“Kat!! Nyebur yoook!” ajak Sheryl dengan sedikit berteriak ketika aku sedang menikmati makan siangku.
Aku menggeleng dan mengangkat piring penuh lauk ke arahnya. “Lagi makan.”
Dia melirik dengan malas ke arah meja panjang yang kami atur di pinggir kolam renang sebagai meja parasmanan. Beberapa orang mengambil jatah makan siangnya di meja itu. Sebagian lagi memutuskan untuk langsung masuk ke dalam kolam renang dan membuat kerusuhan di sana. Sheryl adalah salah satu yang akan memenuhi kolam renang cantik di depanku ini.
Dia mengerucutkan bibir padaku. “Enggak asik, ah.”
“Makan dulu, Sher.” Aku mengingatkan karena setahuku dia belum makan apa-apa dari pagi.
“Enggak perlu, gue udah kenyang makan dimsum.”
Aku menggelengkan kepala dan segera menjauh dari kolam ketika melihat dia mulai berancang-ancang untuk terjun.
Byur!!
Sorak kegirangan mengiringi bunyi riak air y
“Temui gue di samping dapur.” Aku meremang mendengar suaranya yang dalam yang dingin. Berbagai pertanyaan ingin aku tanyakan padanya saat ini juga. Apa yang akan dia bicarakan? Kenapa harus mencari tempat terpencil di samping dapur? Kenapa tidak di sini dan sekarang? Namun yang keluar dari mulutku hanya satu kata saja. “Apa?” Jace tidak menjawab. Dia malah menatapku dengan matanya yang menyimpan misteri. Tidak ada jendela yang bisa aku buka di sana. Hanya tatapan tajam yang mungkin bisa membunuhku. “Kat?” Suara Zoey mengagetkanku. Bahkan aku hampir menjatuhkan ponselku karena terkejut. Dia muncul dengan tiba-tiba dari balik tembok wastafel. “Eh, Hai Zoey, kenapa?” tanyaku dengan terbata. Tidak seharusnya aku panik seperti tertangkap basah sedang selingkuh. Jace hanya bicara tidak lebih dari tiga kalimat. Seharusnya itu bukan masalah besar. Oke, aku berlebihan. “Cuma cek doang. Tadi kamu ngilang begitu aja.” “Aku
Riuh teman-temanku seperti dengungan yang samar. Percikan dan riak air di mataku seolah menjadi adegan film yang diputar dengan gerakan melambat. Pandanganku selalu ke sana. Ke arah Jace yang juga memandang ke arahku.Dia menatapku lekat. Bahkan dari kejauhan, aku bisa merasakan intimadasi dari sorot mata itu. Membuat punggungku seperti di guyur air es. Aku sampai menggigil demi menghilangkan sensasi menakutkan itu.Apa dia marah karena reaksiku tadi yang tiba-tiba pergi dan bersembunyi bagai pengecut di sini?“Gue suka sama lo.”Ucapannya masih terngiang-ngiang di telingaku. Empat kata yang meluluh-lantahkan pertahananku selama ini.Berbulan-bulan aku berperang dengan perasaan ini. Perasaan yang membuat hatiku seperti menyimpan bara api. Panas dan pedih. Sekuat tenaga aku menjaga supaya tidak membesar. Tertatih-tatih menjaga supaya asapnya tidak terlihat ke permukaan.Lalu empat kata yang di ucapkan Jace tadi seperti be
Bau eucalyptus memenuhi indera penciumanku. Badanku terasa dingin dan kepalaku berdenyut kencang. Aku membuka mataku perlahan lalu beberapa kali mengerjap. Mencoba menyesuaikan jumlah cahaya yang bisa ditangkap mataku. “Kat?” Seseorang memanggil namaku dengan nada pelan. Aku menoleh ke arah suara itu dan menemukan siluet seorang wanita sedang menatapku cemas. Aku kembali mengerjap. “Sha?” Aku menegaskan apa yang aku lihat. Perlahan wajah Shafira mulai terlihat dengan jelas di depanku. “Minum dulu,” ucapnya sambil menyerahkan segelas air putih padaku. Setelah beberapa kali tegukan, aku serahkan kembali gelas itu padanya. “Mana Zoey?” tanyaku sambil mencoba untuk tenang. Karena yang terakhir aku ingat adalah dua berandal kampung sedang mengganggu kami di atas bukit sana. Shafira tidak menjawab. Dia menggigit bibir bawahnya dan beberapa kali melihat ke arah pintu kamar. “Sha, yang lain kemana?” “Ada di luar. Lo Ist
