ZOLAZach bercerita banyak mengenai Zeline dan Mas Jevin saat ke Broken Wings, semuanya, tanpa ada yang terlewat, termasuk mengenai celetukan Mas Jevin yang kontroversial.Aku mulai menghubungkan cerita Zach dengan yang kusaksikan di pinggir kolam renang beberapa malam sebelumnya.Apa mungkin Zeline dan Mas Jevin sudah saling mengenal sebelumnya? Tapi mengapa Zeline menyangkal? Apa salahnya jika dia jujur?Aku ingin menyampaikan berbagai pikiran itu pada Zach, tapi pengumuman yang terdengar bahwa pesawat akan segera mendarat membuat niat itu urung terlaksana.Iya, saat ini kami sedang berada dalam penerbangan ke Semarang setelah sehari sebelumnya aku mengadakan perpisahan kecil-kecilan dengan teman-teman kantor.Mama dan Papa kaget saat membuka pintu dan melihat kami berenam—aku, Zach, Fai, Mbak Zoi, Mas Javas serta Bjorka tiba-tiba sudah berdiri di hadapan mereka.“Kenapa nggak bilang dulu kalau mau pulang?” Pertanyaan itu kudengar dari mulut Mama setelah bergantian memeluk kami.“Kan
ZELINEIni adalah malam pertama aku menginap di rumah orang lain tanpa ada keluarga. Maksudku, aku menginap di rumah mertua kakakku tapi dia tidak di sana.Kedua kakakku dan suaminya serta anak mereka berangkat ke Semarang tadi siang. Andai saja bisa aku juga ingin pulang. Tapi apalah daya, besok aku wajib ngantor.Tadinya aku ingin menginap di rumah Mbak Zoi, karena merasa sungkan pada Tante Rosella, Om Joe, dan … ehm … Jevin.Tapi Mas Javas ngotot agar aku di rumah orang tuanya saja selama dia dan yang lain berada di Semarang.Dulu saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah Tante Rosella aku merasa nyaman karena sambutannya yang hangat. Tante Rosella baik, ramah dan menyenangkan. Tapi segala kenyamanan itu perlahan memudar setelah kehadiran Jevin.Dan saat ini aku sedang berada di ruang makan berdua dengan Tante Rosella. Hanya ada kami karena Om Joe masih belum pulang. Dia lebih sering menghabiskan waktu di kantornya hingga larut malam seakan tempat itu jauh lebih nyaman dari rum
ZELINEDengan perlahan kubuka pintu kamar Jevin. Begitu daun pintu terkuak seketika aromaterapi yang bersumber dari diffuser menguar dan terhidup oleh hidungku.Langkahku tertahan. Di atas tempat tidurnya Jevin sedang duduk dengan punggung tersandar ke headboard, sedangkan wajahnya tersembunyi di balik majalah.“Ini makanannya. Diletakin di mana?” tanyaku pelan.Mendengar suaraku, Jevin refleks menurunkan majalah dari hadapannya, memperlihatkan wajahnya yang terkejut saat melihatku karena menyangka aku adalah ART.Selama seperkian detik dia menatapku tanpa mengatakan apapun. “Mau diletakin di mana?” Aku mengulangi pertanyaan yang belum terjawab.“Kenapa kamu yang mengantar?” Jevin menegakkan duduknya menatapku.“Tadi Bibi yang menyuruh,” jawabku apa adanya.“Taruh disitu.” Jevin menunjuk meja dengan mulutnya, dengan suara yang terdengar dingin.Aku menuruti instruksinya meletakkan nampan berisi piring dan gelas air putih untuknya di meja yang dimaksud.Merasa tugasku sudah selesai, a
JEVINKalau nggak ingat janjiku kemarin untuk menemani Mami maka pagi ini aku masih akan meringkuk di bawah selimut.Mami sudah dandan rapi dan cantik saat aku keluar dari kamar. Walaupun sudah berumur tapi Mami sangat menjaga penampilannya. Bahkan saking rajinnya perawatan Mami terlihat beberapa tahun lebih muda dari usia sebenarnya.Kami sarapan bertiga—aku, Mami, dan Papi. Aku nggak melihat Zeline. Mungkin dia masih berada di kamarnya.Aku menunggu Mami di beranda setelah selesai sarapan. Sedangkan Mami masih dengan ritualnya berdandan lagi untuk kedua kalinya.Suara klakson yang terdengar dari balik pagar membuatku memalingkan wajah ke arah itu. Sebuah SUV hitam berhenti tepat di depan rumah. Selang beberapa detik setelahnya pengemudi mobil itu keluar—seorang lelaki dengan pakaian ala esmud.Lelaki itu berjalan ke arahku. Jujur saja aku harus mengakui bahwa dia sangat good looking. Dari caranya berpakaian aku bisa menebak status sosialnya. Tapi intinya bukan itu melainkan lelaki i
