ZELINE“Gimana tadi di kampus? Ada kendala?”Aku menggelengkan kepala, menidakkan pertanyaan Dimas.Hari ini adalah hari kedua aku di New York jika dihitung sejak kedatangan kemarin. Tadi Dimas mengantarku ke kampus, menemani sebentar kemudian meninggalkanku sendiri walau dengan berat hati karena dia harus kerja. Perkuliahan baru akan dimulai minggu depan. Hanya saja aku merasa perlu untuk gladi resik dengan mengenali situasi dan lingkungan tempatku menuntut ilmu selama dua tahun ke depan. “Nggak nyasar kan?” tanyanya lagi.“Nggak dong, kalau nyasar kan tinggal telfon kamu.”Dimas tertawa memamerkan deretan giginya yang rapi. Lekuk di pipinya menyembul, yang membuatnya semakin menawan kalau kata Papa. Bukan kataku. Buat aku hanya ada satu pria menawan di dunia.“Gimana kedaan kamu? Nggak pusing, lemas, dan sejenisnya kan?”“Jetlag?”“Yup.”“Syukurnya nggak. Semalam tidurku nyenyak.” Aku bersyukur walau ini adalah penerbangan panjang pertamaku, tapi aku tidak terserang jetlag.“Kalau
JEVINPerdebatan Mami dan Papi di rumah sakit tempo hari tidak membuahkan apa-apa selain rasa depresi yang semakin menjadi. Mami yang keras hati dan egonya tinggi bersikukuh dengan sikapnya. Mami menolak untuk meminta maaf pada keluarga Zeline. Tampaknya Mami memang lebih suka melihat aku begini.“Gini deh, Mi, Pi, gimana kalau untuk sementara Jevin tinggal di rumah aku? Biar Jevin bisa ganti suasana. Lagian ada Kaka di rumah. Dia sering nanyin Jevin.”“Terserah kamu,” jawab Mami ketus dengan tangan bersedekap di dada. Mungkin Mami juga sudah muak melihatku. Siapa memangnya yang tahan menghadapi orang depresi seperti aku?Lalu setelahnya Javas benar-benar membawaku ke rumahnya. Javas dan Zoia memperlakukanku dengan baik. Aku sedikit teralihkan dari duniaku yang sepi oleh tingkah dan perangai Bjorka yang lucu dan menggemaskan. Andai suatu saat nanti aku juga memiliki anak seperti Bjorka. Tapi itu tidak mungkin terjadi karena Zeline sudah lepas dari genggaman.Malam ini Javas masuk ke k
ZELINEEntah mengapa malam pertama di rumah Mbak Zola aku nggak bisa tidur. Padahal rumahnya begitu nyaman dan cukup jauh dari keramaian. Perutku juga sudah kenyang. Mbak Zola masak banyak banget tadi yang khusus untuk menyambut kedatanganku. Tapi mungkin pikirankulah yang bermasalah.Sejak melihat kebersamaan Fai dan Zach tadi, aku tiba-tiba teringat peristiwa kelam itu. Andai saja dulu dia sempat lahir mungkin sekarang aku sudah menjadi seorang ibu muda dengan konsekuensi mama dan papa akan marah besar atau bahkan mengusirku dari rumah. Namun, di sisi lain aku menang karena berhasil mengalahkan ego dan terselamatkan dari perasaan berdosa.Hanya aku yang tahu, setiap kali melihat anak-anak aku akan merasa sedih karena teringat pada anakku sendiri yang tidak kuberi kesempatan untuk hidup. Ibu macam apa aku?Lamunanku tentang kelamnya masa silam terhenti ketika ponselku berbunyi. Ada telepon dari Dimas.Aku memutuskan untuk menerima panggilan itu. Hitung-hitung ada teman bicara sampai
JEVINMami sudah pergi sejak berjam-jam yang lalu. Awalnya dia ingin mengajakku pulang ke rumah, tapi aku menolak. Aku lebih betah berada di rumah Javas. Di sini adem. Di sini aku merasa lebih tenang. Di sini orang-orangnya baik, walau mungkin aku sangat merepotkan. Sehingga pada akhirnya Mami pergi.Yang bisa kulakukan sejak tadi hanya melamun, lalu duduk di dekat jendela memandang pemandangan di luar sana lantas kembali berbaring. Hal yang sama kulakukan berulang-ulang setiap hari sampai aku benar-benar bosan.Aku keluar dari kamar. Mungkin ada sesuatu di luar sana yang bisa sedikit membuka pikiranku. Entah apa. Aku membawa langkah ke ruang belakang. Kakiku tertahan saat mendapati suara ribut-ribut.“Aku udah capek banget ngadepin Mami kamu. Aku udah mengalah. Mencoba mengerti keadaan, sifat dan karakter dia, tapi apa yang dilakukannya tadi udah kelewatan banget, Jav. Aku udah nggak tahan. Dia bikin aku tersinggung. Nggak masalah kalau dia memang nggak suka sama Zeline, lagian mas
