ZELINEDengan perlahan kubuka pintu kamar Jevin. Begitu daun pintu terkuak seketika aromaterapi yang bersumber dari diffuser menguar dan terhidup oleh hidungku.Langkahku tertahan. Di atas tempat tidurnya Jevin sedang duduk dengan punggung tersandar ke headboard, sedangkan wajahnya tersembunyi di balik majalah.âIni makanannya. Diletakin di mana?â tanyaku pelan.Mendengar suaraku, Jevin refleks menurunkan majalah dari hadapannya, memperlihatkan wajahnya yang terkejut saat melihatku karena menyangka aku adalah ART.Selama seperkian detik dia menatapku tanpa mengatakan apapun. âMau diletakin di mana?â Aku mengulangi pertanyaan yang belum terjawab.âKenapa kamu yang mengantar?â Jevin menegakkan duduknya menatapku.âTadi Bibi yang menyuruh,â jawabku apa adanya.âTaruh disitu.â Jevin menunjuk meja dengan mulutnya, dengan suara yang terdengar dingin.Aku menuruti instruksinya meletakkan nampan berisi piring dan gelas air putih untuknya di meja yang dimaksud.Merasa tugasku sudah selesai, a
JEVINKalau nggak ingat janjiku kemarin untuk menemani Mami maka pagi ini aku masih akan meringkuk di bawah selimut.Mami sudah dandan rapi dan cantik saat aku keluar dari kamar. Walaupun sudah berumur tapi Mami sangat menjaga penampilannya. Bahkan saking rajinnya perawatan Mami terlihat beberapa tahun lebih muda dari usia sebenarnya.Kami sarapan bertigaâaku, Mami, dan Papi. Aku nggak melihat Zeline. Mungkin dia masih berada di kamarnya.Aku menunggu Mami di beranda setelah selesai sarapan. Sedangkan Mami masih dengan ritualnya berdandan lagi untuk kedua kalinya.Suara klakson yang terdengar dari balik pagar membuatku memalingkan wajah ke arah itu. Sebuah SUV hitam berhenti tepat di depan rumah. Selang beberapa detik setelahnya pengemudi mobil itu keluarâseorang lelaki dengan pakaian ala esmud.Lelaki itu berjalan ke arahku. Jujur saja aku harus mengakui bahwa dia sangat good looking. Dari caranya berpakaian aku bisa menebak status sosialnya. Tapi intinya bukan itu melainkan lelaki i
JEVINTampak seperti adegan-adegan dalam opera sabun, nyatanya adegan tersebut terjadi padaku, di dunia nyata.Kalau saja Mami nggak menyikut lenganku maka aku akan tetap beku di tempat tanpa melakukan apa-apa.Aku dan Niken sama-sama mengulurkan tangan untuk berjabatan. Kulit Niken terasa begitu halus di telapak tanganku. Kami berkenalan, tapi Tante Lenalah yang mewakili memberitahu nama masing-masing.âJev, ini anak Tante, namanya Niken. Ken, ini Jevin, anaknya Tante Rosella yang Mama ceritain ke kamu, yang arkeolog itu. Kamu suka sejarah kan? Pas banget nanya-nanya sama pakarnya langsung.âEntah apa saja yang disampaikan Mami pada Tante Lena mengenaiku. Lalu Tante Lena melanjutkan pada anaknya.âIya, Ma.â Niken menerbitkan senyum dari bibirnya. Aku akui senyumnya begitu menawan. âKalau begitu kalian ngobrol-ngobrol aja dulu. Jev, Tante tinggal sebentar ya? Ayo, Bu.â Tante Lena menggandeng tangan Mami masuk ke dalam rumah.Mami melempar senyum penuh arti padaku. Dan sekarang aku
ZELINEâKamu tahu kenapa Javas nitipin kamu di sini? Itu karena dia nggak mau kamu sendiri di sana. Tinggal sendiri di sana nggak aman buat kamu, Zel.â Jevin kembali bicara sebelum aku berkata apa-apa.Aku menurunkan pandangan pada tanganku yang dicekal Jevin. Dia ikut memandang ke arah yang sama lalu melepaskannya.âKalau di sini jauh dari kantor, aku sering telat, aku juga capek nyetir,â jawabku mengatakan alasan.âAku bisa antar kamu biar nggak telat, biar kamu nggak capek nyetir.âJevin membungkam mulutku dengan kata-katanya sampai aku kehilangan alasan. Andai saja dia tahu kehadirannyalah yang membuatku ingin pergi dari sini.âMakasih, Jev, tapi aku bisa nyetir sendiri. Aku cuma mau jaraknya nggak terlalu jauh. Lagian ada bajuku yang ketinggalan di rumah Mas Javas. Aku mau pakai baju itu besok dan harus mengambil baju itu sekarang.â Akhirnya aku kembali menemukan alasan yang tepat. Jevin nggak akan bisa lagi menahanku.âAku bisa mengantar kamu ke rumah Javas untuk mengambil baju
ZELINESisa-sisa hujan di luar sana meresidu udara dingin. Tapi di dalam sini tubuhku jauh lebih beku.Bibir Jevin menempel di bibirku. Dia memagutku dengan erat yang membuatku sulit untuk lepas. Sekujur tubuhku melemah. Lutut dan seluruh persendianku goyah. Sedahsyat itu efeknya padaku.Aku hampir saja terlena. Tapi akal sehatku memberi peringatan bahwa hal ini tidak pantas untuk dilakukan. Sontak, kudorong dadanya. Dia terkejut, pagutan kami juga terpisah.***JEVINFor godâs sake, aku nggak sengaja melakukannya. Aku bukan bermaksud kurang ajar dengan mencium Zeline. Tadi semua mengalir begitu saja tanpa direncana. Akulah yang salah karena gagal menahan diri.âMaaf, aku nggak sengaja, Zel. Maaf,â ucapku sekali lagi.Zeline mengusap bibirnya dengan pergelangan tangan, menghapus bekas ciumanku.âSebaiknya kita pulang sekarang.â Dia menerobos dan hendak pergi dariku.âTapi kita belum selesai bicara, Zel.â Aku mencekal lengannya agar jangan pergi dulu.âDari tadi aku udah kasih kamu ke
JEVINAku membaca lagi dengan seksama pesan diteruskan yang dikirim Mami melalui chat. Dalam pesan tersebut berisi alamat resto tempat pertemuan dengan Niken. Mami dan Tante Lenalah yang mengatur pertemuan tersebut, kami berdua hanya menerima.Aku meletakkan ponsel setelah merekam di benak alamatnya. Bersamaan dengan itu pintu kamar diketuk dari luar. Mami masuk ke dalam.âUdah dibaca chat Mami, Jev?ââUdah, Mi.âMami menarik langkah mendekat lalu duduk di dekatku. âNanti malam lho janjinya, kamu jangan sampai lupa.ââWell noted, Mi.âSenyum Mami terkembang lebar. âMami senang kamu mau mencoba dengan Niken, Jev.ââTapi aku nggak janji apa-apa ya, Mi. Donât expect too much.â Aku khawatir Mami berekspektasi ini itu segala macam, lalu kecewa jika ternyata aku nggak bisa memenuhi harapannnya.âKamu jangan pesimis dulu dong. Hidup itu harus optimis dan penuh semangat, Jev.ââIya, Mi, aku paham, tapi belum tentu juga aku dan Niken bakalan cocok.ââSiapa bilang? Mami lihat kalian berdua sera
