Redita bangkit dengan malas dari kasurnya. Koas lagi, bagian bedah lagi! Apes! Ia menguap sebentar, menatap lurus ke arah pintu kamar mandi kamarnya. Sedetik kemudian ia bangkit dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi, ia harus bergegas mandi dan bersiap berangkat koas, sebuah rutinitas wajibnya selepas mendapatkan gelar sarjana kedokterannya bukan? Jujur makin kesini ia jadi makin malas berangkat ke rumah sakit.
Ini semua gara-gara perasaan kurang ajarnya terhadap sosok itu, siapa lagi kalau bukan Dokter Adnan Sanjaya! Lagian kenapa sih dia bisa jatuh cinta pada sosok itu? Kenapa tidak pada laki-laki lain? Kenapa tidak pada Andaru yang jelas-jelas menyatakan cinta kepadanya? Kenapa malah Andaru dia tolak kemarin? Kenapa?
Redita sendiri tidak mengerti dengan perasannya sendiri, kenapa dia bisa jadi seperti ini sih? Kenapa malah sekarang seleranya laki-laki matang paruh baya macam Dokter Adnan? Kenapa orientasinya berubah sebegitu ekstrim? Masih bagus sih tidak berubah
Adnan bergegas menyelesaikannya operasinya, pikirannya sejak tadi hanya fokus pada Redita, tidak ada yang lain lagi. Untungnya dia masih bisa profesional jadi semua pekerjaannya bisa lancar dan beres."Lanjutkan!" perintahnya lalu bergegas keluar, setelah ini ia mau langsung ke Semarang.Ia sudah dapat sharelock dari anak-anak yang sudah lebih dulu ke sana. Bayangan Redita menangis sesegukan masih terngiang terus dalam pikiran Adnan, membuat Adnan rasanya ingin bergegas lari ke Semarang guna memastikan gadis itu baik-baik saja, ya walaupun ia tahu, kehilangan orang tua masuk kedalam kategori tidak baik."Saya segera kesana, Re. Kamu yang sabar ya!"***Redita belum mau beranjak dari depan gundukan tanah yang masih merah itu. Air matanya masih menitik. Ia tidak percaya dengan semua yang terjadi. Harus secepat inikah mamanya itu pergi meninggalkan dirinya?Redita membiarkan air matanya menitik, rasanya ia sudah kehilangan arah, kehila
Redita tercengang luar biasa mendengar apa yang baru saja keluar dari mulut konsulennya itu. Dokter Adnan hendak membiayai semua biaya kepaniteraan klinik Redita? Dia hendak membiayai Redita yang bukan siapa-siapanya ini sampai lulus koas?"Do-dokter serius?" Redita tertegun, ia menatap konsulennya itu.Dokter Adnan tersenyum, ia meraih tangan Redita dan meremasnya lembut. Ditatapnya Redita yang masih tertegun tidak percaya itu. Adnan paham, pasti dia tidak percaya dan menganggap bahwa Adnan hanya bermain-main bukan?"Saya serius, saya akan biayai semua biaya koasmu dan kamu akan menjadi dokter yang hebat, Re!" Adnan kembali meremas lembut tangan dalam genggamannya itu, senyumnya merekah, sebuah senyum tulus sebagai bukti bahwa dia serius dan tidak main-main dengan apa yang sudah ia ucapkan ini."Terima kasih banyak, Dokter!" desis Redita lirih, air matanya meluncur membasahi kedua pipinya. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa akan ada orang yang
Adnan membawa mobilnya kembali ke Solo, jujur selain perasaan iba dan kasihan pada sosok gadis yang Adnan gilai itu, ia benar-benar bahagia karena ternyata Redita masih sendiri. Ia menolak residen bedah yang juga mahasiswanya itu. Kenapa dulu Adnan main pergi begitu saja? Kenapa ia tidak menunggu dulu apa yang Redita hendak katakan menanggapi ungkapan cinta dari Andaru itu?"Re ... Ternyata seperti itu? Kamu menolaknya? Astaga kamu hampir membuat aku gila, Re!" senyum Adnan kembali merekah.Ia hampir saja patah hati, sudah patah hati malah, namun ternyata semua yang terjadi tidak sepeti apa yang Adnan bayangkan. Gadis itu masih sendiri, hatinya belum ada yang memiliki. Dan itu artinya Adnan masih punya kesempatan bukan?"Sorry Yud, terserah apa katamu nanti, hanya saja perasaanku tidak bisa di bohongi!" desis Adna sambil tersenyum kecut, pasti Yudha nanti akan mencak-mencak jika tahu Adnan masih akan nekat mempertahankan perasaan cintanya pada Redita.Adn
