Adnan menghela nafas panjang, Edo sudah heboh mengira dirinya sudah akan menikah lagi, memang dia akan menikah sama siapa? Redita? Memangnya gadis itu mau? Dia bahkan hanya selisih dua tahun lebih tua dari Aldo, anak bungsunya yang tahun ini baru delapan belas tahun. Edo anak sulungnya sudah dua puluh enam tahun! Masa iya anak tiri sama ibu tiri tuaan anak tirinya sih? Lelucon macam apa ini?
Adnan mendadak gelisah. Di rumahnya itu ia hanya seorang diri bersama dua orang asisten rumah tangga. Aldo? Jangan tanya, dia sedang pendidikan militer, anak itu benar-benar ingin masuk angkatan darat daripada mengikuti jejak sang ayah menjadi dokter atau jejak sang mama yang menjadi pengacara.
"Redita Fernanda ...."
Adnan terkejut ketika ia secara tidak sadar menyebutkan nama itu. Apakah benar ia sudah jatuh cinta padanya? Namun apa pantas? Antara mereka selisih tiga puluh empat tahun! Tidak main-main, selisih tiga puluh empat tahun! Masa iya Adnan mau menikahi gadis yang sepatutnya menjadi anaknya itu? Apa kata orang nanti? Pasti banyak yang mencemooh bukan? Dana mana mau Redia menikah dengan dirinya yang mungkin setua bapaknya ini?
Adnan membaringkan tubuhnya di atas ranjang, lima tahun sudah ranjangnya kosong dan dingin. Lima tahun sudah ia memendam semua hasratnya itu. Ia mencoba menjadi sedikit tidak normal dengan mengabaikan semua hasratnya. Kalau sudah tidak tahan? Ya main perseorangan, daripada jajan dan kena penyakit macam-macam, lagipula Adnan bukan tipe laki-laki yang bisa sembarangan meniduri wanita yang tidak ia kenal. Itu prinsipnya bahkan sebelum ia sukses menjadi seorang dokter.
"Kenapa jadi seperti ini sih?" mendadak Adnan pusing, rasanya ia jadi galau. Apa jadinya kalau Edo tahu papanya ini jatuh cinta pada gadis yang lebih pantas jadi adiknya itu? Tidak bisa ia bayangkan!
"Anak-anak pasti ngamuk!" desis Adnan sambil tersenyum kecut.
Namun jujur Adnan hanya tertarik pada sosok itu! Entah mengapa sosok itu begitu menarik perhatian Adnan, mungkin seperti ini dulu rasanya Yudha ketika bertemu isterinya waktu Lili masih koas. Dan sekarang Adnan yang merasakannya. Tapi yang jadi masalah, Lili dan Yudha hanya selisih sepuluh tahun saja, sedangkan dia dan Redita? Tiga puluh empat tahun selisih umur mereka!
"Masih pantas nggak sih nikah lagi? Tapi kalau sama Redita tentu nggak pantas kan? Tahu umur, Nan!" Adnan berbicara pada dirinya sendiri, karena memang tidak ada teman yang bisa ia ajak bicara. Menyedihkan bukan?
Mau menelepon Aldo, susah! Ia sedang fokus pendidikan. Mau menelepon Edo lagi? Ia belum siap bercerita pada Edo tentang semua perasaan anehnya terhadap mahasiswi koas nya itu. Bisa-bisa nanti Edo syok dan pingsan dengan kejujuran sang papa ini.
Susah ya? Jujur ia butuh teman, ia tidak sanggup kalau hanya sendirian terus seperti ini! Anak-anak sudah besar, Edo bahkan sudah cukup matang berumahtangga bukan? Pasti mereka nanti akan tinggal di rumah mereka sendiri, dan Adnan? Hanya akan sendirian seperti ini sampai ajal menjemputnya?
Adnan tersenyum kecut, ia bangkit dan melangkah ke kamar mandi, lebih baik ia mandi sejenak daripada terus pening memikirkan masalah ini bukan?
***
"Kamu dari mana sih tadi?" tanya Claudia ketika ia menemukan Redita sudah di kamar kostnya.
