"Dokter, semua sudah siap!" lapor perawat OK itu ketika Adnan masuk ke dalam salah satu ruangan di OK itu.
"Baik," hanya itu yang Adnan ucapkan, ia segera masuk sambil memakai surgical mask-nya.
Adnan menatap obyek bedahnya hari ini, seorang gadis yang sudah terbaring di atas meja operasi. Beberapa petugas medis yang lain sudah bersiap untuk ikut turun bersamanya dalam operasi kali ini. Hari ini Adnan ada jadwal laparatomi, ia dan dia sudah berdiri di depan meja operasi. Ia menatap beberapa orang yang sudah siap dengan gown mereka masing-masing.
"Anestesi?"
"Clear!"
"Peralatan?"
"Clear!"
"Koas?"
"Clear!"
"Hari ini koas yang ikut siapa saja?" tanya Adnan sambil menatap beberapa orang yang ikut bersamanya.
"Redita Fernanda, Dok."
"Gilbert Situmorang, Dok."
Adnan hanya mengangguk pelan.
"Residen?"
"Toni Ardiyanto."
"Kendrick Bagaskara."
Adnan tidak berkata-kata lagi, ia hanya mengangguk pelan tanda paham siapa saja mahasiwa baik koas atau residen bedah yang bergabung dengannya hari ini.
"Scalpel, please!" guman Adnan tegas meminta senjatanya di siapkan.
Seorang perawat OK bergegas menyodorkan alat yang Adnan minta, ia bergegas memulai prosedur-prosedur pembedahan. Dengan lincah Adnan membuat sayatan di perut itu. Ia kemudian menatap gadis yang ada di hadapannya itu, salah seorang koas yang sedang menjalani stase bedah bersamanya.
"Pegang ini yang kuat, udah sarapan kan?" guman Adnan pada Redita sambil mempersilahkan gadis itu memegang langebeck yang sudah ia posisikan untuk menahan sayatan yang sudah ia buat itu.
Gadis itu mengangguk patuh. Dengan gugup ia mengikuti instruksi yang diberikan Adnan. Adnan bisa melihat dengan jelas tangan itu bergetar hebat, wajahnya pucat luar biasa dengan keringat dingin mengucur dari dahinya.
"Dek ... ditahan to! Kok kendor sih?" bentak Adnan ketika Redita tidak bisa menahan alat itu seperti apa yang ia instruksikan.
"Ba-baik, Dokter."
Adnan kembali serius dengan pekerjaannya. Namun ia masih belum puas dengan pekerjaan Redita, koas nya itu.
"Dek, kamu bisa nggak sih? Masa kayak gini aja nggak bisa? Gilbert gantiin Redita!" suara Adnan meninggi, ia menatap tajam ke arah gadis itu.
Gilbert menggantikan Redita yang tampak bergetar hebat itu. Adnan menatap sekilas Redita yang makin pucat itu, matanya memerah, membuat Adnan tertegun sejenak. Ada sebuah perasaan yang tiba-tiba menyeruak di relung hati Adnan yang paling dalam. Perasaan yang sudah sangat lama sekali tidak pernah muncul dalam diri Adnan. Kenapa ia menjadi iba pada sosok yang begitu pucat dan matanya memerah itu.
Adnan menghela nafas panjang, ia kemudian kembali fokus pada pekerjaannya, ia melupakan sejenak perasaan aneh yang tiba-tiba muncul itu. Ada apa dengan dirinya?
***
"Dek, lanjutkan! Jahit yang rapi," guman Adnan lalu melepas handscoon-nya dan melangkah keluar.
Ia melirik sekilas Redita yang menundukkan pandangannya itu. Namun Adnan terus melangkah meninggalkan para koas dan residennya melanjutkan pekerjaannya.
Ia bergegas melepas gown-nya dan mencuci bersih-bersih kedua tangannya. Pikirannya malah terpusat pada sosok Redita, koas periode ini yang menjalani stase bedah di bawah pengawasannya.
