Redita menghempaskan tubuhnya ke atas kasur kamar kostnya. Kenapa ia jadi galau macam ini sih? Kok bisa sih dia jadi nggak karu-karuan macam ini? Kenapa ia bisa begitu tidak nyaman dengan sikap dingin dokter bedah tadi? Kenapa ada rasa tidak terima atas sikap dingin sosok itu terhadapnya?
Dokter Adnan Sanjaya, memang sudah tidak muda lagi, bahkan anak sulungnya aja sudah dua puluh enam tahun, tapi kenapa rasanya Redita begitu suka melihat raut wajah itu? Sangat suka ada di dekat sosok itu? Kecuali kalau sedang di dalam OK saja sih, dia ogah liat scalpel dan genangan darah di dalam perut pasien, ngeri! Sosok itu begitu hangat dan lembut, Redita dapat merasakanya.
Apa dia jatuh hati pada sosok itu? Ahh ... Masa iya sih? Kenapa tidak pada sosok Andaru saja yang jelas-jelas sangat kelihatan tertarik padanya. Mana masih muda lagi, lah dengan Dokter Adnan? Lebih tua Dokter Adnan lho dari bapaknya sendiri, gila kan? Bapaknya lima puluh satu, sedangkan Dokter Adnan, lima puluh lima tahun! Sejak kapan orientasi Redita berpaling pada laki-laki dewasa seperti ini? Bukan hanya dewasa lagi malah, tapi sudah mendekati masa lansia!
"Aduh kenapa sih Dokter Adnan Mulu!" teriak Redita gemas. Ia benar-benar tidak mengerti dengan dirinya sendiri.
"Masa iya suka sama om-om?" Redita bicara pada dirinya sendiri, "Eh bukan om-om juga ya? Kan udah setengah abad lebih."
Redita garuk-garuk kepala, lantas apa sebutannya? Bapak-bapak? Atau malah aki-aki? Tapi masa aki-aki sih? Dokter Adnan masih gagah gitu, masih awet muda, kejam amat dipanggil aki-aki? Kulit wajahnya masih kencang dan segar, tidak nampak kerutan atau flek hitam, masa iya dipanggil aki-aki?
Redita menghela nafas panjang, dipejamkan matanya erat-erat, ingat ketika Dokter Adnan menemukan dirinya tengah menangis sesegukan di tangga darurat karena hari itu Rico, mantan kekasihnya itu resmi menikahi bidan magang di tempatnya internship karena sudah terlanjur hamil. Ya ... pacarnya yang bahkan belum sama sekali menyentuhnya itu harus menikah kerena sudah menghamili gadis lain!
"Rico sialan!" desis Redita ketika kembali teringat laki-laki berengsek itu.
Darahnya mendidih luar biasa ketika mengingat sosok yang dulu pernah amat dia cintai itu. Sosok yang sejak dulu menemani dia dari pre-klinik. Namun dengan kejam Rico malah mengkhianati dirinya hingga sedalam itu. Menghamili gadis lain padahal di sini dia menanti janji Rico yang katanya akan melamar dan menikahinya selepas Rico selesai internship.
"Laki-laki itu sama aja! Buaya semua!" kembali Redita memaki, tangannya sibuk memukul-mukul guling dalam pelukannya.
"Siapa yang buaya?" Yanven anak fakultas hukum yang bersebelahan kamar dengan Redita itu mendadak muncul di balik pintu kamar Redita lalu melangkah masuk setelah menutup pintu kamar kost Redita.
"Laki-laki, semua laki-laki itu buaya!" ulang Redita sambil berbaring di atas ranjangnya.
"Masih keringat mantanmu?" Yanven duduk di pinggir kasur Redita, ia tahu betul pengkhianatan macam apa yang diterima sosok itu, ditinggal menikah karena sudah menghamili gadis lain? Benar-benar sialan memang laki-laki satu itu.
"Ya gimana mau lupa sih? Baru aja kejadian kemarin dan sampai sekarang masih kerasa banget kan sakitnya!" desis Redita kesal, ia kembali mendidih jika teringat laki-laki itu.
