Sari, Hasan dan Bu Zubaedah serentak melihat arah yang ditunjuk Ibu penjual lontong. "Terima kasih, ya Buk," kata Hasan dan Sari bersamaan."Kalian ini keluarganya ya?" tanya Ibu penjual lontong penasaran karena tadi tak ada yang menjawab pertanyaannya."Iya. Dia Ibu saya, kalau nanti dia ke sini lagi. Tolong ditahan, ya Bu," pesan Sari.Hasan merogoh saku celana, mengambil hape jadul miliknya. "Bisa minta nomor hape Ibu?" katanya.Ibu penjual lontong itu menyebutkan beberapa angka. Hasan langsung menyimpan angka-angka itu di hapenya. "Nah itu, saya sudah miss call nomor saya. Simpan ya Bu. Barangkali nanti Ibu kami datang lagi ke sini," kata Hasan."Oh iya iya, sudah saya simpan. Syukurlah, ada juga keluarga yang mencarinya. Kasihan sekali dia," kata Ibu penjual lontong itu. "Iya Bu. Kami kesana dulu, ya Bu. Siapa tau kami bisa menemukannya disana," pamit Sari."Aamiin aamiin. Semoga ditemukan ya." Ibu penjual lontong yang baik hati ikut merasakan haru di hatinya. Bu Zubaedah den
Perempuan itu terus memperhatikan Hasan dengan wajah penuh tanda tanya. Bingung dan merasa aneh. "Jangan takut, ya Mak. Kita ke atas yuk," bujuk Hasan sambil mendekati pelan-pelan perempuan yang diyakini mertuanya. Sayangnya dia lupa bertanya sama Sari, siapa nama ibunya.Meski tak mengenali Hasan, perempuan itu sudah tak seagresif tadi. Dia hanya terus melihat pada Hasan namun tetap siaga dengan kayu di genggamannya. Perlahan, Hasan mengulurkan tangannya kepada perempuan itu. "Ayok Mak, kita ke atas," kata Hasan. Beruntung perempuan yang berambut kusut itu mau menuruti dan menerima uluran tangan Hasan. Dia merasa tak ada ancaman dari laki-laki di hadapannya."Mak, buang kayunya ya," ucap Hasan lembut sambil berusaha mengambil kayu itu dari tangan perempuan itu. Perempuan itu mengangguk, dan menyerahkan kayu itu."Iya gitu, Mak. Jangan takut ya," kata Hasan, langsung memegang kayu itu.Namun, saat Hasan hendak membuang kayu itu. "Eehhh." Perempuan itu menggeleng kuat, seolah tak me
Hasan menarik bahu Rasidah yang terus memandanginya. "Mak, ini istri saya," kata Hasan pada Rasidah sembari menarik lembut tangan Sari untuk ditunjukkan pada Rasidah. "Dia … anak Mak. Anak kandung Mak," kata Hasan perlahan. Sari tak bisa menyembunyikan perasaannya. Air mata terus saja bergulir deras di kedua pipinya.Rasidah memperhatikan wajah Sari lekat-lekat. Tiba-tiba matanya membulat, lalu reflek mendorong Sari dengan kasar. Beruntung Hasan siaga menangkap Sari. Hingga Sari tak sampai terjengkang ke belakang. Kalau tidak, hal itu tentu saja membahayakan kandungannya. "Heh! Heh!" Rasidah seperti melotot marah pada Sari. Semua orang dibuat bingung dengan sikapnya.Air mata Sari semakin deras keluar. Yang tadinya air mata bahagia, kini berganti dengan air mata kesedihan. Tiba-tiba, Rasidah hendak menyerang Sari lagi. Beruntung, Bu Zubaedah cepat tanggap langsung menahan tubuh Rasidah. Tenaga Rasidah sangat kuat, meski badannya kurus. Dia meronta, hendak kembali menyerang Sari. Sa