"Aku? Kamu cariin aku tadi?" Redita sedang menghapus debu dan kotoran di wajahnya dengan Micellar Water.
"Iya lah, kan kita janji mau ngerjain tugas buat diskusi ilmiah, Ta!" guman Claudia gemas.
"Astaga, aku sampai lupa soal itu! Maafkan aku Clo," Redita sontak melotot dan menatap Claudia yang tampak manyun itu.
"Lagian kamu tadi kemana sih? Tiba-tiba ngilang gitu aja?" protes Claudia sambil merebahkan tubuhnya di atas kasur Redita.
"Emm ... a-aku ...," Redita terbata, perlukah ia menceritakan kemana tadi ia dibawa pergi dokter bedah itu?
"Kenapa? Kamu baik-baik saja kan?" Claudia bangkit dan duduk di sebelah Redita, menunggu temannya itu bercerita tentang apa yang sedang terjadi padanya tadi.
"A-aku tadi diajak pergi Do-Dokter ...,"
"Dokter siapa? Dokter Reyhand yang ganteng itu ya? Residen penyakit dalam itu?" tampak wajah Claudia berbinar-binar, siapa sih yang tidak kenal residen itu? Wajahnya mirip Reza Rahardian, mana masih jomblo. Ahh ... bikin para perawat dan koas perang untuk sekedar mendapatkan perhatian dari sosok itu.
"Bukan! Bukan dia!" tukas Redita cepat.
"Lalu siapa?" Claudia tampak tidak sabar.
"Dokter Adnan," jawab Redita lirih.
"APA?" Claudia berteriak sambil matanya melotot, "DOKTER ADNAN SANJAYA?"
"Ish ... apaan sih, kenapa pakai teriak-teriak kayak gitu sih? Slow Girls!" guman Redita sambil menutup mulut Claudia yang masih ternganga itu.
"Kamu jalan sama dokter bedah itu? Kamu serius?" Claudia mengulangi pertanyaannya, ia masih belum percaya bahwa sahabatnya itu jalan berdua dengan konsulen lima puluh lima tahun itu.
"Iya serius, kita cuma makan aja, jangan berpikiran macam-macam," tukas Redita sebelum Claudia berpikiran macam-macam terhadap mereka.
Namun Claudia masih belum bisa slow, ia masih menatap Redita dengan tatapan penuh tanda tanya. Sementara Redita hanya duduk santai sambil bersiap mandi. Setelah mandi ia ingin tidur dan berdoa agar tidak ada on call atau hal-hal lain yang bisa menganggu waktu istirahatnya.
"Ada angin apa dokter itu ngajak kamu makan?" tanya Claudia benar-benar kepo.
"Kita cuma sharing-sharing aja sih," guman Redita santai.
"Soal kasus pasien? Operasi apa?"
"Soal perselingkuhan," jawab Redita singkat.
"APA?" Claudia kembali berteriak.
"Kenapa sih, Clo?" tanya Redita yang kembali terkejut mendengar teriakan Claudia. Memang apa salahnya sih? Toh dia dan Dokter Adnan tidak macam-macam kan? Sampai nginep di hotel gitu maksudnya atau apa, mereka cuma bercerita sambil makan saja.
"Soal perselingkuhan? Kamu serius? Pembahasan macam apa itu, Ta?" Claudia mencak-mencak tidak karu-karuan.
"Iya soal perselingkuhan si dokter berengsek itu, makan noh bidan magang!" emosi Redita kembali memuncak mengingat pengkhianatan yang sudah dilakukan mantan kekasihnya itu. Janjinya sepulang internship mau melamarnya, eh baru setahun belum ada internship malah udah nikah sekalian, mana punya tabungan anak lagi! Benar-benar laki-laki sialan, mata keranjang dan tidak bisa dipercaya!
"Lalu apa hubungannya dengan Dokter Adnan?" Claudia masih histeris, ia tidak mengerti kenapa Redita membicarakan hal itu kepada konsulen bagian bedah itu. Masalahnya Dokter Adnan terkenal sedikit dingin dan cuek bebek terhadap para keset rumah sakit macam mereka seperti ini. Kenapa tiba-tiba bisa keluar makan berdua dengan Redita sambil membahas hal yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan klinik itu?
