ZELINEGemuruh tepuk tangan terdengar bertubi-tubi meramaikan suasana. Aku termasuk di antaranya orang yang bertepuk tangan itu. Pementasan tari yang diadakan oleh Konjen baru saja berakhir. Dan itu membuatku tersenyum lega.Bukan apa-apa, akulah yang mengajari anak-anak itu menari. Anak-anak berumur tujuh sampai sebelas tahun yang orangtuanya bekerja di KJRI, serta anak bule di sini yang para orangtuanya berhubungan dengan Konjen. Dari begitu banyak tarian asal Indonesia, aku memilih tari Legong untuk pertunjukan kali ini. Tari Legong berasal dari Bali. Dan aku sangat mencintai apapun yang berhubungan dengan Bali. Alamnya, suasananya, tempat wisatanya, keberagamannya, budayanya, makanannya. Apapun!“Hebat,” cetus Dimas yang duduk di sebelahku.Aku lalu menoleh memandang padanya. “Iya, mereka hebat dan sangat membanggakan,” ucapku yang kemudian mengalihkan pandangan pada anak-anak itu.“Bukan mereka, tapi kamu.” Ucapan Dimas yang kembali terdengar membuatku kembali menoleh padanya.
ZELINEGenggaman tangan Dimas bertambah erat di jemariku. Mulutnya mendekati telingaku lalu kudengar suaranya berbisik, “Aku nggak memaksa kamu, Zel. Kamu juga nggak harus jawab sekarang. Aku bisa kasih kamu waktu. Tapi tolong aku jangan digantung. Aku butuh kepastian. Aku siap mendengar apa pun jawaban kamu.”Aku buru-buru mengusap mataku yang basah sambil menegakkan duduk.“Kasih aku waktu, Dim. Aku nggak bisa jawab sekarang,” ucapku tanpa menoleh padanya.“Pasti, Zel, kamu bisa jawab kapan pun kamu mau. Tapi kalau bisa jangan terlalu lama ya, biar aku tersiksanya juga nggak terlalu lama.”Aku tertawa mendengar kata-kata Dimas.***Dua minggu berlalu sejak pernyataan cinta Dimas. Sesuai yang dikatakannya saat itu Dimas memberiku waktu. Dia tidak mendesakku untuk segera memberi jawaban. Bahkan sikapnya nggak berubah. Dia masih seperti biasa. Kami tetap menjalani pertemanan seperti sebelumnya.Hampir setiap malam aku berpikir merenungkan hidupku dan segala yang terjadi di dalamnya. Ak
ZELINE“Happy six months anniversary!”Aku tertawa saat Dimas mengulurkan cupcake dengan topping buah strawberry padaku. Aku menerimanya dengan senang hati.“Cuma satu aja?”“Memangnya harus dua? Kan makannya bisa berdua.”Lagi-lagi aku tertawa mendengar jawaban Dimas.Aku menjejalkan cupcake itu ke mulut. Setelahnya menyodorkan pada Dimas. Dia langsung menyambut dengan menggigit bagiannya. Ya, kami benar-benar memakannya satu berdua.Tanpa terasa sudah enam bulan aku menjadi kekasihnya. Dan sejauh ini aku merasa nyaman dengannya.“Awww! Diiiim!” Pekikan tertahan meluncur dari mulutku ketika Dimas mengoleskan butter cream dengan ujung jarinya ke puncak hidungku.Dia tertawa puas. Pasti aku kayak badut sekarang sampai dia tertawa begitu lepas.“Dasar nakal!” Aku mencubit lengannya sambil pura-pura cemberut.Alih-alih akan membantu membersihkan hidungku tawanya malah bertambah keras.“Jangan dihapus,” larangnya saat aku menyentuh hidung dan bermaksud membersihkannya.“Kenapa?” tanyaku
ZELINE“Happy graduation, My love. All of your hard work is paying off. Congrats and cheers to the next step.”Dimas membisikkannya di telingaku sambil memelukku dengan erat. Aku membalas pelukannya dengan perasaan haru yang mendalam.Finally, this is the day. Dua tahun menempuh pendidikan di Columbia University aku berhasil menyelesaikannya tepat waktu dengan GPA 3,8. Not perfect, but not bad at all.Hari ini adalah hari bahagiaku, tapi sayangnya mama dan papa nggak bisa hadir karena papa sakit. Jadilah di hari kelulusanku ini aku harus berpuas hati hanya dengan kehadiran Dimas, Mbak Zola, Zach, serta Fai.“Makasih, Dim.” Hanya sepenggal kata singkat itu yang bisa kuucapkan membalas ucapan selamat darinya. Harus kuakui Dimas berperan cukup besar dalam proses pendidikanku. Mulai dari awal hingga akhir. Dimas yang membantuku serta menyemangati saat menyelesaikan tesis. Perhatian-perhatian kecilnya tidak akan bisa kulupakan walau itu hanya sekadar memijit tengkukku saat punggungku peg
