Yudha terkejut ketika kemudian ada yang membuka pintu prakteknya, tampak Adnan muncul dengan senyum kecut. Yudha hanya menatap sosok itu sekilas dan menghela nafas panjang, sementara Adnan melangkah masuk kemudian duduk dihadapan internis sahabat baiknya itu. Datang juga si bapak-bapak bucin ini menemui dirinya.
“Sekarang jelaskan kepadaku, kenapa hari ini kamu seolah lupa dengan apa yang kemarin sudah kita bicarakan, Nan?” cecar Yudha yang masih begitu santai bersandar di kursinya. Tentulah dia minta penjelasan, ia sudah menyusun rencana sedemikian rupa untuk memperkenalkan Adnan dengan Amanda, eh sekarang malah Adnan berubah haluan lagi.
“Entahlah, Yud. Aku benar-benar lemah beradapan dengan dirinya. Rasanya aku ...,” Adnan tidak melanjutkan kalimatnya, ia kemudian menatap nanar Yudha yang masih serius menanti penjelasan dari Adnan. Adnan tidak masalah kalau Yudha mau memaki-makinya, karena faktanya perasaan ini benar-benar tidak bisa ia kenda
Dada Adnan terasa begitu sesak, hatinya pedih dan matanya sontak memerah. Ia dengar semua percakapan itu, tentang Andaru yang menyatakan perasaannya pada sosok yang ia cintai. Tentang bagaimana dia mencintai Redita Fernanda, gadis yang berhasil mengobrak-abrik perasaannya.Adnan bergegas pergi dari ruang koas itu, ia yakin Redita akan menerima Andaru bukan? Apa sih yang kurang dari laki-laki itu? Masih muda, ganteng dan jangan lupa dia calon dokter spesialis bedah juga! Rasanya Adnan harus segera menyetujui rencana Yudha untuk memperkenalkan dia dengan Manda! Ia harus meralat keputusannya yang tadi sempat ragu diperkenalkan dengan sosok itu.Adnan terlalu terburu-buru melangkah hingga kemudian ia tidak sengaja menabrak seseorang hingga membuat berkas-berkas yang ada di tangan orang itu jatuh dan terhambur di lantai.“Aduh!”“Ma-maaf, saya tidak sengaja,” Adnan buru-buru membantu sosok itu memunguti lembaran-lembaran kertas yang ber
Hujan sudah cukup reda, setelah hampir satu setengah jam Redita berdiam diri di tempatnya, akhirnya rintik hujan itu sudah berhenti. Meninggalkan Redita yang terbelenggu dalam dingin dan pedih hati. Meninggalkan dingin yang makin mencengkram hati Redita dengan begitu luar biasa. Redita menghela nafas panjang, kenapa rasanya begitu sesak?Ia terus memikirkan apa yang tadi dilihat oleh matanya. Sosok yang beberapa hari ini menganggu hatinya, sosok yang beberapa hari ini memenuhi pikirannya, dengan siapa tadi ia pergi? Kenapa rasanya Redita tidak terima? Mereka tampak dekat, tampak mesra dan tampak sangat intim. Tidak mungkin jika di antara mereka tidak ada hubungan apa-apa bukan?"Ah, emang aku siapanya sih? Saudara bukan, anak bukan, pacar juga bukan!" Redita menghela nafas panjang. Ia hendak melangkah ke parkiran ketika kembali matanya menatap sosok yang ia kenal."Itu kan ...," Redita tidak melanjutkan kalimatnya, ia hanya tersenyum kecut kemudian melangkah men
“Masih pengen ngulang stase bedah nih? Kamu pengen nambah berapa minggu?” tanya Dokter Stefan sambil melotot gemas ke arah Redita. Suaranya begitu tegas dan dingin, tanda bahwa dokter senior itu begitu marah dan tidak suka dengan apa yang barusan Redita presentasikan itu.Redita hanya menunduk, keringat dingin mulai mengucur membasahi tubuhnya. Kepalanya sedikit pusing, pening, rasanya untuk sekarang lebih baik dia diam terlebih dahulu, membiarkan konsulennya itu bergantian menghabisinya, ia melirik sosok itu, ia tampak santai, walau Redita tahu kerutan di dahinya itu adalah sebuah bentuk kekecewaan dan ketidak puasan.“Kalaupun kamu tidak berminat sama sekali di bagian bedah, ingatlah bahwa jika kamu tidak lulus dari stase ini, maka jangan harap kamu bisa meraih gelar doktermu, paham?” guman Dokter Stefan lagi, ia tampak mendengus kesal. Wajahnya memerah, makin menegaskan bahwa dia benar-benar marah.Redita belum berani mengangkat wajahn
