Hingga detik ini kami tidak mengetahui siapa pelaku yang membongkar makam ibu. Setahuku selama hidup ibu, ibu tidak pernah berbuat jahat kepada siapapun. Bahkan ibu seringkali diundang sebagai pemateri dalam sebuah kajian rutin ibu-ibu kampung Ciganea, tapi entah aku sendiri tidak pernah tahu pula bagaimana yang terjadi selama ibu menjadi pendakwah.
"Neng Millen," sapa Teh Kinan.
Aku menghentikan aktivitasku saat sedang menyapu halaman. Sementara itu, Jo menyiram tanaman dari samping kiri sampai samping kanan.
"Teh Kinan, ada apa?" tanyaku, setelah menyimpan sapu lidi dan mencuci tangan.
Kami berdua duduk di teras rumah. Suasana masih pagi, tapi perasaanku sedikit sangat tidak enak. Hati dan pikiranku membayangkan s
Rania berhasil mengalihkan perhatian kami dengan mendorongku dan berpura-pura jika di sana ada yang memanggilku. Sampai-sampai Bu Ihat mengucap 'allohu akbar' sambil berteriak dan menjerit."Rania!!" teriakku, sebisa mungkin meninggikan suaraku."Sayang-sayang, kamu gak apa-apa? Sini."Jo membantuku berdiri, diikuti oleh Bu Ihat di belakangku. Aku dibawa ke kamar dan Jo menidurkanku."Ujang! Millen-nya dah makan kah?" tanya beliau."Belum," balasnya. "Tapi, ini saya mau ambil makanannya kok."Andai bisa ingin rasanya ku katakan pada beliau bahwa keadaanku saat ini sedang tidak bai
40 hari sudah ibu telah tiada dan meninggalkanku seorang diri di rumah bersama Jo dan kedua orang tuanya. Rania maupun Diana entah bagaimana kabarnya kedua saudaraku itu. Aku tak tahu apakah Diana benar-benar akan dihukum mati karena perbuatannya? Ataukah nanti akan dihukum ringan? Semuanya tidak ada yang tahu."Millen!" panggil Bunda Mama."Iya, Bunda. Ada apa?" tanyaku kepadanya."Bunda sama Ayahnya Jo mau bilang sesuatu sama kamu, Nak. Mumpung suasananya enak masih pagi, kan. Sini, Nak," jawabnya seraya mengulurkan tangannya.'Hah? Bilang sesuatu sama aku. Apa, ya, kira-kira?' pikirku.Tepat pukul tujuh pagi selepas membersihkan semua p
Sebelum tak sadarkan diri, kepalaku mendadak terasa pening dan penglihatanku pun remang-remang."Sayang. Millen, kamu gak apa-apa, kan?" tanya Jo sesaat setelah mataku terbuka.Tak tahu berapa lama aku tidak sadarkan diri, namun yang pasti saat ini aku tengah berada di dalam ruangan beraroma busuk. Aroma yang sejak kecil hingga sekarang ini aku tak suka. Yap … Rumah Sakit."Ini di mana, Yang? Palaku pusing banget astaga," keluhku seraya memijit-mijit kening sendiri. Akan tetapi, tiba-tiba teringat akan sosok anak kecil yang tadi sempat kami temui di GeBu. 'Di mana dia sekarang?' tanyaku dalam hati."Kamu pasti mikirin tuh bocah, kan? Tuh dia!" Jo menunjuk ke arah depan di mana seorang anak tengah
Mengapa Tuhan menghukumku dengan mengambil orang-orang yang aku sayang seperti ini? Apa salahku sehingga Dia tidak membiarkanku hidup damai bersama malaikat tak bersayapku? Seberat inikah ujian yang harus kuhadapi?Tubuhku lemas, pandanganku terasa kabur, napasku sesak rasanya setelah membaca surat terakhir yang Diana titipkan kepada dokter.Aku tak tahu apa tujuan hidupku saat ini. Duniaku semakin hampa setelah kehilangan sosok ibu dan sekarang saudaraku satu-satunya yang kupunya. Dulu … kami memang tidak pernah bertegur sapa atau tertawa bersama, namun walaupun begitu sedikitpun tak ada dendam dihati ini untuknya."Millen, Sayang. Bunda mama tau ini memang sangat berat buat kamu, Nak. Tapi, kamu harus belajar untuk tetap kuat demi ibun sama kakakmu