JEVINTampak seperti adegan-adegan dalam opera sabun, nyatanya adegan tersebut terjadi padaku, di dunia nyata.Kalau saja Mami nggak menyikut lenganku maka aku akan tetap beku di tempat tanpa melakukan apa-apa.Aku dan Niken sama-sama mengulurkan tangan untuk berjabatan. Kulit Niken terasa begitu halus di telapak tanganku. Kami berkenalan, tapi Tante Lenalah yang mewakili memberitahu nama masing-masing.“Jev, ini anak Tante, namanya Niken. Ken, ini Jevin, anaknya Tante Rosella yang Mama ceritain ke kamu, yang arkeolog itu. Kamu suka sejarah kan? Pas banget nanya-nanya sama pakarnya langsung.”Entah apa saja yang disampaikan Mami pada Tante Lena mengenaiku. Lalu Tante Lena melanjutkan pada anaknya.“Iya, Ma.” Niken menerbitkan senyum dari bibirnya. Aku akui senyumnya begitu menawan. “Kalau begitu kalian ngobrol-ngobrol aja dulu. Jev, Tante tinggal sebentar ya? Ayo, Bu.” Tante Lena menggandeng tangan Mami masuk ke dalam rumah.Mami melempar senyum penuh arti padaku. Dan sekarang aku
ZELINE“Kamu tahu kenapa Javas nitipin kamu di sini? Itu karena dia nggak mau kamu sendiri di sana. Tinggal sendiri di sana nggak aman buat kamu, Zel.” Jevin kembali bicara sebelum aku berkata apa-apa.Aku menurunkan pandangan pada tanganku yang dicekal Jevin. Dia ikut memandang ke arah yang sama lalu melepaskannya.“Kalau di sini jauh dari kantor, aku sering telat, aku juga capek nyetir,” jawabku mengatakan alasan.“Aku bisa antar kamu biar nggak telat, biar kamu nggak capek nyetir.”Jevin membungkam mulutku dengan kata-katanya sampai aku kehilangan alasan. Andai saja dia tahu kehadirannyalah yang membuatku ingin pergi dari sini.“Makasih, Jev, tapi aku bisa nyetir sendiri. Aku cuma mau jaraknya nggak terlalu jauh. Lagian ada bajuku yang ketinggalan di rumah Mas Javas. Aku mau pakai baju itu besok dan harus mengambil baju itu sekarang.” Akhirnya aku kembali menemukan alasan yang tepat. Jevin nggak akan bisa lagi menahanku.“Aku bisa mengantar kamu ke rumah Javas untuk mengambil baju
ZELINESisa-sisa hujan di luar sana meresidu udara dingin. Tapi di dalam sini tubuhku jauh lebih beku.Bibir Jevin menempel di bibirku. Dia memagutku dengan erat yang membuatku sulit untuk lepas. Sekujur tubuhku melemah. Lutut dan seluruh persendianku goyah. Sedahsyat itu efeknya padaku.Aku hampir saja terlena. Tapi akal sehatku memberi peringatan bahwa hal ini tidak pantas untuk dilakukan. Sontak, kudorong dadanya. Dia terkejut, pagutan kami juga terpisah.***JEVINFor god’s sake, aku nggak sengaja melakukannya. Aku bukan bermaksud kurang ajar dengan mencium Zeline. Tadi semua mengalir begitu saja tanpa direncana. Akulah yang salah karena gagal menahan diri.“Maaf, aku nggak sengaja, Zel. Maaf,” ucapku sekali lagi.Zeline mengusap bibirnya dengan pergelangan tangan, menghapus bekas ciumanku.“Sebaiknya kita pulang sekarang.” Dia menerobos dan hendak pergi dariku.“Tapi kita belum selesai bicara, Zel.” Aku mencekal lengannya agar jangan pergi dulu.“Dari tadi aku udah kasih kamu ke
JEVINAku membaca lagi dengan seksama pesan diteruskan yang dikirim Mami melalui chat. Dalam pesan tersebut berisi alamat resto tempat pertemuan dengan Niken. Mami dan Tante Lenalah yang mengatur pertemuan tersebut, kami berdua hanya menerima.Aku meletakkan ponsel setelah merekam di benak alamatnya. Bersamaan dengan itu pintu kamar diketuk dari luar. Mami masuk ke dalam.“Udah dibaca chat Mami, Jev?”“Udah, Mi.”Mami menarik langkah mendekat lalu duduk di dekatku. “Nanti malam lho janjinya, kamu jangan sampai lupa.”“Well noted, Mi.”Senyum Mami terkembang lebar. “Mami senang kamu mau mencoba dengan Niken, Jev.”“Tapi aku nggak janji apa-apa ya, Mi. Don’t expect too much.” Aku khawatir Mami berekspektasi ini itu segala macam, lalu kecewa jika ternyata aku nggak bisa memenuhi harapannnya.“Kamu jangan pesimis dulu dong. Hidup itu harus optimis dan penuh semangat, Jev.”“Iya, Mi, aku paham, tapi belum tentu juga aku dan Niken bakalan cocok.”“Siapa bilang? Mami lihat kalian berdua sera
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.