"Kembaliannya buat Bapak saja," Redita menyodorkan beberapa lembar uang, kemudian membuka pintu mobil dan membawa kopernya turun."Terima kasih banyak ya, Mbak!"Redita hanya tersenyum dan mengangguk, selepas mobil itu pergi ia bergegas masuk ke dalam bangunan kostnya. Ia menyeret kopernya masuk ke dalam, merogoh kunci dan memutar kunci itu guna membuka pintu kamarnya."Re, kamu sudah balik?" Yanven terkejut ketika ia menemukan Redita sedang membuka pintu kamar kostnya."Iya, mau bagaimana lagi?" tanyanya sambil tersenyum kecut, ia menatap Yanven yang tampak begitu syok dengan kepulangannya ini."Mama mu baru tadi siang dimakamkan, dan kamu sudah pulang kemari?" Yanven masih belum percaya, ia baru juga sampai beberapa jam yang lalu dari melayat ke rumah Redita di Semarang."Apa boleh buat, mereka yang memintaku pergi," desis Redita dengan berlinangan air mata."Mereka memintamu pergi? Siapa?" pekik Yanven tidak percaya, ia melotot men
"Makanlah dulu!"Seporsi nasi liwet itu sudah terhidang di depan Redita, ia hanya tersenyum kemudian mulai meraih sendoknya. Mereka akhirnya berhenti di sebuah warung lesehan yang menjual nasi liwet khas Solo. Makanan wajib yang harus dicoba kalau berkunjung ke Kota Bengawan ini."Harusnya jangan langsung makan yang bersantan, Re. Perut kamu kosong dan kamu ...," Adnan tidak melanjutkan kalimatnya ketika Redita tidak jadi menyuapkan nasinya dan malah menyimak ucapan Adnan."Makanlah dulu," Adnan tersenyum, ditatapnya gadis dengan mata sembab itu."Dokter tidak makan?" Redita menatap Adnan yang hanya tersenyum melihat dia makan."Makanlah, jangan pikirkan aku, Re."Redita kembali tersenyum, ia mulai menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Jantungnya berdegub kencang, terlebih ketika menatap wajah Adnan yang tampak segar dan santai tanpa pakaian dinas dan snelli itu."Dokter sangat baik, entah apa yang akan terjadi pada saya kalau tidak ada
“Astaga, Re? Kamu sudah masuk koas?” Claudia terkejut bukan main ketika melihat Redita muncul di parkiran.Redita hanya mengangguk dan tersenyum, ia bergegas meletakkan helmnya dan melangkah mendekati Claudia yang masih tercenggang tidak percaya itu. Sudah ia duga, pasti banyak yang akan terkejut melihat dirinya sudah kembali muncul di rumah sakit untuk melanjutkan kepaniteraan kliniknya.“Re, kamu baik-baik saja kan?” Claudia masih tidak percaya bahwa sahabatnya itu sudah kembali aktif koas lagi setelah kemarin mamanya meninggal dunia.“Baik, aku baik-baik saja, Clo. Santailah!”Claudia hanya mengangguk dan tersenyum, mereka kemudian melangkah bersamaan masuk ke dalam rumah sakit. Dari ujung matanya, Redita melihat mobil yang sudah sangat tidak asing di matanya itu. Itu mobil Dokter Adnan! Sosok itu kemudian turun dan tersenyum ke arahnya, membuat hari Redita menjadi lebih baik, makin baik lagi.Redita hanya men
