ZOLALima hari sudah Zeline berada di sini. Dan dalam rentang waktu itu aku juga sudah mengajarinya mengenai banyak hal. Zeline dengan begitu mudah mengerti dan mampu melakukan tugas-tugas yang sebelumnya menjadi tanggung jawabku.“Nggak nyangka banget kalau Pak Ariq suka clubbing. Udah gitu enak banget diajak becanda. Tadinya aku pikir orangnya kaku gitu,” ocehnya saat sore ini kami main ke rumah Mbak Zoi.Dari cerita Zeline aku tahu kalau dia dan Ariq akan menjadi partner terbaik. Zeline yang suka kehidupan bebas tentunya tidak akan keberatan menemani Ariq happy-happy.“Terus kamu juga ikutan minum?” tanya Mbak Zoi menyelidik.“Dikit sih, Mbak. Tapi jangan bilang Mama sama Papa ya?”“Harusnya kamu nggak ikutan, Zel, biar aja dia sendiri,” kataku berkomentar.“Ya ampun, Mbak, masa aku cuma bengong?” Zeline merotasi bola matanya.“Yang dibilang Mbakmu bener, Zel. Harusnya kamu cukup cuma nemenin, nggak usah pake ikutan minum segala. Dulu waktu Mbak Ola nemenin dia clubbing nggak perna
ZOLA Ariq membuatku sedikit gugup dengan caranya menatap. Aku segera memalingkan muka, menghindari tatapannya. Aku mungkin bisa mengelak dari matanya, tapi telingaku nggak bisa lari dari kata-katanya. Ariq terus meracau mengungkapkan isi hatinya.“Coba kalau kita kenal dari dulu pasti kejadiannya nggak akan begini. Mungkin kamu nikahnya sama saya, bukan sama Zach Mahanta.”Meski bibirku terkatup rapat tapi aku mendengar semua perkataannya.“Tahu nggak, La, sampai saat ini saya masih nggak rela melepas kamu. Tapi saya juga bukan tipe laki-laki yang akan menghancurkan hubungan orang. Saya akan kejar kamu sampai dapat selama kamu masih sendiri, tapi haram hukumnya buat saya mengganggu istri orang.”Aku mengangkat muka memandang ke arah Ariq. Kata-kata terakhirnya membuatku kagum. Dan aku harap ini bukan hanya sekadar lip service.Ariq ternyata laki-laki yang baik. Ya, kalau dia berniat jahat sudah dari dulu dia melakukannya. Apalagi kesempatan untuk itu terbuka lebar. Ariq bisa saja mem
ZACHAku yang kaget atas tindakan tiba-tiba Cassandra langsung mendorongnya hingga terjengkang ke belakang. Sama denganku Cassandra juga tak kurang terkejut. Dia terlihat kesakitan akibat bokongnya berbenturan keras dengan lantai.“You’re so rude!” kecamnya sambil mengeluh kesakitan.Aku berdiri dengan cepat dari lantai sambil mengusap-usap bibir bekas ciumannya tadi dengan keras. Aku nggak rela atas kecupan yang tadi dicurinya.“Kamu yang nggak tahu malu! Apa begitu sikap perempuan baik-baik? Kalau kamu bilang aku laki-laki yang takut pada istri, jadi kamu apa namanya? Sebutan apa yang cocok untuk kamu, Ra? Sebutan apa yang paling pas untuk perempuan yang mencium laki-laki? Padahal laki-laki itu adalah suami orang!”Cassandra lalu berdiri dari lantai lalu berdiri tepat di hadapanku. “Aku sengaja ngelakuin itu agar kamu ngerti perasaanku. Agar kamu tahu sebesar apa perasaanku untuk kamu. Masalahnya dari dulu kamu nggak pernah peka. Aku udah kasih kode, signal, segala macam, tapi kam
ZACHCassandra agaknya memang sudah gila. Aku nggak tahu di mana dia meletakkan otaknya yang selama ini katanya cerdas. Dia salah kalau berpikir aku akan bernafsu melihat tubuh setengah telanjangnya. Dia bukan lagi Cassandra yang kukenal dulu. Dia sudah berubah. Dia berbeda.Apa cinta membuat orang bisa segila ini?“Ayo, Zach, tunggu apa lagi? Mana kameranya?” Dia memajukan langkahnya kemudian mengelus rahangku.“Go fak yourself!” Aku menepis tangannya dengan keras. Sepanjang dua puluh tujuh tahun usiaku aku belum pernah main fisik dan berlaku kasar pada perempuan. Tapi Cassandra membuatku melakukannya.“Zach, kamu nggak usah khawatir, aku nggak bakal kalah dari Zola. Lihat sendiri bodyku jauh lebih indah dari dia.” Cassandra meremas dadanya yang membusung.“Stop fucking around! Mau aku panggilin 911?”“Aku juga nggak lagi main-main. Kamu nggak percaya kan kalau aku cinta sama kamu sejak dulu? Aku pengen buktiin sama kamu. Satu kali aja, Zach …”Aku sudah kehabisan kata untuk mengum