"Move on dong, ayolah. Laki-laki masih banyak," bisik Yanven yang kemudian bangkit dan meraih toples milik Redita yang berisi camilan itu, sebuah hobi Yanven kalau main ke kamar kost Redita, menghabiskan isi toples milik sang empu kamar.
"Iya ya, dokter juga banyak. Yang koas, internship atau spesialis juga banyak kan?" desis Redita sambil menerawang langit-langit kamar kostnya.
"Astaga, belum kapok pacaran sama dokter?" tanya Yanven gemas.
"Entah," desis Redita sambil memejamkan matanya, memang mau cari yang dari kalangan mana lagi? Kalau dari pagi sampai malam ia ketemunya sama orang-orang sejenis macam dia?
"Sama advokat aja deh, cocok juga kok kalau dipasangkan sama dokter," guman Yanven mengompori, mulutnya penuh dengan camilan.
"Nggak minat, ntar nikah aku disuruh stop praktek lagi, nggak mau!"
"Ya kalau dia pendapatan lebih gede ngapain sih kamu masih susah-susah praktek?" Yanven kembali mengompori, tidak bisa dipungkiri, para advokat, lawyer kalau sudah dapat nama tentu penghasilannya begitu luar biasa bukan?
"Lha terus gunanya aku kuliah kedokteran apa, Ven?" desis Redita gemas, ia benar-benar ingin bisa mengabdikan diri untuk membantu sesama dengan ilmu kedokterannya.
"Ya biar dapat jodoh dokter," jawab Yanven asal.
"Nah, kamu sendiri kan yang bilang, berarti aku harus dapat suami dokter, titik." guman Redita mengultimatum, tentu ia sangat takut jika dapat suami yang bukan dokter dan kemudian memaksanya berhenti praktek karena merasa penghasilannya lebih besar darinya nanti.
Yanven memanyunkan bibirnya, "Serah deh, kalau dokternya buaya lagi tahu rasa!"
***
"Bapak mau makan sekarang?" tanya Indah yang tiba-tiba sudah muncul sambil meletakkan segelas jus jeruk.
"Nanti sajalah," jawab Adnan sambil tersenyum kecut, ia meraih gelas itu dan meneguk jus jeruknya.
"Baik, Pak," Indah bergegas pergi meninggalkan majikannya itu seorang diri di halaman belakang. Ia tahu betul kalau majikannya itu sedang duduk sendiri di belakang rumah, itu artinya dia sedang tidak ingin diganggu. Itu sudah mutlak dan tidak bisa dibantah lagi.
Adnan menghela nafas panjang, ia jadi pusing. Kenapa begini amat sih kisah cintanya? Jatuh cinta lagi di usia yang tidak muda itu memang merepotkan! Kadang ia malu dengan anaknya sendiri. Edo saja masih belum jelas pelabuhan hatinya mau kemana, eh bapaknya malah mau selangkah lebih depan.
"Maaf Pak, ada tamu," guman Indah yang kembali muncul di depan pintu.
"Siapa?" Adnan mengerutkan dahinya, memang siapa yang mencarinya? Tumben amat sih ada yang mencarinya sampai datang kerumah?
"Dokter Yudha, Pak."
"Oh, sudah disuruh masuk?" Adnan sontak bangkit, ia bergegas melangkah ke ruang tamu.
"Sudah Pak, permisi saya buatkan minum dulu."
"Iya tolong ya, Ndah!"
Benar-benar sahabat sejati sosok satu itu, tahu Adnan lagi galau ia menyempatkan diri kemari. Senyum Adnan langsung mengembang ketika melihat sosok itu sudah duduk di sofa ruang tamunya.
"Eh calon besan, ada perlu apa nih?" seloroh Adnan sambil tersenyum jahil.
"Mau nyariin mama mertua buat anakku nih, gimana?" Yudha balas menggoda, tersenyum jahil sambil mengulurkan tangannya pada Adnan.
"Sialan, ngeledek aku nih?" Adnan tersenyum kecut sambil menjabat erat-erat tangan Yudha.
"Kenyataannya begitu kok, sini cerita dulu. Kenapa kamu jadi begitu cepat berubah pikiran?"
