Danu menyantap nasi goreng hasil kolaborasi ia dan Bi Surti. Beruntung saja sang ART cerdas menambahkan porsi nasi lagi, hingga membuat rasanya tidak seasin sebelum ditambah nasi.Bi Surti sudah selesai beberes ia kemudian pamit undur diri untuk tidur."Bibi tidur duluan, Den. Ngantuk." "Oh, ya, Bi. Makasih ya, udah ngajarin masak nasi goreng. Besok pagi ajarin lagi, ya!" pinta Danu menyantap nasi gorengnya. Bi Surti hanya mengangguk dan beberapa kali menguap. Ia pun berjalan meninggalkan Danu menikmati nasi gorengnya, rasa kantuk sudah tak tertahankan jam menunjukan sudah pukul 22.55 WIB. Danu segera menghabisikan makan malamnya, minum kemudian kekamar men-charge ponselnya lalu tidur. +++++++++Danu malam ini tidur dengan perut kenyang hingga membuatnya cepat terlelap. Dalam tidur ia bermimpi. Dalam mimpi itu, Danu melihat dirinya sendiri mengenakan baju khas pengantin berwarna putih dan kopiah berwarna senada sedang bercermin, melihat dengan bangga dan pongah atas ketampananny
Setelah menelpon kedua sahabatnya, Danu bergegas keluar kamar menuju dapur, ia hendak mengambil minum. Danu menuruni anak tangga menuju ruang dapur. Sepi, suasana rumah masih sepi. Ini pertama kalinya seorang Danu Herlambang bangun sepagi ini. Dulu, Danu terbiasa bangun jam 09.00 WIB. Setelah berhijrah ia mulai membiasakan bangun pagi untuk shalat Subuh, meskipun telat setidaknya ada perubahan. Setelah shalat subuh biasanya ia tidur lagi. Namun, pagi ini berbeda sekali, Danu bangun lebih dulu dari semua penghuni rumah. Danu meraih gelas kemudian mengisinya dengan air mineral, diteguknya isi gelas itu hingga habis. Ia duduk di kursi meja makan yang ada didapur. Danu melamun."Den, tumben sudah bangun," sapa Pak Kasno menepuk bahu majikan mudanya. "Eh, Pak Kasno. Kaget saya, Pak," balas Danu. Melempar senyum kemudian menunduk. "Tumben Aden jam segini udah bangun, mau ngopi, Den?" tawar pak Kasno pada majikan mudanya. Laki-laki berambut cepak itu menyeduh kopi kemasan. "Nggak ah.
"Gue emang mau merid, tapi bukan sama Hany. Gue punya calon lain. Dia berpuluh kali lipat cantiknya dari Hany. Wajahnya, hatinya, sifatnya...," ungkap Danu sambil tersenyum."Emang ada wanita yang cantiknya melebihi Hany?" tanya Aryo penasaran. "Ya adalah." Danu melempar senyum. "Eh, tapi jelasin dulu siapa dia? Terus kenapa dia minta mahar nasi goreng? Kenapa juga Lu mau nanem padi?" Aryo mencecar Danu. Danu dengan santainya mesem, menanggapi sahabatnya."Dia anak sahabat bokap gue. Dia itu seorang hafidz, kecantikan yang dimilikinya sungguh alami," ungkap Danu mengisahkan Zahra. "Hafiz? Wah, selera Lu berubah. Gue kira Lu suka model cewek kaya Hany." Bola mata Aryo mengerling, menyapu wajah Danu yang tampan rupawan."Hany nggak ada apa-apanya di banding bidadari gue," ucap Danu mantap.Aryo makin penasaran dengan sosok wanita calon istri sahabatnya itu. "Terus kapan Lu merid? Nah apa hubungannya, nasi goreng sama nanem padi?" Aryo terus saja melempar pertanyaan. Danu menarik