Setahun sudah diri ini hidup seorang diri tanpa hadirnya seseorang yang membuat hari-hariku semakin tambah berwarna. Tanpanya hidup ini serasa kosong. Surgaku kini telah tiada. Malaikatku kini telah tenang di alam sana. Harapku semoga setelah kepergiannya dan saudara perempuanku itu, adik satu-satunya aku bisa berkumpul lagi denganku.Setelah setahun kepergian ibu. Hari ini hari di mana kebahagiaan telah datang menghampiri, impian yang selama bertahun-tahun aku gantung di langit tercapai juga. Memilikinya adalah suatu anugerah dari Tuhan untukku. Aku bahagia akhirnya aku dipersunting oleh dia yang hampir dua tahun sudah menemaniku. Dua tahun? Bukan waktu yang sedikit bagiku bisa sampai di detik ini.Dengan disaksikan para warga kampung terdekat, aku menerima pinangannya. Saat itu juga Jo menyematkan cincin di jari manisku
Keesokan harinya …Setelah keputusan semalam untuk aku berjanji tidak akan mengeluh, menangis atau bahkan menyesali keadaan yang sekarang. Telah kulupakan. Lembaran baru di hari yang baru telah di mulai. Pagi yang indah kini telah menyambutku.Kuembuskan napas pelan-pelan seraya menatap langit dan memerhatikan burung-burung cantik beterbangan ke sana ke mari. Saat itu kala aku tengah berdiri seorang diridi dekat sawah di depan rumahku. Jo, datang mendekatiku."Bagaimana? Apa sudah siap memulai hari baru sebagai istriku?" tanyanya.Seketika lamunanku buyar, aku menoleh ke samping dan melihat dia menatapku dengan tatapan aneh. Sementara kedua tangannya dia masukkan ke dalam saku celanany
Di tempat favoritku ini, Asia Plaza. Tempat yang ketika dulu bersama teman-temanku sering ke sini sebelum Rania dan Diana berbuat ulah. Teringat akan sesuatu hal yang sangat indah. Ada cerita di setiap sudut Mall tersebut. Setiap langkah kami bercerita panjang lebar, sampai-sampai kami pernah menabrak seseorang karena kami terus menunduk.Selain kenangan bersama sahabat dan teman-teman yang lainnya. Ada hal lain yang seketika ingatanku kembali pada sosok ibu. Dulu aku sempat berjanji ketika memiliki upah dari hasil menulisku aku berharap akan mengajaknya ke sini. Ke tempat yang orang-orang pun ingin sekali mengunjunginya."Kamu ngapain sih ngelamun mulu, Brinz?" tanyanya kepadaku sambil menjentikkan jarinya.Mataku mengerjap dan langsung menoleh, "Kamu apaan sih
Kulangkahkan kaki perlahan meninggalkan pekarangan rumah. Dengan air mata yang tak henti-hentinya menetes. Perih rasanya harus meninggalkan rumah dan kampung halaman ini demi sebuah lembaran baru yang akan aku mulai bersama Joo di sana. Jujur aku ragu, baru kali pertama pergi jauh dan tanpa di dampingi ibu atau bapak."Sayang! Kakak tau, kamu tuh sedih dan pastinya berat banget buat lalui semua ini. Tapi, coba liat Joo. Bertahun-tahun dia menantikan momen ini, ingin menjagamu lebih dekat, masihkah kamu ragu?" tanya Jelita yang kemudian menghentikan langkahku, lalu memelukku."Aku bingung, Kak. Aku ragu untuk pergi. Di tampat ini begitu banyak kenangan sama ibu, Rania dan semuanya. Aku takut di sana malah akan ngecewain Joo," jawaku berterus terang.Kuharap dia mengerti denga