Kenapa ia jadi memikirkan gadis itu sih? Dia bahkan lebih muda dari anak sulungnya! Ada apa ini? Adnan bergegas menyambar snelinya dan melangkah keluar dari OK. Pikirannya melayang memikirkan sosok itu. Ada sebuah perasaan timbul dan menyeruak dalam hati Adnan, dia kenapa sih? Kenapa jadi seperti ini?
Adnan melangkah menuju ruangannya, hendak mengambil tas dan barang bawaannya. Ia masuk dan duduk di kursinya, memijit keningnya dengan gemas. Sejak awal memang ia sudah begitu terganggu dengan sosok Redita itu. Bukan karena anaknya menyebalkan atau banyak tingkah, melainkan karena hadirnya sosok itu membuat perasaan aneh yang sudah lama mati dalam diri Adnan kembali hidup.
Sebuah gairah yang sudah Adnan kesampingkan selama hampir lima tahun ini. Gairah yang sukses membuat Adnan selalu sakit kepala dan berakhir dengan ia menuntaskan semua gairha itu sendirian.
Dia tidak pernah lagi tertarik dengan siapapun sejak perceraiannya dengan sang mantan isteri. Rasa sakit yang mendalam itu benar-benar sudah membuat Adnan mati rasa, membuat ia trauma dengan wanita.
Namun Redita ... kenapa Adnan bisa langsung tertarik pada gadis belia dua puluh satu tahun itu? Ia harusnya tahu umur bukan? Dia mungkin seumuran dengan bapak gadis itu! Dan dia jatuh cinta pada gadis itu? Astaga, nyebut Nan ... nyebut!
Adnan bergegas bangkit dan melangkah keluar dari ruang prakteknya. Sudah jam pulang bukan? Dengan santai ia melangkah menuju parkiran. Ia melirik sekilas lift yang tampak dipenuhi beberapa orang di depannya itu, ahh ... mending lewat tangga saja, lebih sehat bukan?
Adnan membuka pintu tangga dan tersentak menemukan sosok itu tengah duduk di tangga sambil memeluk lututnya. Suara Isak terdengar oleh indera pendengaran Adnan. Dari snelli yang dipeluknya, Adnan tahu dia anak koas. Dan dari badge namanya ... astaga ini Redita? gadis yang sejak tadi menganggu pikirannya itu? Kenapa dia menangis?
Adnan menghela nafas panjang ia kemudian duduk tepat di samping gadis itu, gadis itu masih memeluk lututnya dan terisak.
"Baru satu stase aja udah nangis, bagaimana stase-stase selanjutnya?" guman Adnan lirih.
Sosok itu tersentak, ia mengangkat wajahnya dan buru-buru menyeka air matanya. Adnan dapat melihat dengan jelas air mata itu masih mengambang di pelupuk mata gadis itu.
"Do-dokter Adnan?" Redita tampak sangat terkejut, ia langsung terlihat salah tingkah.
"Iya, kenapa? Kamu nangisnya nggak gara-gara saya tadi kan?" tanya Adnan to the point.
"E-enggak kok, Dok."
"Yakin? Lha trus kenapa nangis di sini?" Adnan tersenyum kecut, ia percaya bahwa ada sesuatu yang terjadi pada sosok itu.
"Sa-saya ... sa-saya ...,"
"Daripada nangis di sini, mending ikut saya!" titah Adnan lalu bergegas bangkit.
"Gi-gimana, Dok?" untuk sekali lagi Redita tampak sangat terkejut.
"Ikut saya, kamu nggak budek kan? Atau perlu saya bawa ke poli THT?" tanya Adnan sambil tersenyum kecut.
"Ng-nggak perlu, Dok. Memangnya mau kemana?" Redita menatap Adnan takut-takut.
"Sudah ikut saja!" Adnan meraih tangan Redita, membawanya menuruni tangga darurat itu.
Redita tersentak luar biasa ketika tangan itu menyentuh dan menggenggam erat tangannya. Membawanya menuruni anak tangga dengan begitu lembut.
Jantungnya berdegup kencang, kenapa tiba-tiba konsulennya itu seperti ini? Dokter Adnan bukan tipe orang kurang ajar dan sok dekat dengan mahasiswanya. Terlebih pada mahasiswi, ia seperti jaga jarak dan menciptakan sekat diantara mereka. Lantas kenapa hari ini sosok dokter bedah senior itu begitu berbeda?
