Jace tidak pernah absen untuk selalu membuatku jantungan. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya selalu membuat hubunganku dengan Zoey seperti berada dalam roller coaster. Dia seperti dalang yang bisa membuat kami berdua menukik dan menanjak sesuka hatinya.
Sampai hari berganti, aku tidak bisa berhenti memikirkan maksud Jace bicara seperti itu pada Zoey. Kenapa dia bisa tahu masalah ciuman pipi yang menjadi kesepakatan aku dan Zoey saat di kantin? Apa ada yang menguping dan melaporkannnya pada Jace?
Aku tahu Jace punya teman-teman yang loyal. Namun, kalau mereka sampai menguping obrolanku demi memenuhi kemauan Jace, itu sangat keterlaluan. Privasiku terganggu dan aku sangat tidak suka itu.
Lagi pula, Jace tidak berhak bicara seperti itu. Dia tidak berhak mengatur Zoey dalam bersikap padaku. Memangnya dia pikir dia itu siapa?
“Kenapa sih, Kat? Dari tadi meringis sambil geleng-geleng kepala mulu.” Seseorang membangunkanku dari lamunan
“Kat!! Nyebur yoook!” ajak Sheryl dengan sedikit berteriak ketika aku sedang menikmati makan siangku.Aku menggeleng dan mengangkat piring penuh lauk ke arahnya. “Lagi makan.”Dia melirik dengan malas ke arah meja panjang yang kami atur di pinggir kolam renang sebagai meja parasmanan. Beberapa orang mengambil jatah makan siangnya di meja itu. Sebagian lagi memutuskan untuk langsung masuk ke dalam kolam renang dan membuat kerusuhan di sana. Sheryl adalah salah satu yang akan memenuhi kolam renang cantik di depanku ini.Dia mengerucutkan bibir padaku. “Enggak asik, ah.”“Makan dulu, Sher.” Aku mengingatkan karena setahuku dia belum makan apa-apa dari pagi.“Enggak perlu, gue udah kenyang makan dimsum.”Aku menggelengkan kepala dan segera menjauh dari kolam ketika melihat dia mulai berancang-ancang untuk terjun.Byur!!Sorak kegirangan mengiringi bunyi riak air y
“Temui gue di samping dapur.” Aku meremang mendengar suaranya yang dalam yang dingin. Berbagai pertanyaan ingin aku tanyakan padanya saat ini juga. Apa yang akan dia bicarakan? Kenapa harus mencari tempat terpencil di samping dapur? Kenapa tidak di sini dan sekarang? Namun yang keluar dari mulutku hanya satu kata saja. “Apa?” Jace tidak menjawab. Dia malah menatapku dengan matanya yang menyimpan misteri. Tidak ada jendela yang bisa aku buka di sana. Hanya tatapan tajam yang mungkin bisa membunuhku. “Kat?” Suara Zoey mengagetkanku. Bahkan aku hampir menjatuhkan ponselku karena terkejut. Dia muncul dengan tiba-tiba dari balik tembok wastafel. “Eh, Hai Zoey, kenapa?” tanyaku dengan terbata. Tidak seharusnya aku panik seperti tertangkap basah sedang selingkuh. Jace hanya bicara tidak lebih dari tiga kalimat. Seharusnya itu bukan masalah besar. Oke, aku berlebihan. “Cuma cek doang. Tadi kamu ngilang begitu aja.” “Aku
Riuh teman-temanku seperti dengungan yang samar. Percikan dan riak air di mataku seolah menjadi adegan film yang diputar dengan gerakan melambat. Pandanganku selalu ke sana. Ke arah Jace yang juga memandang ke arahku.Dia menatapku lekat. Bahkan dari kejauhan, aku bisa merasakan intimadasi dari sorot mata itu. Membuat punggungku seperti di guyur air es. Aku sampai menggigil demi menghilangkan sensasi menakutkan itu.Apa dia marah karena reaksiku tadi yang tiba-tiba pergi dan bersembunyi bagai pengecut di sini?“Gue suka sama lo.”Ucapannya masih terngiang-ngiang di telingaku. Empat kata yang meluluh-lantahkan pertahananku selama ini.Berbulan-bulan aku berperang dengan perasaan ini. Perasaan yang membuat hatiku seperti menyimpan bara api. Panas dan pedih. Sekuat tenaga aku menjaga supaya tidak membesar. Tertatih-tatih menjaga supaya asapnya tidak terlihat ke permukaan.Lalu empat kata yang di ucapkan Jace tadi seperti be
