ZELINEPercakapanku dan Niken terhenti ketika Jevin muncul dari toilet lalu masuk ke mobil. Setelahnya kami langsung meninggalkan SPBU.Dalam sisa perjalanan ke rumah Niken pasangan calon pengantin itu kembali menyambung percakapan yang kali ini lebih dalam dan serius serta lebih menjurus membahas masa depan. “Jev, aku dengar katanya kamu udah resign dari pekerjaan yang lama. Itu benar?”“Iya.” Jevin menyahut singkat tanpa memandang pada Niken. Kedua matanya menyorot lurus pada jalan raya.“Jadi apa rencana kamu selanjutnya?”“Mungkin mencari pekerjaan yang baru.”“Di Indonesia tapi kan?”Aku sangat mengerti maksud pertanyaan Niken. Pastinya dia ingin memastikan jika setelah menikah nanti mereka tidak akan berpisah. Memangnya siapa yang mau berjauhan dengan pasangannya? Kalau aku berada di posisi Niken aku juga akan memastikan jika Jevin tidak akan jauh dariku.“Belum tahu di mana. Bisa jadi di Indonesia atau di luar.”“Kalau bisa di lndonesia aja ya, Jev. Kamu kan bisa kerja di ins
JEVINAku pikir ini adalah waktu yang paling tepat untuk mengungkapkannya pada Zeline. Momen seperti ini mungkin tidak akan pernah terulang lagi. Sebelum terlambat, sebelum aku benar-benar memulainya dengan Niken.Zeline yang duduk di sebelahku diam tanpa kata. Tubuhnya tidak bergerak. Dia membeku dalam bungkam. Entah sedang memikirkan jawaban dari pertanyaanku atau … entahlah.Detik demi detik berlalu dan Zeline masih betah dalam gemingnya. Aku menanti dengan tegang apa yang akan disampaikannya. Semoga rasa itu ada untukku. Semoga saat ini Zeline mash sendiri sehingga peluang itu terbuka untukku.“Zel …" Aku memanggilnya, meminta agar dia segera menjawab pertanyaanku. Zeline nggak akan pernah tahu betapa tersiksanya aku menanti.Dia masih tetap dalam posisinya. Duduk dengan tatapan lurus ke depan seakan tidak mendengar kata-kataku.Apa dia butuh waktu untuk mempertimbangkannya? Apa dia butuh pikiran jernih sebelum memutuskan untuk mengatakan iya atau tidak?“Kalau kamu butuh waktu ka
JEVIN Malam ini setelah kembali dari kamar Zeline, Zach mengajakku mengobrol. Kami duduk berdua di beranda samping. Bertiga lebih tepatnya karena ada Fai juga.Fai menggelendot manja di pangkuan Zach. Anak itu memang sangat dekat dengan papanya.“Fai udah ngantuk ya?” Zach berujar pelan sambil mengecup puncak kepala jagoan kecilnya saat melihat Fai menguap. “Papa antar ke kamar yuk, Fai bobo sama Mama dulu ya, Papa mau ngobrol sebentar sama Om Jevin.”“Mau sama Papa …” Fai menolak. Ia mengeratkan pelukannya di tubuh Zach.To be honest, kedekatan dan interaksi keduanya begitu menyentuh hatiku. Tidak pernah ada dalam prediksiku jika adik bungsuku yang menjunjung tinggi kebebasan akan menikah muda dan menjadi family man seperti saat ini.“Sini sama Om aja yuk.” Aku meminta Fai dari Zach.“Sama Om Jevin ya, Nak.” Zach meminta persetujuan jagoan kecilnya.Fai menggelengkan kepala tidak ingin denganku.“Dia nggak mau, Jev. Biasanya kalau udah ngantuk dia memang begini. Maunya cuma sama gu
ZELINEPak Ariq menyetir di sebelahku dalam diam. Begitu pun aku yang duduk di sebelahnya ikut membungkam suara.Jevin dan Niken menyabotase pikiranku meski aku tidak ingin memikirkan mereka. Sedangkan Pak Ariq, aku tidak tahu apa yang saat ini mengisi kepalanya. Sudah sejak pertama masuk ke mobil tadi dia tidak mengatakan apapun. Aku yang melihat hal itu merasa dia sedang tidak ingin bicara pun memilih untuk tidak mengucapkan apa-apa.“Zel, kamu lapar nggak?” Pertanyaan itu memecah hening di antara kami. Aku memutar kepala dan mendapati Pak Ariq sedang memandang padaku. “Lumayan, Pak.”“Kamu suka burger?”“Suka, Pak.”“Dua kilometer lagi ada drive thru, nanti kita mampir di sana.”Lalu kami kembali membiarkan hening mengisi. Sejujurnya aku ingin mengobrol banyak dengan Pak Ariq agar pikiranku jauh dari Jevin. Tapi entah mengapa saat ini aku kehabisan bahan percakapan.“Tumben kamu nggak bawel.”“Eh, apa, Pak?” Aku tersentak, lantas menoleh ke samping dan menemukan Pak Ariq dengan se