Adnan menghela nafas panjang, "Janji dulu jangan ketawa?"
Yudha hanya mengangguk dan tersenyum, "Percaya padaku, tujuanku baik mau nolong kamu, Nan, bukan mau menertawakan kamu!"
Adnan tersenyum, sungguh punya sahabat sebaik Yudha memang jadi anugerah tersendiri untuknya bukan? Sejak dulu Yudha selalu ada dalam kondisi apapun, pada saat ia terjatuh sekalipun Yudha selalu ada untuk menemani dirinya, memberinya semangat.
"Jadi ceritanya ...."
“Kau yakin, Nan?” Yudha tersenyum setelah mendengar cerita Adnan tentang perubahan perasaan Adnan terhadap mahasiswi koasnya itu. Lucu juga ya kalau laki-laki berumur macam Adnan jatuh cinta? Rasanya Yudha jadi ingin tertawa terbahak-bahak.“Yakin lah, Yud! Kasian juga kalau dipikir Redita harus dapat suami seumuran bapaknya kayak aku gini, eh tapi tuaan aku ketimbang bapaknya Redita, Yud!” Adnan menghela nafas panjang, sebuah alasan yang tidak egois bukan?“Uhuk ... uhuk ... uhuk ...."Yudha yang tengah meneguk teh hangatnya itu sontak tersedak dan terbatuk-batuk mendengar apa yang tadi Adnan katakan itu. Apa? Lebih tua Adnan ketimbang bapaknya Redita? Ia tidak salah dengar kan? Memangnya berapa umur bapaknya Redita? Kenapa dengan Adnan masih tua Adnan?“Apa katamu, Nan? Lebih tua kamu ketimbang bapaknya Redita?” Yudha kembali bertanya, ia berharap bahwa ia salah dengar. Ditatapnya Adnan dengan tatapan tidak perc
Adnan menatap sosok itu dari jauh, kenapa rasanya ia ingin terus berada di sisinya? Adnan menghela nafas panjang, kenapa begitu rumit sih? Kenapa ia malah tertarik dan jatuh hati dengan sosok itu? Kenapa bukan pada Manda yang kemarin Yudha sodorkan pada dirinya itu? Atau pada rekan sejawat yang lain? Wanita lain yang usianya tidak terlalu jauh terpaut dengan dirinya? Yang bisa diterima akal sehat mengenai perbedaan usia mereka?“Re ... kamu hampir membuaku gila!” desis Adnan gemas lalu dengan gusar melangkah masuk ke ruangannya.Adnan duduk di kursinya, memijit keningnya dengan gemas, ia masih terbayang-bayang obrolannya dengan Yudha kemarin. Cintanya tentu tidak salah, hanya saja waktu yang salah memisahkan jarak usia mereka begitu jauh. Usia yang terpaut sangat jauh sekali. Redita pantasnya menjadi anak Adnan, bukan menjadi isterinya!Ahh ... Adnan harus menang melawan semua perasaannya itu. Toh belum tentu juga kan gadis itu juga punya rasa yang s
Adnan benar-benar tidak mengerti, kenapa ia jadi seperti ini sih? Bukankah ia kemarin sudah memutuskan untuk mencoba menjauh dan membuka diri untuk Amanda, residen interna yang Yudha sodorkan? Wanita yang menurut otaknya pantas mendampingi dirinya yang berstatus duda dua anak itu. Kalau dengan gadis ini? Mana pantas sih? Ia masih terlalu muda dan belia! Sangat tidak pantas mendampingi laki-laki yang hampir masuk masa lansia seperti dia ini.“Kenapa tumben tadi cuma sendirian, yang lain pada ngapain di ruang koas?” Adnan mulai buka suara, sejak tadi hingga sekarang mereka sudah hampir sampai di lokasi, tidak ada obrolan sama sekali. Mereka larut dalam diam masing-masing.“Teman-teman sedang mengerjakan presentasi kasus untuk besok, Dok.”Adnan melirik Redita, ia tampak cantik dengan setelan scrub warna dusty pink itu. Rambutnya ia gerai dengan jepit mutiara ya menjepit rambut bagian kirinya.“Punya kamu gimana, sudah beres?&rd
