Redita mengerjapkan matanya, menggeliat dan tersentak luar biasa ketika mendapati Adnan sudah memeluk erat tubuhnya, bukankah tadi ia pamit mau balik? Lantas kenapa dia masih di sini? Ini beneran suaminya kan? Bukan perwujudan makhluk gaib atau apa?
"Mas? Nggak jadi balik?" Redita melirik Adnan yang memeluk tubuhnya dari belakang itu. Dari wujudnya sih itu sudah fix seratus persen suaminya, Adnan Sanjaya!
"Sudah," jawabnya singkat tanpa beranjak dari posisinya.
"Lalu kenapa balik kesini?" tanya Redita terkejut, bukankah ada Edo? Dan Adnan malah pilh balik ke sini?
"Sejak kapan suami tidak boleh pulang ke tempat isterinya?" jawab Adnan santai, ia makin mempererat pelukannya.
"Bukannya begitu, tapi kan ...."
"Sudah diam, kembalilah tidur, Sayang!" potong Adnan singkat.
Redita menghela nafas panjang, ia hendak melepaskan pelukan Adnan yang terasa begitu sesak itu.
"Mas ... aku mau pipis, lepas dulu!" gerutu Redita yang hampir sama
Pagi itu Adnan sudah duduk di pantry apartemennya, sebuah pagi yang indah bersama wanita kesayangan Adnan itu, pagi pertama yang ia jalani dengan status barunya bersama Redita. Adnan tengah membaca koran pagi ketika kemudian ada pesan singkat masuk ke ponselnya. Ia meraih benda itu dan tersenyum ketika mendapati pesan itu berasal dari Yudha.[Nan, aku sudah bicara dengan Edo, jangan khawatir dia baik-baik saja!]Adnan begitu lega begitu membaca pesan yang semalam Yudha kirimkan itu. Setidaknya Edo dalam kondisi yang baik-baik saja. Ia tidak akan memaksakan Edo untuk secepatnya menerima Redita, ia akan memberi Edo waktu untuk menjernihkan pikirannya hingga kemudian Adnan akan mengatur pertemuan anak-anak dengan Redita.“Mas, aku berangkat sendiri aja gimana?” Redita menyodorkan secangkir kopi itu kehadapan Adnan.“Kenapa?” Adnan meletakkan kembali ponsel itu, sama sekali tidak membalas pesan yang sudah Yudha kirimkan, fokusnya menat
“Re, ikut asistensi!” perintah Adnan tegas.Redita sontak melotot dan tercengang, namun ia tidak bisa berkata apa-apa. Harus dia masuk OK lagi? Sungguh suami yang sangat tidak pengertian! Redita dengan lemas melangkah ke OK, meninggalkan beberapa temannya yang masih stand by di poli bedah. Sedangkan sosok Adnan sudah lebih dulu pergi entah kemana.“Mbak Sus, ikut gabung ya?” guman Redita sambil tersenyum manis ketika bertemu dengan Susi, perawat OK yang terkenal paling ramah dan baik hati, baik ke pada residen, perawat junior yang baru masuk, bahkan kepada keset rumah sakit macam dia dan teman-temannya yang lain ini.“Ah siap dong, asistensi siapa, Dek?” tanyanya sambil menuliskan sesuatu diselembaran kertas, laporan persiapan operasi
Redita keluar dari kamar mandi sudah dengan piyamanya. Adnan sudah keluar lebih dulu setelah menyelesaikan hajatnya dan membersihkan diri. Redita menatap kesekeliling kamar, Kemana Adnan? Kenapa kamar sepi? Ia melangkah keluar kamar dan mendapati di meja makan sudah banyak sekali makanan ada di atas meja. "Astaga, ingat kolesterol, Mas!" pekik Redita gemas. "Kamu tidak sedang diet, kan?" tanya Adnan tidak peduli. Redita tidak menjawab. Tampak ada burger, pizza dan entah apa lagi itu tergeletak di atas meja. Redita melangkah duduk di sebelah Adnan, ia sudah sama rapinya dengan piyama celanan panjang itu. "Tidak masalah, kan, kamu nggak bisa nongkrong sama temen-temenmu?" tanya Adnan sambil menatap Redita lekat-lekat. "Lho darimana Mas tahu?" kok bisa suaminya ini tahu? Apa dia menggeledah ponselnya? Tapi ponselnya kan ia kunci. Dan Adnan belum ia beri tahu sandi kunci ponselnya. "Tadi saya nggak sengaja dengar anak-anak mau nongkrong di