Redita hanya membisu, Dokter Adnan terus membawanya menuruni anak tangga, hingga kemudian dengan perlahan ia melepaskan genggamannya.
"Ikut saya, tengang saya tidak ada niat jahat, percayalah."
Redita menatap mata itu, mata itu begitu tajam namun begitu lembut dan hangat di mata Redita. Sorotnya seolah memberi rasa nyaman di hati Redita, ada apa dengan dirinya? Nggak mungkin kan dia jatuh cinta pada sosok konsulennya itu?
Redita mengikuti langkah konsulennya itu, ia tidak berkata-kata apapun. Diam membisu melangkah di belakang sosok Adnan Sanjaya itu. Kemana laki-laki itu hendak membawanya pergi?
Adnan merasakan jantungnya berdegup kencang, kenapa sih ia balik jadi kayak anak SMA? Ia melirik sekilas Redita yang tampak sama gugupnya. Gadis itu tampak cantik dengan rambut hitam legamnya. Matanya jernih dengan bulu mata lentik, kulitnya kuning Langsat cantik khas Indonesia. Tubuhnya mungil, dan dimata Adnan, Redita benar-benar menarik!"Asli mana?" tanya Adnan ketika Redita masih diam membisu, padahal mobil yang mereka tumpangi sudah cukup jauh meninggalkan rumah sakit. Tidak ada percakapan sama sekali sejak Adnan membawa pergi Land Cruisser-nya dari halaman parkir rumah sakit tadi."Saya asli Semarang, Dokter." gadis itu tersenyum kikuk, Adnan tahu betul ia begitu gugup, sama dengan dirinya."Berapa bersaudara?" Adnan berusaha menekan sekuat tenaga segala gejolak yang menyiksanya itu."Dua, Dokter. Adik saya masih SMA," Redita benar-benar tampak gugup, senyumnya begitu kaku, padahal Adnan sering lihat di ruang koas Redita bisa tertawa terbahak-bahak
"Di mana rumahmu?" tanya Adnan ketika membawa mobil itu meninggalkan halaman restoran itu. Mereka sudah selesai dengan urusan makan siang mereka, obrolan mereka dan sudah saatnya mereka kembali pada aktivitas masing-masing bukan?"Saya kost di daerah belakang kampus, Dok," jawab Redita lirih."Oke saya antar sampai depan kost," Adnan membawa mobil itu tanpa berkata-kata lagi, ia fokus pada jalanan yang ada di depannya. Matanya masih memerah, namun dadanya sudah tidak lagi sesak seperti tadi, ketika ia harus kembali mengingat kejadian lima tahun yang lalu."Maaf saya malah merepotkan Anda, Dokter," guman Redita lirih.Adnan tertawa kecil, ia menoleh sekilas lalu kembali fokus pada kemudinya."Jangan sungkan, bukankah tadi saya yang mengajakmu? Memaksamu untuk ikut saya? Kamu sama sekali tidak merepotkan."Redita melirik sekilas, ia tersenyum simpul melihat betapa memenangkannya melihat sosok itu. Kenapa wajahnya begitu teduh? Kenapa rasanya i
Adnan menghela nafas panjang, Edo sudah heboh mengira dirinya sudah akan menikah lagi, memang dia akan menikah sama siapa? Redita? Memangnya gadis itu mau? Dia bahkan hanya selisih dua tahun lebih tua dari Aldo, anak bungsunya yang tahun ini baru delapan belas tahun. Edo anak sulungnya sudah dua puluh enam tahun! Masa iya anak tiri sama ibu tiri tuaan anak tirinya sih? Lelucon macam apa ini?Adnan mendadak gelisah. Di rumahnya itu ia hanya seorang diri bersama dua orang asisten rumah tangga. Aldo? Jangan tanya, dia sedang pendidikan militer, anak itu benar-benar ingin masuk angkatan darat daripada mengikuti jejak sang ayah menjadi dokter atau jejak sang mama yang menjadi pengacara."Redita Fernanda ...."Adnan terkejut ketika ia secara tidak sadar menyebutkan nama itu. Apakah benar ia sudah jatuh cinta padanya? Namun apa pantas? Antara mereka selisih tiga puluh empat tahun! Tidak main-main, selisih tiga puluh empat tahun! Masa iya Adnan mau menikahi gadis yang s