"Ya karena kisah kita sama," Redita kembali teringat saat dokter bedah itu menitikkan air mata.
"Sa-sama? Maksudnya?" Claudia menatap Redita penuh penasaran.
Redita menghela nafas panjang, ia melirik sekitar lalu menatap Claudia lekat-lekat.
"Jangan bilang siapa-siapa tapi ya?" bisik Redita sambil menatap Claudia lekat-lekat.
"Iya, memang kenapa?"
"Jadi ceritanya ...,"
"Ah ... Kenapa pakai bocor segala sih bannya!" teriak Redita gemas, ia celingak-celinguk mencari tukang tambal ban dan syukurlah ada tidak jauh dari tempat ia kena apes itu. Ia sudah niat mau berangkat pagi-pagi kenapa malah harus kena apes begini sih? Sangat menyebalkan sekali!Dengan bersunggut-sunggut Redita mendorong Honda Beat kesayangannya itu menuju tukang tambal ban. Rasanya nanti sampai rumah sakit ia akan bau keringat dan kusut karena harus mendorong motornya cukup jauh. Sia-sia ia pakai skincare berlapis-lapis, semprot parfum banyak-banyak kalau akhirnya sepagi ini ia sudah harus berkeringat macam ini. Sialan memang!Apes banget sih? Untung ia berangkat sedikit awal, kalau tidak bisa gawat, ia bisa telat bukan? Mana nanti masih ada visiting beberapa bangsal, diksusi ilmiah, astaga ... kepala Redita sontak menjadi pening."Motornya kenapa, Mbak?" tanya tukang tambal ban itu sigap ketika Redita menstandarkan motornya di depan kios tambal bannya.
"Re ... nanti ikut saya sebentar ya!" Dokter Adnan sudah muncul di ruang koas, di sana Redita tengah menatap layar laptopnya, sedang sibuk menerjemahkan beberapa jurnal untuk diskusi ilmiah dan data penguat presentasi kasusnya."Kemana, Dok?" Redita mengangkat wajahnya dan menatap lekat-lekat Konsulennya itu. Ada urusan apa sampai dia harus ikut Adnan nanti?"Saya butuh bantuan mu buat bikin materi penelitian," guman Adnan berbohong, padahal tujuannya cuma agar rencana makan siang Redita bersama Andaru gagal, hanya itu! Licik bukan? Sebodoh amat, di sini kuasa Adnan lebih tinggi!"Bisa, Dokter, nanti saya ketemu Dokter di mana?" tanya Redita yang masih serius menyimak sosok yang duduk di hadapannya itu."Saya tunggu di parkiran, jangan telat ya," Adnan bergegas bangkit lalu melangkah pergi dari ruang koas itu, meninggalkan Redita yang tampak bimbang di tempatnya duduk. Pasalnya ia sudah ada janji dengan Andaru bukan?"Haduh, gagal deh makan siang g
"Bang, sori ya." guman Redita lirih ketika ia mengatakan bahwa tidak bisa ikut sosok itu makan siang seperti janji mereka tadi pagi.Andaru hanya menghela nafas panjang sambil tersenyum kecut, mau bagaimana lagi? Konsulen mereka yang minta kan? Bisa-bisa nilai dan kelulusan mereka jadi taruhannya. Jadi untuk masalah seperti ini, lebih baik diam dan mengalah, walaupun kadang permintaan konsulen itu terkesan kejam dan sedikit aneh-aneh."Iya aku paham kok, memangnya kamu mau diajak Dokter Adnan kemana?""Belum tahu, tadi bilangnya cuma disuruh bantu buat bikin bahan penelitian beliau," Redita benar-benar merasa tidak enak pada residen itu, tapi melawan perintah Dokter Adnan? Sama saja ia ingin tidak di luluskan!"Tapi nanti pulang bisa bareng kan?" Andaru masih berharap bisa berada dekat dengan sosok itu."Insyaallah deh Bang, nanti kabar-kabaran lagi aja ya," Redita sendiri tidak yakin bisa pulang bersama sosok itu, ia sendiri tidak tahu bukan apa y