“Jadi Re, ini unit apartemen saya.”Adnan membuka pintu itu lebar-lebar dan membantu Redita membawa masuk kopernya ke dalam. Redita tertegun melihat betapa rapi unit apartemen itu. Tidak terlalu mewah sih, namun ia tahu satu unit apartemen ini pasti harganya juga lumayan karena apartemen ini berada di tengah kota dan termasuk dalam kategori apartemen mewah dan ekslusif.“Ada dapurnya juga, jadi kamu tidak perlu bingung kalau ingin makan sesuatu, habis ini belanjalah kebutuhan mu, sudah cek rekening? Saya sudah transfer saku untuk keperluanmu selama sebulan.” Adnan tersenyum, menatap Redita yang tampak masih begitu terkesima dengan unit apartemennya.“A-apa? Bagaimana, Dok?” Redita benar-benar terkejut, Dokter Adnan sudah mentrasnfer uang untuknya?“Cek rekeningmu, saya sudah transfer ke rekeningmu, itu untuk satu bulan ya!” tampak wajah itu tersenyum begitu manis.“Dok, sa-saya ...,”
Redita sudah siap dengan scrub dan snelli-nya, ia hendak berangkat ke rumah sakit ketika kemudian pintu unit apartemen itu terbuka, nampak Dokter Adnan muncul dengan sama rapinya. Ah ... sosok pria matang itu memang selalu rapi dan bersih. Oh ya jangan lupa ia selalu wangi dalam kondisi apapun."Re, mau berangkat sama saya atau berangkat sendiri?" tanya sosok itu lalu masuk dan melangkah mendekati Redita yang masih tertegun berdiri di depan pintu kamar."Saya berangkat sendiri saja, Pak." jawab Redita gugup.Redita tersenyum, melihat sosok itu dengan snelinya membuat Redita makin jatuh hati. Sungguh Redita benar-benar terpesona melihat Dokter Adnan ketika sedang dalam balutan snelli-nya. Wibawanya benar-benar kuat sekali jika sosok itu dalam balutan jas kebanggan para dokter yang putih bersih, membuat pesonanya begitu kuat terpancar. Entah itu hanya menurut Redita atau menurut pandangan orang lain sama, ia sendiri tidak tahu."Oke kalau begitu, nih buat s
Redita hendak kembali pulang selepas jaga malam pagi itu ketika ia mendapati Land Cruisser yang ia tahu betul adalah milik sang suami sudah terparkir di halaman parkir rumah sakit. Tak beberapa lama sosok itu turun dari mobil, tersenyum begitu manis ke arahnya.Rasanya Redita ingin berlari dan menjatuhkan diri di pelukan sang suami kalau saja mereka tidak sedang berada di halaman rumah sakit saat ini. Jadi Redita sekuat tenaga menahan keinginannya untuk melakukan hal itu, ia melangkah perlahan mendekati sang suami yang tersenyum begitu lebar ke arahnya.“Hai suamiku,” sapa Redita lalu mengulurkan tangannya, bergegas mencium punggung tangan Adnan begitu uluran tangannya terbalas.“Hai juga isteriku, kamu tampak lelah. Bisa kita pulang sekarang? Aku rindu dengan jagoan kecilku.”Redita sontak mencebik, ia memanyunkan bibirnya yang sukses membuat Adnan terkekeh melihat perubahan wajahnya itu.“Jadi pulang cuma kangen sama
Beberapa hari kemudian ... “Dokter!” Redita setengah berlari mengejar langkah dokter Ricard, beliau adalah dokter bedah yang bertanggung jawab pada sang nenek pasca operasi kemarin. Dan hari ini adalah visiting terakhir, bukan? Kondisi sang nenek sudah lebih baik, dan itu artinya dia sudah boleh pulang. Untuk itu Redita ingin melihat wajahnya, mungkin untuk terakhir kalinya dia bisa melihat wajah-wajah yang dulu menorehkan luka dengan begitu dalam di relung hati Redita itu. “Ada apa, Re?” tanya dokter Richard yang tampak mengerutkan kening melihat Redita berlari-lari menghampirinya itu. “Boleh saya ikut visiting, Dok?” mohon Redita dengan nafas terenggah-enggah. “Tentu boleh, bukan kah pasien itu pertama kali datang kamu yang pegang?” tampak dokter Ricard tersenyum, ia sudah hendak kembali melangkah ketika kemudian tangan Redita mencekal tangan dokter Richard, mencegahnya melangkah lebih jauh. “Dok, tunggu sebentar!” Dokter Ric