ZOLAAku membiarkan Zach main berdua dengan Fai. Sementara aku sibuk di belakang membersihkan peralatan makan yang kotor.“Biar aja dulu, La! Bersih-bersihnya besok aja! Kamu nggak capek memangnya?”Aku mendengar seruan Zach yang melarangku.Aku memang capek. Amat sangat capek. Tapi aku nggak tahan melihat tumpukan piring kotor dan gelas-gelas bekas kopi yang belum dicuci. Beginilah kalau laki-laki hidup sendiri jauh dari istri.Jadi sudah seharusnya aku mendampingi Zach di mana pun dia berada. Bukankah seorang istri tempatnya adalah bersama suami?Selesai bersih-bersih di ruang belakang aku kembali ke depan. Zach dan Fai sedang face time dengan Mami, memberitahu bahwa kami sudah tiba dengan selamat.Fai meloncat-loncat saat melihat wajah Ominya.“Mi, onti na (Mi, Aunty mana)?” tanya Fai saat tidak melihat Zeline.“Apa, Nak? Siapa?” ujar Zach bingung.“Maksudnya Zeline, Zach,” jawab Mami.Selama aku pergi aku menyuruh Zeline stay di rumah Mbak Zoi. Aku khawatir ada tingkah Zeline yang
ZOLAAku masih berada di dalam dekapan Zach. Kami baru saja selesai bercinta sesi kedua. Zach membuktikan kata-katanya bahwa akan ada part kedua dan mungkin saja setelahnya akan ada part ketiga dan seterusnya.“Dari tadi tuh banyak yang mau aku tanya sama kamu. Sekarang cerita gimana bisa kamu kepikiran buat ke sini, terus Ariq bilang apa?” Zach menagih agar aku menceritakan semua kronologinya sambil mengelus-elus pangkal lenganku.“Hm, kepikiran aja sih, terus aku minta cuti sama Ariq dan dia ngizinin.”“Terus kerjaan kamu gimana? Apa Ariq nggak bakal repot kalau nggak ada kamu?”Aku memiringkan tubuh mengarah pada Zach. Begitu pun dengan dia memutar posisinya mengarah padaku. Kami saling berbaring miring berhadapan.Tanganku terulur mengelus pipinya. “Seharusnya sih repot, tapi udah ada Zeline yang gantiin aku.”“Zeline? Dia bukannya kuliah?’“Udah kelar, sekarang lagi nunggu wisuda. Jadi daripada bengong nggak tahu mau ngapain aku suruh aja dia datang ke Jakarta dan kusodorin ke Ar
ZOLASama denganku, orang yang saat ini sedang berada di hadapanku ini juga terperanjat. Itu terlihat jelas dari wajahnya. Sudah pasti dia tidak menyangka akan kehadiranku.“Kamu?” Itu potongan kata yang berhasil keluar dari mulutnya setelah terpana berdetik-detik lamanya.“Iya, ini aku. Kenapa kaget?”Cassandra, si perempuan yang saat ini berada di hadapanku buru-buru mengganti ekspresi wajahnya, menyembunyikan rasa terkejut yang sejak tadi tercetak jelas.“Hai, Zola, aku nggak tahu kalau kamu ada di sini,” ucapnya dengan nada suaranya yang khas atau lebih tepatnya diramah-ramahkan tapi sarkas setiap kali berbicara denganku.Aku hanya menatapnya datar sembari mengira apa kepentingannya datang ke sini.Cassandra memiringkan kepalanya melongok ke belakangku, mencuri pandang ke dalam apartemen. “Zach mana?” tanyanya kemudian.“Ada apa?” “Aku mau ketemu sama Zach sebentar.”“Lewat aku aja.”“Oh, begitu? Ya udah. Aku ke sini mau ambil baju yang ketinggalan. Kemarin aku lupa soalnya bur
ZOLASore ini juga atau tepatnya beberapa jam setelah dia pulang Zach langsung mengajakku pergi untuk melihat rumah yang dimaksudkannya. Tidak hanya satu, tapi ada beberapa lokasi.Dia memintaku untuk memilih rumah yang kusuka. Tapi justru itu membuatku bingung. Masalahnya, semua terlihat bagus di mataku.Setelah kami mendiskusikannya berdua, aku dan Zach memutuskan untuk memilih sebuah rumah yang terletak tidak begitu jauh dari downtown tapi tampak begitu nyaman dan damai.Rumah itu memiliki halaman yang luas serta padang rumput kecil di belakangnya. Sangat ideal untuk menunggangi kuda seperti yang digaungkan Zach sebelumnya.Rumah tersebut juga fully furnished dan kami adalah penghuni pertamanya atau dengan kata lain kami membeli rumah tersebut dalam keadaan baru.Sore itu juga transaksi dilakukan. Maka rumah tersebut resmi menjadi milik kami. Uang dan koneksi menjadikan segalanya lebih gampang. Aku hanya diam memperhatikan saat Zach membawa Fai bermain di rerumputan belakang ruma