Dokter Adnan membawa mobilnya kembali masuk ke halaman parkir rumah sakit. Mereka sudah selesai makan siang, tidak ada yang namanya bahas penelitian atau apapun itu, dan itu membuat Redita berpikir keras, sebenarnya tujuan dia diajak keluar sosok itu untuk apa sih? Cuma buat diajak makan siang aja? Atau bagaimana? Ahh ... Redita sendiri tidak tahu!Setelah mendapatkan tempat parkir, Dokter Adnan mematikan mesin mobilnya. Menoleh sesaat ke arah Redita, gadis itu masih duduk dengan tenang di joknya."Saya tunggu nanti di OK," guman Dokter Adnan lalu melepas seat belt-nya."Terima kasih banyak sudah ditraktir makan siang hari ini, Dok, lantas untuk ....""Mungkin besok siang ya, maaf saya lupa nggak bawa flashdisk-nya, atau nanti mau ikut kerumah?" potong Dokter Adnan cepat."I-ikut kerumah?" Redita tergagap, "Saya rasa besok saja, Dok." guman Redita tegas, ikut kerumah? Yang benar saja!"Oke, nanti saya kabari.""Kalau begitu, mari Dokt
"Selisih tiga puluh empat tahun, itu sama aja aku punya mantu setahun lebih muda dari aku, Nan! Lili lahiran Arra aku pas sudah tiga puluh lima tahun," guman Yudha sambil tersenyum kecut. Lagipula Adnan benar-benar aneh, kenapa juga harus gadis semuda itu yang ia incar? Ingat umur, astaga!Biasanya laki-laki kalau bahas wanita tentu hal-hal yang berhubungan dengan fisik, rupa atau bahkan tentang hal-hal berbau nakal, namun kini dua laki-laki dewasa itu membahas selisih umur, membahas puber kedua Adnan yang tidak main-main, jatuh cinta sama gadis dua puluh satu tahun."Yud, aku pusing," desis Adnan sambil tersenyum kecut, ia meremas rambutnya sambil memejamkan mata sejenak."Aku saja yang dengar dan lihat masalahmu saja pusing, apalagi kamu, Nan!" guman Yudha sambil memijit pelipisnya, sungguh masalah Adnan ini sedikit pelik. Yudha sendiri tidak tahu bagaimana nantinya reaksi anak-anak Adnan kalau tahu bapaknya jatuh cinta pada gadis ABG yang lebih pantas jadi an
Selama operasi berlangsung, Redita baru sadar kalau sosok dokter bedah itu jadi uring-uringan. Beberapa orang sukses ia bentak selama operasi dilakukan, memuat Redita berkerut bingung dengan apa yang terjadi padanya. Namun ia hanya bisa melirik sosok itu takut-takut sambil berharap bahwa operasi ini segera usai. Rasanya OK yang bagi Redita sudah cukup seram jadi makin seram."Dah, lanjutkan!" seperti biasa, ia pasti memasrahkan urusan jahit menjahit bagian luar itu pada asistennya.Tanpa berkata-kata apapun dokter itu melangkah keluar dan menghilang dari mata Redita. Kenapa sih dia? Kok jadi serem begini? Namun Redita segera menepis semua pertanyaan yang berkelebat dalam pikirannya itu, ia fokus membantu seorang residen menjahit bagian luar sayatan yang tadi Dokter Adnan buat."Oke selesai," guman residen itu lega luar biasa, bukan hanya dia, Redita pun sama leganya.Ia segera melepas handscoon miliknya dan melangkah untuk membersihkan diri. Setelah melep
"Putra Bapak umur berapa, kalau saya boleh tahu?" guman Redita yang bingung harus bicara apa ketika kemudian sosok itu hanya membisu."Oh, tahun ini dia sudah dua puluh enam tahun," jawab Adnan sambil tersenyum kecut, sudah sangat tua sekali ternyata dirinya ini."Dua puluh enam tahun dan sudah hampir selesai PPDS?" tampak Redita terkejut.Adnan hanya mengangguk pelan, "Masuk FK umur enam belas tahun dulu.""Wah hebat," Redita berdercak kagum.Adnan hanya tersenyum, rasanya malah Redita lebih pantas dengan Edo daripada Adnan, benar bukan? Rasanya Adnan benar-benar gila! Jatuh cinta pada gadis kemarin sore? Sungguh diluar kendali Adnan sebenarnya."Ah biasa saja kok, Re. Memang dia sedikit ambis sejak dulu," Adnan menghela nafas panjang, ia mulai sedikit tidak nyaman. Rasa percaya dirinya luntur seketika."Pulang sekarang?" tanya Adnan sambil meletakkan cup miliknya."Boleh kalau Bapak tidak keberatan."Adnan mengangguk i
