ZELINEIni adalah hari ketujuh aku menginap di apartemen Pak Ariq. Setelah pertemuan dengan Jevin seminggu yang lalu aku memutuskan tidak pulang ke rumahnya. Aku menelepon Tante Rosella dan mengatakan menginap di rumah teman yang jaraknya dekat dengan kantor. Tante Rosella nggak masalah. Dia mengizinkan. Lagian dia nggak berhak melarang apapun yang kulakukan. Dia dan Jevin tidak tahu bahwa sebenarnya aku berada di apartemen Pak Ariq. Aku merasa nyaman berada di sana. Pak Ariq membebaskanku melakukan apa saja seakan tempat itu adalah rumahku sendiri. Hampir setiap hari Pak Ariq bercerita mengenai Mbak Zola. Mulai dari pertama mengenalnya dulu, sampai hari-hari saat kakakku itu menjadi asistennya. Bahkan sehari setelah Mbak Zola pergi ke Amerika Pak Ariq memintaku untuk meneleponnya dan ikut bicara melalui ponselku.Kebahagiaan kecilku selama berada di apartemen Pak Ariq harus berakhir. Tadi siang Mbak Zoi sudah tiba dari Semarang. Dan itu artinya aku harus kembali ke rumahnya.“Zeline
ZELINE“Ka, udah dong, Aunty capek, Naaaak …” Aku menyingkirkan tangan Bjorka. Sudah sedari tadi dia menjahiliku. Mulai dari menggelitik pinggang sampai mencubit perutku. Baru beberapa hari aku di sini tapi aku sudah menjadi korban kejahilannya. Setiap aku pulang kerja dia akan mengekor lalu masuk ke kamarku hanya untuk mengacak-acak barangku atau menggelitik dan mencubit seperti yang dilakukannya barusan.“Dia tuh mau balas dendam sama kamu karena kamu pernah jahilin dia,” kata Mbak Zoi yang masuk ke kamarku.Aku ingat kala itu pernah mengganggu Bjorka waktu dia sedang tidur hingga membuatnya menangis. Tapi kalau mau membalas aku ya nggak kayak gini juga. Masa setiap hari aku digangguin.“Kaka tega banget sama Aunty. Aunty kan cuma sekali tapi masa Kaka ngebalesnya tiap hari sih, Nak?” Aku memasang wajah sedih lalu pura-pura menangis yang membuat Bjorka tertawa.“Ka, dicariin Papa tuh, sana gih, temui Papa dulu.” Mbak Zoi mengusap kepala Bjorka sambil memintanya pergi dari kamarku.
JEVINAku tidak pernah tahu bahwa hari ini ada di dalam hidupku. Hari di mana aku bertemu Zeline di tempat, waktu, dan situasi yang tidak terduga.Zeline ikut serta mendengar dan menyumbang ide untuk pernikahanku dan Niken. Iya, aku memutuskan untuk memulai hubungan yang serius dengan Niken.Mungkin keputusanku untuk menikah dengan Niken merupakan tindakan yang impulsif dan terburu-buru. Tapi bukan berarti tanpa pemikiran yang panjang. Aku dan Niken memang baru kenal, tapi aku merasa cocok dengannya. Dia bisa mengimbangiku, dan aku pun sanggup mengisinya. Bukankah itu yang terpenting?Bicara soal cinta, aku dan dia sama-sama mengerti bahwa perasaan itu belum hadir di antara kami. Tapi itu bukan lagi yang utama. Cinta bisa tumbuh belakangan.Sebut aku jahat karena aku … menjadikan Niken pelarian untuk melupakan Zeline. Tapi aku nggak punya cara lain. Selama aku masih sendiri aku nggak akan bisa move on darinya.Aku mengajak Niken bicara serius tentang hubungan kami. Aku mengajaknya me
ZELINEAku sontak memandang ke arah Mbak Zoi setelah mendengar perintahnya. Apa-apaan Mbak Zoi pake nyuruh aku? Aku ingin menolak tapi pasti dia akan curiga. Alhasil, aku terpaksa menurut.“Ayo, Ka!” Aku bermaksud menggandeng tangan Bjorka, tapi anak itu lebih dulu mengaitkan tangannya ke lengan Jevin. “Nggak mau sama onti,” sungutnya.Aku menahan geli di dalam hati. Dia masih saja dendam padaku hanya karena aku mengganggunya sekali. Dasar bocil. Aku nggak tahu dari mana Bjorka mewarisi sifat itu karena setahuku Mbak Zoi bukanlah tipe pendendam.Aku membuntuti Jevin yang berjalan di depanku sambil menggandeng tangan Bjorka menuju mobil. Seharusnya Mbak Zoi nggak usah menyuruhku. Tanpa ditemani pun Jevin pasti tahu di mana tempat jualan es krim.Jevin membukakan pintu mobil, lalu mengangkat tubuh mungil Bjorka ke sana.“Zel, kamu di sini sama Bjorka,” suruh Jevin saat aku membuka pintu belakang dan bermaksud duduk sendiri.“Aku di sini aja, Jev.” Kutolak tawaran Jevin yang memintaku d
