JEVINJavas, mami dan papi serentak melempar pandang penuh perasaan heran. Seharusnya akulah yang berada di posisi itu. Aku balas menatap mereka satu demi satu dengan perasaan bingung yang begitu jelas. Masa sih Javas sudah menikah dan punya anak? Gimana bisa aku sampai nggak tahu? Memangnya aku di mana selama ini? Apa yang kulakukan?Seingatku hubungan dengan Javas nggak terlalu dekat tapi sebagai saudara kandung agak mustahil kalau dia tidak memberitahuku tentang pernikahannya, apalagi istrinya cantik begitu. Dia pasti bangga.“Jev, lo bener-bener bikin gue sama mami dan papi syok berat. Jangan gini deh, Jev. Kejutan dalam hidup gue tuh udah banyak banget, jadi tolong jangan lo tambah lagi,” ujar Javas padaku.“Kok malah gue sih? Justru lo yang ngasih gue surprise. Lo nikah dan udah punya anak segede itu tapi gue malah nggak tahu. Gimana bisa, Jav?” tuntutku meminta pertanggungjawaban darinya. “Siapa namanya tadi anak sama istri lo?” Aku kesulitan mengingatnya padahal baru diberita
JEVINAku sontak membisu. Seluruh persendianku terasa lesu. Seluruh energi yang kumiliki tersedot entah ke mana setelah mendengar perkataan mami. Ini mustahil. Aku nggak bisa menerima semua ini. Zeline milikku. Dulu, sekarang, dan selamanya.“Nggak mungkin Zeline udah nikah, Mi," ucapku membantah. Aku tidak bisa terima begitu saja informasi yang disuguhkan mami. “Kenapa nggak mungkin?” Mami balas bertanya padaku.Aku terdiam tanpa mampu menjawab. Sementara mami terus memandangiku. Dalam waktu tujuh tahun apapun bisa terjadi. Apapun boleh terjadi asal Zeline jangan menikah dengan orang lain.“Mi, udah, Mi, Jevin butuh istirahat. Jangan banyak omong dulu.” Javas menyentuh pundak mami agar memberiku waktu.“Walau bagaimanapun Jevin harus tahu, Jav, jangan diundur-undur. Apapun yang terjadi dia harus bisa terima kenyataan.” Mami bersikeras dengan pendiriannya mengurai segala fakta untuk kuketahui.“Iya, Mi, aku tahu. Tapi nggak kayak gini juga.” Javas begitu risau dan terus menghalangi
JEVIN“Cantik-cantik semua.” Aku mengomentari ketika Javas menunjukkan foto Zoia dan Zola padaku agar aku mengenal siapa istri Zach yang belum pernah kutemui.Tidak itu saja, Javas juga menunjukkan foto mereka berenam dalam formasi lengkap. Javas, Zoia, Bjorka, Zach, Zola, serta putra kecil mereka yang bernama Fai.Sejujurnya aku merasa cemburu kala melihat kebersamaan mereka di potret itu. Adik-adikku sudah bahagia bersama pasangan masing-masing. Hanya aku yang luntang-lantung nggak jelas.“Sekarang udah puas kan lo?” tanya Javas padaku.Untuk hal ini rasa penasaranku terjawab. Aku sudah tahu seperti apa penampakan istri Zach. Dan akhirnya aku juga tahu kalau ternyata Zeline bukan orang Bali seperti pengakuannya. Dari Javas aku tahu kalau mertuanya berdomisili di Semarang. Selama dua minggu setelah pulang dari rumah sakit aku mendapat banyak informasi dari Javas. Iya, sudah dua minggu lamanya aku berada di rumah mami dan hampir setiap hari Javas mengunjungiku.“Belum, gue belum pua
JEVINAkhirnya setelah melalui penerbangan yang dipenuhi dengan kebingungan aku tiba di Semarang dengan selamat. Aku turun dari pesawat seperti para penumpang lainnya lalu menaiki salah satu taksi yang berjejer di bandara.“Mau ke mana, Mas?” tanya si supir taksi menanyakan tujuanku.Sampai di sini aku terdiam. Aku tidak tahu harus ke mana. Aku tidak tahu alamat rumah Zeline. Aku mencari Zeline hanya bermodal nekat berdasar info dari Javas bahwa rumah orangtua Zeline adalah di Semarang.“Mas?” panggil supir taksi sekali lagi. Jika tadi hanya melirik melalui spion tengah maka kali ini dia memutar kepalanya memandang padaku.Aku masih termangu tanpa mampu menjawab apa pun. Di mana harus kucari alamat rumah Zeline? I have no clue. Aku nggak mungkin terang-terangan menelepon Javas lantas menanyakan padanya. Itu sama artinya dengan bunuh diri. Tindakan itu berpotensi membuatku hidup terpasung.“Mas, saya harus antar Mas ke mana?” Supir taksi menanyakan untuk ke sekian kali dengan nada tida
