"Sayang, kenapa?" Adnan tersentak ketika begitu ia sampai di apartemen Redita memeluknya erat-erat. Ya meskipun sudah biasa dia selalu memeluk Adnan seperti ini, namun entah mengapa Adnan merasa aneh dengan sang isteri.
"Kangen, malam ini jangan pulang ya!" pinta Redita lirih.
"Tapi anak-anak saya pulang, Re. Saya mau bicara penting dengan mereka malam ini juga, boleh ya saya pulang?" Adnan balas memeluk isterinya itu, rasanya juga ia tidak ingin pergi, hanya saja malam ini ia harus banyak bicara dengan anak-anaknya itu.
"Kalau begitu boleh minta sesuatu sebelum Mas balik?" tanya sosok itu sambil menatap Adnan serius, menatap Adnan dengan wajah setengah memohon pada sang suami.
"Apa? Mau minta apa, Sayang?" Adnan mengelus lembut kepala Redita yang kembali memeluknya dengan manja itu.
"Main dulu satu kali boleh?"
Adnan tertegun, kenapa jadi Redita yang minta? Biasanya tidak pernah bukan? Kok jadi aneh? Adnan masih hendak memikirkan kenapa tib
Adnan memarkirkan mobilnya di depan garasi rumah, nampak di sudut halaman depan sudah terparkir mobil Edo dengan begitu rapi. Adnan mematikan mesin mobilnya, melepas seat belt dan bersandar sejenak di jok mobil.Bagaimana reaksi anak-anaknya nanti? Apakah hari ini ia berhasil meyakinkan Edo dan Aldo tentang perasaan yang ia punya? Tentang seberapa dalam cintanya pada Redita? Apakah kemudian Adnan menang dan mendapatkan restu dari mereka berdua untuk membawa hubungan Adnan dengan Redita ke Kantor Urusan Agama seperti yang sudah Adnan janjikan kepada Redita.Adnan bergegas turun, ia baru hendak menekan knop pintu ketika secara tiba-tiba pintu itu sudah terbuka dan Edo muncul dari balik pintu.“Papa baru pulang?” tanya Edo sambil menatap sang papa lekat-lekat.
Sepeninggal Adnan, hanya ada Edo dan Aldo yang masih terpekur di sofa ruang tamu. Mereka larut dalam pikiran dan diam masing-masing.Tampak Edo masih begitu emosi dengan wajah dan mata yang memerah, sementara Aldo, ia masih berusaha tetap tenang dengan beberapa kali menghela nafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan.Aldo mengangkat wajahnya, menatap sang kakak yang tampak memijit pelipisnya sambil menundukkan kepala. Ia tahu Edo masih sangat emosi dan belum terima dengan segala macam permintaan sang ayah.Aldo sontak menggeser duduknya, menggeser jadi lebih dekat dengan sang kakak, ia tersenyum, kemudian mengangkat tangannya dan menepuk lembut pundak sang kakak.“Kak, sudah istirahat yuk. Sudah malam,” Aldo kembali menepuk lembut pundak Edo yang bahkan
Adzan subuh berkumandang, Adnan yang sejak semalam tidak bisa tidur bergegas bangkit dan masuk ke dalam kamar mandi. Ia langsung mandi bersih-bersih dan mengambil air wudhu. Rasanya ia harus segera pergi bukan? Ia malas jika harus bersitegang terus dengan anak-anaknya.Namun sebelum itu, rasanya ia perlu bersimpuh beberapa waktu kepada Sang Pencipta guna diberikan jalan keluar atas semua masalah yang sedang menimpa dirinya itu. Kepada siapa lagi Adnan memohon dan meminta selain pada Allah?Selesai sholat subuh, Adnan bergegas melangkah keluar kamar. Semuanya masih sepi, mungkin mereka masih tidur di kamar masing-masing. Dengan langkah mantab Adnan turun ke lantai bawah dan masuk ke dalam mobilnya.Dihidupkannya mesin mobil dan dengan sedikit tergesa ia membawanya pergi
Adnan tersenyum, pagi ini adalah hari yang sudah sang isteri kecil tunggu. Ya ... hari ini jadwal Redita mengikuti UKMPPD. Tahapan yang harus dia lakukan sebelum kemudian nyatakan lulus dan diambil sumpah jabatan dokternya. Sebuah tes yang memastikan bahwa ia layak menyandang gelar dokter setelah kurang lebih enam tahun belajar di fakultas kedokteran.“Semangat ya!” Adnan mengecup lembut bibir Redita, Redit sudah siap untuk berangkat ujian UKMPPD. Selangkah lagi demi gelar dokternya!Redita tersenyum dan mengangguk pelan, diciumnya dengan lembut punggung telapak tangan Adnan, lalu di dekapnya erat-erat tubuh itu. Rasanya begitu damai dan nyaman. Sebuah pelukan yang mungkin akan Redita rindukan nantinya.“Saya yakin kamu bisa lulus one shoot, Sayang. Ja
Ujian telah usai, makin dekat dengan saat itu tiba bukan? Redita menghela nafas panjang. Ia sekarang duduk di salah satu kursi yang ada di taman Balaikambang. Hanya sendiri, menikmati semilir angin yang membelainya begitu lembut itu. Tinggal OSCE, menunggu pengumuman kemudian disumpah dokter jika lulus, bukan? Dan esok paginya setelah itu, ia harus segera pergi, sesuai janjinya pada Aldo.Dan itu artinya ia harus memanfaatkan waktu yang tersisa ini dengan sebaik-baiknya, bukan? Waktu yang mungkin sudah tidak akan bisa ia rengkuh dan nikmati lagi. Redita menyeka air matanya, kenapa dia harus menangis? Kenapa?Redita tersentak ketika smartphone miliknya berdering. Ia membuka tasnya dan menemukan Adnan meneleponnya. Ia bergegas menyeka air matanya lalu mengangkat panggilan itu.