JEVINAku berhenti tepat di kawasan apartemen lalu menyesuaikan lagi alamatnya dengan yang tertera di ponsel. Nggak salah lagi. Memang ini apartemen tempat Ariq tinggal.Aku lalu turun dari mobil dan melangkah dengan cepat menuju unit apartemen Ariq.Sulit membayangkan entah pekerjaan seperti apa yang dilakukan Zeline di apartemen Ariq tengah malam begini. Yup. Sepuluh menit lagi jarum pendek akan bergerak menuju angka dua belas. Bayangkan saja, saat pergantian hari Zeline masih berada di tempat laki-laki. Dan mungkin saja hanya berdua.Langkahku terhenti tepat di depan pintu unit yang ditempati Ariq. Benar ini dia. Unit nomor sepuluh seperti yang tadi dikirim Javas.Pintu tidak langsung terbuka setelah aku menekan bel. Mungkin dua orang di dalam sana terlalu sibuk bekerja.Tanganku akan kembali terulur menekan bel ketika tiba-tiba daun pintu terkuak. Ariq muncul dan tentu saja kaget kala mengetahui kedatanganku.“Jevin?”“Riq, Zeline masih di sini?”“Masih. Dia lagi di kamar.”Sek
ZELINEIni adalah hari ketujuh aku menginap di apartemen Pak Ariq. Setelah pertemuan dengan Jevin seminggu yang lalu aku memutuskan tidak pulang ke rumahnya. Aku menelepon Tante Rosella dan mengatakan menginap di rumah teman yang jaraknya dekat dengan kantor. Tante Rosella nggak masalah. Dia mengizinkan. Lagian dia nggak berhak melarang apapun yang kulakukan. Dia dan Jevin tidak tahu bahwa sebenarnya aku berada di apartemen Pak Ariq. Aku merasa nyaman berada di sana. Pak Ariq membebaskanku melakukan apa saja seakan tempat itu adalah rumahku sendiri. Hampir setiap hari Pak Ariq bercerita mengenai Mbak Zola. Mulai dari pertama mengenalnya dulu, sampai hari-hari saat kakakku itu menjadi asistennya. Bahkan sehari setelah Mbak Zola pergi ke Amerika Pak Ariq memintaku untuk meneleponnya dan ikut bicara melalui ponselku.Kebahagiaan kecilku selama berada di apartemen Pak Ariq harus berakhir. Tadi siang Mbak Zoi sudah tiba dari Semarang. Dan itu artinya aku harus kembali ke rumahnya.“Zeline
ZELINE“Ka, udah dong, Aunty capek, Naaaak …” Aku menyingkirkan tangan Bjorka. Sudah sedari tadi dia menjahiliku. Mulai dari menggelitik pinggang sampai mencubit perutku. Baru beberapa hari aku di sini tapi aku sudah menjadi korban kejahilannya. Setiap aku pulang kerja dia akan mengekor lalu masuk ke kamarku hanya untuk mengacak-acak barangku atau menggelitik dan mencubit seperti yang dilakukannya barusan.“Dia tuh mau balas dendam sama kamu karena kamu pernah jahilin dia,” kata Mbak Zoi yang masuk ke kamarku.Aku ingat kala itu pernah mengganggu Bjorka waktu dia sedang tidur hingga membuatnya menangis. Tapi kalau mau membalas aku ya nggak kayak gini juga. Masa setiap hari aku digangguin.“Kaka tega banget sama Aunty. Aunty kan cuma sekali tapi masa Kaka ngebalesnya tiap hari sih, Nak?” Aku memasang wajah sedih lalu pura-pura menangis yang membuat Bjorka tertawa.“Ka, dicariin Papa tuh, sana gih, temui Papa dulu.” Mbak Zoi mengusap kepala Bjorka sambil memintanya pergi dari kamarku.
JEVINAku tidak pernah tahu bahwa hari ini ada di dalam hidupku. Hari di mana aku bertemu Zeline di tempat, waktu, dan situasi yang tidak terduga.Zeline ikut serta mendengar dan menyumbang ide untuk pernikahanku dan Niken. Iya, aku memutuskan untuk memulai hubungan yang serius dengan Niken.Mungkin keputusanku untuk menikah dengan Niken merupakan tindakan yang impulsif dan terburu-buru. Tapi bukan berarti tanpa pemikiran yang panjang. Aku dan Niken memang baru kenal, tapi aku merasa cocok dengannya. Dia bisa mengimbangiku, dan aku pun sanggup mengisinya. Bukankah itu yang terpenting?Bicara soal cinta, aku dan dia sama-sama mengerti bahwa perasaan itu belum hadir di antara kami. Tapi itu bukan lagi yang utama. Cinta bisa tumbuh belakangan.Sebut aku jahat karena aku … menjadikan Niken pelarian untuk melupakan Zeline. Tapi aku nggak punya cara lain. Selama aku masih sendiri aku nggak akan bisa move on darinya.Aku mengajak Niken bicara serius tentang hubungan kami. Aku mengajaknya me
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.