"Ah ... Kenapa pakai bocor segala sih bannya!" teriak Redita gemas, ia celingak-celinguk mencari tukang tambal ban dan syukurlah ada tidak jauh dari tempat ia kena apes itu. Ia sudah niat mau berangkat pagi-pagi kenapa malah harus kena apes begini sih? Sangat menyebalkan sekali!Dengan bersunggut-sunggut Redita mendorong Honda Beat kesayangannya itu menuju tukang tambal ban. Rasanya nanti sampai rumah sakit ia akan bau keringat dan kusut karena harus mendorong motornya cukup jauh. Sia-sia ia pakai skincare berlapis-lapis, semprot parfum banyak-banyak kalau akhirnya sepagi ini ia sudah harus berkeringat macam ini. Sialan memang!Apes banget sih? Untung ia berangkat sedikit awal, kalau tidak bisa gawat, ia bisa telat bukan? Mana nanti masih ada visiting beberapa bangsal, diksusi ilmiah, astaga ... kepala Redita sontak menjadi pening."Motornya kenapa, Mbak?" tanya tukang tambal ban itu sigap ketika Redita menstandarkan motornya di depan kios tambal bannya.
"Re ... nanti ikut saya sebentar ya!" Dokter Adnan sudah muncul di ruang koas, di sana Redita tengah menatap layar laptopnya, sedang sibuk menerjemahkan beberapa jurnal untuk diskusi ilmiah dan data penguat presentasi kasusnya."Kemana, Dok?" Redita mengangkat wajahnya dan menatap lekat-lekat Konsulennya itu. Ada urusan apa sampai dia harus ikut Adnan nanti?"Saya butuh bantuan mu buat bikin materi penelitian," guman Adnan berbohong, padahal tujuannya cuma agar rencana makan siang Redita bersama Andaru gagal, hanya itu! Licik bukan? Sebodoh amat, di sini kuasa Adnan lebih tinggi!"Bisa, Dokter, nanti saya ketemu Dokter di mana?" tanya Redita yang masih serius menyimak sosok yang duduk di hadapannya itu."Saya tunggu di parkiran, jangan telat ya," Adnan bergegas bangkit lalu melangkah pergi dari ruang koas itu, meninggalkan Redita yang tampak bimbang di tempatnya duduk. Pasalnya ia sudah ada janji dengan Andaru bukan?"Haduh, gagal deh makan siang g
"Bang, sori ya." guman Redita lirih ketika ia mengatakan bahwa tidak bisa ikut sosok itu makan siang seperti janji mereka tadi pagi.Andaru hanya menghela nafas panjang sambil tersenyum kecut, mau bagaimana lagi? Konsulen mereka yang minta kan? Bisa-bisa nilai dan kelulusan mereka jadi taruhannya. Jadi untuk masalah seperti ini, lebih baik diam dan mengalah, walaupun kadang permintaan konsulen itu terkesan kejam dan sedikit aneh-aneh."Iya aku paham kok, memangnya kamu mau diajak Dokter Adnan kemana?""Belum tahu, tadi bilangnya cuma disuruh bantu buat bikin bahan penelitian beliau," Redita benar-benar merasa tidak enak pada residen itu, tapi melawan perintah Dokter Adnan? Sama saja ia ingin tidak di luluskan!"Tapi nanti pulang bisa bareng kan?" Andaru masih berharap bisa berada dekat dengan sosok itu."Insyaallah deh Bang, nanti kabar-kabaran lagi aja ya," Redita sendiri tidak yakin bisa pulang bersama sosok itu, ia sendiri tidak tahu bukan apa y