Musik mengalun pelan dari stereo mobil, menemaniku yang membisu sambil memandangi Jalanan padat di depanku. Jarak yang harusnya ditempuh kurang dari setengah jam, menjadi lebih dari satu jam karena kemacetan akhir pekan yang biasa terjadi di kawasan ini. Apalagi sebentar lagi masuk ke antrian gerbang tol. Maka perjalanan kami akan semakin tersendat. Di mobil ini, hanya ada aku dan Zoey. Sheryl tentu lebih memilih pulang bersama Briya, dan yang lain ketimbang dengan pengkhianat sepertiku. Sedangkan Jace, sudah tidak terlihat batang hidungnya semenjak subuh. Ada kemungkinan dia dan kedua temannya langsung pergi setelah perdebatan sengitnya dengan Zoey semalam. Semalam aku memutuskan mengunci diri di kamar. Aku tidak melihat lagi ke belakang ketika berlari meninggalkan dua orang bodoh yang sedang mempermalukanku saat itu. Yang aku dengar hanya suara Zoey yang memanggilku dan mencoba untuk mengejar. “Jangan ikutin gue!” bentakku pada Zoey di belakangku. A
Sayup-sayup aku mendengar ada suara orang yang mengobrol. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali sebelum menyambar handphone di atas nakas. Masih pukul empat sore, masih cukup banyak waktu untuk aku bersiap ke Saung Geulis, restoran milik ibuku. Karena ini adalah hari jumat dan aku harus membantunya di sana.Aku membuka pintu kamarku dan percakapan yang tadi terdengar samar menjadi sedikit lebih jelas.“Enggak bisa tante. Selama ini Katy memang enggak punya perasaan sama saya.”Ada yang membicarakanku dari lantai bawah. Aku mengendap ke balik tembok samping anak tangga paling atas. Mencoba sedikit mengintip siapa yang menyebut namaku tadi dan dengan siapa dia berbicara.Aku menemukan Zoey sedang mengobrol dengan ibuku di ruang televisi. Tidak heran jika mereka mengobrol seakrab ini, karena Zoey memang cukup dekat dengan ibuku. Namun, kenapa mereka menyebut namaku dengan wajah yang serius?“Kenapa enggak bisa?” I
Sudah jam tiga pagi, tetapi mataku masih belum bisa terpejam. Pikiranku yang tidak bisa diam di satu tempat membuatku kelelahan. Namun, tetap tidak membuatku mengantuk. Untungnya besok adalah hari libur. Jadi, aku akan tidur seharian sampai puas. Aku beranjak dari kasur untuk mengambil air minum di dapur. Aku sengaja tidak menyalakan lampu saat melintasi ruang makan yang gelap. Dengan sedikit mengendap, aku meraih gagang pintu kulkas. Menarik susu dingin, menuangkannya di panci lalu menyalakan kompor untuk memanaskan susu tadi. Aku duduk di kursi tinggi dekat dapur. Memandangi taman kecil samping rumah yang sedikit basah karena siraman air hujan. Aku berpikir untuk keluar dan menikmati sedikit udara segar di teras itu. Mungkin sedikit agak basah dan dingin. Namun, aku harap itu bisa menjernihkan pikiranku malam ini. Susu sudah cukup hangat untuk aku angkat dari kompor. Pelan-pelan aku tuangkan ke dalam gelas tinggi dan membawanya ke teras melalui pintu sampin
