“Pa, Ma, ini Javas, suamiku.” Zoia mengenalkan lelaki yang dua bulanan ini menjadi pendamping hidupnya kepada kedua orang tuanya.Dion dan Ruri—orang tua Zoia tersenyum hangat. Mereka memandangi Javas dengan lekat dan tentu saja memberi penilaian di dalam hati. Javas begitu gagah, penampilannya berkelas, tampak berwibawa dan membuat kedua orangtua Zoia terkesan. Terlebih ketika melihat binar di wajah putri mereka, keduanya semakin yakin jika Zoia sangat bahagia hidup bersama Javas.Zoia menyikut lengan Javas, memberi isyarat agar menyalami kedua orangtuanya. “Saya Javas, Tante, Om.” Lelaki itu menyebutkan nama sambil menjabat tangan kedua orangtua Zoia bergantian.“Lho, kenapa masih panggil Tante sama Om? Panggil saja Mama dan Papa seperti Zoia,” kata Ruri mengajarkan sang menantu.“Baik, Ma, Pa.” Javas mengucapkan nama kedua mertuanya dengan lidah kelu.Zoia menahan senyum geli di bibirnya menyaksikan sikap canggung
Pagi ini Javas dan Zoia bangun lebih awal dari hari-hari sebelumnya karena ada orangtua Zoia di rumah mereka.Pasangan suami istri tersebut berbagi tugas. Hari ini Zoia akan menemani orangtuanya ke rumah sakit, sedangkan Javas akan mengurus pertemuan mertuanya dengan Rosella.“Jav, kamu yakin nanti dia nggak akan bikin kacau?” Kekhawatiran tersebut kembali bersarang di pikiran Zoia saat membantu merapikan dasi Javas.“Iya, Zoiangku. Pokoknya kamu tenang. Kamu urus aja mama sama papa biar aku yang urus mami sama Prilly.”Zoia menengadah menatap Javas yang juga sedang menundukkan kepala memandangnya. Sorot teduh lelaki itu membuat Zoia merasa tenang. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa Javas pasti mampu menyelesaikan segalanya.“Trust me, everything gonna be okay.” Lelaki itu berbisik lembut setelah melabuhkan kecupan hangat di kening Zoia.Zoia mengangguk pelan dengan senyum optimis terlukis di bibirnya.“Udah nge
Javas menggelengkan kepalanya, menolak untuk percaya atas apa yang baru saja ia saksikan.Prilly memberinya amplop berwarna coklat. Lalu ketika Javas membukanya, isi di dalam amplop itu begitu mengejutkannya. Ada lebih dari sepuluh lembar foto di dalam amplop tersebut. Foto dirinya dan Prilly. Mereka berpose di atas ranjang dengan posisi yang begitu mesra. Di sana Javas dan Prilly berbaring berdua dengan tubuh yang hanya ditutupi oleh selembar selimut. Siapa pun yang melihat foto tersebut pasti akan menyimpulkan hal yang sama bahwa Javas dan Prilly sama-sama tidak berpakaian di balik selimut tersebut.Javas sama sekali tidak tahu kapan mereka mengambil foto tersebut. Malah sepanjang ingatannya ia dan Prilly bukanlah orang yang suka mengabadikan aktivitas ranjang melalui rekaman kamera.“Foto apa ini, Pril?” Javas meminta penjelasan pada perempuan di hadapannya dengan kecamuk hebat di dada.“Itu foto kita, Jav.” Jawaban Prilly begitu ringan.“Iya, aku tahu yang di dalam ini kita. Tapi
Sekian lama Zoia menunggu Javas pulang hingga tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sudah lewat satu jam dari waktu yang mereka rencanakan untuk mengunjungi rumah mertuanya.Zoia mulai kesal pada Javas yang terkesan tidak bertanggung jawab. Semestinya jika kunjungan tersebut dibatalkan Javas bisa memberi kabar padanya. Tidak diam-diam begini.“Gimana, Zoi?” tanya Ruri ketika Zoia keluar dari kamar.“Kayaknya batal, Ma, Javas masih belum pulang.” Zoia menjawab sambil menekan rasa kesal dalam-dalam di hatinya. Javas sudah keterlaluan.“Memangnya dia ke mana? Masih kerja sampai jam segini?”“Iya, Ma, mungkin Javas lagi ada meeting dadakan.” Zoia terpaksa berbohong agar orangtuanya tidak ikut cemas seperti dirinya.“Kasihan suamimu, Zoi, udah jam segini tapi masih kerja.”Zoia hanya tersenyum pahit saat sang ibu menunjukkan keprihatinannya. Andai saja orangtuanya tahu apa yang sesungguhnya te