Sampai di rumah Bu Zubaedah, Rasidah tampak kebingungan. Matanya terus memindai isi rumah yang sederhana itu."Mak, duduk di sini ya. Ini rumah Mak saya, besan Emak," kata Hasan. Sambil membimbing Rasidah untuk duduk di kursi ruang tamu. Hasan pun ikut duduk di sebelahnya sambil meringis menahan sakit di kakinya.Sari segera ke dapur rumah mertuanya. Rehan yang tadinya sedang menonton tivi bersama Ratna tampak takut dan tak berani mendekat."Ratna, panggilkan bidan Neti kesini," titah Bu Zubaedah pada Ratna yang berdiri mematung melihat Rasidah. "Ratna!" panggil Bu Zubaedah lebih kuat karena Ratna tak mengindahkannya."Iya Mak," sahut Ratna. Ternyata dia tak mendengar perintah Bu Zubaedah tadi. "Astagfirullah, yang tak dengar nya kau dari tadi Mak becakap," sungut Bu Zubaedah.Ratna nyengir. "Hehe, nggak Mak," katanya seraya cengengesan. "Panggilkan bidan Neti." Bu Zubaedah mengulang perintahnya."Sekarang Mak?""Iya lah, sekarang. Bilang kaki Abang kau luka," pesan Bu Zubaedah. Ra
Rasidah langsung menepis tangan Bidan Neti yang sedang membersihkan luka Hasan dengan alkohol. Matanya melotot tajam ada Bidan Neti, dia marah. Rasidah mengira, Bidan Neti hendak menyakiti Hasan, apalagi Hasan terus meringis saat Bidan Neti membersihkan lukanya."Mak, Mak. Sabar Mak." Hasan segera menarik lengan Rasidah, saat Rasidah hendak menyerang Bidan Neti.Dengan nafas memburu Rasidah mau juga duduk di sebelah Hasan. Tapi matanya tetap saja memelototi Bidan Neti. Beruntung, Bidan Neti tak takut. Justru tersenyum. "Mak, Ibu ini, namanya Bidan Neti. Dia hendak mengobati kaki Hasan. Mak lihat. Kaki Hasan lukanya parah. Kalau tak diobati, nanti bisa infeksi." Pelan-pelan Hasan menjelaskan pada Rasidah. Namun Rasidah masih saja memandang sinis pada Bidan Neti. Namun dia sudah tak seagresif tadi. Miris hati Sari melihat ibu kandungnya yang bertingkah seperti anak kecil. Yang harus terus dibujuk agar tak nakal. Setelah mandi, semakin jelas terlihat kemiripan wajah Rasidah dan dirinya
"Dek, apa Mamak tak sebaiknya kita bawa ke kamar Paman dulu," kata Hasan pada Sari."Iya Sari, siapa tau, si Hanif juga kembali semangatnya buat sembuh kalau sudah melihat Mak kau." Bu Zubaedah setuju dengan usul Hasan."Ya sudah, sekarang saja kita ke kamar Paman," kata Sari. Dia juga ingin melihat keadaan pamannya. Sari berjalan duluan, sambil memegang pinggangnya. Dia merasa perutnya tiba-tiba sakit. Tapi dia tak mau bilang pada Hasan atau mertuanya, takut mereka akan jadi cemas. Sari berpikir, dia hanya mengalami kontraksi ringan saja. Kandungannya sudah mulai akan memasuki usia sembilan bulan.Bu Zubaedah, mengiringi langkah kaki Sari sambil menuntun Rehan. Sementara Hasan, bersama dengan Rasidah yang terus menggamit lengannya."Assalamualaikum." Sari memberi salam, saat lebih dulu masuk ke kamar Fudin. "Waalaikum salam," sahut Pak Fudin dan Bu Midah bersamaan. Bu Midah yang sedang mengupaskan buah jeruk untuk Pak Fudin, langsung meletakkan kembali jeruk itu ke dalam keranjang
Nyi Baisucen yang mendapat kabar dari perawat segera berlari kecil menuju ke kamar Pak Fudin. Hatinya sangat cemas, kala mengetahui Sari mau melahirkan. Ketika perawat bilang, anak Pak Fudin yang akan melahirkan, sangkaannya langsung pada Sari. Sebab Sari lah yang sedang hamil. Pak Fudin yang menunggui Sari di kamar sangat cemas dan takut melihat keadaan Sari. Sari menggelupur di lantai, karena tak kuat menahan sakit di perutnya yang semakin hebat. Mata Sari membeliak karena sakitnya. Keringat jagung terus bercucuran dari wajah dan tubuhnya. Perutnya juga terus mengalami pergerakan yang aneh. Tak biasa layaknya orang yang akan melahirkan. "Ya Allah." Sari menggigit bibirnya untuk meredam rasa sakit, namun sakit yang di rasa semakin hebat.Nyi Baisucen terperanjat melihat keadaan Sari yang terus menggelupur di lantai. "Nyi–Nyi to–tolong anak saya," kata Pak Fudin gugup begitu mengetahui keberadaan Nyi Baisucen di kamar itu. "B–baik Pak." Nyi Baisucen pun tak kalah panik. Sudah ban