LTJ 300JEVINZeline memalingkan muka saat aku mempertemukan mata kami. Sementara Ariq yang duduk di sebelahnya masih menanti jawaban dariku.Aku baru akan menjawab, tapi Ariq lebih dulu bicara.âMaaf, mungkin pertanyaan saya terlalu personal,â ujarnya dengan senyum melengkung di bibir.âTake it easy, ini namanya Niken, dan bukan pacar saya,â terangku pada Ariq. âKe, ini Ariq, dan di sebelahnya Zeline.â Aku mengenalkan keduanya pada Niken.Ariq mengulurkan tangannya lebih dulu yang disambut oleh Niken. Mereka saling menyebutkan nama masing-masing. Selanjutnya giliran Niken dan Zeline. Zeline tersenyum lebar dan mengenalkan diri dengan ramah pada Niken. âZeline, Mbak. Tante Rosella udah cerita semua tentang Mbak Niken.âNiken membalas senyum Zeline lalu memandang padaku dengan sorot mata meminta penjelasan, âDia ini siapa-nya kamu? Kenapa tahu tentang aku?ââBener banget yang dibilang Tante Rosella, Mbak Niken bening dan cantik banget. Eh, aku harus panggil Mbak atau dokter Niken?â u
ZELINEâJev, jangan âŠâ Kudorong pelan wajah Jevin agar menjauh dariku. Namun, bukannya berhenti kecupan Jevin malah bertambah liar dan menjalar ke mana-mana. He's such a good kisser Aku tak berdaya. Pertahananku goyah. Jevin berhasil menemukan titik-titik sensitifku yang membuatku lemah.Jevin tak henti mencium setiap jengkal kulitku. Selagi bibirnya bergerak, tangannya berkelana di mana-mana. Dan aku tak mampu menghentikannya. Dia bagai memiliki medan magnet berkekuatan magis yang membuatku terperangkap.Dia kemudian melepaskan leherku dari perangkap bibirnya lalu memutar tubuhku agar mengarah padanya. Sesaat setelahnya Jevin mengambil lipstick berwarna coral dari tanganku.âKamu mau apa, Jev?â tanyaku heran. Entah apa yang akan dilakukannya dengan kosmetikku itu.âSssssttt!â Jevin menyuruhku diam.Pikiranku masih menerka-nerka apa yang akan dilakukannya ketika Jevin mengoles lipstick itu di bibirku. Aku diam sementara bola mataku begitu fokus memperhatikannya. Dengan jarak sedekat i
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.âMasih sakit?â tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.âMasih, Mbak, sakit banget âŠâ Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.âLangsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,â suruh dokter
JEVINâOm Jep, Kaka udah sekolah sekalang âŠâ Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.âWah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?ââBanyak, Om.ââSalah satunya?ââMenggambal, mewalnai, sama lipat keltas.ââOrigami maksudnya?ââApa, Jev? Siapa yang poligami?â Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.âNggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.ââOntiii ⊠Kaka lindu sama Ontiiii âŠâ Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.âMenggugurkan anak kita?â Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?âAku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?âZeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.âAyang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?â Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.âKita pulang dulu yuk.â Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINEâGimana, Yang? Kamu suka?âAku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.âJadi fix kita ambil yang ini?â tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.âFix, Jev,â jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINEâKebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.âAku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.âJauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.â Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.âHari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?â tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. âSeingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,â kata Zach
ZELINEâAuntyyyy ...âSuara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.âHow are you, Boy?ââIâm fine, and you?â Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.âHai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?â Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.âMamaaaa!â Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.âFai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.â Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.âDia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,â ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.âMaksud kamu?â terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.âAku nggak suka cewek berbibir tipis.âDia menantangku dengan matanya.âKamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?âTatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.âAku nggak kenal dia,â bantahnya tegas.âTapi dia bilang pacar kamu, Jev.ââPacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.ââApa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?â sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. âSorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.ââKamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?ââSejauh apa?â tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.