Walaupun heran dan bertanya-tanya di dalam hati, akan tetapi Joe Mahanta tetap menuruti keinginan anak tengahnya. Lelaki itu mengikuti saat Javas membawa pergi dengan mobilnya.“Kita ke mana, Mas Javas?” tanya Reno dari balik kemudi setelah mereka keluar dari area pengadilan.“Ke rumah Mami,” putus Javas yang duduk di belakang berdua dengan Joe.Joe sontak melirik pada Javas begitu mendengar ucapannya. Apa maksudnya Javas membawa ke rumah mantan istrinya?“Anda jangan senang dulu, Pak. Saya dan saudara-saudara saya nggak akan bisa melupakan perbuatan anda yang sudah menyakiti ibu kami.”Joe meneguk ludahnya. Suara tegas Javas dan tatapan beraroma kebencian darinya membuat nyali pria itu menciut. Jika Javas memang masih marah, lantas kenapa membawanya pergi ke rumah?“Permohonan maaf anda itu nggak akan bisa mengubah apa pun. Sejuta kali pun anda minta maaf sampai jungkir balik, tetap saja tidak akan mengembalikan keadaan.” Nada suara dan rona wajah Javas masih sama seperti sebelumnya.
Hari-hari berlalu dengan begitu cepat seperti kedipan mata. Tanpa terasa sudah lebih dua bulan umur baby Bjorka. Ruri sudah sejak lama pulang ke Semarang, begitu pun dengan Zola. Tapi Zola sudah kembali ke Jakarta sejak dua minggu yang lalu. Zolalah yang membantu Zoia mengurus baby Bjorka. Sedangkan Ruri hampir setiap hari menelepon menanyakan kabar cucunya serta memberi petunjuk-petunjuk pada Zoia sebagai ibu baru.Zoia sangat menikmati hari-harinya menjadi seorang ibu. Seluruh waktu dan perhatiannya tercurah hanya untuk baby Bjorka. Meski waktu tidurnya terkuras habis karena baby Bjorka sering begadang, walau waktu istirahatnya jauh berkurang, tapi semua itu membuatnya sangat bahagia. “Mbak Zoi, ada telfon tuh!” seru Zola memberitahu. Saat itu Zoia sedang mengambil piring dan bermaksud untuk makan.Mengurungkan niatnya, Zoia meninggalkan ruang belakang untuk mengambil ponselnya.Javas calling …Otomatis bibir Zoia mencetak senyum saat melihat nama pria yang dicintainya tertera di l
“Masa yang punya WO nikahnya biasa-biasa aja sih?”“Nggak seru, ah!”“Harus spesial dong.”“Pokoknya harus dirayain besar-besaran dan berkesan buat siapa saja.”Itulah komentar serta celetukan-celetukan yang mampir di telinga Zoia sekitar dua bulan yang lalu ketika ia mengumumkan menerima lamaran Javas dan memutuskan untuk menikah dengan lelaki itu untuk kedua kali.Awalnya Zoia hanya ingin mengsahkan hubungannya dengan Javas secara sederhana. Cukup hanya dengan akad nikah dan syukuran kecil-kecilan. Tapi rupanya Javas menolak ide Zoia. Javas mempunyai keinginan sendiri yang kemudian mereka diskusikan berdua sehingga mencapai titik temu.Dan di sinilah mereka sekarang. Berada di atas kapal pesiar Independence of The Seas yang merupakan bagian dari Royal Carribean Cruise.Javas dan Zoia merencanakan akan menikah di kapal tersebut bersama pelayaran mereka yang dimulai dari Prancis, dilanjutkan ke Italy, Portugal serta berakhir di Kepulauan Canary yang terletak di Spanyol.Zoia dan Javas
Pesta pernikahan Zoia dan Javas terus berlanjut di bawah langit Prancis yang malam itu begitu cerah. Pasangan pengantin yang gagah dan jelita, hidangan nikmat dan super lezat, serta musik pengiring yang romantis membuat segalanya semakin sempurna.Para gadis di pesta tersebut berkumpul di belakang Javas dan Zoia ketika tiba saatnya acara melempar bunga. Konon katanya siapa yang mendapat bunga yang dilempar oleh pengantin, maka dia akan menyusul jejak pengantin itu, menikah secepatnya. Meski hanya mitos yang tidak bisa divalidasi kebenarannya, namun tak sedikit yang percaya. Zoia dan Javas sudah berdiri dengan posisi memegang bunga yang terdiri dari mawar putih serta baby breath. Keduanya memunggungi para tamu yang hadir.Di belakang pasangan paling berbahagia itu, berdiri para gadis muda berwajah ceria. Mereka berharap mendapat lemparan bunga agar bisa menyusul Zoia dan Javas ke pelaminan. Syukur-syukur mendapat pasangan seperti Javas yang menurut mereka adalah husband goals.Peman