"Eh, Nu. Sebenarnya tujuan kita kesawah ngapain, sih? Musim tanam padi kek gini mah pemandangannya jelek, Nu," ungkap Roby sambil merebahkan jok mobil yang ia duduki."Kita mau survei area persawahan, gue ada misi penting," ucap Danu sambil fokus menyetir mobil. "Iya, tapi misi apaan, si? Terus kata si Aryo tadi Lu, mau merid. Nah, apa hubungannya merid sama survei sawah?" tanya Roby ia merebahkan dirinya di jok mobil seperti bos besar menikmati perjalanannya. "Gue mau cari lahan buat nanem padi," ungkap Danu melirik Aryo yang tersenyum simpul. Roby berjingkat langsung duduk ia merasa bingung dengan jawaban Danu. "Eh, Nu. Lu tuh aneh bener, deh. Mau merid, apa nanem padi, sih? Setau gue nih, ya. Orang kalo mau merid, pacaran dulu, tunangan, terus nentuin hari pernikahan, cari area resepsi digedung kek, di luar kek, atau apalah. Ini katanya mau merid, malah survei sawah pake acara mu nanem padi segala. Elu mau merid apa mau jadi petani?" Roby ngomel dan bertanya kepada sahabatnya i
"Nu, kayaknya mending jangan parkir disini, deh. Disana aja yuk, dibawah pohon rindang," ajak Aryo. Aryo menatap Danu aneh, dari tadi Danu tak bergeming, ia larut mengamati kegiatan di area persawahan. "Ternyata begini penampakan area persawahan saat musim tanam," gumam Danu dalam hati. Masih tetap asyik dan fokus mengamati kegiatan di persawahan. "Nu, Danu!" panggil Aryo. Danu tidak menoleh, tetap asyik dengan kegiatannya. "Ya ampun, jangan-jangan kesambet ni anak," tebak Roby menyimpulkan yang terjadi pada sahabatnya itu. "Hus! Sembarang itu mulut." Aryo melirik tajam Roby. Aryo lantas mengguncang bahu Danu perlahan. "Nu, Danu. Hei, sadar, Nu. Sadar!" seru Aryo pelan. "Eh, apaan?" Danu terkejut menoleh kearah Aryo. "Lu kenapa, dipanggil nggak nyaut. Kaya ponsel susah sinyal aja," ucap Aryo menatap aneh terhadap Danu. Danu cengengesan, sambil membenarkan posisi duduknya. "Gue lagi ngamati kegiatan para petani itu," ungkap Danu menunjuk keluar jendela hamparan sawah di sis
"Tidak apa-apa, Pak. Saya ingin belajar menanam padi secara langsung. Jika teori saja, rasanya kurang pas, Pak," ungkap Danu sesaat usai melihat telapak kaki Pak Hasan yang bolong-bolong. Pak Hasan tersenyum melihat api semangat di mata pemuda yang ada dihadapannya itu. "Apa Mas pernah terjun langsung kesawah, atau baru pertama kali, ya?" Pak Hasan tersenyum ramah. "Mau nanam padi pake celana Levis, ya kotor semua to, Le," kata hati Pak Hasan. Danu diam sejenak. "Ini baru pertama kali saya terjun kesawah, Pak. Sebelumnya saya tidak pernah bersinggungan dengan dunia pertanian. Saya ingin belajar, Pak," ucap Danu bersungguh-sungguh sorot matanya seperti memohon penuh hiba. "Mas, mau nanem padi itu, jangan pake celana Levis, soalnya kaki ini nanti tertanam di lumpur sebatas ini," Pak Hasan menunjuk bagian atas mata kakinya. Danu memperhatikan Pak Hasan lalu memandangi celana yang ia pakai. "Oh itu masalahnya. Nggak apa, Pak 'kan kalo kotor bisa dicuci. Ada R*n*o, Pak." Danu terse
Pak Hasan berjalan meninggalkan Danu dan Ambu di gubuk, ia menuju mobil putih yang terparkir dibawah pohon rindang. Ambu menemani Danu yang terkapar di gubuk, ia beranjak mencuci tangannya yang kotor karena lumpur di aliran air selokan yang jernih, lalu kembali lagi ke gubuk dan menuang teh hangat kedalam gelas."Mas, minum dulu ini," ucap Ambu memberikan segelas air teh hangat untuk Danu. Danu merasa tubuhnya lemas sekali, kepalanya pusing bukan main, perutnya pun mual. Danu berusaha bangkit dari rebahan-nya. "Kepala saya pusing, Bu ... maaf ibu siapa?" tanya Danu sambil bersandar di tiang kayu. "Panggil saja saya Ambu," jawab Ambu. "Ini, tehnya ... diminum ...." Ambu menyodorkan segelas teh hangat kepada Danu. Danu merasa tubuhnya gemetar, tangannya tak kuasa mengambil gelas. "Mas, kenapa? Kok gemetaran begitu?" tanya Ambu. Ambu kemudian membantu Danu meraih gelas dan meminumkan nya. "Astaghfirullah! Badan Mas panas banget. Mas sakit ya?" tanya Ambu terperanjat saat menyentu
