Redita keluar dari kamar mandi sudah dengan piyamanya. Adnan sudah keluar lebih dulu setelah menyelesaikan hajatnya dan membersihkan diri. Redita menatap kesekeliling kamar, Kemana Adnan? Kenapa kamar sepi? Ia melangkah keluar kamar dan mendapati di meja makan sudah banyak sekali makanan ada di atas meja.
"Astaga, ingat kolesterol, Mas!" pekik Redita gemas.
"Kamu tidak sedang diet, kan?" tanya Adnan tidak peduli.
Redita tidak menjawab. Tampak ada burger, pizza dan entah apa lagi itu tergeletak di atas meja. Redita melangkah duduk di sebelah Adnan, ia sudah sama rapinya dengan piyama celanan panjang itu.
"Tidak masalah, kan, kamu nggak bisa nongkrong sama temen-temenmu?" tanya Adnan sambil menatap Redita lekat-lekat.
"Lho darimana Mas tahu?" kok bisa suaminya ini tahu? Apa dia menggeledah ponselnya? Tapi ponselnya kan ia kunci. Dan Adnan belum ia beri tahu sandi kunci ponselnya.
"Tadi saya nggak sengaja dengar anak-anak mau nongkrong di
Adnan keluar dari kamar mandi, hari ini ia berencana hendak pergi ke Jogja untuk kembali mencoba mengajak Edo bicara empat mata. Mumpung dia libur dan sepertinya Edo juga libur. Jadi ini merupakan waktu yang tepat untuk mereka bicara. Adnan sangat berharap bahwa nantinya Edo akan luluh, Edo akan mengerti dan Edo akan terbuka hatinya untuk merestui keinginan Adnan yang hendak menikahi Redita secara resmi.“Benar tidak mau ikut?” tanya Adnan sambil mengenakan pakaiannya dan bersiap-siap, sementara Redita masih meringkuk di bawah selimutnya, ia masih enggan bangun dari tidurnya, efek dikerjain Adnan semalaman, tubuhnya lemas semua!“Nggak lah, aku rasa Mas dan Edo perlu ruang untuk bicara berdua saja, Mas!” Redita belum mau membuka matanya, biarlah dia berangkat sendiri ke Jogja sana. Redita ingin waktu
“Arrghhh ...,” Edo menjatuhkan tubuhnya di lantai, dan kesempatan itu Arra gunakan untuk bangkit dan membenani pakaiannya yanghampir dibuka paksa oleh Edo itu, air matanya banjir. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Edo tega hampir melakukan hal keji itu terhadapnya. Edo hampir memperkosanya!Edo duduk di lantai sambil menyandarkan kepalanya di lutut, kedua tangannya mengacak rambut dengan kasar, ia sudah sangat tegang sekarang. Namun ia sadar, ini bukan perbuatan yang benar! Ia tidak bisa melakukan semua itu sekarang, tidak kalau ia tidak ingin mendapat masalah besar karena kenekatannya yang hendak memperkosa Arra, kekasih yang sangat dia cintai itu.“Keterlaluan!” teriak Arra kemudian hendak turun dari ranjang Edo, namun Edo lebih gesit, ia menarik kaki Arra, kemudian bangkit dan kembal
Mereka bertiga sudah duduk di salah satu meja warung yang menyajikan ramen sebagai hidangan utamanya. Adnan sebenarnya tidak terlalu suka makanan seperti ini, tapi karena ia hendak berbicara penting dengan Edo, ia tentu mencari tempat yang nyaman sesuai dengan apa yang mereka mau, bukan?Edo melirik sang papa yang duduk tepat di depannya, ia tampak menghela nafas panjang. Ia sudah tahu sebenarnya apa yang hendak papanya itu katakan, pasti soal hubungan sang papa dengan koasnya yang bernama Redita itu, bukan?“Jadi papa ingin bicara apa?” tanya Edo basa-basi, ia berani bertaruh bahwa Redita-lah yang akan mereka bahas.Adnan menyingkirkan mangkuk ramennya lalu menatap Edo lekat-lekat, Arra masih sibuk dengan ramen miliknya, meskipun begitu, Adnan tahu gadis it
Redita mengerutkan keningnya ketika sosok itu sudah kembali pulang, kenapa cepat sekali? Dan wajah itu ... Redita tahu, pasti ia kembali bersitegang dengan Edo bukan? Redita hanya tersenyum kecut, lalu bergegas mendekap sosok itu dalam dadanya ketika Adnan duduk di sebelahnya.“Kalian ribut lagi?” tanya Redita lirih, dielusnya dengan lembut kepala dokter bedah senior itu.“Hanya sedikit agak keras,” jawab Adnan sama lirihnya.Tampak Adnan kemudian mendengus perlahan, tangannya memijit-mijit pelipisnya dengan sedikit ia tekan kuat. Membuat Redita merasa bersalah sudah menimbulkan masalah itu diantara Adnan dan putera sulungnya. Itu baru Edo, entah kalau anak bungsu Adnan tahu, ah ... pasti semakin runyam.