ZELINEAku terduduk di tempat tidur dengan punggung tersandar ke headboard sedangkan tanganku masih menggenggam gelas yang sudah kosog.Melihatku termangu, Mbak Zola ikut menempatkan dirinya dengan duduk di dekatku.“Dalem banget kayaknya mimpi kamu. Mimpi apa sih tadi? Boleh Mbak tahu?” tanyanya seraya memandangi wajahku lekat dan dekat.Aku tak lantas menjawab. Kalau aku ceritakan aku yakin kakakku itu akan bereaksi negatif dan menudingku belum bisa move on dari Jevin. Namun, rasanya juga begitu berat jika kupendam sendiri.“Mimpi serem, Mbak,” jawabku akhirnya.“Seserem apa? Kamu mimpi vampir? Gorila? Kuntilanak?” Mbak Zola menebak dengan menyebut satu demi satu nama makhluk mengerikan mulai dari yang tersohor sampai dengan kearifan lokal.Semua itu tidak ada apa-apanya. Mimpi yang kualami jauh lebih menakutkan dari makhluk-makhluk tersebut. Aku lebih suka bermimpi darahku dihisap vampir ketimbang melihat Jevin berlumuran darah.“Aku mimpi ngeliat orang kecelakaan, Mbak,” beberku l
JEVINJavas, mami dan papi serentak melempar pandang penuh perasaan heran. Seharusnya akulah yang berada di posisi itu. Aku balas menatap mereka satu demi satu dengan perasaan bingung yang begitu jelas. Masa sih Javas sudah menikah dan punya anak? Gimana bisa aku sampai nggak tahu? Memangnya aku di mana selama ini? Apa yang kulakukan?Seingatku hubungan dengan Javas nggak terlalu dekat tapi sebagai saudara kandung agak mustahil kalau dia tidak memberitahuku tentang pernikahannya, apalagi istrinya cantik begitu. Dia pasti bangga.“Jev, lo bener-bener bikin gue sama mami dan papi syok berat. Jangan gini deh, Jev. Kejutan dalam hidup gue tuh udah banyak banget, jadi tolong jangan lo tambah lagi,” ujar Javas padaku.“Kok malah gue sih? Justru lo yang ngasih gue surprise. Lo nikah dan udah punya anak segede itu tapi gue malah nggak tahu. Gimana bisa, Jav?” tuntutku meminta pertanggungjawaban darinya. “Siapa namanya tadi anak sama istri lo?” Aku kesulitan mengingatnya padahal baru diberita
JEVINAku sontak membisu. Seluruh persendianku terasa lesu. Seluruh energi yang kumiliki tersedot entah ke mana setelah mendengar perkataan mami. Ini mustahil. Aku nggak bisa menerima semua ini. Zeline milikku. Dulu, sekarang, dan selamanya.“Nggak mungkin Zeline udah nikah, Mi," ucapku membantah. Aku tidak bisa terima begitu saja informasi yang disuguhkan mami. “Kenapa nggak mungkin?” Mami balas bertanya padaku.Aku terdiam tanpa mampu menjawab. Sementara mami terus memandangiku. Dalam waktu tujuh tahun apapun bisa terjadi. Apapun boleh terjadi asal Zeline jangan menikah dengan orang lain.“Mi, udah, Mi, Jevin butuh istirahat. Jangan banyak omong dulu.” Javas menyentuh pundak mami agar memberiku waktu.“Walau bagaimanapun Jevin harus tahu, Jav, jangan diundur-undur. Apapun yang terjadi dia harus bisa terima kenyataan.” Mami bersikeras dengan pendiriannya mengurai segala fakta untuk kuketahui.“Iya, Mi, aku tahu. Tapi nggak kayak gini juga.” Javas begitu risau dan terus menghalangi
JEVIN“Cantik-cantik semua.” Aku mengomentari ketika Javas menunjukkan foto Zoia dan Zola padaku agar aku mengenal siapa istri Zach yang belum pernah kutemui.Tidak itu saja, Javas juga menunjukkan foto mereka berenam dalam formasi lengkap. Javas, Zoia, Bjorka, Zach, Zola, serta putra kecil mereka yang bernama Fai.Sejujurnya aku merasa cemburu kala melihat kebersamaan mereka di potret itu. Adik-adikku sudah bahagia bersama pasangan masing-masing. Hanya aku yang luntang-lantung nggak jelas.“Sekarang udah puas kan lo?” tanya Javas padaku.Untuk hal ini rasa penasaranku terjawab. Aku sudah tahu seperti apa penampakan istri Zach. Dan akhirnya aku juga tahu kalau ternyata Zeline bukan orang Bali seperti pengakuannya. Dari Javas aku tahu kalau mertuanya berdomisili di Semarang. Selama dua minggu setelah pulang dari rumah sakit aku mendapat banyak informasi dari Javas. Iya, sudah dua minggu lamanya aku berada di rumah mami dan hampir setiap hari Javas mengunjungiku.“Belum, gue belum pua