Cuaca malam semakin dingin. Sayup-sayup aku mendengar suara orang mengaji dari tempat ibadah yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Menandakan tidak lama lagi fajar akan segera menyingsing.Aku mengakhiri lamunanku tentang Jace dan hendak kembali masuk ke dalam rumah melalui pintu samping ketika sebuah taksi berhenti di depan gerbang rumahku.Aku mengintip dari teras samping. Rimbunnya pohon mangga menyembunyikan posisiku sehingga tidak terlihat dari jalan di depan rumah. Ibuku turun dari taksi itu.Dia terlihat mengobrol pada seseorang yang masih berada di dalam taksi. Tidak jelas siapa yang ada di dalam taksi itu. Ibuku tertawa sebentar lalu menggenggam tangan yang sedikit menjulur keluar melalu kaca yang terbuka. Kemudian ibuku melambaikan tangannya sebelum taksi kembali melanjutkan perjalanannya.Keningku berkerut ketika menyadari ukuran tangan yang terjulur itu terlalu besar untuk ukuran tangan seorang wanita. Dia juga memakai jam tangan besar yang b
‘Gue butuh bicara. Gue tunggu kabar dari lo - JA.’ Secarik kertas terselip di antara buku tugasku. Aku tidak tahu lagi nama siswa yang punya inisial JA selain Jace Ashad. Aku merobek kertas itu menjadi potongan kecil dengan berlebihan. Lalu kembali menekuri tugas kimia yang baru saja diberikan Bu Tika tadi. Sekelebat bayangan wajah Jace muncul lagi di mataku. Tatapan kecewa dan terluka terpampang jelas di matanya saat aku menamparnya waktu itu. Dia tidak mengucapkan sepatah katapun sampai aku meninggalkannya sendiri. Berhari-hari setelahnya, aku menghindar dan bersembunyi dari Jace. Tidak begitu sulit untuk bersembunyi darinya, karena dia juga sepertinya tidak berusaha mencariku kembali. Bahkan ketika kami tidak sengaja bertemu di gerbang sekolah, dia hanya melihatku dan membiarkanku melewatinya. Tiga hari setelahnya aku mendengar Jace dan Sheryl putus. Hal itu membuat gosip tentangku semakin panas dan liar. Aku semakin terkucil dan Jace sema
“Kaitlyn,” Om Khalid menyapa ketika dia sudah berjarak satu meter di depanku. “Boleh saya bicara denganmu?” Aku mengerjap beberapa saat. Namun buru-buru mengangguk dan menjawab. “Iya, Om. Boleh.” Dengan gerakan pelan nan berwibawa, Om Khalid duduk di kursi bekas Sheryl. Satu kaki ditumpangkan pada kaki lainnya mencoba membuat dirinya nyaman di kursi yang sebetulnya terlalu kecil untuk tubuhnya yang besar. Tak lama, tangannya bergerak merogoh saku dibalik jasnya, kemudian mengeluarkan amplop putih dari sana Dia mengangsurkan amplop itu padaku sambil berucap, “hadiah kecil dariku.” Sempat mengerutkan dahi karena keheranan, tetapi segera aku terima uluran amplop dari tangan Om Khalid dengan canggung. “Terima kasih.” Mataku menangkap sosok Jace di seberang meja jamuan utama sedang memandang ke arahku penuh curiga. Dahi yang berkerut dengan alis yang menukik tajam memperlihatkan sikap waspada. Mungkin dia khawatir karena melihaku bicara dengan ayahnya tanpa ada yang mendampingi. Dia se
Rencana Tuhan sangat tidak bisa aku tebak. Segala hal menyangkut takdir memang selalu menjadi misteri yang pada akhirnya akan ditunjukan dengan cara-Nya yang paling indah. Hanya tinggal menunggu waktu. Kelahiran, kematian, dan cinta. Itu yang aku yakini sekarang. Ketika dengan sangat mengejutkan, pria yang selalu menjadi pujaan hatiku dari semenjak aku baru mengenal cinta, mempersembahkan cincin bertahtakan berlian ke hadapanku. “Kejutan,” ucapnya dengan senyum yang terukir di bibir. Detak jantungku mungkin sempat berhenti beberapa saat. Mataku tidak bisa lepas dari wajah penuh senyum yang semakin membuat aliran darahku berdesir kecang. Gerakan pelan dari kursi roda yang di dorong ibuku membuat jiwaku kembali ke raga. Setelah beberapa saat terlepas dan berkelana mencari jawaban, apakah ini nyata, atau hanya khayalanku saja? Seperti halnya aku, semua yang hadir pun menunjukan wajah penuh tanya. Yang mereka tahu, malam ini adalah malam pertunangan Khalid Ashad dengan ibuku. Bukan ac
