JEVINThanks God, I found you.Bukan. Aku belum menemukan Zeline, tapi titik terangnya mulai terlihat.Setelah menghabiskan waktu berjam-jam, mutar-mutar keliling Semarang dan nanya sana-sini akhirnya aku menemukan rumah orang tua Zeline. Semua berkat supir taksi yang ternyata pergaulannya sangat luas.Setelah aku mentransfer uang yang jumlahnya tidak sedikit ke rekeningnya dan berjanji akan menambahnya, supir taksi yang belakangan kuketahui bernama Pak Danu, langsung gerak secepat kilat. Dia menghubungi teman-temannya. Mulai dari rekan kerja seprofesi, teman sepergaulan sehari-hari, serta kenalannya yang lain sehingga jadilah aku berdiri di depan rumah ini.“Yakin rumahnya yang ini, Pak?” tanyaku sekali lagi sebelum turun dari mobil.“Kata mbak-mbak yang saya tanya tadi memang yang ini rumah Pak Dion dan Bu Ruri, Mas. Hanya dia yang punya tiga anak perempuan dan cantik-cantik semua. Dan nama anak-anaknya itu sesuai dengan yang Mas ceritain ke saya. Zeline itu anak bungsunya.”Bibirku
ZELINEGemuruh tepuk tangan terdengar bertubi-tubi meramaikan suasana. Aku termasuk di antaranya orang yang bertepuk tangan itu. Pementasan tari yang diadakan oleh Konjen baru saja berakhir. Dan itu membuatku tersenyum lega.Bukan apa-apa, akulah yang mengajari anak-anak itu menari. Anak-anak berumur tujuh sampai sebelas tahun yang orangtuanya bekerja di KJRI, serta anak bule di sini yang para orangtuanya berhubungan dengan Konjen. Dari begitu banyak tarian asal Indonesia, aku memilih tari Legong untuk pertunjukan kali ini. Tari Legong berasal dari Bali. Dan aku sangat mencintai apapun yang berhubungan dengan Bali. Alamnya, suasananya, tempat wisatanya, keberagamannya, budayanya, makanannya. Apapun!“Hebat,” cetus Dimas yang duduk di sebelahku.Aku lalu menoleh memandang padanya. “Iya, mereka hebat dan sangat membanggakan,” ucapku yang kemudian mengalihkan pandangan pada anak-anak itu.“Bukan mereka, tapi kamu.” Ucapan Dimas yang kembali terdengar membuatku kembali menoleh padanya.
ZELINEGenggaman tangan Dimas bertambah erat di jemariku. Mulutnya mendekati telingaku lalu kudengar suaranya berbisik, “Aku nggak memaksa kamu, Zel. Kamu juga nggak harus jawab sekarang. Aku bisa kasih kamu waktu. Tapi tolong aku jangan digantung. Aku butuh kepastian. Aku siap mendengar apa pun jawaban kamu.”Aku buru-buru mengusap mataku yang basah sambil menegakkan duduk.“Kasih aku waktu, Dim. Aku nggak bisa jawab sekarang,” ucapku tanpa menoleh padanya.“Pasti, Zel, kamu bisa jawab kapan pun kamu mau. Tapi kalau bisa jangan terlalu lama ya, biar aku tersiksanya juga nggak terlalu lama.”Aku tertawa mendengar kata-kata Dimas.***Dua minggu berlalu sejak pernyataan cinta Dimas. Sesuai yang dikatakannya saat itu Dimas memberiku waktu. Dia tidak mendesakku untuk segera memberi jawaban. Bahkan sikapnya nggak berubah. Dia masih seperti biasa. Kami tetap menjalani pertemanan seperti sebelumnya.Hampir setiap malam aku berpikir merenungkan hidupku dan segala yang terjadi di dalamnya. Ak
ZELINE“Happy six months anniversary!”Aku tertawa saat Dimas mengulurkan cupcake dengan topping buah strawberry padaku. Aku menerimanya dengan senang hati.“Cuma satu aja?”“Memangnya harus dua? Kan makannya bisa berdua.”Lagi-lagi aku tertawa mendengar jawaban Dimas.Aku menjejalkan cupcake itu ke mulut. Setelahnya menyodorkan pada Dimas. Dia langsung menyambut dengan menggigit bagiannya. Ya, kami benar-benar memakannya satu berdua.Tanpa terasa sudah enam bulan aku menjadi kekasihnya. Dan sejauh ini aku merasa nyaman dengannya.“Awww! Diiiim!” Pekikan tertahan meluncur dari mulutku ketika Dimas mengoleskan butter cream dengan ujung jarinya ke puncak hidungku.Dia tertawa puas. Pasti aku kayak badut sekarang sampai dia tertawa begitu lepas.“Dasar nakal!” Aku mencubit lengannya sambil pura-pura cemberut.Alih-alih akan membantu membersihkan hidungku tawanya malah bertambah keras.“Jangan dihapus,” larangnya saat aku menyentuh hidung dan bermaksud membersihkannya.“Kenapa?” tanyaku