Yudha tengah membaca laporan follow up yang tadi dihantarkan ke mejanya ketika kemudian iPhone miliknya berdering. Edo? Yudha yakin Edo menelepon hendak bertanya perihal papanya bukan? Tentang siapa wanita yang hendak menggantikan posisi Yuri sebagai wanita spesial di hati Adnan. Haruskah Yudha menceritakan yang sebenarnya? Atau biarkan Adnan yang bercerita sendiri pada Edo? Atau bagaimana?“Halo, gimana Do?” sapa Yudha lirih, jantung Yudha jadi berdegup kencang.“Halo Om, Edo ganggu Om Yudha nggak nih?”“Ah ... santai aja deh, memangnya ada apa, Do?” Yudha mencoba tetap tenang , rasanya perihal Redita ia tidak perlu buka suara pada Edo bukan? Itu di luar kewenangan Yudha, urusan pribadi keluarga sejawatnya, ya walaupun nanti kalau Arra menikah dengan Edo otomatis mereka jadi keluarga besar, tapi untuk sekarang rasanya Yudha tidak ada hak untuk mencampuri urusan mereka. Itu tidak etis.“Om sudah dapat info perihal wanita yang sekarang d
Yudha terkejut ketika kemudian ada yang membuka pintu prakteknya, tampak Adnan muncul dengan senyum kecut. Yudha hanya menatap sosok itu sekilas dan menghela nafas panjang, sementara Adnan melangkah masuk kemudian duduk dihadapan internis sahabat baiknya itu. Datang juga si bapak-bapak bucin ini menemui dirinya.“Sekarang jelaskan kepadaku, kenapa hari ini kamu seolah lupa dengan apa yang kemarin sudah kita bicarakan, Nan?” cecar Yudha yang masih begitu santai bersandar di kursinya. Tentulah dia minta penjelasan, ia sudah menyusun rencana sedemikian rupa untuk memperkenalkan Adnan dengan Amanda, eh sekarang malah Adnan berubah haluan lagi.“Entahlah, Yud. Aku benar-benar lemah beradapan dengan dirinya. Rasanya aku ...,” Adnan tidak melanjutkan kalimatnya, ia kemudian menatap nanar Yudha yang masih serius menanti penjelasan dari Adnan. Adnan tidak masalah kalau Yudha mau memaki-makinya, karena faktanya perasaan ini benar-benar tidak bisa ia kenda
Dada Adnan terasa begitu sesak, hatinya pedih dan matanya sontak memerah. Ia dengar semua percakapan itu, tentang Andaru yang menyatakan perasaannya pada sosok yang ia cintai. Tentang bagaimana dia mencintai Redita Fernanda, gadis yang berhasil mengobrak-abrik perasaannya.Adnan bergegas pergi dari ruang koas itu, ia yakin Redita akan menerima Andaru bukan? Apa sih yang kurang dari laki-laki itu? Masih muda, ganteng dan jangan lupa dia calon dokter spesialis bedah juga! Rasanya Adnan harus segera menyetujui rencana Yudha untuk memperkenalkan dia dengan Manda! Ia harus meralat keputusannya yang tadi sempat ragu diperkenalkan dengan sosok itu.Adnan terlalu terburu-buru melangkah hingga kemudian ia tidak sengaja menabrak seseorang hingga membuat berkas-berkas yang ada di tangan orang itu jatuh dan terhambur di lantai.“Aduh!”“Ma-maaf, saya tidak sengaja,” Adnan buru-buru membantu sosok itu memunguti lembaran-lembaran kertas yang ber
Hujan sudah cukup reda, setelah hampir satu setengah jam Redita berdiam diri di tempatnya, akhirnya rintik hujan itu sudah berhenti. Meninggalkan Redita yang terbelenggu dalam dingin dan pedih hati. Meninggalkan dingin yang makin mencengkram hati Redita dengan begitu luar biasa. Redita menghela nafas panjang, kenapa rasanya begitu sesak?Ia terus memikirkan apa yang tadi dilihat oleh matanya. Sosok yang beberapa hari ini menganggu hatinya, sosok yang beberapa hari ini memenuhi pikirannya, dengan siapa tadi ia pergi? Kenapa rasanya Redita tidak terima? Mereka tampak dekat, tampak mesra dan tampak sangat intim. Tidak mungkin jika di antara mereka tidak ada hubungan apa-apa bukan?"Ah, emang aku siapanya sih? Saudara bukan, anak bukan, pacar juga bukan!" Redita menghela nafas panjang. Ia hendak melangkah ke parkiran ketika kembali matanya menatap sosok yang ia kenal."Itu kan ...," Redita tidak melanjutkan kalimatnya, ia hanya tersenyum kecut kemudian melangkah men