Aryo mengemudikan mobil Danu perlahan, meskipun Aryo tak memiliki SIM, ia bisa mengendarai mobil. Danu duduk di jok belakang yang setengah direbahkan. Roby duduk di kursi depan dekat sopir. Aryo melajukan mobil pelan mengikuti motor Pak Hasan. "Elu sih, Nu ... pake ngotot terjun kesawah segala. Kalo begini kejadiannya gimana coba? Nu, Lu ... masih mau melanjutkan misi gila ini?" tanya Roby kesal. Danu diam saja duduk setengah rebahan di jok belakang, matanya terpejam. "Coba aja tadi itu Elu nggak nekat terjun kesawah panas-panasan, nggak akan kejadian begini," imbuh Roby menoleh Aryo, sorot mata Roby terlihat emosi. "Eh, Elu bisa diem enggak, sih? Dah tau temen lagi tepar masih aja ngomel. Parah, Lu ... melebihi emak-emak," Aryo kesal kepada Roby. "Eh, Yo. Ini semua nggak akan terjadi kalo Danu nggak nekat menjalankan misi gila ini. Tau sendiri 'kan, dia anak sultan ... sawah itu bukan level dia, Yo," jelas Roby penuh tekanan. "Gue nggak habis pikir deh, bisa-bisanya dia nekat,
Mau tak mau Danu harus menimba air sumur untuk mengisi bak mandinya. Beberapa kali ia menimba air membuatnya berkeringat, maklum saja dia tak pernah susah selama ini. Usai mengisi bak air, Danu beristirahat sejenak sambil mengusap peluh yang mengucur di dahinya. "Capek nya ngisi bak air mandi. Coba aja di kamar mandi kamarku, tinggal puter langsung mancur," keluhnya lirih. Ia duduk sejenak di teras dapur sambil melepas kaosnya. Danu berpikir sejenak. "Baju ini kalo kotor mau nggak mau, aku yang nyuci juga," pikirnya. Danu menepuk jidatnya. "Sib, nasib! Gini amat sih, mana semuanya masih manual," gerutunya dalam hati. Tiba-tiba ada yang menepuk punggungnya dari belakang. "Katanya mau mandi, kok masih duduk disini?" Suara Pak Husen mengejutkan Danu. Ia spontan menoleh. "Eh, Bapak. Kaget saya." Danu mengusap dadanya yang putih mulus. "Kenapa belum mandi juga?" "Anu, Pak ... saya istirahat dulu, capek nimba air," ungkap Danu nyengir kuda. Pak Husen tertawa mendengar ungkapan Danu.
"Ayo masuk, Mas Danu," ajak Pak Husen. "Baik, Pakde, Simbah," Danu bingung hendak memangil dengan sebutan apa. Pak Husen menyunggingkan senyuman lalu menepuk pundak Danu. "Le, nggak usah takut, gugup, ataupun bingung. Panggil saya Bapak, atau Pak'e dan istri saya panggil saja Simbok atau Mbok'e, karena mulai hari ini, kamu sepenuhnya menjadi tanggung jawab kami disini." Laki-laki setengah abad itu berbicara dengan santai dan mantap, penuh karismatik. "Le, ayo barang-barangnya dibawa masuk ke kamarmu, sudah Simbok siapkan," Ibu Aminah keluar memanggil Danu. Danu menoleh kepada ibu Aminah, wanita berbusana khas Jawa itu berusaha menarik koper Danu, namun Danu langsung refleks membantunya. "Biar saya aja, Mbok ... ini berat," ucap Danu meraih kopernya. Pak Husen menatap istrinya dan pemuda kota itu sambil mesem ngguyu. Danu dan Ibu Aminah berjalan menuju sebuah kamar yang sudah dipersiapkan oleh ibu Aminah. "Ini kamarmu, Le. Bajunya bisa dimasukkan ke lemari sini," ucap wanita it