JEVINThanks God, I found you.Bukan. Aku belum menemukan Zeline, tapi titik terangnya mulai terlihat.Setelah menghabiskan waktu berjam-jam, mutar-mutar keliling Semarang dan nanya sana-sini akhirnya aku menemukan rumah orang tua Zeline. Semua berkat supir taksi yang ternyata pergaulannya sangat luas.Setelah aku mentransfer uang yang jumlahnya tidak sedikit ke rekeningnya dan berjanji akan menambahnya, supir taksi yang belakangan kuketahui bernama Pak Danu, langsung gerak secepat kilat. Dia menghubungi teman-temannya. Mulai dari rekan kerja seprofesi, teman sepergaulan sehari-hari, serta kenalannya yang lain sehingga jadilah aku berdiri di depan rumah ini.“Yakin rumahnya yang ini, Pak?” tanyaku sekali lagi sebelum turun dari mobil.“Kata mbak-mbak yang saya tanya tadi memang yang ini rumah Pak Dion dan Bu Ruri, Mas. Hanya dia yang punya tiga anak perempuan dan cantik-cantik semua. Dan nama anak-anaknya itu sesuai dengan yang Mas ceritain ke saya. Zeline itu anak bungsunya.”Bibirku
ZELINEGemuruh tepuk tangan terdengar bertubi-tubi meramaikan suasana. Aku termasuk di antaranya orang yang bertepuk tangan itu. Pementasan tari yang diadakan oleh Konjen baru saja berakhir. Dan itu membuatku tersenyum lega.Bukan apa-apa, akulah yang mengajari anak-anak itu menari. Anak-anak berumur tujuh sampai sebelas tahun yang orangtuanya bekerja di KJRI, serta anak bule di sini yang para orangtuanya berhubungan dengan Konjen. Dari begitu banyak tarian asal Indonesia, aku memilih tari Legong untuk pertunjukan kali ini. Tari Legong berasal dari Bali. Dan aku sangat mencintai apapun yang berhubungan dengan Bali. Alamnya, suasananya, tempat wisatanya, keberagamannya, budayanya, makanannya. Apapun!“Hebat,” cetus Dimas yang duduk di sebelahku.Aku lalu menoleh memandang padanya. “Iya, mereka hebat dan sangat membanggakan,” ucapku yang kemudian mengalihkan pandangan pada anak-anak itu.“Bukan mereka, tapi kamu.” Ucapan Dimas yang kembali terdengar membuatku kembali menoleh padanya.
ZELINEGenggaman tangan Dimas bertambah erat di jemariku. Mulutnya mendekati telingaku lalu kudengar suaranya berbisik, “Aku nggak memaksa kamu, Zel. Kamu juga nggak harus jawab sekarang. Aku bisa kasih kamu waktu. Tapi tolong aku jangan digantung. Aku butuh kepastian. Aku siap mendengar apa pun jawaban kamu.”Aku buru-buru mengusap mataku yang basah sambil menegakkan duduk.“Kasih aku waktu, Dim. Aku nggak bisa jawab sekarang,” ucapku tanpa menoleh padanya.“Pasti, Zel, kamu bisa jawab kapan pun kamu mau. Tapi kalau bisa jangan terlalu lama ya, biar aku tersiksanya juga nggak terlalu lama.”Aku tertawa mendengar kata-kata Dimas.***Dua minggu berlalu sejak pernyataan cinta Dimas. Sesuai yang dikatakannya saat itu Dimas memberiku waktu. Dia tidak mendesakku untuk segera memberi jawaban. Bahkan sikapnya nggak berubah. Dia masih seperti biasa. Kami tetap menjalani pertemanan seperti sebelumnya.Hampir setiap malam aku berpikir merenungkan hidupku dan segala yang terjadi di dalamnya. Ak
ZELINE“Happy six months anniversary!”Aku tertawa saat Dimas mengulurkan cupcake dengan topping buah strawberry padaku. Aku menerimanya dengan senang hati.“Cuma satu aja?”“Memangnya harus dua? Kan makannya bisa berdua.”Lagi-lagi aku tertawa mendengar jawaban Dimas.Aku menjejalkan cupcake itu ke mulut. Setelahnya menyodorkan pada Dimas. Dia langsung menyambut dengan menggigit bagiannya. Ya, kami benar-benar memakannya satu berdua.Tanpa terasa sudah enam bulan aku menjadi kekasihnya. Dan sejauh ini aku merasa nyaman dengannya.“Awww! Diiiim!” Pekikan tertahan meluncur dari mulutku ketika Dimas mengoleskan butter cream dengan ujung jarinya ke puncak hidungku.Dia tertawa puas. Pasti aku kayak badut sekarang sampai dia tertawa begitu lepas.“Dasar nakal!” Aku mencubit lengannya sambil pura-pura cemberut.Alih-alih akan membantu membersihkan hidungku tawanya malah bertambah keras.“Jangan dihapus,” larangnya saat aku menyentuh hidung dan bermaksud membersihkannya.“Kenapa?” tanyaku
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.