“Masih pengen ngulang stase bedah nih? Kamu pengen nambah berapa minggu?” tanya Dokter Stefan sambil melotot gemas ke arah Redita. Suaranya begitu tegas dan dingin, tanda bahwa dokter senior itu begitu marah dan tidak suka dengan apa yang barusan Redita presentasikan itu.Redita hanya menunduk, keringat dingin mulai mengucur membasahi tubuhnya. Kepalanya sedikit pusing, pening, rasanya untuk sekarang lebih baik dia diam terlebih dahulu, membiarkan konsulennya itu bergantian menghabisinya, ia melirik sosok itu, ia tampak santai, walau Redita tahu kerutan di dahinya itu adalah sebuah bentuk kekecewaan dan ketidak puasan.“Kalaupun kamu tidak berminat sama sekali di bagian bedah, ingatlah bahwa jika kamu tidak lulus dari stase ini, maka jangan harap kamu bisa meraih gelar doktermu, paham?” guman Dokter Stefan lagi, ia tampak mendengus kesal. Wajahnya memerah, makin menegaskan bahwa dia benar-benar marah.Redita belum berani mengangkat wajahn
Redita hendak kembali pulang selepas jaga malam pagi itu ketika ia mendapati Land Cruisser yang ia tahu betul adalah milik sang suami sudah terparkir di halaman parkir rumah sakit. Tak beberapa lama sosok itu turun dari mobil, tersenyum begitu manis ke arahnya.Rasanya Redita ingin berlari dan menjatuhkan diri di pelukan sang suami kalau saja mereka tidak sedang berada di halaman rumah sakit saat ini. Jadi Redita sekuat tenaga menahan keinginannya untuk melakukan hal itu, ia melangkah perlahan mendekati sang suami yang tersenyum begitu lebar ke arahnya.“Hai suamiku,” sapa Redita lalu mengulurkan tangannya, bergegas mencium punggung tangan Adnan begitu uluran tangannya terbalas.“Hai juga isteriku, kamu tampak lelah. Bisa kita pulang sekarang? Aku rindu dengan jagoan kecilku.”Redita sontak mencebik, ia memanyunkan bibirnya yang sukses membuat Adnan terkekeh melihat perubahan wajahnya itu.“Jadi pulang cuma kangen sama
Beberapa hari kemudian ... “Dokter!” Redita setengah berlari mengejar langkah dokter Ricard, beliau adalah dokter bedah yang bertanggung jawab pada sang nenek pasca operasi kemarin. Dan hari ini adalah visiting terakhir, bukan? Kondisi sang nenek sudah lebih baik, dan itu artinya dia sudah boleh pulang. Untuk itu Redita ingin melihat wajahnya, mungkin untuk terakhir kalinya dia bisa melihat wajah-wajah yang dulu menorehkan luka dengan begitu dalam di relung hati Redita itu. “Ada apa, Re?” tanya dokter Richard yang tampak mengerutkan kening melihat Redita berlari-lari menghampirinya itu. “Boleh saya ikut visiting, Dok?” mohon Redita dengan nafas terenggah-enggah. “Tentu boleh, bukan kah pasien itu pertama kali datang kamu yang pegang?” tampak dokter Ricard tersenyum, ia sudah hendak kembali melangkah ketika kemudian tangan Redita mencekal tangan dokter Richard, mencegahnya melangkah lebih jauh. “Dok, tunggu sebentar!” Dokter Ric