Dokter Adnan membawa mobilnya kembali masuk ke halaman parkir rumah sakit. Mereka sudah selesai makan siang, tidak ada yang namanya bahas penelitian atau apapun itu, dan itu membuat Redita berpikir keras, sebenarnya tujuan dia diajak keluar sosok itu untuk apa sih? Cuma buat diajak makan siang aja? Atau bagaimana? Ahh ... Redita sendiri tidak tahu!Setelah mendapatkan tempat parkir, Dokter Adnan mematikan mesin mobilnya. Menoleh sesaat ke arah Redita, gadis itu masih duduk dengan tenang di joknya."Saya tunggu nanti di OK," guman Dokter Adnan lalu melepas seat belt-nya."Terima kasih banyak sudah ditraktir makan siang hari ini, Dok, lantas untuk ....""Mungkin besok siang ya, maaf saya lupa nggak bawa flashdisk-nya, atau nanti mau ikut kerumah?" potong Dokter Adnan cepat."I-ikut kerumah?" Redita tergagap, "Saya rasa besok saja, Dok." guman Redita tegas, ikut kerumah? Yang benar saja!"Oke, nanti saya kabari.""Kalau begitu, mari Dokt
"Selisih tiga puluh empat tahun, itu sama aja aku punya mantu setahun lebih muda dari aku, Nan! Lili lahiran Arra aku pas sudah tiga puluh lima tahun," guman Yudha sambil tersenyum kecut. Lagipula Adnan benar-benar aneh, kenapa juga harus gadis semuda itu yang ia incar? Ingat umur, astaga!Biasanya laki-laki kalau bahas wanita tentu hal-hal yang berhubungan dengan fisik, rupa atau bahkan tentang hal-hal berbau nakal, namun kini dua laki-laki dewasa itu membahas selisih umur, membahas puber kedua Adnan yang tidak main-main, jatuh cinta sama gadis dua puluh satu tahun."Yud, aku pusing," desis Adnan sambil tersenyum kecut, ia meremas rambutnya sambil memejamkan mata sejenak."Aku saja yang dengar dan lihat masalahmu saja pusing, apalagi kamu, Nan!" guman Yudha sambil memijit pelipisnya, sungguh masalah Adnan ini sedikit pelik. Yudha sendiri tidak tahu bagaimana nantinya reaksi anak-anak Adnan kalau tahu bapaknya jatuh cinta pada gadis ABG yang lebih pantas jadi an
Redita hendak kembali pulang selepas jaga malam pagi itu ketika ia mendapati Land Cruisser yang ia tahu betul adalah milik sang suami sudah terparkir di halaman parkir rumah sakit. Tak beberapa lama sosok itu turun dari mobil, tersenyum begitu manis ke arahnya.Rasanya Redita ingin berlari dan menjatuhkan diri di pelukan sang suami kalau saja mereka tidak sedang berada di halaman rumah sakit saat ini. Jadi Redita sekuat tenaga menahan keinginannya untuk melakukan hal itu, ia melangkah perlahan mendekati sang suami yang tersenyum begitu lebar ke arahnya.“Hai suamiku,” sapa Redita lalu mengulurkan tangannya, bergegas mencium punggung tangan Adnan begitu uluran tangannya terbalas.“Hai juga isteriku, kamu tampak lelah. Bisa kita pulang sekarang? Aku rindu dengan jagoan kecilku.”Redita sontak mencebik, ia memanyunkan bibirnya yang sukses membuat Adnan terkekeh melihat perubahan wajahnya itu.“Jadi pulang cuma kangen sama
Beberapa hari kemudian ... “Dokter!” Redita setengah berlari mengejar langkah dokter Ricard, beliau adalah dokter bedah yang bertanggung jawab pada sang nenek pasca operasi kemarin. Dan hari ini adalah visiting terakhir, bukan? Kondisi sang nenek sudah lebih baik, dan itu artinya dia sudah boleh pulang. Untuk itu Redita ingin melihat wajahnya, mungkin untuk terakhir kalinya dia bisa melihat wajah-wajah yang dulu menorehkan luka dengan begitu dalam di relung hati Redita itu. “Ada apa, Re?” tanya dokter Richard yang tampak mengerutkan kening melihat Redita berlari-lari menghampirinya itu. “Boleh saya ikut visiting, Dok?” mohon Redita dengan nafas terenggah-enggah. “Tentu boleh, bukan kah pasien itu pertama kali datang kamu yang pegang?” tampak dokter Ricard tersenyum, ia sudah hendak kembali melangkah ketika kemudian tangan Redita mencekal tangan dokter Richard, mencegahnya melangkah lebih jauh. “Dok, tunggu sebentar!” Dokter Ric