Malam ini akan menjadi malam paling spesial dan bersejarah di dalam hidup Edo, bukan apa-apa pasalnya malam ini ia secara resmi akan melamar Arra untuk dia jadikan isteri. One step closer bahasa kerennya, bukan?Adnan tersenyum, bukan hanya Edo yang bahagia, tetapi dia juga karena ini adalah salah satu mimpi Adnan melihat anak sulungnya itu akhirnya resmi melamar Arra untuk dijadikan calon isteri. Sebuah cita-cita yang sudah Adnan gantungkan sejak ia melihat Arra dibawa keluar dari OK pasca dilahirakan sang ibu dulu.Sebenarnya malam ini Adnan ingin sekali membawa sang isteri ke acara sakral Edo itu. Persetan dengan apa tanggapan orang, yang jelas Adnan ingin mulai menunjukkan perihal hubungan mereka di depan umum.Namun semua itu tidak semudah membalikkan telapak tanga
Suasana ballroom hotel itu sudah begitu ramai dan meriah. Banyak sejawat yang hadir malam ini, Adnan tersenyum, merasa begitu bahagia walaupun rasanya kurang lengkap tanpa kehadiran sang isteri tercinta dalam acara ini. Adnan sangat ingin Redita hadir sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi? Dia menolak hadir karena takut menimbulkan masalah di hari bahagia Edo, sebuah alasan yang tidak bisa Adnan bantah lagi. Acara ini begitu istimewa bagi Edo, dan akan jadi masalah jika kemudian terjadi perselisihan hanya karena Adnan membawa Redita kemari. Edo nampak berdiri di depan kaca yang ada di salah satu kamar hotel yang mereka sewa, anak sulung kebanggaan Adnan itu sudah begitu rapi dan gagah dengan setelan jas warna hitam. Ahh ... Edo nampak gagah juga dengan balutan jas hitam, nampak seperti executive muda.
Redita sudah sampai di halaman parkir kost lamanya, pintu kamar kost Yanven sudah terbuka lebar, membuat ia tersenyum dan menghela nafas panjang. Redita melepas helm-nya, melangkah turun dan membawa plastik sampah besar yang berisi beberapa barang miliknya. Ia sangat berharap Yanven tidak keberatan dia titipi barang ini. Karena satu-satunya orang yang bisa menolong dia untuk saat ini adalah Yanven!Redita sudah sampai di depan pintu kamar Yanven ketika kemudian sosok itu muncul dan melongo terkejut melihat dia yang tengah membawa kantung plastik besar itu.“Ya ampun, kamu mau pindah kesini lagi?” tampak Yanven terkejut melihat kantung plastik sampah besar yang dibawa Redita itu.“Sudah, masuk dulu lah, aku mau buat pengakuan,” Redita mendorong Ya
Redita hendak kembali pulang selepas jaga malam pagi itu ketika ia mendapati Land Cruisser yang ia tahu betul adalah milik sang suami sudah terparkir di halaman parkir rumah sakit. Tak beberapa lama sosok itu turun dari mobil, tersenyum begitu manis ke arahnya.Rasanya Redita ingin berlari dan menjatuhkan diri di pelukan sang suami kalau saja mereka tidak sedang berada di halaman rumah sakit saat ini. Jadi Redita sekuat tenaga menahan keinginannya untuk melakukan hal itu, ia melangkah perlahan mendekati sang suami yang tersenyum begitu lebar ke arahnya.“Hai suamiku,” sapa Redita lalu mengulurkan tangannya, bergegas mencium punggung tangan Adnan begitu uluran tangannya terbalas.“Hai juga isteriku, kamu tampak lelah. Bisa kita pulang sekarang? Aku rindu dengan jagoan kecilku.”Redita sontak mencebik, ia memanyunkan bibirnya yang sukses membuat Adnan terkekeh melihat perubahan wajahnya itu.“Jadi pulang cuma kangen sama