Redita tersenyum menatap sosok itu yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Beberapa alat medis masih menempel di tubuh renta itu. Ia sudah berhasil melewati masa kritisnya, tinggal menanti dia kembali sadar dan kondisinya pulih.Redita meraih tangan berkeriput itu, meremasnya perlahan dengan hati yang teramat pedih. Bayangan masa lalu dimana sosok itu dengan tangan yang saat ini Redita genggam, sering menamparnya, menjewer telinga Redita sampai memerah, mecubit pahanya sampai memar membiru dan terkadang memukul kakinya dengan gagang sapu. Belum lagi, mulut yang sekarang terpasang ventilator itu, dulu begitu pedas tiap mengata-ngatai dirinya, mencaci-maki Redita yang bahkan dulu masih begitu kecil dan tidak paham apa-apa.Redita menghela nafas panjang, berusaha melupakan semua itu meskipun rasanya begitu sulit dan tidak semudah yang ia katakan. Redita melirik jam dinding, sudah pukul setengah enam, ia bergegas merogoh saku snelli-nya, mengambil masker medis yang
"Iya Sayang, stok ASIP Adta sudah ready banyak di kulkas, jangan khawatir ya." Redita tersenyum, malam ini ia harus jaga IGD sampai besok pukul tujuh pagi. Dan Adnan sudah ribut khawatir dengan Adta katanya."Benar? Apa perlu aku balik ke sana sekarang?"Sontak Redita tertawa, ah lebay sekali bapak tiga orang anak itu? Sebelum mereka kembali bertemu, toh Adta baik-baik saja jika dia ada jaga malam, kenapa sekarang dia jadi begitu khawatir?"Sudah, tenang saja! Jagoan kecil kita aman dan akan baik-baik saja, Sayang." guman Redita lirih, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semua akan baik-baik saja."Yasudah, kabari aku terus ya. Aku benar-benar khawatir dengan kalian berdua."Redita tersenyum, hatinya berbungga-bungga mendengar nada kekhawatiran itu meluncur dari bibir sang suami. Rasanya ia begitu bahagia mendengarnya. Bagaimanapun, setua apapun laki-laki yang menjadi suaminya ini, dia benar-benar sosok yang begitu peduli dan penyayang. Ah ... sung
Adnan tersenyum ketika mendapati panggilan dari nomor itu, nomor yang ia tunggu untuk memberinya kabar perihal perkembangan pendaftaran itsbat nikahnya. Semoga semuanya lancar dan tidak perlu waktu lama ia bisa mendaftarkan pernikahannya dan memperoleh apa yang sudah ia janjikan kepada sang isteri sejak dulu.“Halo, gimana Fan?” tanya Adnan yang sudah sangat tidak sabar itu.“Berkasnya sudah masuk, Dok. Sudah diurus sama isteri saya, nanti tinggal tunggu kabar persidangannya saja ya, Dok.”Wajah Adnan makin cerah, senyumnya mengembang sempurna mendengar hal itu. Redita pasti akan sangat bahagia mendengar kabar ini, bukan? Impiannya untuk bisa segera memiliki buku nikah dan menikahi Redita secara resmi akan terwujud.“Baik, saya berterima kasih sekali padamu, Fan. Sampaikan ucapan terima kasihku pada isterimu juga, ya.”Adnan menyandarkan tubuhnya di kursi, hatinya tengah berbunga-bunga. Rupanya inilah kebahagiaan