Redita tersenyum menatap sosok itu yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Beberapa alat medis masih menempel di tubuh renta itu. Ia sudah berhasil melewati masa kritisnya, tinggal menanti dia kembali sadar dan kondisinya pulih.Redita meraih tangan berkeriput itu, meremasnya perlahan dengan hati yang teramat pedih. Bayangan masa lalu dimana sosok itu dengan tangan yang saat ini Redita genggam, sering menamparnya, menjewer telinga Redita sampai memerah, mecubit pahanya sampai memar membiru dan terkadang memukul kakinya dengan gagang sapu. Belum lagi, mulut yang sekarang terpasang ventilator itu, dulu begitu pedas tiap mengata-ngatai dirinya, mencaci-maki Redita yang bahkan dulu masih begitu kecil dan tidak paham apa-apa.Redita menghela nafas panjang, berusaha melupakan semua itu meskipun rasanya begitu sulit dan tidak semudah yang ia katakan. Redita melirik jam dinding, sudah pukul setengah enam, ia bergegas merogoh saku snelli-nya, mengambil masker medis yang
"Iya Sayang, stok ASIP Adta sudah ready banyak di kulkas, jangan khawatir ya." Redita tersenyum, malam ini ia harus jaga IGD sampai besok pukul tujuh pagi. Dan Adnan sudah ribut khawatir dengan Adta katanya."Benar? Apa perlu aku balik ke sana sekarang?"Sontak Redita tertawa, ah lebay sekali bapak tiga orang anak itu? Sebelum mereka kembali bertemu, toh Adta baik-baik saja jika dia ada jaga malam, kenapa sekarang dia jadi begitu khawatir?"Sudah, tenang saja! Jagoan kecil kita aman dan akan baik-baik saja, Sayang." guman Redita lirih, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semua akan baik-baik saja."Yasudah, kabari aku terus ya. Aku benar-benar khawatir dengan kalian berdua."Redita tersenyum, hatinya berbungga-bungga mendengar nada kekhawatiran itu meluncur dari bibir sang suami. Rasanya ia begitu bahagia mendengarnya. Bagaimanapun, setua apapun laki-laki yang menjadi suaminya ini, dia benar-benar sosok yang begitu peduli dan penyayang. Ah ... sung
Adnan tersenyum ketika mendapati panggilan dari nomor itu, nomor yang ia tunggu untuk memberinya kabar perihal perkembangan pendaftaran itsbat nikahnya. Semoga semuanya lancar dan tidak perlu waktu lama ia bisa mendaftarkan pernikahannya dan memperoleh apa yang sudah ia janjikan kepada sang isteri sejak dulu.“Halo, gimana Fan?” tanya Adnan yang sudah sangat tidak sabar itu.“Berkasnya sudah masuk, Dok. Sudah diurus sama isteri saya, nanti tinggal tunggu kabar persidangannya saja ya, Dok.”Wajah Adnan makin cerah, senyumnya mengembang sempurna mendengar hal itu. Redita pasti akan sangat bahagia mendengar kabar ini, bukan? Impiannya untuk bisa segera memiliki buku nikah dan menikahi Redita secara resmi akan terwujud.“Baik, saya berterima kasih sekali padamu, Fan. Sampaikan ucapan terima kasihku pada isterimu juga, ya.”Adnan menyandarkan tubuhnya di kursi, hatinya tengah berbunga-bunga. Rupanya inilah kebahagiaan