Adnan keluar dari kamar mandi, hari ini ia berencana hendak pergi ke Jogja untuk kembali mencoba mengajak Edo bicara empat mata. Mumpung dia libur dan sepertinya Edo juga libur. Jadi ini merupakan waktu yang tepat untuk mereka bicara. Adnan sangat berharap bahwa nantinya Edo akan luluh, Edo akan mengerti dan Edo akan terbuka hatinya untuk merestui keinginan Adnan yang hendak menikahi Redita secara resmi.“Benar tidak mau ikut?” tanya Adnan sambil mengenakan pakaiannya dan bersiap-siap, sementara Redita masih meringkuk di bawah selimutnya, ia masih enggan bangun dari tidurnya, efek dikerjain Adnan semalaman, tubuhnya lemas semua!“Nggak lah, aku rasa Mas dan Edo perlu ruang untuk bicara berdua saja, Mas!” Redita belum mau membuka matanya, biarlah dia berangkat sendiri ke Jogja sana. Redita ingin waktu
“Arrghhh ...,” Edo menjatuhkan tubuhnya di lantai, dan kesempatan itu Arra gunakan untuk bangkit dan membenani pakaiannya yanghampir dibuka paksa oleh Edo itu, air matanya banjir. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Edo tega hampir melakukan hal keji itu terhadapnya. Edo hampir memperkosanya!Edo duduk di lantai sambil menyandarkan kepalanya di lutut, kedua tangannya mengacak rambut dengan kasar, ia sudah sangat tegang sekarang. Namun ia sadar, ini bukan perbuatan yang benar! Ia tidak bisa melakukan semua itu sekarang, tidak kalau ia tidak ingin mendapat masalah besar karena kenekatannya yang hendak memperkosa Arra, kekasih yang sangat dia cintai itu.“Keterlaluan!” teriak Arra kemudian hendak turun dari ranjang Edo, namun Edo lebih gesit, ia menarik kaki Arra, kemudian bangkit dan kembal
Mereka bertiga sudah duduk di salah satu meja warung yang menyajikan ramen sebagai hidangan utamanya. Adnan sebenarnya tidak terlalu suka makanan seperti ini, tapi karena ia hendak berbicara penting dengan Edo, ia tentu mencari tempat yang nyaman sesuai dengan apa yang mereka mau, bukan?Edo melirik sang papa yang duduk tepat di depannya, ia tampak menghela nafas panjang. Ia sudah tahu sebenarnya apa yang hendak papanya itu katakan, pasti soal hubungan sang papa dengan koasnya yang bernama Redita itu, bukan?“Jadi papa ingin bicara apa?” tanya Edo basa-basi, ia berani bertaruh bahwa Redita-lah yang akan mereka bahas.Adnan menyingkirkan mangkuk ramennya lalu menatap Edo lekat-lekat, Arra masih sibuk dengan ramen miliknya, meskipun begitu, Adnan tahu gadis it
Redita mengerutkan keningnya ketika sosok itu sudah kembali pulang, kenapa cepat sekali? Dan wajah itu ... Redita tahu, pasti ia kembali bersitegang dengan Edo bukan? Redita hanya tersenyum kecut, lalu bergegas mendekap sosok itu dalam dadanya ketika Adnan duduk di sebelahnya.“Kalian ribut lagi?” tanya Redita lirih, dielusnya dengan lembut kepala dokter bedah senior itu.“Hanya sedikit agak keras,” jawab Adnan sama lirihnya.Tampak Adnan kemudian mendengus perlahan, tangannya memijit-mijit pelipisnya dengan sedikit ia tekan kuat. Membuat Redita merasa bersalah sudah menimbulkan masalah itu diantara Adnan dan putera sulungnya. Itu baru Edo, entah kalau anak bungsu Adnan tahu, ah ... pasti semakin runyam.