Bau eucalyptus memenuhi indera penciumanku. Badanku terasa dingin dan kepalaku berdenyut kencang. Aku membuka mataku perlahan lalu beberapa kali mengerjap. Mencoba menyesuaikan jumlah cahaya yang bisa ditangkap mataku. “Kat?” Seseorang memanggil namaku dengan nada pelan. Aku menoleh ke arah suara itu dan menemukan siluet seorang wanita sedang menatapku cemas. Aku kembali mengerjap. “Sha?” Aku menegaskan apa yang aku lihat. Perlahan wajah Shafira mulai terlihat dengan jelas di depanku. “Minum dulu,” ucapnya sambil menyerahkan segelas air putih padaku. Setelah beberapa kali tegukan, aku serahkan kembali gelas itu padanya. “Mana Zoey?” tanyaku sambil mencoba untuk tenang. Karena yang terakhir aku ingat adalah dua berandal kampung sedang mengganggu kami di atas bukit sana. Shafira tidak menjawab. Dia menggigit bibir bawahnya dan beberapa kali melihat ke arah pintu kamar. “Sha, yang lain kemana?” “Ada di luar. Lo Ist
Musik mengalun pelan dari stereo mobil, menemaniku yang membisu sambil memandangi Jalanan padat di depanku. Jarak yang harusnya ditempuh kurang dari setengah jam, menjadi lebih dari satu jam karena kemacetan akhir pekan yang biasa terjadi di kawasan ini. Apalagi sebentar lagi masuk ke antrian gerbang tol. Maka perjalanan kami akan semakin tersendat. Di mobil ini, hanya ada aku dan Zoey. Sheryl tentu lebih memilih pulang bersama Briya, dan yang lain ketimbang dengan pengkhianat sepertiku. Sedangkan Jace, sudah tidak terlihat batang hidungnya semenjak subuh. Ada kemungkinan dia dan kedua temannya langsung pergi setelah perdebatan sengitnya dengan Zoey semalam. Semalam aku memutuskan mengunci diri di kamar. Aku tidak melihat lagi ke belakang ketika berlari meninggalkan dua orang bodoh yang sedang mempermalukanku saat itu. Yang aku dengar hanya suara Zoey yang memanggilku dan mencoba untuk mengejar. “Jangan ikutin gue!” bentakku pada Zoey di belakangku. A
Sayup-sayup aku mendengar ada suara orang yang mengobrol. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali sebelum menyambar handphone di atas nakas. Masih pukul empat sore, masih cukup banyak waktu untuk aku bersiap ke Saung Geulis, restoran milik ibuku. Karena ini adalah hari jumat dan aku harus membantunya di sana.Aku membuka pintu kamarku dan percakapan yang tadi terdengar samar menjadi sedikit lebih jelas.“Enggak bisa tante. Selama ini Katy memang enggak punya perasaan sama saya.”Ada yang membicarakanku dari lantai bawah. Aku mengendap ke balik tembok samping anak tangga paling atas. Mencoba sedikit mengintip siapa yang menyebut namaku tadi dan dengan siapa dia berbicara.Aku menemukan Zoey sedang mengobrol dengan ibuku di ruang televisi. Tidak heran jika mereka mengobrol seakrab ini, karena Zoey memang cukup dekat dengan ibuku. Namun, kenapa mereka menyebut namaku dengan wajah yang serius?“Kenapa enggak bisa?” I