Danu masih bertanya-tanya mengapa Pak tua, dihadapannya ini seperti bisa melihat masadepan. Sepertinya beliau bukan orang sembarangan. "Tidak usah bingung. Ayo istirahat lagi." Pak Husen bangkit dari duduknya lantas berlalu meninggalkan Danu. Danu termenung menelaah setiap ucapan laki-laki setengah abad itu. "Ah, sudahlah. Mungkin memang beliau punya kelebihan. Lebih baik aku tidur saja." Danu memutuskan untuk tidur lagi. ***Adzan Subuh berkumandang, Danu terbangun dari istirahat malamnya, ia segera menuju kamar mandi yang terletak diluar rumah. Suasana masih gelap, lagi-lagi Danu harus menimba air. "Sudah bangun, Mas," Suara wanita mengejutkan Danu. Danu berjingkat mendengar suara itu. "Eh, Ibu. Iya, saya sudah bangun. Mau solat subuh," ucap Danu kepada wanita itu. Ia membawa sebuah periuk berisi beras. Ia menunggu Danu selesai menimba air, lantas iapun menimba air hendak mencuci beras. Danu mengamati kegiatan bundenya Pak Kasno itu sambil berwudhu. Pak Husen datang dari ar
Adzan Maghrib berkumandang. Lagi, Danu meminta menepi lagi di sebuah masjid dan menunaikan shalat berjamaah. Usai shalat Danu berdo'a. "Ya Allah, kumohon, berilah aku kemudahan untuk menjalani semua ini, bimbinglah aku menuju apa yang ingin ku capai, tuntun aku dalam menjalani semua ini, hanya kepadaMu aku memohon pertolongan." Danu khusyu sekali berdo'a. Pak Kasno dan Papanya menunggu Danu selesai berdo'a, lalu mereka melanjutkan lagi perjalanan mereka. Perut keroncongan membuat mereka menepi kembali mencari tempat istirahat dan makan malam di sebuah warung kaki lima. Pak Herlambang tak kikuk saat diajak makan di kaki lima, benar-benar sosok yang patut di contoh. Penampilan Pak Herlambang yang sederhana, meskipun ia bisa dibilang sultan, namun ia tak malu ataupun gengsi makan di kaki lima. "Masih jauh enggak, Pak?" Danu bertanya perihal jarak yang hendak ditempuh sesaat usai menikmati santap malam."Mungkin sekitar jam sembilan malam, kita baru sampai, Den." Pak Kasno menjawab sam
Sementara itu, Pak Herlambang dan Danu masing-masing menyiapkan diri. Danu bersiap dengan apa-apa yang ia perlukan. Sementara itu, papanya menyiapkan sejumlah uang yang akan diserahkan kepada pakdenya Pak Kasno. Danu menghampiri Bi Surti yang sedang menyiapkan baju-baju nya dikamar."Bi, banyakin celana pendek, sama kaos, ya," pinta Danu. "Iya, Den. Tapi kenapa harus bawa baju jelek si, Den? Emang mau nggarap proyek apa selama 3 bulan?" Bi Surti yang penasaran akhirnya bertanya. "Nggarap proyek cinta, Bi." Danu terkekeh sendiri. "Proyek Cinta? Apa ada?" Bi Surti bermain dengan pikirannya sendiri. Danu membawa serta gitar kesayangannya, tak lupa ia membawa perlengkapan yang ia butuhkan. Setelah semua baju dan perlengkapan terkemas rapi, Danu segera menggiring kopernya turun kelantai bawah, Bi Surti mengekor dibelakang Danu. "Bi, jangan bilang-bilang sama mama, ya ... kalo saya pergi selama tiga bulan," ucap Danu berpesan kepada ART-nya. "Beres, Den. Aman pokonya. Yang penting Ad
Danu menghentikan suapan makan siangnya lalu meraih gelas berisi air mineral. "Masa harus ganti hape segala, Pak?" Danu setengah protes. Pak Kasno menghela nafas lalu menjelaskan alasannya. "Begini, Den, di desa tempat tinggal pakde saya itu, rata-rata pemuda-pemudi nya dari kalangan menengah kebawah. Nah, kalo mereka lihat pemuda seperti Aden, wah bisa jadi Aden nggak bakalan jadi nanem padi, Aden jadi selebriti dadakan di kampung." Pak Kasno memberi penjelasan. "Kenapa bisa begitu, Pak?" Danu penasaran tentang keterangan Pak Kasno. "Mungkin yang pak Kasno maksud itu sebaiknya kamu menyamar menjadi umumnya seperti muda-mudi di kampung itu," Pak Herlambang ikut menjelaskan sambil mengupas jeruk untuk cuci mulut. Danu hening, berpikir sejenak. "Hem, jungkir balik beneran ini mah. Tapi mau gimana lagi, demi Zahra," batin Danu. "Okelah kalo begitu. Nanti kita sambil berangkat ke desa pakdenya Pak Kasno sambil beli ponsel baru saja, sekalian ganti nomor juga, biar aku tenang. Soal