Zoia dan Javas sangat menikmati perjalanan indah mereka. Begitu pun dengan para anggota keluarga yang lain. Hanya Zola yang merana sendiri. Pikirannya tidak pernah lepas dari sang kekasih.Kapal mewah yang membawa mereka kembali melanjutkan pelayaran setelah sebelumnya mereka berlabuh di Italy. Di sana mereka diberi waktu satu hari untuk mengacak-acak penjuru kota.Javas mengajak Zoia menyaksikan langsung liga seri A. Sedangkan Zola dan Zeline melampiaskan hobi berbelanja di butik-buti ternama. Walaupun demikian, Zola masih merasa galau. Selagi Zach masih belum bisa dihubungi, ia belum akan merasa tenang.“Kenapa sih Mbak Ola ngelamun mulu?” tegur Zeline dari depan kaca sambil mencoba syal yang dibelinya.“Nggak apa-apa,” jawab Zola singkat kemudian melangkah ke tepi jendela dan berdiri di sana sambil memandang hamparan laut tak bertepi.Zeline mendekat lalu ikut berdiri di dekat kakak keduanya. “Mikirin pacarnya?” Ia tersenyum menggoda.“Ck!” Zola berdecak. “Ya ditanya dong, Mbak, a
Beberapa tahun kemudian … Melihat putranya berlari kecil menyongsongnya setiap kali Javas pulang dari kantor merupakan kebahagiaan tiada tara yang nilainya tidak akan bisa ditukar dengan apa pun. Saat ini Bjorka sudah berusia tiga puluh bulan atau dua setengah tahun. Bjorka sedang lincah-lincahnya dan kerap membuat Javas serta Zoia kewalahan. Bjorka begitu aktif dan hampir tidak pernah diam. Ia mengeksplorasi apa pun yang ada di sekitarnya. Hal-hal baru yang ditemuinya membuat anak itu penasaran. Bjorka akan memasukkan apa pun ke mulutnya jika membuatnya tertarik. Itulah sebabnya Javas dan Zoia menerapkan pengawasan ekstra ketat pada sang putra. Mereka menjaga Bjorka dari keberadaan benda dan partikel kecil yang berpotensi dimasukkannya ke mulut. “Pa … Paaaa!!!” Bjorka yang lebih sering dipanggil Kaka berseru gembira sambil berlari menyongsong Javas saat melihatnya pulang. Javas membungkuk kemudian merentangkan tangan, lalu membawa Bjorka ke dalam gendongannya. Diciuminya pipi anak
Seluruh keluarga menyambut bahagia kehamilan kedua Zoia.Kala itu, sepulangnya dari Queena Birth Center Javas langsung mengabari semuanya. Mulai dari orang tua hingga mertua. Selama masa-masa kehamilan sang istri Javas begitu protektif pada Zoia, namun bukan posesif. Setelah lika-liku drama kehidupan yang mereka alami, Javas ingin menebus segala momen-momen yang hilang dan terlewatkan begitu saja. Dulu, saat kehamilan anak pertama Zoia memang tidak membatasi akses komunikasi dengannya. Namun, tetap saja Javas memiliki keterbatasan.Sore itu, Javas baru saja keluar dari kantor. Begitu Javas baru masuk ke mobil ponselnya membunyikan denting notifikasi. “Jav, anak-anak pada ngajakin main futsal. Lo bisa kan?”Itu bunyi pesan dari Tony setelah Javas melihat langsung ke ponselnya.Sejak Zoia mengandung anak kedua, Javas membatasi diri dari kegiatan pertemanan di luar. Ia lebih suka menghabiskan waktu di rumah bersama Zoia. Istrinya itu bagaikan memiliki daya magis yang akan menariknya a
Javas dan Zoia sudah lama merelakan kepergian salah satu calon anak kembar mereka. Dulu, awal-awal rasanya begitu berat. Tapi setelah keduanya mengikhlaskan semua terasa jadi begitu ringan.Tanpa terasa beberapa bulan berlalu. Hari-hari mereka begitu penuh warna dengan kehamilan Zoia yang tidaklah mudah. Memiliki riwayat yang kurang menyenangkan pada beberapa kehamilan sebelumnya membuat Zoia begitu berhati-hati. Pun dengan Javas yang menjadi sangat protektif. Serupa dengan kehamilan sebelumnya, Zoia juga hampir mengalami pendarahan sepanjang kehamilan kedua. Malah kalau ini jauh lebih parah. Zoia harus bed rest total dan melakukan semuanya di tempat tidur.Melihat penderitaan Zoia demi mempertahankan buah hati mereka membuat Javas jadi berpikir dan memutuskan anak kedua mereka adalah anak bungsu atau anak terakhir mereka. Javas tidak ingin menambah anak lagi. Ia tidak mau mengambil risiko yang akan membuatnya kehilangan Zoia.Bulan ini adalah minggu-minggu terakhir kehamilan Zoia. H
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.