Sudah jam tiga pagi, tetapi mataku masih belum bisa terpejam. Pikiranku yang tidak bisa diam di satu tempat membuatku kelelahan. Namun, tetap tidak membuatku mengantuk. Untungnya besok adalah hari libur. Jadi, aku akan tidur seharian sampai puas. Aku beranjak dari kasur untuk mengambil air minum di dapur. Aku sengaja tidak menyalakan lampu saat melintasi ruang makan yang gelap. Dengan sedikit mengendap, aku meraih gagang pintu kulkas. Menarik susu dingin, menuangkannya di panci lalu menyalakan kompor untuk memanaskan susu tadi. Aku duduk di kursi tinggi dekat dapur. Memandangi taman kecil samping rumah yang sedikit basah karena siraman air hujan. Aku berpikir untuk keluar dan menikmati sedikit udara segar di teras itu. Mungkin sedikit agak basah dan dingin. Namun, aku harap itu bisa menjernihkan pikiranku malam ini. Susu sudah cukup hangat untuk aku angkat dari kompor. Pelan-pelan aku tuangkan ke dalam gelas tinggi dan membawanya ke teras melalui pintu sampin
Cuaca malam semakin dingin. Sayup-sayup aku mendengar suara orang mengaji dari tempat ibadah yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Menandakan tidak lama lagi fajar akan segera menyingsing.Aku mengakhiri lamunanku tentang Jace dan hendak kembali masuk ke dalam rumah melalui pintu samping ketika sebuah taksi berhenti di depan gerbang rumahku.Aku mengintip dari teras samping. Rimbunnya pohon mangga menyembunyikan posisiku sehingga tidak terlihat dari jalan di depan rumah. Ibuku turun dari taksi itu.Dia terlihat mengobrol pada seseorang yang masih berada di dalam taksi. Tidak jelas siapa yang ada di dalam taksi itu. Ibuku tertawa sebentar lalu menggenggam tangan yang sedikit menjulur keluar melalu kaca yang terbuka. Kemudian ibuku melambaikan tangannya sebelum taksi kembali melanjutkan perjalanannya.Keningku berkerut ketika menyadari ukuran tangan yang terjulur itu terlalu besar untuk ukuran tangan seorang wanita. Dia juga memakai jam tangan besar yang b
Bunyi bip terdengar seiring kartu akses apartemen yang aku tempelkan di sensor lift terbaca oleh sistem. Kemudian kotak besi itu bergerak naik membawaku ke lantai yang mau aku tuju. Ketukan sepatu terdengar menggema di sepanjang koridor yang sepi, membuatku mempercepat langkah menuju unit apartemen milik Jace.Keadaan apartemen yang gelap menyambut kedatanganku, menandakan si pemilik hunian ini sedang tidak berada di sini. Dengan langkah pelan, aku menyusuri ruangan untuk menyalakan semua lampu.Lampu terakhir yang aku nyalakan adalah kamar Jace. Kemudian menghidupkan pendingin udara dan membuka tirai yang sebelumnya menutupi pemandangan kota yang indah. Aku paling suka pemandangan dari sini. Lampu kota yang gemerlap selalu bisa membuatku lebih tenang.Sambil duduk di bench panjang yang empuk. Aku keluarkan handphone dan mengetikan sebuah pesan untuk Jace.Saya: “Aku di apartemenmu.”Aku tidak berharap dia cepat membalas pesanku tadi, tapi ternyata Jace langsung membalasnya.Jace: “Ka
“Teman-teman, ini anggota baru klub kita. Titipan Pak Tedy. Ada yang mau tanya-tanya?”Kalimat yang terdengar setengah hati keluar dari mulut Hiro membuatku ragu untuk memperkenalkan diri. Padahal, rekan-rekannya sudah antusias melingkariku dan Hiro dari semenjak aku masuk ke ruangan ini.“Namanya siapa, teh?” tanya seorang cowok dengan kacamata tebal yang duduk barisan paling kiri.Aku melirik ragu pada Hiro. Maksudnya, mau bertanya apakah aku sudah diijinkan untuk membuka mulut?“Jawab. Kenapa malah liat gue?” ketusnya membuatku gemas ingin menjambak rambut gondrongnya itu.Aku berdehem beberapa kali sebelum membuka suara, “Saya Kaitlyn, dari jurusan Matematika. Panggil aja Katy.”“Hai, Katy. Selamat datang di klub Teknik Digital,” sapa seorang cewek mungil dari barisan paling depan. Padahal aku merasa tidak cukup tinggi dibanding teman-temanku, tetapi ternyata cewek di depanku ini lebih pendek lagi dariku.Mataku mulai memindai sekeliling. Perkiraan, ada sekitar dua puluh orang yan