Danu berpikir sejenak, "Wah, sepertinya ini jawaban atas do'aku, secepat ini ku mendapat jalan keluar, sungguh Allah Maha tahu apa yang aku butuhkan." Danu mengulas senyum menanggapi sang Papa. "Danu si, mau-mau aja, Pa. Yang penting bisa segera menanam padi. Waktunya makin sempit. Mumpung mama lagi liburan juga, jadi Danu bisa aman dari mama." Danu antusias dan sumringah. "Nah, maka dari itu, mumpung mamamu masih liburan, sebaiknya kita segera menuju desa tempat tinggal pakdenya Pak Kasno, biar kamu bisa segera menjalankan misimu," usul Pak Herlambang. "Wah, Papa briliant banget. Danu setuju, Pa. Kapan kita berangkat? Kalo bisa secepatnya, ya" Danu memohon kepada sang Papa. Pak Herlambang tertawa melihat putranya begitu semangat. "Ya sudah, kapan maumu berangkat kesana?" tanya Pak Herlambang sambil menepuk pundak putranya. Danu berpikir sejenak sambil menghitung hari yang tersisa. "Kalo bisa hari ini, Pa. Waktuku tekor terus kalo diundur-undur," Danu menoleh papanya. Pak Herl
Perjalanan pulang hari ini sungguh membawa oleh-oleh rasa gembira tiada tara dihati seorang Danu Herlambang, wajahnya nampak berbinar apalagi setelah berpamitan dengan Simbah Danu memperoleh do'a terbaik dari kakeknya Zahra. Ditambah pula dengan iringan senyuman manis Bidadari hatinya membuat Danu semakin melambung ke angkasa cinta. "Hati-hati dijalan, Mas. Kalo sudah sampai segera kabari, ya," ucap si Bidadari berjilbab coklat susu. "Insyaallah, Zahra akan segera ku kabari," ucap Danu sambil masuk ke mobil yang sudah ia keluarkan dari garasi milik Simbah Zahra sebelumnya. Lambaian tangan keluarga Zahra mengiringi kepergian Danu. Laki-laki itu dimabuk asmara lagi, asanya mengembara jauh di pulau bunga cinta. Benih asmara dihatinya makin hari makin tumbuh subur meskipun nyatanya cinta yang ia miliki belum berbalas. Ia hanya yakin bila Zahra itu benar-benar jodohnya Allah pasti akan mempermudah untuk menuju halal. ***** Danu sampai di istana Keluarga Herlambang, tepat ba'da Dzuhur.
"Ah, benar dia Zahra," batin Danu. Ia berjalan mendekat. "Ehem, boleh aku bantu?" sapa Danu dari jarak 2 meter. Zahra terperanjat, lalu menoleh sumber suara. "Eh, Mas Danu. Nggak usah, Mas. Ini sudah mau selesai," tolak Zahra halus, ia menundukkan pandangannya."Ini, sayuran apa namanya?" Danu mencoba mengajak Zahra ngobrol sambil sesekali mencuri pandang ke wajah ayu bidadarinya. "Ini, namanya daun singkong, Mas," jawab Zahra seperlunya. Danu manggut-manggut sok paham, padahal ia sama sekali tak mengetahui sayuran itu. Yang ia tahu hanya sayuran yang sering dimasak oleh asisten rumah tangganya dirumah. "Permisi, Mas. Ini sudah cukup, Zahra masuk duluan, mau masak sayur ini," pamit Zahra berlalu sambil menundukkan pandangannya berjalan membelakangi Danu menuju kedapur. Tangan Danu berusaha menahan agar Zahra tak pergi. Namun, yah hanya sebatas gerakan tak menyentuh sedikitpun tubuh Zahra, bahkan bayangannya juga. Danu menurunkan perlahan tangannya yang hendak meraih Zahra. "Hh