, membuatnya seperti bermain catur dengan langkah yang selalu tertebak.Saat Jacob baru saja tiba di lobi, Hazel yang melihatnya langsung mengejar saudaranya yang terlihat buru-buru keluar. Wajah Hazel dipenuhi kekhawatiran, matanya menyiratkan pertanyaan yang tak terucap."Jacob, kau mau kemana?!" seru Hazel, suaranya memecah kesunyian lobi yang megah.Jacob tidak menjawab. Alih-alih berhenti, ia justru melangkah lebih cepat, masuk ke dalam mobil yang sudah menunggu dengan asistennya siap membukakan pintu. Namun, sebelum pintu tertutup rapat, Hazel dengan gesit menerobos
Sekitar pukul dua dini hari, Jacob mendengar kabar kalau Luna sudah tiba di rumah sakit. Jantungnya berdegup kencang, darahnya serasa membeku. Tanpa berpikir panjang, ia melesat keluar apartemen hingga akhirnya tiba di rumah sakit.Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara mesin yang berdetak monoton. Jacob melangkah pelan, matanya langsung tertuju pada sosok Luna yang terbaring lemas di atas tempat tidur. Wajahnya pucat bagai bulan yang kehilangan cahaya, tubuhnya lemas tak berdaya.Ketika Jacob menyentuh tangannya, ia merasakan dingin yang menusuk. Tangan Luna terasa tak bertenaga, seperti jelly yang kehilangan bentuknya. Tidak ada kekuatan, tak ada kehangatan. Jacob menahan nafas, dadanya sesak. Ia menoleh ke arah dokter yang baru saja selesai memeriksa Luna, matanya memancarkan kecemasan yang tak terbendung.“Apa yang terjadi padanya?” tanya Jacob.Dokter itu menghela nafas sebelum menjawab, “Pasien mengalami tekanan darah yang sangat rendah, membuat kondisinya tidak stabil. Kami pe
Jacob dan Hazel berdiri di koridor yang sunyi, menunggu dengan sabar hingga dokter selesai memeriksa Luna. Begitu pintu ruangan terbuka dan dokter keluar, Jacob langsung melangkah cepat, menghadang dokter dengan wajah penuh kecemasan. Sebuah pertanyaan yang mengusik pikirannya akhirnya meluncur dari bibirnya.“Dokter, bagaimana kondisinya?” tanya Jacob, suaranya tegang dan penuh harap.Dokter membuka mulut, bersiap untuk menjawab, tapi tiba-tiba Hazel menyela dengan pertanyaan yang lebih langsung. “Apa gadis itu hamil?”Pertanyaan itu membuat dokter tersenyum tipis, seolah memahami kecemasan yang melanda kedua orang di depannya.“Sayangnya tidak,” jawab dokter dengan tenang. “Pasien hanya mengalami kekurangan darah. Setelah diperiksa lebih lanjut, tidak ada masalah serius lainnya dalam tubuhnya. Pasien tidak dalam kondisi hamil. Setelah transfusi darah selesai, kemungkinan besar kondisinya akan membaik.” Dokter mengangguk ramah sebelum beranjak pergi, meninggalkan Jacob dan Hazel deng
