Setelah menerima telepon dari orang tuanya Zoia tidak langsung meneruskan perjalanan. Ia merebahkan punggung ke sandaran jok sambil memejamkan mata. Saat ini Zoia berpikir keras guna mencari cara untuk menghadapi masalah terbesarnya. Yaitu menghadapi kedua orang tuanya yang akan datang besok. Zoia tidak mungkin melarang kedua orang tuanya untuk datang atau meminta mereka menginap di hotel. Mustahil juga baginya untuk tetap tinggal di apartemen dan berpisah dengan Javas. Orang tuanya bisa curiga lalu bertanya-tanya. Dan ujung-ujungnya Zoia akan menambah beban mereka.Satu-satunya cara adalah kembali ke rumah Javas. Berbaikan sementara dengannya dan bekerjasama bahwa pernikahan mereka mulus tanpa masalah. Tapi, bagaimana caranya mengatakan pada Javas? Javas pasti akan besar kepala begitu tahu Zoia meminta balik.Cukup lama Zoia berpikir sampai akhirnya ia memutuskan untuk menelepon lelaki yang masih berstatus sebagai suaminya itu. Inilah satu-satunya cara yang bisa Zoia tempuh. Tapi i
Zoia meminta Javas untuk mengangkat kepala dari lehernya kemudian memutar tubuh dan berdiri berhadapan dengannya. Zoia ingin menyaksikan sendiri kesungguhan lelaki itu.Jujur saja, wajah sendu Javas membuatnya tidak sampai hati untuk menolak permintaan laki-laki itu. Lagipula Zoia masih sangat mencintainya. Jika ini memang jalan yang akan kembali menyatukan mereka, apa salahnya ia mencoba?“Aku akan kasih kamu satu kesempatan lagi,” ucap Zoia memutuskan yang seketika membuat mendung di wajah Javas berlalu begitu saja. Laki-laki itu tampak bahagia. “Tapi ada syaratnya.” Zoia melanjutkan.“Apa syaratnya, Yang? Sebutin aja. Aku pasti akan lakuin apa pun untuk kamu,” kejar Javas penuh rasa antusias.Zoia tersenyum samar. Ia merasa bimbang jika Javas sanggup memenuhinya setelah nanti mengetahui syarat yang Zoia ajukan.“Ayo, Yang, sebutin apa syaratnya.”“Kamu yakin sanggup ngelakuinnya?”“Anything for you, Zoia
Atas persetujuan Zoia Javas menerima telepon dari Venna. Kalau tadi Zoia tidak mengizinkan, Javas tentu tidak akan menerimanya. Sesuai dengan yang dijanjikannya tadi Javas juga menyalakan loud speaker.“Halo.” Javas menyapa dengan nada casual. Namun sebaliknya berbeda dengan lelaki itu Venna begitu ramah. Suaranya yang merdu mendayu-dayu di telinga.“Halo, Jav. Aku tadi balik ke kantormu tapi kata sekuriti kamu udah pulang.”Javas agak terkejut mendengar pengakuan Venna. Untuk apa Venna kembali ke kantornya?“Iya, Ven, aku pulang agak awal. Kamu kenapa ke kantorku?"“Oh, pantesan. Padahal tadi aku mau ngajak kamu dinner bareng.”Sontak Javas memandang ke arah Zoia yang duduk di dekatnya. Zoia terlihat santai dan hanya menyimpul senyum. Namun cara Venna berbicara dengan Javas membuat Zoia geram. Kenapa berbeda saat dengannya?“Kamu bisa ke luar sekarang nggak, Jav? Aku kirim alamat restorannya. Aku tunggu kamu di sana.”“Sorry, Ven, aku nggak bisa.” Javas menolak mentah-mentah tawara
Zoia terkunci dalam dekapan Javas yang mengungkungnya erat. Dalam jarak sedekat ini ia bisa merasakan tidak hanya hangatnya suhu tubuh suaminya itu, tapi juga detak jantungnya yang berdenyut tak beraturan.“Zoiang … kok rasanya makin dingin ya?” “Tapi badan kamu panas.” Zoia menjawab sambil mengusap muka dan leher Javas.“Badanku memang panas tapi rasanya dingin.” Javas menjawab sambil memeragakan gerakan badan menggigil.Zoia menaikkan pandangan pada pendingin ruangan. Sudah sejak tadi dimatikannya. Lebih tepatnya sejak Javas mengeluh kedinginan. “Mau aku tambahin selimut lagi?”Javas menggeleng tidak setuju. “Percuma ditambah selimut, nggak bakal ngefek apa-apa.”“Jadi gimana dong? Kamu ada stock obat nggak?” Zoia mulai bingung memikirkan caranya.“Nggak ada.”“Atau … aku suruh Reno yang beliin ke apotik dua puluh empat jam ya?”Javas menahan Zoia ketika istrinya itu berniat bangun