Beberapa hari kemudian ... “Dokter!” Redita setengah berlari mengejar langkah dokter Ricard, beliau adalah dokter bedah yang bertanggung jawab pada sang nenek pasca operasi kemarin. Dan hari ini adalah visiting terakhir, bukan? Kondisi sang nenek sudah lebih baik, dan itu artinya dia sudah boleh pulang. Untuk itu Redita ingin melihat wajahnya, mungkin untuk terakhir kalinya dia bisa melihat wajah-wajah yang dulu menorehkan luka dengan begitu dalam di relung hati Redita itu. “Ada apa, Re?” tanya dokter Richard yang tampak mengerutkan kening melihat Redita berlari-lari menghampirinya itu. “Boleh saya ikut visiting, Dok?” mohon Redita dengan nafas terenggah-enggah. “Tentu boleh, bukan kah pasien itu pertama kali datang kamu yang pegang?” tampak dokter Ricard tersenyum, ia sudah hendak kembali melangkah ketika kemudian tangan Redita mencekal tangan dokter Richard, mencegahnya melangkah lebih jauh. “Dok, tunggu sebentar!” Dokter Ric
Redita tersenyum menatap sosok itu yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Beberapa alat medis masih menempel di tubuh renta itu. Ia sudah berhasil melewati masa kritisnya, tinggal menanti dia kembali sadar dan kondisinya pulih.Redita meraih tangan berkeriput itu, meremasnya perlahan dengan hati yang teramat pedih. Bayangan masa lalu dimana sosok itu dengan tangan yang saat ini Redita genggam, sering menamparnya, menjewer telinga Redita sampai memerah, mecubit pahanya sampai memar membiru dan terkadang memukul kakinya dengan gagang sapu. Belum lagi, mulut yang sekarang terpasang ventilator itu, dulu begitu pedas tiap mengata-ngatai dirinya, mencaci-maki Redita yang bahkan dulu masih begitu kecil dan tidak paham apa-apa.Redita menghela nafas panjang, berusaha melupakan semua itu meskipun rasanya begitu sulit dan tidak semudah yang ia katakan. Redita melirik jam dinding, sudah pukul setengah enam, ia bergegas merogoh saku snelli-nya, mengambil masker medis yang
"Iya Sayang, stok ASIP Adta sudah ready banyak di kulkas, jangan khawatir ya." Redita tersenyum, malam ini ia harus jaga IGD sampai besok pukul tujuh pagi. Dan Adnan sudah ribut khawatir dengan Adta katanya."Benar? Apa perlu aku balik ke sana sekarang?"Sontak Redita tertawa, ah lebay sekali bapak tiga orang anak itu? Sebelum mereka kembali bertemu, toh Adta baik-baik saja jika dia ada jaga malam, kenapa sekarang dia jadi begitu khawatir?"Sudah, tenang saja! Jagoan kecil kita aman dan akan baik-baik saja, Sayang." guman Redita lirih, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semua akan baik-baik saja."Yasudah, kabari aku terus ya. Aku benar-benar khawatir dengan kalian berdua."Redita tersenyum, hatinya berbungga-bungga mendengar nada kekhawatiran itu meluncur dari bibir sang suami. Rasanya ia begitu bahagia mendengarnya. Bagaimanapun, setua apapun laki-laki yang menjadi suaminya ini, dia benar-benar sosok yang begitu peduli dan penyayang. Ah ... sung
Adnan tersenyum ketika mendapati panggilan dari nomor itu, nomor yang ia tunggu untuk memberinya kabar perihal perkembangan pendaftaran itsbat nikahnya. Semoga semuanya lancar dan tidak perlu waktu lama ia bisa mendaftarkan pernikahannya dan memperoleh apa yang sudah ia janjikan kepada sang isteri sejak dulu.“Halo, gimana Fan?” tanya Adnan yang sudah sangat tidak sabar itu.“Berkasnya sudah masuk, Dok. Sudah diurus sama isteri saya, nanti tinggal tunggu kabar persidangannya saja ya, Dok.”Wajah Adnan makin cerah, senyumnya mengembang sempurna mendengar hal itu. Redita pasti akan sangat bahagia mendengar kabar ini, bukan? Impiannya untuk bisa segera memiliki buku nikah dan menikahi Redita secara resmi akan terwujud.“Baik, saya berterima kasih sekali padamu, Fan. Sampaikan ucapan terima kasihku pada isterimu juga, ya.”Adnan menyandarkan tubuhnya di kursi, hatinya tengah berbunga-bunga. Rupanya inilah kebahagiaan