Aku mendengar suara Jace dari arah kamar ketika pintu depan sudah aku tutup rapat. Pelan-pelan aku melepas jaket dan sepatu, kemudian menggantungnya di tempat biasa aku menaruhnya. Aku mengendap menyebrangi ruang tengah menuju kamar di mana asal dari suara Jace terdengar. Aroma khas Jace langsung menguar bahkan ketika orangnya belum terlihat sama sekali.Punggung Jace yang pertama kali menyambutku. Dia bicara pada sosok yang berada di layar laptop dengan kalimat-kalimat formal. Dari judul berkas yang dia pegang, sepertinya dia sedang ada presentasi bisnis untuk kelas online-nya. Makanya, aku memilih untuk mundur pelan-pelan dan berniat menunggunya selesai di ruang terpisah.Namun aku mendengar Jace memanggil namaku, membuatku menoleh ke arahnya.“Apa?” Aku berbisik, takut lelaki tanpa rambut yang sedang bicara pakai bahasa inggris di seberang sana mendengar suaraku.“Udah aku mute. Enggak perlu bisik-bisik.” Jace terkekeh. Tangan kanannya terangkat dan hendak menggapaiku.Aku belum p
Aku melambaikan tangan pada laki-laki yang sedang berjalan masuk area restoran. Butuh beberapa saat untuk dia menyadari posisiku yang tertutup beberapa pengunjung restoran. Berbanding terbalik jika aku yang harus mencari dia di tengah kerumunan, badannya yang tinggi membuat dia gampang untuk ditemukan.“Nunggu lama?” tayanya ketika sudah berhasil membelah kerumunan dan duduk di seberangku.“Enggak juga. Ini baru mau pesen makan,” jawabku sambil memindai tanda batang yang di pasang di samping meja untuk segera melakukan pemesanan lewat aplikasi.Sambil memilih menu di layar handphone, aku juga sekalian memberi dia waktu untuk diam sejenak sebelum aku tanya kemana saja dia hari ini sampai harus melewatkan beberapa kelas wajib.“Aku udah makan. Pesanin cemilan sama minuman aja, ya,” ujarnya membuatku menaikan satu alis.“Makan di mana?” tanyaku.“Aku abis ketemu Papa, dan makan bareng dia,” jawabnya singkat.Kalimat barusan membuat kedua alisku bersatu. Jace mau menemui ayahnya adalah se
Suara gemericik air dari kamar mandi perlahan membuatku membuka mata. Sesekali terdengar siulan ringan membuatku sedikit tersenyum. Dia pasti sedang dalam suasana hati yang bagus pagi ini.Aku mengedarkan tangan mencari handphone di sepanjang nakas. Setelah menemukannya, aku mengetuk layarnya dan melihat tampilan penanda waktu.“Masih jam enam pagi,” lirihku dengan dahi mengkerut. Kenapa dia sudah bangun bahkan sudah mandi sepagi ini?Tidak berselang lama, pintu kamar mandi terbuka. Sosok cowok tampan yang sudah membuat jari manisku tersemat cincin cantik, melangkah keluar dari kamar mandi. Dia menoleh ke arahku ketika dia sadar aku juga sudah terbangun pagi ini.“Lho? Kamu bangun?” tanyanya sambil mendekat. Tangannya sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil berwarna pink milikku.Aku mengangguk. Menarik badanku supaya duduk lebih tinggi dan bersandar pada kepala ranjang. Kamu kenapa udah mandi jam segini? Ini masih jam enam pagi.”Cowok tinggi dengan senyuman paling sempurna i
“Kaitlyn,” Om Khalid menyapa ketika dia sudah berjarak satu meter di depanku. “Boleh saya bicara denganmu?” Aku mengerjap beberapa saat. Namun buru-buru mengangguk dan menjawab. “Iya, Om. Boleh.” Dengan gerakan pelan nan berwibawa, Om Khalid duduk di kursi bekas Sheryl. Satu kaki ditumpangkan pada kaki lainnya mencoba membuat dirinya nyaman di kursi yang sebetulnya terlalu kecil untuk tubuhnya yang besar. Tak lama, tangannya bergerak merogoh saku dibalik jasnya, kemudian mengeluarkan amplop putih dari sana Dia mengangsurkan amplop itu padaku sambil berucap, “hadiah kecil dariku.” Sempat mengerutkan dahi karena keheranan, tetapi segera aku terima uluran amplop dari tangan Om Khalid dengan canggung. “Terima kasih.” Mataku menangkap sosok Jace di seberang meja jamuan utama sedang memandang ke arahku penuh curiga. Dahi yang berkerut dengan alis yang menukik tajam memperlihatkan sikap waspada. Mungkin dia khawatir karena melihaku bicara dengan ayahnya tanpa ada yang mendampingi. Dia se