Redita masih termenung memikirkan apa maksud dari dokter bedah itu barusan. Kenapa dia begitu marah tadi? Karena presentasi kasusnya yang berantakan? Atau karena apa? Tapi apa yang sudah Redita lakukan sampai dokter itu semarah itu kepadanya? Bukankah tadi ia tidak semarah itu? Yang sangat marah tadi Dokter Stefan kan? Sampai menceramahinya panjang lebar seperti tadi?Redita perlahan bangkit, ia memijit kepalanya yang masih terasa begitu pusing itu. Duduk di pinggir ranjang sambil mencoba mengumpulkan energinya. Ia hendak bangkit dari duduknya ketika kemudian Claudia muncul dari depan pintu dengan tiga buah plastik di tangannya."Akhirnya sadar juga, kamu itu bikin heboh saja!" Gerutu Claudia sambil duduk di sisi gadis itu."Kok aku bisa di sini?" tanya Redita acuh dengan gerutuan Claudia, tangannya masih sibuk memijit pelipisnya, berharap sakit kepala yang menderanya itu bisa segera sirna."Kamu ambruk pingsan! Dibawa Dokter Adnan kemari, nih dia beliin
Redita sudah berdiri di depan pintu ruang praktek Dokter Stefan, untuk apa? Tentu untuk menanyakan perihal kelanjutan stase bedahnya ini. Apa hukuman yang ia dapatkan dari betapa buruk presentasi kasusnya tadi? Tambah minggu? Itu pasti! Tapi tenang berapa minggu?Satu Minggu?Dua Minggu?Atau malah mengulang stase ini satu kali lagi?Redita menghela nafas panjang, ia mengetuk pintu itu, menunggu sang empu ruangan memberinya izin masuk."Masuk!" suara itu tampak begitu dingin.Kembali Redita menghela nafas panjang, dengan mantab ia menekan knop pintu dan melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Ia mempersiapkan telinga dan hatinya untuk menerima apapun yang nantinya akan dikatakan Dokter Stefan kepadanya."Permisi Dokter, saya ....""Duduk!" perintah sosok itu dengan begitu tegas.Redita mengangguk, ia bergegas duduk di depan dokter bedah senior itu. Berharap-harap cemas perihal 'hadiah' apa yang hendak Dokter Stefan berikan
Adnan membawa mobilnya dengan segudang pertanyaan di dalam pikirannya. Apa yang terjadi dengan Redita? Kenapa gadis itu sampai menangis segitunya? Apa yang membuat Redita tanpa begitu tersakiti? Kalau bukan karena di marahi Stefan, lalu kenapa kemudian Redita sampai seperti itu? Ahh ... Adnan benar-benar penasaran, namun Redita sama sekali tidak mau buka suara tentang apa yang sudah terjadi kepadanya. Membuat Adnan terus di dera rasa ingin tahu yang tinggi terhadap gadis itu."Kamu kenapa sih, Re?" desis Adnan nelangsa.Jujur Adnan penasaran, namun Redita sudah berkata demikian, ia bisa apa? Memaksa dia bercerita? Memang Adnan siapa sih? Kenapa ia jadi macam anak kemarin sore yang sedang terkena virus cinta? Dia harusnya sudah sangat berpengalaman dengan masalah seperti ini kan? Namun ketika berhadapan dengan Redita kenapa ia begitu lemah?Adnan membelokkan mobilnya ke halaman rumah dan terkejut ketika melihat ada mobil Edo terparkir di halaman rumah. Jadi anakn