"Kamu gak mau nemenin suami bekerja, Yang? Kalau gitu ya udah mending aku sama yang lain aja gimana?"Kepalaku rasanya mendidih mendengar dia mengatakan kalimat itu di dekat telingaku. Andai aku bisa dan berani, ingin rasanya menutup mulut dia agar tidak bisa berkata seperti tadi lagi. Aku benar-benar tidak bisa bila dia mengatakan 'mending aku sama yang lain' , perasaanku bak terbakar oleh api cemburu."Kalau gitu silakan aja! Tapi, jangan pernah berharap nanti pulang aku ada di rumah, bay!" seruku, kemudian meninggalkan dia di samping meja rias.Sebenarnya aku tidak ingin jauh-jauh darinya. Jika perlu aku ingin setiap detik, setiap menit bahkan setiap jam berada di dekat Jo. Tidak ada sehari atau dua hari terpisahkan. Selamanya dekat di sisi Jo sampai mau
Seminggu kemudian …Hari sekaligus bulan yang telah kami tunggu-tunggu akhirnya telah tiba. Aku dan Jo telah resmi menjadi sepasang suami istri tepat pukul sepuluh pagi. Kebahagiaan yang seharusnya menyelimuti hariku ini justru berganti menjadi sebuah kesedihan. you know yourself , ibuku tak ada disampingku. Dia sudah tenang di alam sana bersama Dinda. Sementara itu, Bapak dan Rania entah di mana dan bagaimana kabarnya sekarang. Aku tidak tahu.'Aku harus bisa menyembunyikan kesedihan ini, pokoknya harus bisa!!' tekadku dalam hati.Kala penyematan cincin pernikahan oleh Jo, sebisa mungkin aku menatapnya dengan senyum menyer
"Ish, jahil kamu.""Suka, kan?" tanyanya.Aku hanya tersenyum tanpa mengatakan apa-apa. Tiga puluh menit waktu yang cukup lama bagiku mengabulkan permintaannya.Cinta … hadir tanpa kita duga. Datang tanpa memberi salam, kemudian singgah tanpa permisi. Kata orang cinta unik. Cinta itu nyata sehingga kedatangannya mengubah kepedihan menjadi kebahagiaan. Menghapus tangis air mata, menjadi senyuman."Unik, kan?"Awalnya aku tak percaya akan cinta, aku pun tidak berharap lebih dari kata tersebut. Hanya saja setiap orang ingin bahagia bersama pasangan masing-masing begitupun yang dirasakan olehku. Aku ingin bahagia bersama Joo
Aku serba salah dengan keadaan sekarang. Antara bahagia dan tidak. Itulah dua rasa yang tidak bisa disatukan. Bahagia karena bisa lebih dekat dengan keluarga besar Joo dan tidak lantaran adanya wanita itu menjadikan hidupku mungkin akan lebih buruk lagi ketimbang saat bersama Rania dulu."Sayang-sayang! Ayang! Millen udah, Millen dia udah gak ada kok. Sayang!" panggilnya begitu lembut.Kurasakan tangannya menyentuh punggungku, mengusapnya kemudian dia mengangkatku agar wajahku bisa sejajar dengannya."Yang! Ayang gak enak sama bibikku?" tanyanya.Aku menggeleng, mengusap air mata kepalsuan ini sambil tersenyum memandangnya."Mi
"Dia kenapa sih, kok aneh banget sama aku?" tanyaku dengan memelankan suara sehingga hanya aku sendiri yang mendengarnya.Semenjak Joo menurunkanku dari pangkuannya. Sekilas aku melirik ke arah wanita tua yang usianya sekitar dibawah bunda. Aku sendiri tidak tahu pasti berapa usianya. Hanya saja tatapan dialah yang membuatku tak nyaman saat ini."Joo!" panggil si Kakek.Kekasihku ini menoleh dan menjawab panggilannya dengan sangat santun. "Ada apa, Mbah?""Bawa pacarmu nih istirahat! Kasian pasti capek lama di jalan," katanya menyuruh Joo membawaku beristirahat.Kupikir setelah si Kakek memintaku m