"Jangan disitu saja! Kasih semangat istrimu," ujar Nyi Baisucen sambil menarik Hasan yang masih terbengong. Saat melahirkan Rehan, seingat Hasan, Sari tak seperti ini. Hasan mendekati Sari, Sari langsung memegangi tangan Hasan dengan sangat kuat. "Sakit sekali Bang," rintih Sari. "Sabar ya, istighfar." Hasan membelai lembut pucuk kepala Sari yang sudah basah oleh keringat. Hasan sangat tak tega melihat keadaan Sari. Dia juga ikut menangis, apalagi dia tak bisa berbuat apa-apa, selain memberi semangat pada Sari. Nyi Baisucen juga menyediakan air di ember besar. Air itu diberi banyak bunga yang memiliki wangi yang tajam, seperti Melati, Mawar, Kantil dan beberapa jenis bunga lainnya. Juga ditambah dengan minyak kasturi."Nyi, untuk apa air itu?" tanya Hasan. Sedari tadi dia merasa aneh dengan kondisi ruangan bersalin yang tak biasa. Juga tak ada perawat yang menemaniku Nyi Baisucen. "Saya tak bisa menjelaskan sekarang, nanti setelah anak kalian lahir, saya akan cerita," kata Nyi B
Sari terus berusaha berkonsentrasi memanggil Nyi Baisucen. Dia harus tau kebenaran tentang Rosa. Apakah Rosa adalah saudari yang dicarinya selama ini?"Bibi Baisucen." Berulang kali Sari memanggil Nyi Baisucen. Namun Nyi Baisucen tak juga menjawabnya. Sari hampir putus asa. Kenapa bibinya tak menjawab panggilan darinya? Kalau dia ke klinik Pak Hanif, akan memakan waktu yang lama. Hampir setengah hari perjalanan menuju ke sana. Belum lagi perjalanan pulang. Dia tak bisa meninggalkan keluarganya dalam waktu yang lama. Sari mencoba untuk berkonsentrasi lagi. Mungkin tadi bibinya sedang sibuk pikirnya."Bibi Bai. Bibi Bai. Bibi Bai.""Ada apa Sari?" Sari lega, akhirnya Nyi Baisucen menjawab panggilannya. "Bibi bisa Bibi datang lagi? Ada yang hendak Sari bicarakan." "Bibi akan datang malam nanti. Klinik sedang ramai saat ini. Paman Hanif akan curiga." "Baik Bibi. Sari akan menunggu Bibi di taman kota." "Ya, Bibi akan menemuimu di sana." Sari mengakhiri panggilan telepatinya. Dia seg
Dua orang wanita cantik tampak sedang duduk berbincang di sebuah taman kecil yang ada di sebuah klinik pengobatan alternatif. Mereka adalah Nyi Baisucen dan Rosa. Sama dengan Sari, Rosa juga merasakan ada suatu kejanggalan dengan perbincangan mereka tadi malam. "Bi, katakan yang sejujurnya. Apa yang sedang Bibi sembunyikan? Kenapa Bibi bilang Sari adalah kemanakan Bibi? Bagaimana hal itu bisa terjadi, sementara Sari itu manusia sejati? Berbeda dengan Bibi." Rosa mencecar Nyi Baisucen dengan pertanyaan yang sejak tadi malam juga menggelayuti hatinya. Nyi Baisucen masih diam dengan pandangan lurus ke depan. Dia sedang memikirkan, bagaimana cara mengawali ceritanya pada Rosa."Kenapa Bibi diam? Apa ada yang sedang Bibi sembunyikan." Rosa menyelidik."Rosa, memang sudah seharusnya kau tau cerita ini. Sejak lama Bibi ingin menceritakan padamu, tapi Bibi tak bisa. Ayahmu melarang siapapun untuk menceritakan kebenaran ini padamu." "Apa maksud Bibi?" tanya Rosa dengan alis menaut. Nyi Bai