Jam telah menunjukkan pukul dua siang, dan sejak kedatangannya, Hazel nyaris tak pernah meninggalkan Luna sendirian. Bahkan ia membawa MacBook-nya, duduk di sofa, dan fokus mengerjakan pekerjaan sambil sesekali melirik ke arah Luna yang terbaring lemah. Kebaikan Hazel membuat Luna merasa bersalah. Ia tak ingin menjadi beban bagi orang lain, apalagi Hazel yang sudah begitu baik padanya.“Hazel, kau bisa kembali ke kantor,” ucap Luna, Hazel mengalihkan pandangan dari layar, matanya bertemu dengan tatapan Luna yang penuh rasa bersalah. “Aku tidak apa-apa sendirian. Kau sudah menjagaku sejak pagi tadi,” lanjut Luna, mencoba meyakinkan.Hazel menghela nafas panjang, menutup MacBook-nya dengan perlahan. Ia berdiri dan menghampiri Luna yang sedang bersandar di tempat tidur. Bagaimana cara memberitahu Luna bahwa meninggalkannya sendirian adalah risiko besar? Hazel tak ingin membuat Luna khawatir, apalagi jika itu bisa memperlambat proses penyembuhannya.“Apa kondisimu sudah lebih baik sekaran
Setengah jam sebelumnya, suasana di koridor rumah sakit terasa tenang dan sunyi. Dua orang bodyguard yang Hazel tugaskan untuk menjaga ruangan Luna masih berdiri tegak di depan pintu, matanya awas memindai sekeliling. Hanya sesekali petugas medis atau pengunjung lalu lalang, tapi tak ada yang mencurigakan. Koridor itu terasa aman, terlalu aman.Namun, ketenangan itu tiba-tiba terganggu oleh suara derit roda yang perlahan mendekat. Seorang petugas kebersihan muncul, mendorong alat kebersihan sambil sesekali menyemprotkan cairan ke lantai. Dua bodyguard itu sempat melirik, tapi tak menaruh curiga. Mereka menganggapnya sebagai hal biasa. Tapi tanpa mereka sadari, petugas kebersihan itu diam-diam menyemprotkan obat bius ke udara, tepat di sekitar mereka.Tak lama setelah itu, dua bodyguard itu mulai merasakan sesuatu yang aneh. Mata mereka terasa berat, pandangan mulai kabur. Mereka mengerjapkan mata, mencoba melawan rasa pusing yang tiba-tiba menyerang. Tapi usaha itu sia-sia. Obat bius
Ruangan mewah itu terasa seperti sangkar emas bagi Luna. Dinding-dindingnya yang dihiasi lukisan mahal, lampu kristal yang memancarkan cahaya lembut, dan perabotan mewah seolah menciptakan ilusi bahwa ini adalah tempat yang aman dan nyaman.Tapi bagi Luna, semua itu hanya menambah rasa terperangkap yang semakin menguat. Ia masih mencoba mencerna kenyataan pahit yang baru saja dihadapkan padanya. Ayahnya, orang yang selama ini ia pikir tak akan ia temui lagi, ternyata adalah Russel Calderon, musuh bebuyutan Jacob.Luna duduk di tepi tempat tidur, tangannya menggenggam erat sprei yang halus. Matanya menatap kosong ke arah lantai, mencoba mengingat-ingat momen terakhir ia bertemu dengan ayahnya. Tapi ingatannya masih kabur, seperti potongan puzzle yang tak bisa disatukan. Yang jelas, satu hal yang tak bisa ia terima, Russel Calderon adalah ayahnya.Suasana hening itu tiba-tiba pecah oleh suara Luna yang memecah kesunyian. “Di mana Hazel?” tanyanya, suaranya tegang penuh rasa ingin tahu.