Redita bangkit dengan malas dari kasurnya. Koas lagi, bagian bedah lagi! Apes! Ia menguap sebentar, menatap lurus ke arah pintu kamar mandi kamarnya. Sedetik kemudian ia bangkit dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi, ia harus bergegas mandi dan bersiap berangkat koas, sebuah rutinitas wajibnya selepas mendapatkan gelar sarjana kedokterannya bukan? Jujur makin kesini ia jadi makin malas berangkat ke rumah sakit.Ini semua gara-gara perasaan kurang ajarnya terhadap sosok itu, siapa lagi kalau bukan Dokter Adnan Sanjaya! Lagian kenapa sih dia bisa jatuh cinta pada sosok itu? Kenapa tidak pada laki-laki lain? Kenapa tidak pada Andaru yang jelas-jelas menyatakan cinta kepadanya? Kenapa malah Andaru dia tolak kemarin? Kenapa?Redita sendiri tidak mengerti dengan perasannya sendiri, kenapa dia bisa jadi seperti ini sih? Kenapa malah sekarang seleranya laki-laki matang paruh baya macam Dokter Adnan? Kenapa orientasinya berubah sebegitu ekstrim? Masih bagus sih tidak berubah
Adnan bergegas menyelesaikannya operasinya, pikirannya sejak tadi hanya fokus pada Redita, tidak ada yang lain lagi. Untungnya dia masih bisa profesional jadi semua pekerjaannya bisa lancar dan beres."Lanjutkan!" perintahnya lalu bergegas keluar, setelah ini ia mau langsung ke Semarang.Ia sudah dapat sharelock dari anak-anak yang sudah lebih dulu ke sana. Bayangan Redita menangis sesegukan masih terngiang terus dalam pikiran Adnan, membuat Adnan rasanya ingin bergegas lari ke Semarang guna memastikan gadis itu baik-baik saja, ya walaupun ia tahu, kehilangan orang tua masuk kedalam kategori tidak baik."Saya segera kesana, Re. Kamu yang sabar ya!"***Redita belum mau beranjak dari depan gundukan tanah yang masih merah itu. Air matanya masih menitik. Ia tidak percaya dengan semua yang terjadi. Harus secepat inikah mamanya itu pergi meninggalkan dirinya?Redita membiarkan air matanya menitik, rasanya ia sudah kehilangan arah, kehila
Redita hendak kembali pulang selepas jaga malam pagi itu ketika ia mendapati Land Cruisser yang ia tahu betul adalah milik sang suami sudah terparkir di halaman parkir rumah sakit. Tak beberapa lama sosok itu turun dari mobil, tersenyum begitu manis ke arahnya.Rasanya Redita ingin berlari dan menjatuhkan diri di pelukan sang suami kalau saja mereka tidak sedang berada di halaman rumah sakit saat ini. Jadi Redita sekuat tenaga menahan keinginannya untuk melakukan hal itu, ia melangkah perlahan mendekati sang suami yang tersenyum begitu lebar ke arahnya.“Hai suamiku,” sapa Redita lalu mengulurkan tangannya, bergegas mencium punggung tangan Adnan begitu uluran tangannya terbalas.“Hai juga isteriku, kamu tampak lelah. Bisa kita pulang sekarang? Aku rindu dengan jagoan kecilku.”Redita sontak mencebik, ia memanyunkan bibirnya yang sukses membuat Adnan terkekeh melihat perubahan wajahnya itu.“Jadi pulang cuma kangen sama
Beberapa hari kemudian ... “Dokter!” Redita setengah berlari mengejar langkah dokter Ricard, beliau adalah dokter bedah yang bertanggung jawab pada sang nenek pasca operasi kemarin. Dan hari ini adalah visiting terakhir, bukan? Kondisi sang nenek sudah lebih baik, dan itu artinya dia sudah boleh pulang. Untuk itu Redita ingin melihat wajahnya, mungkin untuk terakhir kalinya dia bisa melihat wajah-wajah yang dulu menorehkan luka dengan begitu dalam di relung hati Redita itu. “Ada apa, Re?” tanya dokter Richard yang tampak mengerutkan kening melihat Redita berlari-lari menghampirinya itu. “Boleh saya ikut visiting, Dok?” mohon Redita dengan nafas terenggah-enggah. “Tentu boleh, bukan kah pasien itu pertama kali datang kamu yang pegang?” tampak dokter Ricard tersenyum, ia sudah hendak kembali melangkah ketika kemudian tangan Redita mencekal tangan dokter Richard, mencegahnya melangkah lebih jauh. “Dok, tunggu sebentar!” Dokter Ric