JEVINZeline menghentikan suapannya setelah mendengar kata-kataku. Selama hitungan detik dia terdiam. Namun sesaat kemudian wajahnya mengeras, sementara tangannya menelungkupkan sendok dan garpu di dalam piring.“Gimana, Jev?” tanyanya dengan dahi berkerut menatapku.Aku berdeham guna menjernihkan tenggorokan yang tiba-tiba keruh. Aku nggak bermaksud mempermainkan Niken ataupun Zeline.“Mumpung masih rencana aku masih bisa membatalkan pernikahan itu, Zel,” jawabku.“Kenapa dibatalkan?”Banyak kata yang ingin kuucapkan pada Zeline tapi seperti ada yang menahan hingga akhirnya hanya mengendap di dasar lidah. Aku ingin Zeline mengerti dengan sendirinya tanpa perlu kuterangkan. Bukankah perempuan jauh lebih peka dari laki-laki?“Jev, kenapa dibatalkan?” Zeline mengulangi pertanyaannya karena aku tidak menjawab.Mungkin aku memang pecundang, pengecut, dan entah apa lagi sebutan yang pantas untukku. Tapi hanya ini kesempatan terakhir untukku sebelum aku benar-benar menikah dengan Niken. In
JEVIN“Hentikan ide gila kamu itu, Jev. Apa yang akan kamu lakukan bukannya menyelesaikan masalah, tapi malah bikin semua jadi makin sulit.” Zeline mengoceh tanpa spasi untuk menghalangi rencanaku.Mulutnya yang komat-kamit, bola matanya yang melebar, membuatnya tampak semakin menggemaskan. Kalau di sini bukan ruang publik sudah kulumat bibirnya.“Aku lebih suka mendengar desahan kamu dari pada kamu ngomel kayak gini, Zel,” jawabku menghentikannya, dan berhasil.Zeline sontak membisu dan mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Sementara matanya menyorotku penuh amarah.Apapun ekspresinya Zeline tetap memesona. Semakin dewasa dia semakin membuatku jatuh cinta. Aku sudah sering bertemu perempuan yang jauh lebih segalanya dari Zeline, tapi dia berbeda. Entah apa yang dimilikinya sampai aku nggak bisa melupakannya.Aku menatapnya lurus-lurus, mencoba untuk memberi pengertian padanya walaupun aku yakin dia belum tentu bisa menerimanya.“Semua ini akan semakin kacau kalau aku tetap melanjutkan pe
JEVINJavas menarik tanganku dengan kasar lalu menyeretku keluar dari ruangan agar tidak seorang pun bisa mendengar pembicaraan kami. Dari caranya aku tahu apa yang akan terjadi.“Jev, gue lagi nggak pengen becanda sama lo. Nggak lucu, Jev!” desisnya menahan emosi.Aku berusaha tidak terpancing menghadapinya dan tetap tenang menghadapi Javas.“Nggak ada yang bilang sama lo kalo gue lagi becanda. Lo orang pertama yang gue kasih tahu tentang semua ini.”Alih-alih akan mencair, Javas makin meradang.“Berani-beraninya lo cinta sama adek ipar sendiri. Lo lupa kalo dia udah jadi saudara kita?”“Wait!” Aku mengernyit heran. “Kalo Zach boleh mencintai Zola kenapa gue enggak?”Jawabanku membungkam mulut Javas, namun hanya beberapa detik karena setelahnya dia kembali mencecarku.“Kenapa lo jadi ikut-ikutan Zach? Memangnya nggak ada yang lain? Cewek nggak hanya dari keluarga Shannon."“Yang lain banyak, tapi hati gue cuma buat Zeline. Kalo nyatanya yang bikin gue jatuh cinta cuma dari keluarga S
ZELINEKasihan Jevin. Dia menahan rasa sakitnya di pangkuanku. Sementara tanganku masih mengusap kepalanya. Aku nggak akan menyalahkan Mas Javas, tapi kali ini dia sudah kelewatan. Nggak seharusnya main fisik pada Jevin. Selain Jevin adalah kakak yang harus dihargai, memangnya dia nggak ingat apa kalau dulu sendirinya gimana?Jevin memejamkan matanya sambil memeluk pinggangku. Ia menekuk lututnya. Jok mobil ini terlalu pendek untuk kakinya yang panjang.“Selain kepala apa lagi yang sakit, Jev?”Jevin membuka mata mendengarku bicara.“Tadinya perut sama dada aku, tapi udah nggak lagi karena ada kamu.” Jevin ngegombal lagi. Tapi aku tahu dia menahannya agar aku nggak khawatir.“Maafin Mas Javas ya, Jev. Kata Mbak Zoi dia orangnya memang emosian.”“I know, aku kakaknya kalau kamu lupa.” Jevin memeluk pinggangku lebih erat lalu kembali memejamkan matanya. Aku membiarkan. Kupandangi wajahnya dalam-dalam. Dia masih saja tampak rupawan walau babak belur begini. Dan satu lagi, wanginya menga