Redita tersenyum menatap sosok itu yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Beberapa alat medis masih menempel di tubuh renta itu. Ia sudah berhasil melewati masa kritisnya, tinggal menanti dia kembali sadar dan kondisinya pulih.Redita meraih tangan berkeriput itu, meremasnya perlahan dengan hati yang teramat pedih. Bayangan masa lalu dimana sosok itu dengan tangan yang saat ini Redita genggam, sering menamparnya, menjewer telinga Redita sampai memerah, mecubit pahanya sampai memar membiru dan terkadang memukul kakinya dengan gagang sapu. Belum lagi, mulut yang sekarang terpasang ventilator itu, dulu begitu pedas tiap mengata-ngatai dirinya, mencaci-maki Redita yang bahkan dulu masih begitu kecil dan tidak paham apa-apa.Redita menghela nafas panjang, berusaha melupakan semua itu meskipun rasanya begitu sulit dan tidak semudah yang ia katakan. Redita melirik jam dinding, sudah pukul setengah enam, ia bergegas merogoh saku snelli-nya, mengambil masker medis yang
"Iya Sayang, stok ASIP Adta sudah ready banyak di kulkas, jangan khawatir ya." Redita tersenyum, malam ini ia harus jaga IGD sampai besok pukul tujuh pagi. Dan Adnan sudah ribut khawatir dengan Adta katanya."Benar? Apa perlu aku balik ke sana sekarang?"Sontak Redita tertawa, ah lebay sekali bapak tiga orang anak itu? Sebelum mereka kembali bertemu, toh Adta baik-baik saja jika dia ada jaga malam, kenapa sekarang dia jadi begitu khawatir?"Sudah, tenang saja! Jagoan kecil kita aman dan akan baik-baik saja, Sayang." guman Redita lirih, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semua akan baik-baik saja."Yasudah, kabari aku terus ya. Aku benar-benar khawatir dengan kalian berdua."Redita tersenyum, hatinya berbungga-bungga mendengar nada kekhawatiran itu meluncur dari bibir sang suami. Rasanya ia begitu bahagia mendengarnya. Bagaimanapun, setua apapun laki-laki yang menjadi suaminya ini, dia benar-benar sosok yang begitu peduli dan penyayang. Ah ... sung
Adnan tersenyum ketika mendapati panggilan dari nomor itu, nomor yang ia tunggu untuk memberinya kabar perihal perkembangan pendaftaran itsbat nikahnya. Semoga semuanya lancar dan tidak perlu waktu lama ia bisa mendaftarkan pernikahannya dan memperoleh apa yang sudah ia janjikan kepada sang isteri sejak dulu.“Halo, gimana Fan?” tanya Adnan yang sudah sangat tidak sabar itu.“Berkasnya sudah masuk, Dok. Sudah diurus sama isteri saya, nanti tinggal tunggu kabar persidangannya saja ya, Dok.”Wajah Adnan makin cerah, senyumnya mengembang sempurna mendengar hal itu. Redita pasti akan sangat bahagia mendengar kabar ini, bukan? Impiannya untuk bisa segera memiliki buku nikah dan menikahi Redita secara resmi akan terwujud.“Baik, saya berterima kasih sekali padamu, Fan. Sampaikan ucapan terima kasihku pada isterimu juga, ya.”Adnan menyandarkan tubuhnya di kursi, hatinya tengah berbunga-bunga. Rupanya inilah kebahagiaan