Redita menghempaskan tubuhnya ke atas kasur kamar kostnya. Kenapa ia jadi galau macam ini sih? Kok bisa sih dia jadi nggak karu-karuan macam ini? Kenapa ia bisa begitu tidak nyaman dengan sikap dingin dokter bedah tadi? Kenapa ada rasa tidak terima atas sikap dingin sosok itu terhadapnya?Dokter Adnan Sanjaya, memang sudah tidak muda lagi, bahkan anak sulungnya aja sudah dua puluh enam tahun, tapi kenapa rasanya Redita begitu suka melihat raut wajah itu? Sangat suka ada di dekat sosok itu? Kecuali kalau sedang di dalam OK saja sih, dia ogah liat scalpel dan genangan darah di dalam perut pasien, ngeri! Sosok itu begitu hangat dan lembut, Redita dapat merasakanya.Apa dia jatuh hati pada sosok itu? Ahh ... Masa iya sih? Kenapa tidak pada sosok Andaru saja yang jelas-jelas sangat kelihatan tertarik padanya. Mana masih muda lagi, lah dengan Dokter Adnan? Lebih tua Dokter Adnan lho dari bapaknya sendiri, gila kan? Bapaknya lima puluh satu, sedangkan Dokter Adnan, lima puluh
Redita hendak kembali pulang selepas jaga malam pagi itu ketika ia mendapati Land Cruisser yang ia tahu betul adalah milik sang suami sudah terparkir di halaman parkir rumah sakit. Tak beberapa lama sosok itu turun dari mobil, tersenyum begitu manis ke arahnya.Rasanya Redita ingin berlari dan menjatuhkan diri di pelukan sang suami kalau saja mereka tidak sedang berada di halaman rumah sakit saat ini. Jadi Redita sekuat tenaga menahan keinginannya untuk melakukan hal itu, ia melangkah perlahan mendekati sang suami yang tersenyum begitu lebar ke arahnya.“Hai suamiku,” sapa Redita lalu mengulurkan tangannya, bergegas mencium punggung tangan Adnan begitu uluran tangannya terbalas.“Hai juga isteriku, kamu tampak lelah. Bisa kita pulang sekarang? Aku rindu dengan jagoan kecilku.”Redita sontak mencebik, ia memanyunkan bibirnya yang sukses membuat Adnan terkekeh melihat perubahan wajahnya itu.“Jadi pulang cuma kangen sama
Beberapa hari kemudian ... “Dokter!” Redita setengah berlari mengejar langkah dokter Ricard, beliau adalah dokter bedah yang bertanggung jawab pada sang nenek pasca operasi kemarin. Dan hari ini adalah visiting terakhir, bukan? Kondisi sang nenek sudah lebih baik, dan itu artinya dia sudah boleh pulang. Untuk itu Redita ingin melihat wajahnya, mungkin untuk terakhir kalinya dia bisa melihat wajah-wajah yang dulu menorehkan luka dengan begitu dalam di relung hati Redita itu. “Ada apa, Re?” tanya dokter Richard yang tampak mengerutkan kening melihat Redita berlari-lari menghampirinya itu. “Boleh saya ikut visiting, Dok?” mohon Redita dengan nafas terenggah-enggah. “Tentu boleh, bukan kah pasien itu pertama kali datang kamu yang pegang?” tampak dokter Ricard tersenyum, ia sudah hendak kembali melangkah ketika kemudian tangan Redita mencekal tangan dokter Richard, mencegahnya melangkah lebih jauh. “Dok, tunggu sebentar!” Dokter Ric
