Zoia turun dari taksi setelah tiba di kantor Shannon Wedding Organizer.Ia mengatur ekspresinya sesaat sebelum melangkahkan kaki. Senyum ramah merekah di bibirnya menjawab sapaan orang-orang yang berpapasan dengannya. Seberat apa pun beban di pundaknya saat ini, mereka hanya boleh tahu bahwa Zoia baik-baik saja. Selama ini Zoia berhasil membangun image di mata orang-orang yang mengenalnya sebagai perempuan mandiri yang kuat. Ekspresi wajahnya langsung berganti ketika Zoia tiba di ruangannya. Di sana dirinya sendiri. Tidak ada yang tahu apa pun yang dilakukannya. Di sana ia bisa menumpahkan perasaannya tanpa perlu merasa malu ada yang mengetahuinya.Setelah mengubek-ubek daftar kontak di dalam taksi tadi Zoia berhasil menemukan nama pengacara yang bisa membantunya mengurus perceraian, mereka juga sudah mengatur janji temu. Tidak jauh-jauh. Dia adalah Zico, teman dekatnya sendiri yang berprofesi sebagai pengacara. Zico bekerja di sebuah firma hukum dan selama ini sudah menangani banya
Hari ini Javas sengaja tidak datang ke kantor demi bisa berada di rumah menghabiskan waktu bersama mertuanya. Tadi Javas sudah mendelegasikan segala pekerjaan pada Kinar dan memberi instruksi apa saja yang harus dilakukan perempuan itu.Ini memang di luar kebiasaan Javas. Ia mengabaikan hal-hal penting yang biasanya selalu diprioritaskannya dan memilih menemani mertuanya bermain catur. Tentu saja mertua laki-lakinya senang begitu mendapat lawan. Dan yang membuatnya tersenyum lebar adalah ketika berhasil mengalahkan Javas.“Selama ini hanya Zoia yang bisa mengalahkan Papa,” ujar Dion memberitahu rahasianya.“Zoia bisa main catur juga, Pa?” Javas menatap lekat wajah mertuanya. Terkaget-kaget mengetahui fakta tersebut.“Bukan hanya bisa, tapi putri Papa yang satu itu berkali-kali mengalahkan Papa.” Dion menuturkan dengan bangga. Sedang Javas termangu memandanginya. Ternyata sangat banyak hal yang tidak diketahuinya tentang Zoia, is
Zico tersenyum mendengar kata-kata Javas. Kemudian memintanya untuk menceritakan secara detail mengenai masalah yang menjadi pemicu rusaknya hubungan dengan Zoia. “Ini semua cuma salah paham. Iya, aku akui memang salah karena pergi ke tempat yang nggak seharusnya didatangi saat ada masalah. Tapi yang namanya laki-laki pelariannya ke mana lagi kalau bukan ke sana.” “Nggak semua laki-laki pelariannya ke klub malam lalu mabuk-mabukkan saat ada masalah.” Zico menyanggah kata-kata Javas. “Nggak semua bisa digeneralisir, Jav,” sambungnya tidak setuju. ‘Jadi nih orang mau bilang kalau dia anak baik-baik,’ batin Javas. “Ya, tapi kita kan lagi bahas masalahku,” tukas Javas. “Aku nggak tahu setelah mabuk apa yang terjadi. Tahu-tahu aku nerima foto ini dari Prilly.” Javas menunjukkan lembaran foto awal dari segala masalah itu pada Zico. Lelaki berkulit eksotis itu kemudian menekuri lembaran foto tersebut. Bagaimana mungkin Zoia tidak meradang? Hanya perempuan abnormal yang akan menerima deng
Zoia menepis tangan Javas yang melingkarinya. Namun hanya lepas beberapa detik Javas kembali memeluknya. Zoia berdecak kesal karena Javas memperlakukannya seperti biasa. Seakan tidak ada yang terjadi di antara mereka. “Awasin tangan kamu, Jav!” Zoia menepis tangan nakal Javas yang tidak tahu malu itu. “Aku cuma mau meluk kamu masa nggak boleh.” Dengan ringannya lelaki itu menjawab. Menyadari Javas tidak akan bisa dilarang begitu saja, Zoia bangun dari tidurnya, turun dari ranjang dan langsung menuju sofa yang berjarak hanya beberapa meter dari tempat tidur mereka. Zoia membaringkan badannya di sana. Javas ikut bangun dari berbaring lalu terduduk memandang Zoia dari tempatnya. Lelaki itu menghela napas panjang melihat istrinya. Mungkin taktiknya salah. Bukan begitu caranya menghadapi Zoia. Kali ini hubungan mereka berada dalam keadaan darurat. Dan penyelesaiannya tidak hanya dengan mengumbar gombalan receh seperti biasa. Sentuhannya yang selama ini terbukti ampuh meluluhkan Zoia jug