Hari ini hari terakhir Stase kulit dan kelamin, itu artinya hari terakhir pula Redita koasisten. Dan itu makin membuat Adnan pening. Ia masih belum bisa meyakinkan Edo dan Aldo tentang pilihannya. Keputusan mereka sudah bulat, tidak lama mengizinkan Adnan menikah jika bukan Amanda yang Adnan nikahi.Janji Adnan adalah akan menikahi Redita secara resmi setelah dia beres koas bukan? Dan hari ini hari terakhir dia koas! Dengan izin yang belum Adnan kantongi dari anak-anaknya. Sebuah hal yang akhir-akhir ini membuat kepala Adnan sakit bukan main, membuat Adnan merasa begitu bersalah pada Redita."Hari terakhir," guman Redita seolah memberi kode. Ia menoleh, mentatap Adnan yang terpekur di tepatnya duduk itu.Adnan menghela nafas panjang, ia bergegas bangkit dan meraih tangan Redita, menggenggam tangan Redita erat-erat, ia tahu Redita pasti minta kepastiannya pernikahan mereka bukan? Adnan sendiri yang dulu mengatakan bahwa ia akan menikahi Redita secara resmi sebelu
Redita hendak kembali pulang selepas jaga malam pagi itu ketika ia mendapati Land Cruisser yang ia tahu betul adalah milik sang suami sudah terparkir di halaman parkir rumah sakit. Tak beberapa lama sosok itu turun dari mobil, tersenyum begitu manis ke arahnya.Rasanya Redita ingin berlari dan menjatuhkan diri di pelukan sang suami kalau saja mereka tidak sedang berada di halaman rumah sakit saat ini. Jadi Redita sekuat tenaga menahan keinginannya untuk melakukan hal itu, ia melangkah perlahan mendekati sang suami yang tersenyum begitu lebar ke arahnya.“Hai suamiku,” sapa Redita lalu mengulurkan tangannya, bergegas mencium punggung tangan Adnan begitu uluran tangannya terbalas.“Hai juga isteriku, kamu tampak lelah. Bisa kita pulang sekarang? Aku rindu dengan jagoan kecilku.”Redita sontak mencebik, ia memanyunkan bibirnya yang sukses membuat Adnan terkekeh melihat perubahan wajahnya itu.“Jadi pulang cuma kangen sama
Beberapa hari kemudian ... “Dokter!” Redita setengah berlari mengejar langkah dokter Ricard, beliau adalah dokter bedah yang bertanggung jawab pada sang nenek pasca operasi kemarin. Dan hari ini adalah visiting terakhir, bukan? Kondisi sang nenek sudah lebih baik, dan itu artinya dia sudah boleh pulang. Untuk itu Redita ingin melihat wajahnya, mungkin untuk terakhir kalinya dia bisa melihat wajah-wajah yang dulu menorehkan luka dengan begitu dalam di relung hati Redita itu. “Ada apa, Re?” tanya dokter Richard yang tampak mengerutkan kening melihat Redita berlari-lari menghampirinya itu. “Boleh saya ikut visiting, Dok?” mohon Redita dengan nafas terenggah-enggah. “Tentu boleh, bukan kah pasien itu pertama kali datang kamu yang pegang?” tampak dokter Ricard tersenyum, ia sudah hendak kembali melangkah ketika kemudian tangan Redita mencekal tangan dokter Richard, mencegahnya melangkah lebih jauh. “Dok, tunggu sebentar!” Dokter Ric