Hari ini hari terakhir Stase kulit dan kelamin, itu artinya hari terakhir pula Redita koasisten. Dan itu makin membuat Adnan pening. Ia masih belum bisa meyakinkan Edo dan Aldo tentang pilihannya. Keputusan mereka sudah bulat, tidak lama mengizinkan Adnan menikah jika bukan Amanda yang Adnan nikahi.Janji Adnan adalah akan menikahi Redita secara resmi setelah dia beres koas bukan? Dan hari ini hari terakhir dia koas! Dengan izin yang belum Adnan kantongi dari anak-anaknya. Sebuah hal yang akhir-akhir ini membuat kepala Adnan sakit bukan main, membuat Adnan merasa begitu bersalah pada Redita."Hari terakhir," guman Redita seolah memberi kode. Ia menoleh, mentatap Adnan yang terpekur di tepatnya duduk itu.Adnan menghela nafas panjang, ia bergegas bangkit dan meraih tangan Redita, menggenggam tangan Redita erat-erat, ia tahu Redita pasti minta kepastiannya pernikahan mereka bukan? Adnan sendiri yang dulu mengatakan bahwa ia akan menikahi Redita secara resmi sebelu
Redita tersenyum, menghela nafas panjang kemudian mengangguk pelan."Iya bisa, ada apa?" tidak perlu Redita tanya, ia tahu betul siapa laki-laki ini. Di seragam lorengnya sudah ada identitas, dan jangan lupa ia pernah melihat foto laki-laki ini di smartphone Adnan.Sosok yang tidak lain dan tidak bukan adalah anak bungsu Adnan, Aldo Sindhutama, yang sekarang sudah resmi menjadi salah satu prajurit angkatan darat Republik Indonesia ini. Dan untuk apa dia kemari, Redita sudah sangat paham apa alasannya."Mungkin tidak di sini, kita bisa ketempat lain?" guman sosok itu masih dengan wajah ramah.Ke tempat lain? Memang Aldo, calon anak tirinya ini hendak membawa dirinya kemana? Ah ... sepertinya Aldo lebih ramah daripada Edo, ya? Buktinya ia mau sekedar bertemu dengan Redita, meskipun Redita paham apa yang hendak Aldo katakan dan bicarakan kepada Redita tidak jauh berbeda dengan sang kakak, Edo."Maaf Al, tapi tidak bisa. Sepuluh menit lagi saya ada vis
Redita tersenyum ketika masuk ke tangga darurat itu, air matanya menitik ketika ingat bahwa di tempat ini lah kemudian untuk pertama kalinya ia mengobrol dengan begitu akrab dengan Adnan bukan? Yang kemudian berujung dengan makan siang bersama dan saling bercerita satu sama lain?Redita duduk di ujung tangga paling atas, tempat di mana dulu Redita dan Adnan pernah duduk berdua di sini. Redita bersandar di tembok, membiarkan air matanya menitik. Hatinya benar-benar pedih hari ini, ia hancur, patah hati dan entah apa lagi. Yang jelas dadanya begitu sesak luar biasa.Kenapa harus ada pertemuan jika ujunngya hanya sebuah perpisahan? Kenapa kemudian harus tumbuh cinta jika hanya berakhir duka? Namun apakah semua ini salah cinta? Apakah cinta salah dalam hal ini?“Re, k
"Sayang, kenapa?" Adnan tersentak ketika begitu ia sampai di apartemen Redita memeluknya erat-erat. Ya meskipun sudah biasa dia selalu memeluk Adnan seperti ini, namun entah mengapa Adnan merasa aneh dengan sang isteri."Kangen, malam ini jangan pulang ya!" pinta Redita lirih."Tapi anak-anak saya pulang, Re. Saya mau bicara penting dengan mereka malam ini juga, boleh ya saya pulang?" Adnan balas memeluk isterinya itu, rasanya juga ia tidak ingin pergi, hanya saja malam ini ia harus banyak bicara dengan anak-anaknya itu."Kalau begitu boleh minta sesuatu sebelum Mas balik?" tanya sosok itu sambil menatap Adnan serius, menatap Adnan dengan wajah setengah memohon pada sang suami."Apa? Mau minta apa, Sayang?" Adnan mengelus lembut kepala Redita yang kembali memeluknya dengan manja itu."Main dulu satu kali boleh?"Adnan tertegun, kenapa jadi Redita yang minta? Biasanya tidak pernah bukan? Kok jadi aneh? Adnan masih hendak memikirkan kenapa tib