Dengan bantuan Sheryl, aku menjalankan kursi roda menuju barisan kursi paling kanan. Ada panggung kecil setinggi lima belas sentimeter yang nampak cantik, dihiasi bunga chamomile dan hortensia di sepanjang garis tepiannya. Di kiri panggung disediakan jalur khusus kursi roda untuk naik. Mungkin ibuku menginginkan aku menemaninya di sana. Namun, aku rasa itu tidak bisa aku wujudkan Untuk bisa hadir di sini saja, aku harus menarik napas berkali-kali. Melepaskan segala perasaan sesak agar bisa tersenyum lebar untuk ibuku secara tulus. Aku senang jika ibuku bisa berbahagia. Seberat apa pun nanti, aku pasti bisa menerima keluargaku yang baru dengan dada seluas samudera. “Lo udah siap?” Suara serak adikku terdengar dari arah belakang. Aku terkejut melihat penampilannya yang rapi dan wangi. Apalagi melihat dia tersenyum lebar tanpa beban. “Lo di sini?” tanyaku masih tidak percaya. Maksudku, selain aku dan Jace, Aiden adalah orang yang paling membenci rencana pertunangan ini. Dia merasa ib
“Cantik banget sih, temen gue. Senyum dong.” Sheryl mengusap anak rambut yang masih mencuat nakal lalu menyelipkannya ke belakang telingaku. Sebagai sentuhan terakhir, dia menjepitkan hiasan rambut kecil berbentuk kupu-kupu di kepala bagian kiri. “Selesai,” gumamnya nampak puas akan hasil karyanya yang terpantul pada cermin di depan kami. “Makasih, Sher. Gue jadi menghemat anggaran make up artist,” gurauku diselingi senyum tipis di bibir. “Sama-sama, Sayang.” Sheryl meremas pelan kedua bahuku dari belakang. Lalu memutar kursi penunjang aktifitas yang aku duduki ini menjadi saling berhadapan. “Lo baik-baik aja, kan?” Aku mengangguk meyakinkannya. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Aku hanya perlu menebar senyum pada semua yang hadir. Setidaknya untuk malam ini saja. Sheryl menghela napasnya dalam-dalam dan menatapku dengan mata sendu. Namun, buru-buru dia bergeleng dan merubah lengkungan bibirnya menjadi tarikan ke atas. “Eh, udah latihan jalan belum hari ini?” “Udah tadi pagi. Ta
Aku mengerjap. Gejolak menyakitkan dari bagian atas perut memaksaku untuk membuka mata. Namun, terlalu silau. Sinar-sinar itu terlalu menyakiti mataku. Lalu dorongan kuat itu kembali mendera perutku. Seolah isinya sedang diaduk dan sebentar lagi akan meledak melewati kerongkongan.Aku mengerang dengan lemah sambil mencoba membuka mataku lagi. Semoga kali ini sinar itu tidak terlalu menusuk bola mata.“Kat?”Ah, suara Aiden. Untunglah ada orang di sampingku. Cahaya putih yang menyelusup melewati bulu mataku menampilkan siluet sosok yang familar. Aku kembali mengerjap berharap bayangan buram itu bisa segera menjadi jelas.Bau antiseptik, cairan infus yang menggantung, dan selang oksigen di hidung menjelaskan bahwa aku sedang di rumah sakit. Tentu saja. Aku habis tertabrak mobil.Ingatan tentang bagaimana aku harus berakhir di rumah sakit ini membuat kepalaku diserang rasa nyeri yang hebat. Jeritan klakson dan decitan ban yang kencang kembali berdengung di telinga. Duniaku berputar kenca
Jace's POV Suara orang berdebat di luar ruangan membuatku jengah. Pertengkaran konyol, saling tuduh dan menyalahkan tak berkesudahan. Beberapa kali suster mengingatkan untuk mereka tetap tenang, tetapi para manusia yang rata-rata berumur hampir setengah abad itu tetap saja bersitegang. Di ujung ruangan, pria muda dengan wajah dan raut serupa dengan kakaknya sedang tertunduk lesu. Sama denganku yang tengah di rundung gelisah, dia pun tampak terganggu dengan ucapan-ucapan tidak masuk akal yang selalu menjadi perdebatan para orang tua di luar sana. “Nyokap lo bikin rusuh,” ucapnya ketika pria muda itu mendongak ke arahku. Aku terkekeh pelan. Tidak ada yang lucu. Hanya kekehan pengganti rasa getir yang sedang menggelayuti dadaku sekarang. “Sorry enggak ngabarin lo semalam. Gue terlalu ketakutan dan lupa ngasi tahu keluarganya,” sesalku mengingat Aiden yang baru mengetahui berita ini saat Katy sudah selesai menjalani operasi darurat. Aiden menegakkan punggung. Melepaskan napas panjang