Redita tersenyum menatap sosok itu yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Beberapa alat medis masih menempel di tubuh renta itu. Ia sudah berhasil melewati masa kritisnya, tinggal menanti dia kembali sadar dan kondisinya pulih.Redita meraih tangan berkeriput itu, meremasnya perlahan dengan hati yang teramat pedih. Bayangan masa lalu dimana sosok itu dengan tangan yang saat ini Redita genggam, sering menamparnya, menjewer telinga Redita sampai memerah, mecubit pahanya sampai memar membiru dan terkadang memukul kakinya dengan gagang sapu. Belum lagi, mulut yang sekarang terpasang ventilator itu, dulu begitu pedas tiap mengata-ngatai dirinya, mencaci-maki Redita yang bahkan dulu masih begitu kecil dan tidak paham apa-apa.Redita menghela nafas panjang, berusaha melupakan semua itu meskipun rasanya begitu sulit dan tidak semudah yang ia katakan. Redita melirik jam dinding, sudah pukul setengah enam, ia bergegas merogoh saku snelli-nya, mengambil masker medis yang
"Iya Sayang, stok ASIP Adta sudah ready banyak di kulkas, jangan khawatir ya." Redita tersenyum, malam ini ia harus jaga IGD sampai besok pukul tujuh pagi. Dan Adnan sudah ribut khawatir dengan Adta katanya."Benar? Apa perlu aku balik ke sana sekarang?"Sontak Redita tertawa, ah lebay sekali bapak tiga orang anak itu? Sebelum mereka kembali bertemu, toh Adta baik-baik saja jika dia ada jaga malam, kenapa sekarang dia jadi begitu khawatir?"Sudah, tenang saja! Jagoan kecil kita aman dan akan baik-baik saja, Sayang." guman Redita lirih, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semua akan baik-baik saja."Yasudah, kabari aku terus ya. Aku benar-benar khawatir dengan kalian berdua."Redita tersenyum, hatinya berbungga-bungga mendengar nada kekhawatiran itu meluncur dari bibir sang suami. Rasanya ia begitu bahagia mendengarnya. Bagaimanapun, setua apapun laki-laki yang menjadi suaminya ini, dia benar-benar sosok yang begitu peduli dan penyayang. Ah ... sung
Adnan tersenyum ketika mendapati panggilan dari nomor itu, nomor yang ia tunggu untuk memberinya kabar perihal perkembangan pendaftaran itsbat nikahnya. Semoga semuanya lancar dan tidak perlu waktu lama ia bisa mendaftarkan pernikahannya dan memperoleh apa yang sudah ia janjikan kepada sang isteri sejak dulu.“Halo, gimana Fan?” tanya Adnan yang sudah sangat tidak sabar itu.“Berkasnya sudah masuk, Dok. Sudah diurus sama isteri saya, nanti tinggal tunggu kabar persidangannya saja ya, Dok.”Wajah Adnan makin cerah, senyumnya mengembang sempurna mendengar hal itu. Redita pasti akan sangat bahagia mendengar kabar ini, bukan? Impiannya untuk bisa segera memiliki buku nikah dan menikahi Redita secara resmi akan terwujud.“Baik, saya berterima kasih sekali padamu, Fan. Sampaikan ucapan terima kasihku pada isterimu juga, ya.”Adnan menyandarkan tubuhnya di kursi, hatinya tengah berbunga-bunga. Rupanya inilah kebahagiaan
Adnan mematikan mesin mobilnya ketika ia sudah sampai di halaman rumahnya. Mobil Edo dan Arra masih ada, itu artinya dia masih di sini, belum kembali ke Jogja dan Arra belum balik ke rumah Yudha. Ya ... memang seperti itu, bukan? Selama Edo masih harus pendidikan di Jogja, Edo harus terpisah dari sang isteri karena Arra sudah dinas di salah satu rumah sakit swasta di Solo dan sebuah klinik. Jadi lah tiap Edo di Jogja Arra lebih memilih pulang ke rumah orang tuanya karena di rumah Adnan ini ia merasa kesepian.Adnan bergegas turun, melirik arlodjinya dan masuk ke dalam rumah. Sudah pukul setengah lima. Bisa lah dia mandi besar dulu lalu sholat subuh dan bersiap berangkat ke rumah sakit. Adnan bergegas naik kelantai atas, hanya dapur yang sudah tampak menyala lampunya, yang artinya dua asistennya sudah sibuk menyiapkan sarapan dan melakukan pekerjaan lain.Adnan bergegas masuk ke dalam kamar, mandi dan bersiap sholat. Ia tersenyum menatap kamarnya itu. Kelak kamar ini ak