"Aduuhh!"Aku menjerit histeris merasakan kepalaku membentur sesuatu. Aku tidak tahu bagaimana awalnya, mengapa kepalaku sampai mengenai bagian depan mobil. Jujur, sakit sekali dan tepat saat Joo menangkap tubuhku. Aku muntah.'Astaga, aku kok sampe muntah segala?' tanyaku dalam hati.Kupandangi wajah tampannya itu dan sekilas aku bisa melihat bagaimana reaksinya melihatku menumpahkan isi perutku di mobil mahalnya ini. Akan tetapi, tiba-tiba dia membenarkan posisi dudukku, lalu membantu membersihkan muntahan tadi. Tidak banyak yang dia ungkapkan selain dari mengambil pembersih mobil seperti; lap, air secukupnya dan keresek hitam.Aku pun tidak tahu bagaimana isi hatinya. Entah memang dia tida
Teruntuk kamu …Dari aku, si pengagum dari dunia nyata …'Halo, Joo. Joo, aku merasa akhir-akhir ini kamu menghindar dari aku. Kamu lebih sering datang ke luar kota entah aku tidak tahu kamu nemuin siapa. Aku harap bukan bertemu perempuan, melainkan untuk bekerja saja.Joo … kamu harus tahu, kalau aku sebenarnya suka sama kamu. Dari kita SD sampai kita sebesar ini. Aku benar-benar sangat menyukai kamu. Perasaan ini masih rapi tersimpan dalam lubuk hati aku yang paling dalam. Kuakui … aku memang bukan siapa-siapa, tidak pantas bersanding dengan dirimu.Joo … untuk kali ini, ijinkan aku menyentuhmu. Maaf, aku membuat malam ini menjadi mal
Kulangkahkan kaki perlahan meninggalkan pekarangan rumah. Dengan air mata yang tak henti-hentinya menetes. Perih rasanya harus meninggalkan rumah dan kampung halaman ini demi sebuah lembaran baru yang akan aku mulai bersama Joo di sana. Jujur aku ragu, baru kali pertama pergi jauh dan tanpa di dampingi ibu atau bapak."Sayang! Kakak tau, kamu tuh sedih dan pastinya berat banget buat lalui semua ini. Tapi, coba liat Joo. Bertahun-tahun dia menantikan momen ini, ingin menjagamu lebih dekat, masihkah kamu ragu?" tanya Jelita yang kemudian menghentikan langkahku, lalu memelukku."Aku bingung, Kak. Aku ragu untuk pergi. Di tampat ini begitu banyak kenangan sama ibu, Rania dan semuanya. Aku takut di sana malah akan ngecewain Joo," jawaku berterus terang.Kuharap dia mengerti denga
Di tempat favoritku ini, Asia Plaza. Tempat yang ketika dulu bersama teman-temanku sering ke sini sebelum Rania dan Diana berbuat ulah. Teringat akan sesuatu hal yang sangat indah. Ada cerita di setiap sudut Mall tersebut. Setiap langkah kami bercerita panjang lebar, sampai-sampai kami pernah menabrak seseorang karena kami terus menunduk.Selain kenangan bersama sahabat dan teman-teman yang lainnya. Ada hal lain yang seketika ingatanku kembali pada sosok ibu. Dulu aku sempat berjanji ketika memiliki upah dari hasil menulisku aku berharap akan mengajaknya ke sini. Ke tempat yang orang-orang pun ingin sekali mengunjunginya."Kamu ngapain sih ngelamun mulu, Brinz?" tanyanya kepadaku sambil menjentikkan jarinya.Mataku mengerjap dan langsung menoleh, "Kamu apaan sih