Redita tersenyum menatap sosok itu yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Beberapa alat medis masih menempel di tubuh renta itu. Ia sudah berhasil melewati masa kritisnya, tinggal menanti dia kembali sadar dan kondisinya pulih.Redita meraih tangan berkeriput itu, meremasnya perlahan dengan hati yang teramat pedih. Bayangan masa lalu dimana sosok itu dengan tangan yang saat ini Redita genggam, sering menamparnya, menjewer telinga Redita sampai memerah, mecubit pahanya sampai memar membiru dan terkadang memukul kakinya dengan gagang sapu. Belum lagi, mulut yang sekarang terpasang ventilator itu, dulu begitu pedas tiap mengata-ngatai dirinya, mencaci-maki Redita yang bahkan dulu masih begitu kecil dan tidak paham apa-apa.Redita menghela nafas panjang, berusaha melupakan semua itu meskipun rasanya begitu sulit dan tidak semudah yang ia katakan. Redita melirik jam dinding, sudah pukul setengah enam, ia bergegas merogoh saku snelli-nya, mengambil masker medis yang
"Iya Sayang, stok ASIP Adta sudah ready banyak di kulkas, jangan khawatir ya." Redita tersenyum, malam ini ia harus jaga IGD sampai besok pukul tujuh pagi. Dan Adnan sudah ribut khawatir dengan Adta katanya."Benar? Apa perlu aku balik ke sana sekarang?"Sontak Redita tertawa, ah lebay sekali bapak tiga orang anak itu? Sebelum mereka kembali bertemu, toh Adta baik-baik saja jika dia ada jaga malam, kenapa sekarang dia jadi begitu khawatir?"Sudah, tenang saja! Jagoan kecil kita aman dan akan baik-baik saja, Sayang." guman Redita lirih, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semua akan baik-baik saja."Yasudah, kabari aku terus ya. Aku benar-benar khawatir dengan kalian berdua."Redita tersenyum, hatinya berbungga-bungga mendengar nada kekhawatiran itu meluncur dari bibir sang suami. Rasanya ia begitu bahagia mendengarnya. Bagaimanapun, setua apapun laki-laki yang menjadi suaminya ini, dia benar-benar sosok yang begitu peduli dan penyayang. Ah ... sung
Adnan tersenyum ketika mendapati panggilan dari nomor itu, nomor yang ia tunggu untuk memberinya kabar perihal perkembangan pendaftaran itsbat nikahnya. Semoga semuanya lancar dan tidak perlu waktu lama ia bisa mendaftarkan pernikahannya dan memperoleh apa yang sudah ia janjikan kepada sang isteri sejak dulu.“Halo, gimana Fan?” tanya Adnan yang sudah sangat tidak sabar itu.“Berkasnya sudah masuk, Dok. Sudah diurus sama isteri saya, nanti tinggal tunggu kabar persidangannya saja ya, Dok.”Wajah Adnan makin cerah, senyumnya mengembang sempurna mendengar hal itu. Redita pasti akan sangat bahagia mendengar kabar ini, bukan? Impiannya untuk bisa segera memiliki buku nikah dan menikahi Redita secara resmi akan terwujud.“Baik, saya berterima kasih sekali padamu, Fan. Sampaikan ucapan terima kasihku pada isterimu juga, ya.”Adnan menyandarkan tubuhnya di kursi, hatinya tengah berbunga-bunga. Rupanya inilah kebahagiaan