ZELINE“Happy graduation, My love. All of your hard work is paying off. Congrats and cheers to the next step.”Dimas membisikkannya di telingaku sambil memelukku dengan erat. Aku membalas pelukannya dengan perasaan haru yang mendalam.Finally, this is the day. Dua tahun menempuh pendidikan di Columbia University aku berhasil menyelesaikannya tepat waktu dengan GPA 3,8. Not perfect, but not bad at all.Hari ini adalah hari bahagiaku, tapi sayangnya mama dan papa nggak bisa hadir karena papa sakit. Jadilah di hari kelulusanku ini aku harus berpuas hati hanya dengan kehadiran Dimas, Mbak Zola, Zach, serta Fai.“Makasih, Dim.” Hanya sepenggal kata singkat itu yang bisa kuucapkan membalas ucapan selamat darinya. Harus kuakui Dimas berperan cukup besar dalam proses pendidikanku. Mulai dari awal hingga akhir. Dimas yang membantuku serta menyemangati saat menyelesaikan tesis. Perhatian-perhatian kecilnya tidak akan bisa kulupakan walau itu hanya sekadar memijit tengkukku saat punggungku peg
ZELINEAku menanti dengan muka tegang bagaimana reaksi Dimas setelah mendengar keseluruhan ceritaku.Iya, aku memang menceritakannya semuanya tanpa ada yang ku-skip. Aku ingin Dimas tahu semua yang terjadi padaku di masa lalu secara utuh. Tidak sepotong-sepotong. Lalu reaksi yang kudapatkan adalah ... Dimas yang menatapku dengan tatapan kecewa.Sepertinya aku sudah tahu apa kelanjutannya. Aku siap untuk itu. “Dim ...,” panggilku pelan lantaran setelah sekian menit aku selesai bercerita Dimas tidak berkata apa-apa. Sikapnya membuatku tidak tenang. Aku ingin dia mengatakan sesuatu. Terserah dia mau memaki atau berteriak menghinaku.“Aku kaget, Zel, aku nggak nyangka,” katanya kemudian memberi respon.Jangankan dia, aku juga nggak menyangka dulu pernah senekat itu, tidak seberpikir itu.“Maaf, Dim, aku udah bikin kamu kecewa. Aku nggak seperti yang ada di pikiran kamu.”“Aku nggak pernah berpikiran yang muluk-muluk tentang kamu, Zel. Tapi ... Aku benar-benar ... Aaaah, I’m speechless
ZELINEMas Javas hanya tersenyum sambil mengusap pelan kepala Bjorka.Kami kemudian menuju parking area. Tadi Mas Javas sempat mengobrol dengan Dimas saat aku baru sampai.“Onti, ayo duduk di sini beldua sama Kaka,” celetuk Bjorka saat aku berniat duduk di jok belakang sendiri.“Boleh emangnya Onti duduk di depan? Nanti Kaka nggak bakal sempit?” “Boleh dong. Kaka kangen mau duduk beldua sama Onti.”Ucapan keponakanku itu membuatku terharu. Aku mengurungkan niat semula lalu membuka pintu bagian depan, duduk berdua dengannya. Alih-alih akan duduk di sebelahku Bjorka malah naik ke pangkuanku lalu memelukku manja. Aku membalas dekapannya. Kuciumi anak itu sepuas hati. Dan sial, saat aku mengecup puncak kepala Bjorka aku kepikiran celetukannya mengenai Jevin tadi.Aku menatap Mas Javas. Ingin bertanya mengenai keberadaan Jevin. Tapi saat melihat Mas Javas begitu berkonsentrasi menyetir aku terpaksa mengurungkan niat tersebut. Lagi pula untuk apa aku menanyakannya? Memang kenapa kalau J
ZELINEBjorka sudah tidur di sebelahku sejak dua jam yang lalu. Setelah puas mempromosikan Jevin padaku—yang hanya kudengarkan dengan wajah datar, anak itu kelelahan sendiri hingga akhirnya ketiduran. Sedangkan aku hingga detik ini tidak bisa memejamkan mata. Kantukku menguap entah ke mana. Dan semua gara-gara informasi yang aku terima. Semua tentang Jevin.Seharusnya aku nggak boleh begini. Semestinya apapun yang kudengar dari Bjorka mengenai omnya tidak akan berpengaruh apa-apa. Nyatanya aku tidak bisa tidur. Padahal tubuhku benar-benar lelah dan butuh beristirahat.Pintu kamarku diketuk. Bersamaan dengan itu aku mendengar suara Mbak Zoi memanggil namaku.“Zel! Kaka ada di sana?”Aku terpaksa turun dari tempat tidur untuk langsung membuka pintu. Khawatir jika menyahut maka suaraku akan membuat Bjorka terbangun.“Ada, Mbak, ketiduran setelah tadi cerita banyak sama aku.”Mbak Zoi melongokkan kepala. Senyum terbit di bibirnya melihat Bjorka terlelap dengan pulas. Kemudian Mbak Zoi mel