Adnan mematikan mesin mobilnya ketika ia sudah sampai di halaman rumahnya. Mobil Edo dan Arra masih ada, itu artinya dia masih di sini, belum kembali ke Jogja dan Arra belum balik ke rumah Yudha. Ya ... memang seperti itu, bukan? Selama Edo masih harus pendidikan di Jogja, Edo harus terpisah dari sang isteri karena Arra sudah dinas di salah satu rumah sakit swasta di Solo dan sebuah klinik. Jadi lah tiap Edo di Jogja Arra lebih memilih pulang ke rumah orang tuanya karena di rumah Adnan ini ia merasa kesepian.Adnan bergegas turun, melirik arlodjinya dan masuk ke dalam rumah. Sudah pukul setengah lima. Bisa lah dia mandi besar dulu lalu sholat subuh dan bersiap berangkat ke rumah sakit. Adnan bergegas naik kelantai atas, hanya dapur yang sudah tampak menyala lampunya, yang artinya dua asistennya sudah sibuk menyiapkan sarapan dan melakukan pekerjaan lain.Adnan bergegas masuk ke dalam kamar, mandi dan bersiap sholat. Ia tersenyum menatap kamarnya itu. Kelak kamar ini ak
“Aku pamit balik Solo dulu, Sayang. Jaga anak kita baik-baik ya?” Adnan mengecup kening sang isteri, kemudian beringsut mendekati Adta yang terlelap begitu nyenyak di dalam box-nya. Rasanya berat sekali Adnan hendak kembali, namun ia masih punya tanggung jawab, bukan? Terlebih sekarang ia punya tanggungan membiayai Adta, belum lagi Edo masih beberapa tahun lagi lulus PPDS-nya, ah ... itulah yang selama ini selalu membuat Adnan semangat tetap bekerja.“Mas hati-hati ya, kabari kalau sudah sampai Solo.” desis Redita lalu memeluk erat sang suami.Adnan hanya tersenyum, melepaskan Redita perlahan-lahan lalu mengecup keningnya perlahan. Hanya sekilas, karena kemudian kecupan itu turun mengecup bibir Redita penuh cinta, ya walaupun juga hanya sebentar.“Pasti, akan saya kabari selalu, Sayang!” Adnan tersenyum, kemudian meraih kunci mobil dan dompet yang tergeletak di atas lemari Adta.Redita menyodorkan jaket milik Adnan, mem
Edo bangkit dari ranjang, senyumnya merekah melihat betapa lelap Arra yang tubuhnya masih polos itu. Ia melirik jam dinding, sudah pukul satu dini hari dan papanya belum ada tanda-tanda pulang dari rumah mama tirinya itu? Padahal besok pagi dia harus dinas, bukan?Edo meraih baju-bajunya yang tadi ia lempar sembarangan ketika sudah tidak tahan lagi untuk menyentuh sang isteri. Siapa sih yang tidak tergoda dengan tubuh dengan lekuk indah dan kulit putih bersih itu? Dia laki-laki normal, jadi tentu lah ia langsung kalang-kabut begitu mendapati sang isteri sudah dengan lingerie warna merah itu.Dasar Arra, memang umurnya masih kecil, tapi ia sudah sangat matang rupanya, bahkan untuk urusan ranjang seperti ini. Ah Edo tidak salah pilih, bukan? Edo bergegas memakai kembali bajunya, meraih bungkus serta ‘benda’ bekas pakai itu dari atas nakas dari atas meja dan membuangnya ke dalam tempat sampah yang ada di kamar mandi.Ya ... meskipun dia dan Arra sudah m
“Mas, katanya besok sudah dinas?” tanya Redita ketika sore itu Adnan belum ada tanda-tanda hendak balik ke Solo, ia malah menggendong Adta dan sama sekali tidak melepaskan bayi itu barang sedetik pun.“Ah, jadi kamu hendak mengusir suamimu sendiri?” Adnan mencebik, memang kenapa kalau besok dia sudah dinas?Redita terkekeh, kenapa jadi baper macam ABG kemarin sore sih suaminya ini? Ia mendekati Adnan yang tampak begitu bahagai dengan Adta yang berada dalam gendongannya. Kenapa rasanya bahagia sekali melihat betapa manis bapak dan anak itu ketika sedang seperti ini?“Bukan begitu Sayang, besok kan pasti masuk pagi.” Redita memeluk suaminya itu dari belakang, jendela kamarnya aman kok, meskipun tirai terbuka, tidak akan ada yang melihat apa yang mereka lakukan kecuali jika sengaja ingin mengintip.“Aku balik subuh boleh kan? Masih kangen sama kamu, sama jagoan kecilku ini.”Redita hanya tersenyum dan me