Zoia memutar knop pintu dengan perlahan kemudian melangkahkan kakinya pelan. Atmosfir sepi langsung menyeruak detik itu juga. Biasanya ada kedua orang tuanya yang duduk mengobrol berdua di beranda saat Zoia pulang ke rumah. Tapi kini hanya hampa yang didapatinya.“Eh, Ibu Zoia sudah pulang?”Zoia tersenyum tipis pada Orin yang muncul dari arah belakang. “Mau saya ambilin air minum dingin, Bu?”“Nggak usah, Bi, nanti kalau saya mau biar saya ambil sendiri,” jawab Zoia menolak. Asisten rumah tangganya mulai hafal satu per satu kebiasaan Zoia, termasuk minum air dingin setelah pulang kerja.Orin berlalu dari hadapan Zoia setelah minta izin dengan sopan. Zoia juga masuk ke kamarnya dan tidak menemukan apa-apa kecuali ruangan kosong. Zoia menyapukan mata ke setiap sudut kamar sebelum memutuskan untuk merebahkan diri di pembaringan.Sambil tangannya memeluk guling pikirannya mulai mengembara, memulai dengan rinci percakapannya de
Zoia memukul ringan lengan Javas yang masih saja mengajaknya bercanda. Padahal Zoia begitu khawatir saat ini.“Duh … duh … masa ditambahin lagi sakitnya.” Javas meringis pura-pura kesakitan.Zoia mengamati wajah Javas lebih lekat dan meneliti satu demi satu jejak memar yang ada di sana. “Kamu kelahi sama siapa, Jav?” tatapnya curiga.Javas menjawab dengan meraih tangan Zoia dan mengecupnya sekali lagi. Segala rasa sakitnya sirna karena malam ini ia menemukan ada Zoia begitu pulang ke rumah.“Jawab aku, Jav! Kamu kelahi sama siapa?” Javas menggelengkan kepala, menolak untuk mengatakannya. “Aku tadi jatuh kebentur tiang.”“Dan kamu pikir aku percaya?” balas Zoia. Alasan Javas terlalu mengada-ngada. “Ternyata selain mabuk kamu juga hobi berantem,” gumamnya kesal. Dan Javas menyadari ekspresi Zoia saat ini. Ingin rasanya mengecup bibir mengerucut yang sedang mengomel itu. Tapi Javas tahu persis jika saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk melakukannya. Bukannya akan mendapat sambutan d
Zoia terbangun lebih dulu pagi itu karena suara ponsel yang lupa dimatikannya semalam. Awalnya Zoia membiarkan karena matanya yang begitu berat untuk dibuka. Namun bukan berarti setelahnya Zoia bisa tenang. Benda itu terus berdering menimbulkan suara bising yang membuatnya mau tidak mau harus membuka mata. Ia yakin ponselnya tidak akan diam dengan sendirinya sebelum Zoia menjawab panggilan tersebut, siapa pun penelepon di seberang sana.Menyingkirkan kantuk dan rasa enggan, Zoia mengulurkan tangan menjangkau ponselnya itu yang berada di atas nakas. Namun Zoia agak kesulitan lantaran Javas yang mengunci Zoia dengan belitan tangannya.Zoia memandang ke sebelah dan mendapati Javas masih pulas dalam tidurnya. Ia menepis tangan Javas dengan begitu perlahan agar tidak membuat kenyamanan tidur suaminya itu terganggu. Seulas senyum turut terselip di bibirnya menyadari saat ini hubungan mereka telah membaik. Kemarin malam mereka sudah bicara secara terbuka dari hati ke hati. Yang membuat Zoia
Zoia sedang duduk manis di kursi tepat di depan meja rias. Sedangkan Javas berdiri di belakangnya membantu Zoia mengeringkan rambut menggunakan hair dryer. Mereka baru selesai mandi beberapa menit yang lalu setelah menghabiskan pagi dengan percintaan yang panas.“Nanti sore aku ke kantor kamu. Dari sana kita langsung ke dokter, nggak usah pulang ke rumah dulu,” ucap Javas menggaungkan rencana yang tadi mereka bicarakan di kamar mandi.Zoia menatap Javas melalui cermin meja rias di hadapannya. Bibirnya menyunggingkan senyum menyaksikan Javas yang begitu telaten mengeringkan rambutnya. Zoia tidak menyangka jika Javas, seorang laki-laki yang sibuk, pemimpin perusahaan yang disegani para bawahannya ternyata mampu nge-treat seorang wanita dengan sebaik ini.“Nanti aku akan bawa kamu ke dokter terbaik di kota ini.” Javas melanjutkan kalimatnya yang ternyata belum selesai. “Untuk anak aku wajib yang terbaik.”Mengetahui Javas yang begitu antusias
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.