“Aku pamit balik Solo dulu, Sayang. Jaga anak kita baik-baik ya?” Adnan mengecup kening sang isteri, kemudian beringsut mendekati Adta yang terlelap begitu nyenyak di dalam box-nya. Rasanya berat sekali Adnan hendak kembali, namun ia masih punya tanggung jawab, bukan? Terlebih sekarang ia punya tanggungan membiayai Adta, belum lagi Edo masih beberapa tahun lagi lulus PPDS-nya, ah ... itulah yang selama ini selalu membuat Adnan semangat tetap bekerja.“Mas hati-hati ya, kabari kalau sudah sampai Solo.” desis Redita lalu memeluk erat sang suami.Adnan hanya tersenyum, melepaskan Redita perlahan-lahan lalu mengecup keningnya perlahan. Hanya sekilas, karena kemudian kecupan itu turun mengecup bibir Redita penuh cinta, ya walaupun juga hanya sebentar.“Pasti, akan saya kabari selalu, Sayang!” Adnan tersenyum, kemudian meraih kunci mobil dan dompet yang tergeletak di atas lemari Adta.Redita menyodorkan jaket milik Adnan, mem
Edo bangkit dari ranjang, senyumnya merekah melihat betapa lelap Arra yang tubuhnya masih polos itu. Ia melirik jam dinding, sudah pukul satu dini hari dan papanya belum ada tanda-tanda pulang dari rumah mama tirinya itu? Padahal besok pagi dia harus dinas, bukan?Edo meraih baju-bajunya yang tadi ia lempar sembarangan ketika sudah tidak tahan lagi untuk menyentuh sang isteri. Siapa sih yang tidak tergoda dengan tubuh dengan lekuk indah dan kulit putih bersih itu? Dia laki-laki normal, jadi tentu lah ia langsung kalang-kabut begitu mendapati sang isteri sudah dengan lingerie warna merah itu.Dasar Arra, memang umurnya masih kecil, tapi ia sudah sangat matang rupanya, bahkan untuk urusan ranjang seperti ini. Ah Edo tidak salah pilih, bukan? Edo bergegas memakai kembali bajunya, meraih bungkus serta ‘benda’ bekas pakai itu dari atas nakas dari atas meja dan membuangnya ke dalam tempat sampah yang ada di kamar mandi.Ya ... meskipun dia dan Arra sudah m
“Mas, katanya besok sudah dinas?” tanya Redita ketika sore itu Adnan belum ada tanda-tanda hendak balik ke Solo, ia malah menggendong Adta dan sama sekali tidak melepaskan bayi itu barang sedetik pun.“Ah, jadi kamu hendak mengusir suamimu sendiri?” Adnan mencebik, memang kenapa kalau besok dia sudah dinas?Redita terkekeh, kenapa jadi baper macam ABG kemarin sore sih suaminya ini? Ia mendekati Adnan yang tampak begitu bahagai dengan Adta yang berada dalam gendongannya. Kenapa rasanya bahagia sekali melihat betapa manis bapak dan anak itu ketika sedang seperti ini?“Bukan begitu Sayang, besok kan pasti masuk pagi.” Redita memeluk suaminya itu dari belakang, jendela kamarnya aman kok, meskipun tirai terbuka, tidak akan ada yang melihat apa yang mereka lakukan kecuali jika sengaja ingin mengintip.“Aku balik subuh boleh kan? Masih kangen sama kamu, sama jagoan kecilku ini.”Redita hanya tersenyum dan me