Adnan mematikan mesin mobilnya ketika ia sudah sampai di halaman rumahnya. Mobil Edo dan Arra masih ada, itu artinya dia masih di sini, belum kembali ke Jogja dan Arra belum balik ke rumah Yudha. Ya ... memang seperti itu, bukan? Selama Edo masih harus pendidikan di Jogja, Edo harus terpisah dari sang isteri karena Arra sudah dinas di salah satu rumah sakit swasta di Solo dan sebuah klinik. Jadi lah tiap Edo di Jogja Arra lebih memilih pulang ke rumah orang tuanya karena di rumah Adnan ini ia merasa kesepian.Adnan bergegas turun, melirik arlodjinya dan masuk ke dalam rumah. Sudah pukul setengah lima. Bisa lah dia mandi besar dulu lalu sholat subuh dan bersiap berangkat ke rumah sakit. Adnan bergegas naik kelantai atas, hanya dapur yang sudah tampak menyala lampunya, yang artinya dua asistennya sudah sibuk menyiapkan sarapan dan melakukan pekerjaan lain.Adnan bergegas masuk ke dalam kamar, mandi dan bersiap sholat. Ia tersenyum menatap kamarnya itu. Kelak kamar ini ak
“Aku pamit balik Solo dulu, Sayang. Jaga anak kita baik-baik ya?” Adnan mengecup kening sang isteri, kemudian beringsut mendekati Adta yang terlelap begitu nyenyak di dalam box-nya. Rasanya berat sekali Adnan hendak kembali, namun ia masih punya tanggung jawab, bukan? Terlebih sekarang ia punya tanggungan membiayai Adta, belum lagi Edo masih beberapa tahun lagi lulus PPDS-nya, ah ... itulah yang selama ini selalu membuat Adnan semangat tetap bekerja.“Mas hati-hati ya, kabari kalau sudah sampai Solo.” desis Redita lalu memeluk erat sang suami.Adnan hanya tersenyum, melepaskan Redita perlahan-lahan lalu mengecup keningnya perlahan. Hanya sekilas, karena kemudian kecupan itu turun mengecup bibir Redita penuh cinta, ya walaupun juga hanya sebentar.“Pasti, akan saya kabari selalu, Sayang!” Adnan tersenyum, kemudian meraih kunci mobil dan dompet yang tergeletak di atas lemari Adta.Redita menyodorkan jaket milik Adnan, mem
Edo bangkit dari ranjang, senyumnya merekah melihat betapa lelap Arra yang tubuhnya masih polos itu. Ia melirik jam dinding, sudah pukul satu dini hari dan papanya belum ada tanda-tanda pulang dari rumah mama tirinya itu? Padahal besok pagi dia harus dinas, bukan?Edo meraih baju-bajunya yang tadi ia lempar sembarangan ketika sudah tidak tahan lagi untuk menyentuh sang isteri. Siapa sih yang tidak tergoda dengan tubuh dengan lekuk indah dan kulit putih bersih itu? Dia laki-laki normal, jadi tentu lah ia langsung kalang-kabut begitu mendapati sang isteri sudah dengan lingerie warna merah itu.Dasar Arra, memang umurnya masih kecil, tapi ia sudah sangat matang rupanya, bahkan untuk urusan ranjang seperti ini. Ah Edo tidak salah pilih, bukan? Edo bergegas memakai kembali bajunya, meraih bungkus serta ‘benda’ bekas pakai itu dari atas nakas dari atas meja dan membuangnya ke dalam tempat sampah yang ada di kamar mandi.Ya ... meskipun dia dan Arra sudah m
“Mas, katanya besok sudah dinas?” tanya Redita ketika sore itu Adnan belum ada tanda-tanda hendak balik ke Solo, ia malah menggendong Adta dan sama sekali tidak melepaskan bayi itu barang sedetik pun.“Ah, jadi kamu hendak mengusir suamimu sendiri?” Adnan mencebik, memang kenapa kalau besok dia sudah dinas?Redita terkekeh, kenapa jadi baper macam ABG kemarin sore sih suaminya ini? Ia mendekati Adnan yang tampak begitu bahagai dengan Adta yang berada dalam gendongannya. Kenapa rasanya bahagia sekali melihat betapa manis bapak dan anak itu ketika sedang seperti ini?“Bukan begitu Sayang, besok kan pasti masuk pagi.” Redita memeluk suaminya itu dari belakang, jendela kamarnya aman kok, meskipun tirai terbuka, tidak akan ada yang melihat apa yang mereka lakukan kecuali jika sengaja ingin mengintip.“Aku balik subuh boleh kan? Masih kangen sama kamu, sama jagoan kecilku ini.”Redita hanya tersenyum dan me