Zoia tersipu malu ketika pagi itu mendapati dirinya tidur berpelukan dengan Javas dalam keadaan tanpa busana. Ia mengerjap berkali-kali demi meyakinkan diri bahwa semua ini nyata. Dan hasilnya tidak berubah. Lelaki yang berada di sebelahnya adalah Javas, suami yang sangat dicintainya. Dan yang lebih membahagiakan Zoia adalah ketika menyadari bahwa beberapa jam yang lalu mereka baru saja selesai bercinta.Ternyata Zoia kalah lagi.Zoia tidak sanggup melepaskan diri dari pesona Javas yang begitu kuat. Dan Javas, suaminya itu tidak berubah. Dia masih lelaki yang sama dan memberi rasa yang tidak berbeda dengan sebelumnya. Sentuhan-sentuhannya begitu memperdaya. Zoia tidak kuasa melepaskan diri dari segala godaan-godaannya.Zoia memang lemah. Ia butuh sentuhan. Dirinya haus akan belaian. Tapi apa salahnya jika melakukannya dengan suami sendiri?Javas masih pulas dalam tidur. Tangannya melingkari Zoia dengan begitu protektif. Sedangkan Zoia sibuk memandangi inci demi inci lekuk wajah pria i
Zoia menggigit bibir kuat-kuat. Apa yang harus dikatakannya pada Javas?Haruskah berterus terang dengan mengatakan bahwa selama keluar dari rumah ia menyewa apartemen yang letaknya bersebelahan dengan apartemen Zach?“Zoiang, aku lagi nanya sama kamu.” Javas mencubit inti dada Zoia yang membuat perempuan itu terpekik kaget. Javas tertawa karenanya.“Makanya jangan ngelamun mulu. Kalau lagi sama aku kamu dilarang keras mikirin atau ngelamunin orang lain.”"Tapi nggak main cubit juga kali.""Kalau cubit nggak boleh, gigit boleh dong?""Jav, nanti kita telat." Zoia mengingatkan."Oke, dirapel nanti aja kalau gitu.""Memangnya gaji pake dirapel?"Keduanya tertawa untuk sesaat. Namun bukan berarti Javas melupakan pertanyaannya."Kamu belum jawab aku, Zoiang. Let me know kamu sembunyi di mana beberapa hari ini."Zoia mengemas tawa. Ia ingin menyembunyikan tempat tinggalnya. Tapi setelah dipikir lagi lebih baik ia katakan dengan jujur sekarang daripada Javas tahu dari orang lain.“Aku nyewa
“Pa, Ma, ini Javas, suamiku.” Zoia mengenalkan lelaki yang dua bulanan ini menjadi pendamping hidupnya kepada kedua orang tuanya.Dion dan Ruri—orang tua Zoia tersenyum hangat. Mereka memandangi Javas dengan lekat dan tentu saja memberi penilaian di dalam hati. Javas begitu gagah, penampilannya berkelas, tampak berwibawa dan membuat kedua orangtua Zoia terkesan. Terlebih ketika melihat binar di wajah putri mereka, keduanya semakin yakin jika Zoia sangat bahagia hidup bersama Javas.Zoia menyikut lengan Javas, memberi isyarat agar menyalami kedua orangtuanya. “Saya Javas, Tante, Om.” Lelaki itu menyebutkan nama sambil menjabat tangan kedua orangtua Zoia bergantian.“Lho, kenapa masih panggil Tante sama Om? Panggil saja Mama dan Papa seperti Zoia,” kata Ruri mengajarkan sang menantu.“Baik, Ma, Pa.” Javas mengucapkan nama kedua mertuanya dengan lidah kelu.Zoia menahan senyum geli di bibirnya menyaksikan sikap canggung
Pagi ini Javas dan Zoia bangun lebih awal dari hari-hari sebelumnya karena ada orangtua Zoia di rumah mereka.Pasangan suami istri tersebut berbagi tugas. Hari ini Zoia akan menemani orangtuanya ke rumah sakit, sedangkan Javas akan mengurus pertemuan mertuanya dengan Rosella.“Jav, kamu yakin nanti dia nggak akan bikin kacau?” Kekhawatiran tersebut kembali bersarang di pikiran Zoia saat membantu merapikan dasi Javas.“Iya, Zoiangku. Pokoknya kamu tenang. Kamu urus aja mama sama papa biar aku yang urus mami sama Prilly.”Zoia menengadah menatap Javas yang juga sedang menundukkan kepala memandangnya. Sorot teduh lelaki itu membuat Zoia merasa tenang. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa Javas pasti mampu menyelesaikan segalanya.“Trust me, everything gonna be okay.” Lelaki itu berbisik lembut setelah melabuhkan kecupan hangat di kening Zoia.Zoia mengangguk pelan dengan senyum optimis terlukis di bibirnya.“Udah nge
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.