Redita tersenyum menatap sosok itu yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Beberapa alat medis masih menempel di tubuh renta itu. Ia sudah berhasil melewati masa kritisnya, tinggal menanti dia kembali sadar dan kondisinya pulih.Redita meraih tangan berkeriput itu, meremasnya perlahan dengan hati yang teramat pedih. Bayangan masa lalu dimana sosok itu dengan tangan yang saat ini Redita genggam, sering menamparnya, menjewer telinga Redita sampai memerah, mecubit pahanya sampai memar membiru dan terkadang memukul kakinya dengan gagang sapu. Belum lagi, mulut yang sekarang terpasang ventilator itu, dulu begitu pedas tiap mengata-ngatai dirinya, mencaci-maki Redita yang bahkan dulu masih begitu kecil dan tidak paham apa-apa.Redita menghela nafas panjang, berusaha melupakan semua itu meskipun rasanya begitu sulit dan tidak semudah yang ia katakan. Redita melirik jam dinding, sudah pukul setengah enam, ia bergegas merogoh saku snelli-nya, mengambil masker medis yang
"Iya Sayang, stok ASIP Adta sudah ready banyak di kulkas, jangan khawatir ya." Redita tersenyum, malam ini ia harus jaga IGD sampai besok pukul tujuh pagi. Dan Adnan sudah ribut khawatir dengan Adta katanya."Benar? Apa perlu aku balik ke sana sekarang?"Sontak Redita tertawa, ah lebay sekali bapak tiga orang anak itu? Sebelum mereka kembali bertemu, toh Adta baik-baik saja jika dia ada jaga malam, kenapa sekarang dia jadi begitu khawatir?"Sudah, tenang saja! Jagoan kecil kita aman dan akan baik-baik saja, Sayang." guman Redita lirih, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semua akan baik-baik saja."Yasudah, kabari aku terus ya. Aku benar-benar khawatir dengan kalian berdua."Redita tersenyum, hatinya berbungga-bungga mendengar nada kekhawatiran itu meluncur dari bibir sang suami. Rasanya ia begitu bahagia mendengarnya. Bagaimanapun, setua apapun laki-laki yang menjadi suaminya ini, dia benar-benar sosok yang begitu peduli dan penyayang. Ah ... sung
Adnan tersenyum ketika mendapati panggilan dari nomor itu, nomor yang ia tunggu untuk memberinya kabar perihal perkembangan pendaftaran itsbat nikahnya. Semoga semuanya lancar dan tidak perlu waktu lama ia bisa mendaftarkan pernikahannya dan memperoleh apa yang sudah ia janjikan kepada sang isteri sejak dulu.“Halo, gimana Fan?” tanya Adnan yang sudah sangat tidak sabar itu.“Berkasnya sudah masuk, Dok. Sudah diurus sama isteri saya, nanti tinggal tunggu kabar persidangannya saja ya, Dok.”Wajah Adnan makin cerah, senyumnya mengembang sempurna mendengar hal itu. Redita pasti akan sangat bahagia mendengar kabar ini, bukan? Impiannya untuk bisa segera memiliki buku nikah dan menikahi Redita secara resmi akan terwujud.“Baik, saya berterima kasih sekali padamu, Fan. Sampaikan ucapan terima kasihku pada isterimu juga, ya.”Adnan menyandarkan tubuhnya di kursi, hatinya tengah berbunga-bunga. Rupanya inilah kebahagiaan