"Siapa yang datang pagi buta begini?" tanya Nyi Baisucen pada Sari, pandangannya tak lepas dari Honda HR V warna silver yang sedang parkir di pekarangan rumah Sari."Itu mobil Bang Hasan, Bi. Ada apa ya?" Sari pun bertanya-tanya. Hasan turun lebih dulu, baru disusul oleh Rosa. Nyi Baisucen terkesiap melihat keduanya. Matanya tak bisa berkedip sama sekali. "Siapa yang bersama dengan Hasan, Sari?" Dia bertanya, untuk memastikan dugaannya tak salah. "Itulah istri kedua Bang Hasan, Rosa namanya." Nyi Baisucen terperangah, tak percaya mendengar hal yang diungkapkan Sari. Nyi Baisucen terduduk lemas. 'Berarti, orang yang telah kudukung untuk menikahi Rosa adalah Hasan' batinnya.Penyesalan segera menyergap kalbu Nyi Baisucen. Kenapa dulu dia tak menyelidiki terlebih dahulu, siapa laki-laki yang dicintai Rosa? Sayangnya dia tak hadir pada saat Rosa menikah, hingga dia tak juga mengenal suami Rosa. Apalagi sudah sangat lama Rosa dan Nyi Baisucen tak lagi bertemu."Bibi!" Rosa sangat terk
Rosa langsung membawa Hasan ke rumah ayahnya, setelah sebelumnya memanipulasi penglihatan Hasan. Sehingga yang tampak di pandangan Hasan adalah sebuah rumah yang mewah juga megah, dengan banyak security yang berjaga di setiap sisinya, baik diluar maupun di dalam. Security itu langsung membuka pintu rumah tatkala melihat kehadiran Rosa beserta suaminya. Sampai di dalam Rosa berpapasan dengan Sanca yang melihatnya dengan sinis. "Mau apa kesini, tengah malam begini?" sinis Sanca. ''Aku mau bertemu Ayah." Rosa tak lagi memperdulikan Sanca, dia langsung berjalan melenggang tanpa peduli dengan tatapaan tak suka Sanca pada Hasan.Apalagi Rosa melihat wajah Hasan kian memerah karena suhu tubuhnya semakin meningkat. Rosa menggandeng tangan Hasan yang panas untuk mempercepat langkah kakinya. Tak dipedulikan rasa terbakar di telapak tangannya.Rosa langsung menuju ke kamar Tuan Anaconda, sempat dia juga berpapasan dengan Panglima Derik di depan pintu kamar Tuan Anaconda. Walaupun Panglima Der
Hasan merasa sangat gelisah malam ini, tubuhnya terasa panas. Dia senantiasa merasa kegerahan, hingga bajunya basah karena keringat. Berulang kali dia mengganti posisi tidurnya tapi tak membantu juga untuk mengurangi rasa gerah yang sedang menderanya. Rosa merasa tempat tidurnya terus berderit sejak tadi. Dia membuka matanya, lantas melihat suaminya yang tidur dengan gelisah. Alisnya menaut melihat suaminya yang bertingkah aneh."Kenapa Bang?" tanyanya pada suaminya, lantas duduk di atas ranjangnya.Dicepolnya asal rambutnya yang ikal mayang itu, hingga menampakkan dengan jelas lehernya yang jenjang."Gerah," jawab Hasan sambil mengipasi tubuhnya dengan baju sendiri. Rosa melihat ac di kamarnya, ac nya hidup. Tak ada masalah dengan itu. Gadis cantik itu bangkit, untuk memeriksa kondisi suaminya. "Astaga! Badan Abang panas sekali!" pekiknya ketika punggung tangannya ditempelkan ke dahi Hasan. Hasan duduk, dibukanya baju yang telah basah oleh keringat. Namun tak juga mengurangi rasa
Aina duduk di hadapan seorang laki-laki paruh baya yang penampilannya tampak biasa saja. Siapa yang sangka kalau orang yang berada di depannya itu adalah seorang Dukun yang dikenal cukup handal dalam memuaskan semua kliennya.Aina mengenalnya dari rekomendasi seorang rekannya yang sudah tau jam terbang si Dukun."Ini Ki, fotonya." Aina menyerahkan dua lembar foto ke tangan laki-laki itu. Laki-laki yang dipanggil Aki melihat foto itu dengan seksama. Tadinya dia duduk dengan santai sambil bersandar di sandaran sofanya. Tapi ketika melihat kedua foto itu, matanya membulat sempurna."Ada apa Ki?" tanya Aina yang melihat perubahan pada ekspresi Dukun itu. "Ini sulit dipercaya," gumam Dukun itu. "Kenapa emangnya Ki?" Aina semakin bingung melihat sikap Dukun itu. "Ini, siapa perempuan ini?" Dukun itu bertanya seraya menunjuk wajah Rosa."Dia istri kedua si Hasan, Ki. Orang yang mau saya hancurkan. Ini Ki." Aina menunjuk wajah Hasan dan Sari."Saya ingin menghancurkan keduanya Ki. Mereka