Adnan mematikan mesin mobilnya ketika ia sudah sampai di halaman rumahnya. Mobil Edo dan Arra masih ada, itu artinya dia masih di sini, belum kembali ke Jogja dan Arra belum balik ke rumah Yudha. Ya ... memang seperti itu, bukan? Selama Edo masih harus pendidikan di Jogja, Edo harus terpisah dari sang isteri karena Arra sudah dinas di salah satu rumah sakit swasta di Solo dan sebuah klinik. Jadi lah tiap Edo di Jogja Arra lebih memilih pulang ke rumah orang tuanya karena di rumah Adnan ini ia merasa kesepian.Adnan bergegas turun, melirik arlodjinya dan masuk ke dalam rumah. Sudah pukul setengah lima. Bisa lah dia mandi besar dulu lalu sholat subuh dan bersiap berangkat ke rumah sakit. Adnan bergegas naik kelantai atas, hanya dapur yang sudah tampak menyala lampunya, yang artinya dua asistennya sudah sibuk menyiapkan sarapan dan melakukan pekerjaan lain.Adnan bergegas masuk ke dalam kamar, mandi dan bersiap sholat. Ia tersenyum menatap kamarnya itu. Kelak kamar ini ak
“Aku pamit balik Solo dulu, Sayang. Jaga anak kita baik-baik ya?” Adnan mengecup kening sang isteri, kemudian beringsut mendekati Adta yang terlelap begitu nyenyak di dalam box-nya. Rasanya berat sekali Adnan hendak kembali, namun ia masih punya tanggung jawab, bukan? Terlebih sekarang ia punya tanggungan membiayai Adta, belum lagi Edo masih beberapa tahun lagi lulus PPDS-nya, ah ... itulah yang selama ini selalu membuat Adnan semangat tetap bekerja.“Mas hati-hati ya, kabari kalau sudah sampai Solo.” desis Redita lalu memeluk erat sang suami.Adnan hanya tersenyum, melepaskan Redita perlahan-lahan lalu mengecup keningnya perlahan. Hanya sekilas, karena kemudian kecupan itu turun mengecup bibir Redita penuh cinta, ya walaupun juga hanya sebentar.“Pasti, akan saya kabari selalu, Sayang!” Adnan tersenyum, kemudian meraih kunci mobil dan dompet yang tergeletak di atas lemari Adta.Redita menyodorkan jaket milik Adnan, mem
Edo bangkit dari ranjang, senyumnya merekah melihat betapa lelap Arra yang tubuhnya masih polos itu. Ia melirik jam dinding, sudah pukul satu dini hari dan papanya belum ada tanda-tanda pulang dari rumah mama tirinya itu? Padahal besok pagi dia harus dinas, bukan?Edo meraih baju-bajunya yang tadi ia lempar sembarangan ketika sudah tidak tahan lagi untuk menyentuh sang isteri. Siapa sih yang tidak tergoda dengan tubuh dengan lekuk indah dan kulit putih bersih itu? Dia laki-laki normal, jadi tentu lah ia langsung kalang-kabut begitu mendapati sang isteri sudah dengan lingerie warna merah itu.Dasar Arra, memang umurnya masih kecil, tapi ia sudah sangat matang rupanya, bahkan untuk urusan ranjang seperti ini. Ah Edo tidak salah pilih, bukan? Edo bergegas memakai kembali bajunya, meraih bungkus serta ‘benda’ bekas pakai itu dari atas nakas dari atas meja dan membuangnya ke dalam tempat sampah yang ada di kamar mandi.Ya ... meskipun dia dan Arra sudah m
“Mas, katanya besok sudah dinas?” tanya Redita ketika sore itu Adnan belum ada tanda-tanda hendak balik ke Solo, ia malah menggendong Adta dan sama sekali tidak melepaskan bayi itu barang sedetik pun.“Ah, jadi kamu hendak mengusir suamimu sendiri?” Adnan mencebik, memang kenapa kalau besok dia sudah dinas?Redita terkekeh, kenapa jadi baper macam ABG kemarin sore sih suaminya ini? Ia mendekati Adnan yang tampak begitu bahagai dengan Adta yang berada dalam gendongannya. Kenapa rasanya bahagia sekali melihat betapa manis bapak dan anak itu ketika sedang seperti ini?“Bukan begitu Sayang, besok kan pasti masuk pagi.” Redita memeluk suaminya itu dari belakang, jendela kamarnya aman kok, meskipun tirai terbuka, tidak akan ada yang melihat apa yang mereka lakukan kecuali jika sengaja ingin mengintip.“Aku balik subuh boleh kan? Masih kangen sama kamu, sama jagoan kecilku ini.”Redita hanya tersenyum dan me