Zoia menggeser tubuhnya, menghindar dari Javas yang mencoba memeluk. Lalu dengan terburu-buru turun dari ranjang. Tangannya masih segemetar tadi saat mencari pakaiannya yang tadi dibuang Javas sembarangan saat mereka akan bercinta.Javas ikut turun dari tempat tidur dan kembali membujuk Zoia. Demi apa pun ia tidak akan membiarkan pernikahan mereka kandas atas kesalahan yang tidak dilakukannya.“Aku tahu kamu marah. Kesalahanku terlalu sulit untuk dimaafkan. Tapi aku berani bersumpah aku nggak bercinta sama Prilly malam itu,” jelas Javas susah payah sambil terus mencoba merengkuh Zoia yang matian-matian menghindar dari sentuhannya.“Oh ya? Tahu dari mana kamu nggak melakukannya? Kamu yang bilang sendiri malam itu lagi mabuk. Kamu juga yang pernah bilang kalau orang mabuk nggak tahu apa-apa. Tapi kenapa sekarang kamu bilang nggak melakukan apa-apa? Kamu pikir aku percaya?” balas Zoia sambil mengusap matanya yang tidak berhenti meneteskan air bening.Sungguh, Javas tidak sanggup menyaksi
Zoia turun dari taksi setelah tiba di kantor Shannon Wedding Organizer.Ia mengatur ekspresinya sesaat sebelum melangkahkan kaki. Senyum ramah merekah di bibirnya menjawab sapaan orang-orang yang berpapasan dengannya. Seberat apa pun beban di pundaknya saat ini, mereka hanya boleh tahu bahwa Zoia baik-baik saja. Selama ini Zoia berhasil membangun image di mata orang-orang yang mengenalnya sebagai perempuan mandiri yang kuat. Ekspresi wajahnya langsung berganti ketika Zoia tiba di ruangannya. Di sana dirinya sendiri. Tidak ada yang tahu apa pun yang dilakukannya. Di sana ia bisa menumpahkan perasaannya tanpa perlu merasa malu ada yang mengetahuinya.Setelah mengubek-ubek daftar kontak di dalam taksi tadi Zoia berhasil menemukan nama pengacara yang bisa membantunya mengurus perceraian, mereka juga sudah mengatur janji temu. Tidak jauh-jauh. Dia adalah Zico, teman dekatnya sendiri yang berprofesi sebagai pengacara. Zico bekerja di sebuah firma hukum dan selama ini sudah menangani banya
Hari ini Javas sengaja tidak datang ke kantor demi bisa berada di rumah menghabiskan waktu bersama mertuanya. Tadi Javas sudah mendelegasikan segala pekerjaan pada Kinar dan memberi instruksi apa saja yang harus dilakukan perempuan itu.Ini memang di luar kebiasaan Javas. Ia mengabaikan hal-hal penting yang biasanya selalu diprioritaskannya dan memilih menemani mertuanya bermain catur. Tentu saja mertua laki-lakinya senang begitu mendapat lawan. Dan yang membuatnya tersenyum lebar adalah ketika berhasil mengalahkan Javas.“Selama ini hanya Zoia yang bisa mengalahkan Papa,” ujar Dion memberitahu rahasianya.“Zoia bisa main catur juga, Pa?” Javas menatap lekat wajah mertuanya. Terkaget-kaget mengetahui fakta tersebut.“Bukan hanya bisa, tapi putri Papa yang satu itu berkali-kali mengalahkan Papa.” Dion menuturkan dengan bangga. Sedang Javas termangu memandanginya. Ternyata sangat banyak hal yang tidak diketahuinya tentang Zoia, is
Zico tersenyum mendengar kata-kata Javas. Kemudian memintanya untuk menceritakan secara detail mengenai masalah yang menjadi pemicu rusaknya hubungan dengan Zoia. “Ini semua cuma salah paham. Iya, aku akui memang salah karena pergi ke tempat yang nggak seharusnya didatangi saat ada masalah. Tapi yang namanya laki-laki pelariannya ke mana lagi kalau bukan ke sana.” “Nggak semua laki-laki pelariannya ke klub malam lalu mabuk-mabukkan saat ada masalah.” Zico menyanggah kata-kata Javas. “Nggak semua bisa digeneralisir, Jav,” sambungnya tidak setuju. ‘Jadi nih orang mau bilang kalau dia anak baik-baik,’ batin Javas. “Ya, tapi kita kan lagi bahas masalahku,” tukas Javas. “Aku nggak tahu setelah mabuk apa yang terjadi. Tahu-tahu aku nerima foto ini dari Prilly.” Javas menunjukkan lembaran foto awal dari segala masalah itu pada Zico. Lelaki berkulit eksotis itu kemudian menekuri lembaran foto tersebut. Bagaimana mungkin Zoia tidak meradang? Hanya perempuan abnormal yang akan menerima deng
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.