Rencana Tuhan sangat tidak bisa aku tebak. Segala hal menyangkut takdir memang selalu menjadi misteri yang pada akhirnya akan ditunjukan dengan cara-Nya yang paling indah. Hanya tinggal menunggu waktu. Kelahiran, kematian, dan cinta. Itu yang aku yakini sekarang. Ketika dengan sangat mengejutkan, pria yang selalu menjadi pujaan hatiku dari semenjak aku baru mengenal cinta, mempersembahkan cincin bertahtakan berlian ke hadapanku. “Kejutan,” ucapnya dengan senyum yang terukir di bibir. Detak jantungku mungkin sempat berhenti beberapa saat. Mataku tidak bisa lepas dari wajah penuh senyum yang semakin membuat aliran darahku berdesir kecang. Gerakan pelan dari kursi roda yang di dorong ibuku membuat jiwaku kembali ke raga. Setelah beberapa saat terlepas dan berkelana mencari jawaban, apakah ini nyata, atau hanya khayalanku saja? Seperti halnya aku, semua yang hadir pun menunjukan wajah penuh tanya. Yang mereka tahu, malam ini adalah malam pertunangan Khalid Ashad dengan ibuku. Bukan ac
Dengan bantuan Sheryl, aku menjalankan kursi roda menuju barisan kursi paling kanan. Ada panggung kecil setinggi lima belas sentimeter yang nampak cantik, dihiasi bunga chamomile dan hortensia di sepanjang garis tepiannya. Di kiri panggung disediakan jalur khusus kursi roda untuk naik. Mungkin ibuku menginginkan aku menemaninya di sana. Namun, aku rasa itu tidak bisa aku wujudkan Untuk bisa hadir di sini saja, aku harus menarik napas berkali-kali. Melepaskan segala perasaan sesak agar bisa tersenyum lebar untuk ibuku secara tulus. Aku senang jika ibuku bisa berbahagia. Seberat apa pun nanti, aku pasti bisa menerima keluargaku yang baru dengan dada seluas samudera. “Lo udah siap?” Suara serak adikku terdengar dari arah belakang. Aku terkejut melihat penampilannya yang rapi dan wangi. Apalagi melihat dia tersenyum lebar tanpa beban. “Lo di sini?” tanyaku masih tidak percaya. Maksudku, selain aku dan Jace, Aiden adalah orang yang paling membenci rencana pertunangan ini. Dia merasa ib
“Cantik banget sih, temen gue. Senyum dong.” Sheryl mengusap anak rambut yang masih mencuat nakal lalu menyelipkannya ke belakang telingaku. Sebagai sentuhan terakhir, dia menjepitkan hiasan rambut kecil berbentuk kupu-kupu di kepala bagian kiri. “Selesai,” gumamnya nampak puas akan hasil karyanya yang terpantul pada cermin di depan kami. “Makasih, Sher. Gue jadi menghemat anggaran make up artist,” gurauku diselingi senyum tipis di bibir. “Sama-sama, Sayang.” Sheryl meremas pelan kedua bahuku dari belakang. Lalu memutar kursi penunjang aktifitas yang aku duduki ini menjadi saling berhadapan. “Lo baik-baik aja, kan?” Aku mengangguk meyakinkannya. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Aku hanya perlu menebar senyum pada semua yang hadir. Setidaknya untuk malam ini saja. Sheryl menghela napasnya dalam-dalam dan menatapku dengan mata sendu. Namun, buru-buru dia bergeleng dan merubah lengkungan bibirnya menjadi tarikan ke atas. “Eh, udah latihan jalan belum hari ini?” “Udah tadi pagi. Ta