“Katy!” Aku mendengar Alex berteriak, menghentikan langkahku yang masih saja mengejar mobil Jace tanpa melihat keadaan sekeliling. “Lo mau ngapain?” Tanganku di tarik dengan kencang membuatku tersentak ke bahu jalan. Aku menoleh dan baru menyadari aku berlari terlalu ke tengah. Membuatku hampir tersenggol mobil yang sedang melaju dari arah belakang. “Alex, tolongin gue. Susul dia.” Aku merengek. Entahlah, hanya ini yang bisa aku pikirkan sekarang. Aku terlalu takut dia kembali menghilang. Alex mengembuskan napas dengan kasar lalu menggerakan kepalanya ke belakang. Memintaku untuk segera naik ke atas skuternya. “Naik.” Tidak sulit untuk mengejar mobil Jace yang tidak mungkin memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tiba di persimpangan, dia harus berhenti karena lampu lalu lintas berwarna merah. “Jace!!” Aku mengetuk kaca mobilnya ketika posisiku sudah berada tepat di samping mobilnya. Sekilas, aku melihat raut terkejut dari wajah Jace. Namun, Dia tidak sempat membuka kaca mobil
Aku mematung memandangi mobil Jace yang menjauh. Meninggalkanku dengan kebingungan atas tuduhan yang di layangkan padaku, tanpa pernah menanyakan kebenarannya terlebih dahulu.Aku mengerjap demi menahan butiran air yang hendak meluncur dari sudut mata. Menghela napas beberapa kali, lalu segera membuka layar handphone. Mencoba mencari tahu penyebab sikap Jace yang berubah drastis seperti ini.Sebuah pesan dari nomor baru dengan waktu kirim paling kini telah terbuka. Aku usap layar demi menampilkan isi pesan itu.‘Kat, ini gue Alex. Gue dapet nomor lo dari Arula. Makasi ya udah nemenin gue malam tadi. Maaf gue enggak anterin lo pulang. Istirahat yang cukup. Lo pasti kelelahan.’Aku menelan ludah sambil meremas handphone dalam gegaman. Pantas saja Jace semarah ini. Siapa pun yang membaca kalimat di dalam teks tadi tentu akan berpikir negatif tentang apa yang telah terjadi semalam.Aku harus segera menjelaskan semuanya sebelum dia memutuskan untuk menjauhiku lagi. Aku tidak bisa membiarka
“I love you, Kat.” Tunggu, apa itu? Badanku menegang. Terkejut dan sedikit ragu dengan apa yang baru saja aku dengar. Apa Jace baru saja mengucapkannya? Tiga kata yang selalu aku tunggu itu benar-benar keluar dari mulutnya? Aku menegakan punggung dan melepas penyatuan bibir kami. Berbalik dengan cepat dan menatap netranya yang sendu. “Apa Jace?” Jace tidak menjawab. Dia masih memandangku seolah aku adalah barang berharga yang baru saja dia dapatkan setelah sekian lama mencari. Mata itu jelas menyorotkan kekagumannya padaku. “I love you,” ulangnya dengan suara yang dalam. Jauh lebih seksi dari suara mana pun yang pernah di dengar telingaku “You said that?” Jace mengangguk. Jarinya menyentuh daguku dan mengusap pelan di sana. Matanya yang terbiasa menyorotkan ambisi sekarang berubah teduh. Sendu dan mendamba. Sekali lagi, dia menyatukan kembali dua bibir yang terlalu lama merindu. Keharuan memenuhi dadaku. Aku seperti sedang disiram air pegunungan yang segar setelah sekian lama t