Adnan mematikan mesin mobilnya ketika ia sudah sampai di halaman rumahnya. Mobil Edo dan Arra masih ada, itu artinya dia masih di sini, belum kembali ke Jogja dan Arra belum balik ke rumah Yudha. Ya ... memang seperti itu, bukan? Selama Edo masih harus pendidikan di Jogja, Edo harus terpisah dari sang isteri karena Arra sudah dinas di salah satu rumah sakit swasta di Solo dan sebuah klinik. Jadi lah tiap Edo di Jogja Arra lebih memilih pulang ke rumah orang tuanya karena di rumah Adnan ini ia merasa kesepian.Adnan bergegas turun, melirik arlodjinya dan masuk ke dalam rumah. Sudah pukul setengah lima. Bisa lah dia mandi besar dulu lalu sholat subuh dan bersiap berangkat ke rumah sakit. Adnan bergegas naik kelantai atas, hanya dapur yang sudah tampak menyala lampunya, yang artinya dua asistennya sudah sibuk menyiapkan sarapan dan melakukan pekerjaan lain.Adnan bergegas masuk ke dalam kamar, mandi dan bersiap sholat. Ia tersenyum menatap kamarnya itu. Kelak kamar ini ak
“Aku pamit balik Solo dulu, Sayang. Jaga anak kita baik-baik ya?” Adnan mengecup kening sang isteri, kemudian beringsut mendekati Adta yang terlelap begitu nyenyak di dalam box-nya. Rasanya berat sekali Adnan hendak kembali, namun ia masih punya tanggung jawab, bukan? Terlebih sekarang ia punya tanggungan membiayai Adta, belum lagi Edo masih beberapa tahun lagi lulus PPDS-nya, ah ... itulah yang selama ini selalu membuat Adnan semangat tetap bekerja.“Mas hati-hati ya, kabari kalau sudah sampai Solo.” desis Redita lalu memeluk erat sang suami.Adnan hanya tersenyum, melepaskan Redita perlahan-lahan lalu mengecup keningnya perlahan. Hanya sekilas, karena kemudian kecupan itu turun mengecup bibir Redita penuh cinta, ya walaupun juga hanya sebentar.“Pasti, akan saya kabari selalu, Sayang!” Adnan tersenyum, kemudian meraih kunci mobil dan dompet yang tergeletak di atas lemari Adta.Redita menyodorkan jaket milik Adnan, mem
Edo bangkit dari ranjang, senyumnya merekah melihat betapa lelap Arra yang tubuhnya masih polos itu. Ia melirik jam dinding, sudah pukul satu dini hari dan papanya belum ada tanda-tanda pulang dari rumah mama tirinya itu? Padahal besok pagi dia harus dinas, bukan?Edo meraih baju-bajunya yang tadi ia lempar sembarangan ketika sudah tidak tahan lagi untuk menyentuh sang isteri. Siapa sih yang tidak tergoda dengan tubuh dengan lekuk indah dan kulit putih bersih itu? Dia laki-laki normal, jadi tentu lah ia langsung kalang-kabut begitu mendapati sang isteri sudah dengan lingerie warna merah itu.Dasar Arra, memang umurnya masih kecil, tapi ia sudah sangat matang rupanya, bahkan untuk urusan ranjang seperti ini. Ah Edo tidak salah pilih, bukan? Edo bergegas memakai kembali bajunya, meraih bungkus serta ‘benda’ bekas pakai itu dari atas nakas dari atas meja dan membuangnya ke dalam tempat sampah yang ada di kamar mandi.Ya ... meskipun dia dan Arra sudah m
“Mas, katanya besok sudah dinas?” tanya Redita ketika sore itu Adnan belum ada tanda-tanda hendak balik ke Solo, ia malah menggendong Adta dan sama sekali tidak melepaskan bayi itu barang sedetik pun.“Ah, jadi kamu hendak mengusir suamimu sendiri?” Adnan mencebik, memang kenapa kalau besok dia sudah dinas?Redita terkekeh, kenapa jadi baper macam ABG kemarin sore sih suaminya ini? Ia mendekati Adnan yang tampak begitu bahagai dengan Adta yang berada dalam gendongannya. Kenapa rasanya bahagia sekali melihat betapa manis bapak dan anak itu ketika sedang seperti ini?“Bukan begitu Sayang, besok kan pasti masuk pagi.” Redita memeluk suaminya itu dari belakang, jendela kamarnya aman kok, meskipun tirai terbuka, tidak akan ada yang melihat apa yang mereka lakukan kecuali jika sengaja ingin mengintip.“Aku balik subuh boleh kan? Masih kangen sama kamu, sama jagoan kecilku ini.”Redita hanya tersenyum dan me