Setelah satu malam terkurung di ruangan mewah yang dijaga ketat, Luna akhirnya diizinkan keluar. Namun, kebebasan yang ia dapatkan hanyalah ilusi. Beberapa orang berbadan tegap dengan wajah serius mengelilinginya, membuatnya merasa seperti tahanan berstatus tinggi.Setiap langkahnya diawasi, setiap gerak-geriknya dicatat. Luna menundukkan kepala, mencoba menghindari pandangan orang-orang yang penasaran. Rasanya seperti menjadi selebritas yang tak pernah ia inginkan.Begitu sampai di depan mobil mewah yang sudah menunggu, salah satu anak buah Russel dengan sigap membukakan pintu untuknya. Luna tidak banyak bicara. Ia langsung masuk ke dalam mobil, lebih memilih menghindari tatapan orang-orang yang membuatnya tidak nyaman. Begitu pintu tertutup, ia merasa sedikit lega, meski hanya sesaat.“Kalian akan membawaku ke mana?” tanya Luna pada pria yang duduk di depan kemudi. Pria itu adalah asisten pribadi Russel, wajahnya tenang namun matanya tajam.Pria itu melirik Luna melalui kaca spion, s
Hal yang tidak pernah Luna bayangkan dalam hidupnya adalah duduk di satu meja makan dengan ayahnya, Russel Calderon dan juga saudara yang bahkan tampak sangat membencinya. Suasana makan malam itu begitu kaku, seperti udara yang dipenuhi oleh ketegangan yang tak terucapkan. Hanya suara denting sendok yang beradu dengan piring yang memecah keheningan. Luna mencoba menikmati makanannya, tapi setiap suapan terasa seperti batu yang sulit ditelan. Pandangan tajam Nico yang sesekali meliriknya membuat Luna semakin tidak nyaman.“Sialan, ayahku menemukan perempuan ini lebih dulu,” batin Nico, matanya menyipit seperti sedang mempelajari musuh. Ia menatap Luna dengan tatapan dingin, seolah mencoba mengirim pesan tanpa kata-kata. 'Kau tidak diinginkan di sini.'Makan malam akhirnya selesai, tapi tak satu pun dari mereka yang langsung meninggalkan meja. Russel menatap putranya di sebelah kiri, lalu beralih ke Luna yang duduk di sebelah kanannya.“Nico, Luna,” ucapnya, suaranya tegas namun pe
Setengah jam berlalu, Xavier dan Diego masih mengobrol seperti dua teman lama yang sedang menikmati waktu santai. Gelas demi gelas minuman mereka habiskan, sesekali tawa kecil terdengar, meski lebih terasa seperti suara dua predator yang merencanakan sesuatu.Akhirnya, setelah puas berbicara, Xavier berdiri. "Ada hal yang perlu aku lakukan," ucapnya. Diego mengangguk, menepuk bahu Xavier sebelum ikut beranjak pergi.Begitu langkah mereka menghilang di balik pintu, bartender yang sejak tadi menyajikan minuman untuk kedua pria itu melirik ke bawah meja. Dengan nada tenang, ia berbisik, "Mereka sudah pergi. Kau bisa keluar dari persembunyianmu sekarang."Perlahan, seorang wanita muncul dari tempatnya berjongkok. Hazel menarik nafas dalam-dalam, mengamati sekeliling untuk memastikan benar-benar aman.Awalnya, ia tidak menyangka bisa bertemu dengan Xavier di dalam kapal ini, dan lebih dari itu, mendengar pembicaraan pria itu yang membuat amarahnya mendidih."Kenapa setiap orang yang dekat
Suara deru mesin mobil memecah keheningan malam saat kendaraan hitam berhenti di dermaga. Xavier turun lebih dulu, langkahnya tegas dan tanpa ragu, langsung berbicara dengan seseorang yang sudah menunggunya. Wajahnya tetap dingin, tanpa ekspresi, seakan kehadirannya saja sudah cukup untuk membuat orang lain merasa terintimidasi.Dari sisi lain, Luna turun dengan sedikit ragu. Begitu kakinya menginjak dermaga, matanya langsung tertuju pada dua kapal pesiar megah yang bersandar tak jauh dari tempatnya berdiri. Cahaya lampu dari kapal itu memantul di permukaan air laut, menciptakan pemandangan yang begitu menakjubkan, namun sekaligus membuatnya merasa kecil.Jantungnya berdetak lebih cepat. Selama satu minggu kedepan, ia harus berada di dalam kapal itu bersama pria yang ... jujur saja ... menakutkan. Ditambah lagi, ini pertama kalinya ia berada di kapal sebesar itu, yang tingginya nyaris menyamai gedung lima belas lantai.Tanpa memperdulikan keterpanaan Luna, suara dingin Xavier menginte