Adnan mematikan mesin mobilnya ketika ia sudah sampai di halaman rumahnya. Mobil Edo dan Arra masih ada, itu artinya dia masih di sini, belum kembali ke Jogja dan Arra belum balik ke rumah Yudha. Ya ... memang seperti itu, bukan? Selama Edo masih harus pendidikan di Jogja, Edo harus terpisah dari sang isteri karena Arra sudah dinas di salah satu rumah sakit swasta di Solo dan sebuah klinik. Jadi lah tiap Edo di Jogja Arra lebih memilih pulang ke rumah orang tuanya karena di rumah Adnan ini ia merasa kesepian.Adnan bergegas turun, melirik arlodjinya dan masuk ke dalam rumah. Sudah pukul setengah lima. Bisa lah dia mandi besar dulu lalu sholat subuh dan bersiap berangkat ke rumah sakit. Adnan bergegas naik kelantai atas, hanya dapur yang sudah tampak menyala lampunya, yang artinya dua asistennya sudah sibuk menyiapkan sarapan dan melakukan pekerjaan lain.Adnan bergegas masuk ke dalam kamar, mandi dan bersiap sholat. Ia tersenyum menatap kamarnya itu. Kelak kamar ini ak
“Aku pamit balik Solo dulu, Sayang. Jaga anak kita baik-baik ya?” Adnan mengecup kening sang isteri, kemudian beringsut mendekati Adta yang terlelap begitu nyenyak di dalam box-nya. Rasanya berat sekali Adnan hendak kembali, namun ia masih punya tanggung jawab, bukan? Terlebih sekarang ia punya tanggungan membiayai Adta, belum lagi Edo masih beberapa tahun lagi lulus PPDS-nya, ah ... itulah yang selama ini selalu membuat Adnan semangat tetap bekerja.“Mas hati-hati ya, kabari kalau sudah sampai Solo.” desis Redita lalu memeluk erat sang suami.Adnan hanya tersenyum, melepaskan Redita perlahan-lahan lalu mengecup keningnya perlahan. Hanya sekilas, karena kemudian kecupan itu turun mengecup bibir Redita penuh cinta, ya walaupun juga hanya sebentar.“Pasti, akan saya kabari selalu, Sayang!” Adnan tersenyum, kemudian meraih kunci mobil dan dompet yang tergeletak di atas lemari Adta.Redita menyodorkan jaket milik Adnan, mem
Edo bangkit dari ranjang, senyumnya merekah melihat betapa lelap Arra yang tubuhnya masih polos itu. Ia melirik jam dinding, sudah pukul satu dini hari dan papanya belum ada tanda-tanda pulang dari rumah mama tirinya itu? Padahal besok pagi dia harus dinas, bukan?Edo meraih baju-bajunya yang tadi ia lempar sembarangan ketika sudah tidak tahan lagi untuk menyentuh sang isteri. Siapa sih yang tidak tergoda dengan tubuh dengan lekuk indah dan kulit putih bersih itu? Dia laki-laki normal, jadi tentu lah ia langsung kalang-kabut begitu mendapati sang isteri sudah dengan lingerie warna merah itu.Dasar Arra, memang umurnya masih kecil, tapi ia sudah sangat matang rupanya, bahkan untuk urusan ranjang seperti ini. Ah Edo tidak salah pilih, bukan? Edo bergegas memakai kembali bajunya, meraih bungkus serta ‘benda’ bekas pakai itu dari atas nakas dari atas meja dan membuangnya ke dalam tempat sampah yang ada di kamar mandi.Ya ... meskipun dia dan Arra sudah m
“Mas, katanya besok sudah dinas?” tanya Redita ketika sore itu Adnan belum ada tanda-tanda hendak balik ke Solo, ia malah menggendong Adta dan sama sekali tidak melepaskan bayi itu barang sedetik pun.“Ah, jadi kamu hendak mengusir suamimu sendiri?” Adnan mencebik, memang kenapa kalau besok dia sudah dinas?Redita terkekeh, kenapa jadi baper macam ABG kemarin sore sih suaminya ini? Ia mendekati Adnan yang tampak begitu bahagai dengan Adta yang berada dalam gendongannya. Kenapa rasanya bahagia sekali melihat betapa manis bapak dan anak itu ketika sedang seperti ini?“Bukan begitu Sayang, besok kan pasti masuk pagi.” Redita memeluk suaminya itu dari belakang, jendela kamarnya aman kok, meskipun tirai terbuka, tidak akan ada yang melihat apa yang mereka lakukan kecuali jika sengaja ingin mengintip.“Aku balik subuh boleh kan? Masih kangen sama kamu, sama jagoan kecilku ini.”Redita hanya tersenyum dan me