"Sari, bisa kau temani aku ke toko Hasan? Aku juga ingin berkenalan dengan istri keduanya." Aina sudah mendapatkan foto Sari dan semua yang ada di rumahnya. Kini tinggal foto Hasan dan madu Sari.Permintaan Aina cukup mengundang tanya di hati Sari. Untuk apa Aina ingin berkenalan dengan Rosa?"Tak apa kan kalau aku ingin berkenalan dengan istri Hasan. Siapa tau, suatu hari nanti aku bersama dengan kawan-kawanku bertandang ke toko itu untuk membeli baju, jadi bisa diskon," kata Aina dibarengi dengan tertawa yang palsu, seolah Aina bisa mendengar kata hati Sari."Oh, boleh saja. Paman dan Bibi, mau ikut juga ke toko Bang Hasan?" tanya Sari. Beberapa tahun ini, Pak Fudin dan Bu Midah sudah sering datang ke rumah Sari dan sudah tau toko Hasan juga istri keduanya. Namun masih saja Pak Fudin belum bisa menerima kehidupan berpoligami yang dijalankan keponakannya itu. Hingga membuatnya sedikit enggan kalau harus sering bermanis-manis dengan Hasan. Dia tak marah karena Sari. "Kalian sajalah.
"Emak mau kemana?" tanya Sari pada Rasidah yang ingin menuruni anak tangga. "Mau nasi," jawab Rasidah dengan wajah merajuk seperti anak kecil."Sebentar lagi ya Mak." Sari mencoba menahan Rasidah.Tapi Rasidah malah menepiskan tangan Sari. Wanita setengah baya yang terkadang sifatnya seperti anak kecil itu, tak peduli akan larangan Sari. Dia terus saja turun ke bawah. Sari menghentikan langkah kakinya tak berniat menyusul Rasidah. Akhirnya Sari hanya memperhatikannya dari atas saja. Denyut di punggungnya masih terasa, Sari meringis sambil mencoba merana bagian punggungnya.Bersamaan dengan itu, dia merasa mendengar suara Nyi Baisucen. "Kau dimana Sari?" Sari mencoba berkonsentrasi lagi. Mungkin dengan mengirimkan sinyal telepati, bibinya akan tau keberadaannya. Namun Sari merasa semua cukup aman, jadi dia tak perlu meminta bibinya untuk datang. Mungkin karena dia merasa cemas dengan kedatangan Ayah Rosa maka tanda lahirnya berdenyut."Bibi, Sari di rumah Bang Hasan." Suara batin Sa
Tuan Anaconda sekali lagi memanggil Rosa dengan suara yang lebih kuat, "ROSA!" "I–iya Ayah," jawab Rosa gugup. Hasan segera mengajak Rehan dan Rasidah naik ke atas lagi. Namun Rasidah justru menolak, dia masih memegang paha ayam goreng yang sangat pesat terasa baginya. "Mamak bawa aja ayamnya semua. Makan di atas," bujuk Hasan. Akhirnya Rasidah mau juga. Rosa harap-harap cemas. Setelah melihat Hasan, Rehan dan Rasidah hampir sampai di lantai dua rumah mereka. Baru Rosa membuka pintu rukonya. "Kenapa lama sekali!" hardik Tuan Anaconda. "Tadi kuncinya susah dibuka Ayah," alasan Rosa."Kenapa Ayah datang malam-malam kesini?" tanya Rosa. "Apa harus ada alasan untuk bertandang ke rumah anak sendiri?" tanya Tuan Anaconda. Tuan Anaconda menyapu seluruh sudut ruko dengan matanya. Dia berjalan perlahan melihat setiap bagian sudut ruko Rosa yang banyak dihiasi manekin-manekin cantik yang dipakaikan baju contoh. "Mana suamimu?" "A–ada Yah. Di–atas." Rosa sangat gugup, takut kalau ayahn