Teriakan penuh amarah mengguncang ruangan, menggema hingga ke dinding-dinding yang seolah ikut bergetar karena kemarahan Russel. Dengan gerakan kasar, ia meraih vas bunga di atas meja dan melemparkannya ke lantai. Pecahan keramik berhamburan, nyaris mengenai kaki anak buahnya yang hanya bisa berdiri dengan kepala tertunduk."Brengsek!" Russel berbalik dengan mata membara, jemarinya teracung tajam ke arah pria yang berdiri membeku di hadapannya. "Bukankah aku sudah menyuruhmu memastikan bahwa Jacob ada di dalam mobil itu?! Tapi lihat apa yang terjadi! Dia masih hidup! Itu berarti yang kalian ledakkan tadi hanyalah mobil kosong! Kegagalan macam apa ini?!"Anak buahnya tetap diam, tahu betul bahwa berdebat hanya akan memperparah situasi. Russel tidak butuh alasan, yang ia inginkan hanyalah hasil.Pria itu semakin murka. Rahangnya mengeras, pikirannya berputar liar. Bagaimana mungkin Jacob bisa lolos? Apakah dia sudah mengetahui rencananya sejak awal? Mungkinkah ini semua adalah jebakan y
Kekacauan masih belum mereda. Kabar pertunangan itu terus bergulir, menyebar bagaikan api yang disiram bensin. Namun, yang lebih menggemparkan adalah terbongkarnya identitas Xavier sebagai cucu George Davis, sebuah fakta yang selama ini terkubur rapi dalam bayang-bayang. Dan kini, untuk pertama kalinya, Xavier tidak punya pilihan selain berdiri di hadapan publik dengan gelar yang selama ini ia hindari.Konferensi pers pun digelar.Di tengah kilatan kamera dan suara gemuruh wartawan yang berlomba mendapatkan sudut terbaik, Xavier melangkah masuk ke ruangan. Setelan hitamnya yang sempurna, sorot mata tajamnya, dan aura dominan yang terpancar dari dirinya membuat suasana seketika terasa lebih tegang.Ia duduk dengan tenang di kursi yang disediakan, sementara wartawan sudah tak sabar melontarkan pertanyaan."Sir, mengapa Anda menyembunyikan identitas sebagai cucu George Davis?""Apa benar transaksi ilegal yang muncul beberapa hari lalu melibatkan Anda?""Kapan pernikahan Anda dengan putri
Rumor seperti api yang membakar reputasi Russel Calderon. Kontrak-kontrak penting mulai dibatalkan satu per satu, saham Zenith merosot tajam, dan ruang kerjanya yang biasanya megah kini terasa seperti sel isolasi. Teleponnya berdering tanpa henti karena pada investor yang panik, rekan bisnis yang curiga, bahkan media yang haus sensasi.Tidak terasa tiga hari berlalu semenjak rumor itu muncul, beberapa pihak kepolisian datang untuk memeriksa dirinya terlibat dalam transaksi pengiriman senjata. Penyelidikan terus dilakukan, saham perusahaan mengalami masalah karena rumor yang terus membesar.Di saat Xavier dan Russel terlibat perselisihan, semua orang tidak ada yang memperhatikan Luna. Hal ini menjadi kesempatan untuk Luna menikmati waktu yang ia punya, karena semenjak Xavier pergi sehari setelah pertunangan, sejak itu pula Luna tak melihat pria itu pulang."Hei, kau dimana?" tanya Luna pada seseorang di sambungan telepon.Begitu seseorang di telepon itu menjawab, Luna langsung pergi me