Adnan mematikan mesin mobilnya ketika ia sudah sampai di halaman rumahnya. Mobil Edo dan Arra masih ada, itu artinya dia masih di sini, belum kembali ke Jogja dan Arra belum balik ke rumah Yudha. Ya ... memang seperti itu, bukan? Selama Edo masih harus pendidikan di Jogja, Edo harus terpisah dari sang isteri karena Arra sudah dinas di salah satu rumah sakit swasta di Solo dan sebuah klinik. Jadi lah tiap Edo di Jogja Arra lebih memilih pulang ke rumah orang tuanya karena di rumah Adnan ini ia merasa kesepian.Adnan bergegas turun, melirik arlodjinya dan masuk ke dalam rumah. Sudah pukul setengah lima. Bisa lah dia mandi besar dulu lalu sholat subuh dan bersiap berangkat ke rumah sakit. Adnan bergegas naik kelantai atas, hanya dapur yang sudah tampak menyala lampunya, yang artinya dua asistennya sudah sibuk menyiapkan sarapan dan melakukan pekerjaan lain.Adnan bergegas masuk ke dalam kamar, mandi dan bersiap sholat. Ia tersenyum menatap kamarnya itu. Kelak kamar ini ak
“Aku pamit balik Solo dulu, Sayang. Jaga anak kita baik-baik ya?” Adnan mengecup kening sang isteri, kemudian beringsut mendekati Adta yang terlelap begitu nyenyak di dalam box-nya. Rasanya berat sekali Adnan hendak kembali, namun ia masih punya tanggung jawab, bukan? Terlebih sekarang ia punya tanggungan membiayai Adta, belum lagi Edo masih beberapa tahun lagi lulus PPDS-nya, ah ... itulah yang selama ini selalu membuat Adnan semangat tetap bekerja.“Mas hati-hati ya, kabari kalau sudah sampai Solo.” desis Redita lalu memeluk erat sang suami.Adnan hanya tersenyum, melepaskan Redita perlahan-lahan lalu mengecup keningnya perlahan. Hanya sekilas, karena kemudian kecupan itu turun mengecup bibir Redita penuh cinta, ya walaupun juga hanya sebentar.“Pasti, akan saya kabari selalu, Sayang!” Adnan tersenyum, kemudian meraih kunci mobil dan dompet yang tergeletak di atas lemari Adta.Redita menyodorkan jaket milik Adnan, mem
Edo bangkit dari ranjang, senyumnya merekah melihat betapa lelap Arra yang tubuhnya masih polos itu. Ia melirik jam dinding, sudah pukul satu dini hari dan papanya belum ada tanda-tanda pulang dari rumah mama tirinya itu? Padahal besok pagi dia harus dinas, bukan?Edo meraih baju-bajunya yang tadi ia lempar sembarangan ketika sudah tidak tahan lagi untuk menyentuh sang isteri. Siapa sih yang tidak tergoda dengan tubuh dengan lekuk indah dan kulit putih bersih itu? Dia laki-laki normal, jadi tentu lah ia langsung kalang-kabut begitu mendapati sang isteri sudah dengan lingerie warna merah itu.Dasar Arra, memang umurnya masih kecil, tapi ia sudah sangat matang rupanya, bahkan untuk urusan ranjang seperti ini. Ah Edo tidak salah pilih, bukan? Edo bergegas memakai kembali bajunya, meraih bungkus serta ‘benda’ bekas pakai itu dari atas nakas dari atas meja dan membuangnya ke dalam tempat sampah yang ada di kamar mandi.Ya ... meskipun dia dan Arra sudah m
“Mas, katanya besok sudah dinas?” tanya Redita ketika sore itu Adnan belum ada tanda-tanda hendak balik ke Solo, ia malah menggendong Adta dan sama sekali tidak melepaskan bayi itu barang sedetik pun.“Ah, jadi kamu hendak mengusir suamimu sendiri?” Adnan mencebik, memang kenapa kalau besok dia sudah dinas?Redita terkekeh, kenapa jadi baper macam ABG kemarin sore sih suaminya ini? Ia mendekati Adnan yang tampak begitu bahagai dengan Adta yang berada dalam gendongannya. Kenapa rasanya bahagia sekali melihat betapa manis bapak dan anak itu ketika sedang seperti ini?“Bukan begitu Sayang, besok kan pasti masuk pagi.” Redita memeluk suaminya itu dari belakang, jendela kamarnya aman kok, meskipun tirai terbuka, tidak akan ada yang melihat apa yang mereka lakukan kecuali jika sengaja ingin mengintip.“Aku balik subuh boleh kan? Masih kangen sama kamu, sama jagoan kecilku ini.”Redita hanya tersenyum dan me