ZELINEAku menanti dengan muka tegang bagaimana reaksi Dimas setelah mendengar keseluruhan ceritaku.Iya, aku memang menceritakannya semuanya tanpa ada yang ku-skip. Aku ingin Dimas tahu semua yang terjadi padaku di masa lalu secara utuh. Tidak sepotong-sepotong. Lalu reaksi yang kudapatkan adalah ... Dimas yang menatapku dengan tatapan kecewa.Sepertinya aku sudah tahu apa kelanjutannya. Aku siap untuk itu. “Dim ...,” panggilku pelan lantaran setelah sekian menit aku selesai bercerita Dimas tidak berkata apa-apa. Sikapnya membuatku tidak tenang. Aku ingin dia mengatakan sesuatu. Terserah dia mau memaki atau berteriak menghinaku.“Aku kaget, Zel, aku nggak nyangka,” katanya kemudian memberi respon.Jangankan dia, aku juga nggak menyangka dulu pernah senekat itu, tidak seberpikir itu.“Maaf, Dim, aku udah bikin kamu kecewa. Aku nggak seperti yang ada di pikiran kamu.”“Aku nggak pernah berpikiran yang muluk-muluk tentang kamu, Zel. Tapi ... Aku benar-benar ... Aaaah, I’m speechless
ZELINEMas Javas hanya tersenyum sambil mengusap pelan kepala Bjorka.Kami kemudian menuju parking area. Tadi Mas Javas sempat mengobrol dengan Dimas saat aku baru sampai.“Onti, ayo duduk di sini beldua sama Kaka,” celetuk Bjorka saat aku berniat duduk di jok belakang sendiri.“Boleh emangnya Onti duduk di depan? Nanti Kaka nggak bakal sempit?” “Boleh dong. Kaka kangen mau duduk beldua sama Onti.”Ucapan keponakanku itu membuatku terharu. Aku mengurungkan niat semula lalu membuka pintu bagian depan, duduk berdua dengannya. Alih-alih akan duduk di sebelahku Bjorka malah naik ke pangkuanku lalu memelukku manja. Aku membalas dekapannya. Kuciumi anak itu sepuas hati. Dan sial, saat aku mengecup puncak kepala Bjorka aku kepikiran celetukannya mengenai Jevin tadi.Aku menatap Mas Javas. Ingin bertanya mengenai keberadaan Jevin. Tapi saat melihat Mas Javas begitu berkonsentrasi menyetir aku terpaksa mengurungkan niat tersebut. Lagi pula untuk apa aku menanyakannya? Memang kenapa kalau J
ZELINEBjorka sudah tidur di sebelahku sejak dua jam yang lalu. Setelah puas mempromosikan Jevin padaku—yang hanya kudengarkan dengan wajah datar, anak itu kelelahan sendiri hingga akhirnya ketiduran. Sedangkan aku hingga detik ini tidak bisa memejamkan mata. Kantukku menguap entah ke mana. Dan semua gara-gara informasi yang aku terima. Semua tentang Jevin.Seharusnya aku nggak boleh begini. Semestinya apapun yang kudengar dari Bjorka mengenai omnya tidak akan berpengaruh apa-apa. Nyatanya aku tidak bisa tidur. Padahal tubuhku benar-benar lelah dan butuh beristirahat.Pintu kamarku diketuk. Bersamaan dengan itu aku mendengar suara Mbak Zoi memanggil namaku.“Zel! Kaka ada di sana?”Aku terpaksa turun dari tempat tidur untuk langsung membuka pintu. Khawatir jika menyahut maka suaraku akan membuat Bjorka terbangun.“Ada, Mbak, ketiduran setelah tadi cerita banyak sama aku.”Mbak Zoi melongokkan kepala. Senyum terbit di bibirnya melihat Bjorka terlelap dengan pulas. Kemudian Mbak Zoi mel
JEVINAku, Niken, dan Zoia serentak memandang ke arah itu. Pada perempuan yang saat ini sedang menggendong Arimbi. Perempuan itu adalah …Otakku belum berhasil memetakan apa pun. Napasku tiba-tiba menderu, berhasil membuat dadaku sesak seketika.Kejadian sekitar satu dekade yang lalu berputar-putar di kepalaku. Saat pertama bertemu dengan Zeline, menghabiskan tujuh hari penuh bersamanya.Zeline yang selama ini kucari dan tidak pernah pergi dari hatiku saat ini berada tepat di hadapanku.Refleks aku berdiri, membuat pandangan Zoia dan Niken tertuju padaku. Aku akan melangkah mendekati Zeline lalu memeluknya yang sudah sangat lama kurindukan. Aku akan memeluknya seerat mungkin. Kali ini dia tidak akan kulepaskan. Dia tidak boleh pergi. Aku tidak mau kehilangan dia lagi. Sudah cukup penderitaanku karena cinta ini.Namun, sebelum aku benar-benar melangkah, sebuah fakta menamparku. Zeline sudah menikah. Dia sudah menjadi istri orang. Dia bukan milikku lagi. ***ZELINETanpa perlu berkaca
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.