Pukul tujuh pagi, Luna membuka pintu kamarnya dengan perlahan, udara dingin apartemen mewah Xavier menyergap kulitnya. Namun, sebelum ia sempat mengambil langkah pertama, suara kasar memecah kesunyian pagi."Brengsek! Dia berani melakukannya?!"Suara Xavier yang bergema di ruangan membuat Luna membeku. Dadanya berdegup kencang, apakah kemarahan itu ditujukan padanya?Dengan hati berdebar, ia melihat Xavier berdiri di ruang tamu, wajahnya merah padam, tangan mencengkeram ponsel seolah ingin menghancurkannya. Matanya yang biasanya dingin kini membara seperti api neraka."Siapa yang membuatnya marah seperti ini?" batin Luna.Xavier menoleh tiba-tiba, dan tatapan mereka bertemu. Luna nyaris mundur, ada sesuatu yang mengerikan dalam sorot matanya pagi ini. Tapi sebelum sempat berkata apapun, Xavier mendengus keras, lalu berbalik dan berjalan cepat menuju kamarnya.Beberapa detik kemudian, ia keluar lagi, kini mengenakan jas hitam yang membuatnya terlihat seperti malaikat maut. Tanpa sepata
Pada akhirnya, hari yang tidak diinginkan itu tiba. Yaitu pesta pertunangan, walaupun bukan pesta besar, tapi kabar mengenai hal ini kemungkinan besar akan dengan cepat didengar oleh publik bahwa putri dari Russel Calderon telah bertunangan.Luna menatap keluar jendela kaca besar, pemandangan kota terlihat dari tempat ia berdiri. Langit gelap dan lampu-lampu di gedung tinggi tampak bersinar, ia seperti seekor hewan peliharaan yang berharap untuk bisa mendapatkan kebebasan."Kau terjebak, dan tidak ada cara untuk melarikan diri." ucap Nico yang berdiri tak jauh di belakang Luna.Perlahan Luna berbalik, menatap adik tirinya yang beberapa waktu terakhir sikapnya lebih baik, terlihat dari sorot matanya kalau Nico itu sebenarnya peduli padanya, tapi pria muda itu enggan untuk mengakui hal itu."Kamu benar, aku terjebak. Bagaikan seekor hewan yang terjerat oleh perangkap seorang pemburu," ucap Luna sambil melewati Nico menuju meja dan meraih sepasang anting untuk ia pakai.Nico memperhatika
Luna baru saja keluar dari bandara sambil membawa koper, tapi matanya langsung melihat dua orang bodyguard yang siap menjemput. Salah satu mendekat, meraih koper dan membawanya pergi sementara satu yang lainnya seakan memastikan Luna tak tersentuh oleh para pendatang di bandara tersebut.Tak ada kebahagiaan yang terpancar di wajah Luna, hanya tekanan batin yang ia rasakan karena harus meninggalkan Jacob tanpa satu katapun. Ia ingin bertahan, hidup bahagia seperti apa yang Jacob tawarkan, tapi itu berat bagi Luna kalau pilihannya itu malah membuat Jacob celaka di kemudian hari."Silakan, Nona," ucap salah satu bodyguard dengan suara datar, membukakan pintu mobil hitam mengkilap yang sudah menunggu. Luna masuk tanpa protes, jendela mobil yang gelap seakan memantulkan bayangannya yang hampa.Kediaman Calderon menyambutnya dengan kemewahan yang tiba-tiba terasa menusuk. Russel tersenyum ramah, tapi sorot matanya tajam, seperti pedagang yang baru saja menutup transaksi menguntungkan."Baga
Waktu terasa berlalu begitu cepat. Luna bergegas dari dapur saat dering ponselnya memecah kesunyian. Jantungnya berdegup kencang ketika melihat nama "Xavier" berkedip di layar. Tangannya gemetar saat mencoba mengatur nafas, memastikan suaranya tak akan terdengar mencurigakan saat menjawab."Baik, tenang," bisiknya pada diri sendiri sebelum akhirnya mengangkat telepon. "Halo?"Suara Xavier langsung memenuhi telinganya, dingin dan penuh ancaman. "Ingat baik-baik, Luna. Kau tidak boleh terlambat satu menit pun untuk acara pertunangan kita. Tiga hari lagi. Liburanmu tersisa satu hari. Jika kau berani melawan..." Ada jeda yang sengaja dibuat dramatis. "Aku tidak akan tinggal diam."Luna memejamkan mata erat-erat, mencoba menahan getar di suaranya. "Aku mengerti. Besok aku akan kembali.""Dan ingat ini," sambung Xavier, suaranya tiba-tiba lebih rendah namun sepuluh kali lebih mengerikan. "Aku benci mengulangi kalimat yang sama. Kalau kau berulah..." Ancaman itu menggantung di udara. "Jangan