Adnan menatap sosok itu dari jauh, kenapa rasanya ia ingin terus berada di sisinya? Adnan menghela nafas panjang, kenapa begitu rumit sih? Kenapa ia malah tertarik dan jatuh hati dengan sosok itu? Kenapa bukan pada Manda yang kemarin Yudha sodorkan pada dirinya itu? Atau pada rekan sejawat yang lain? Wanita lain yang usianya tidak terlalu jauh terpaut dengan dirinya? Yang bisa diterima akal sehat mengenai perbedaan usia mereka?
“Re ... kamu hampir membuaku gila!” desis Adnan gemas lalu dengan gusar melangkah masuk ke ruangannya.
Adnan duduk di kursinya, memijit keningnya dengan gemas, ia masih terbayang-bayang obrolannya dengan Yudha kemarin. Cintanya tentu tidak salah, hanya saja waktu yang salah memisahkan jarak usia mereka begitu jauh. Usia yang terpaut sangat jauh sekali. Redita pantasnya menjadi anak Adnan, bukan menjadi isterinya!
Ahh ... Adnan harus menang melawan semua perasaannya itu. Toh belum tentu juga kan gadis itu juga punya rasa yang sama dengan apa yang ia miliki kepadanya? Masa iya dia mau sama Adnan yang bahkan lebih tua dari bapaknya ini? Pasti dia lebih memilih mencari laki-laki lain yang sedikit lebih pantas untuk bersanding dengan dia bukan? Yang masih muda, masih gagah, bukan laki-laki di ujung senja macam dia ini. Sangat tidak mungkin terjadi bukan? Impossible!
***
“Eh yang pegang pasien Trisia kemarin siapa sih?” tanya Gilbert ketika mereka tengah sibuk mempersiapkan presentasi kasus untuk tugas akhir di stase bedah ini.
“Aku nih, kenapa?” Claudia membuka mulut, ia menatap Gilbert dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Pinjem data pasien lu dong, kasus kita sama nih,” Gilbert menggeser duduknya sedikit lebih dekat dengan Claudia.
Sementara dua temannya sibuk berdiskusi, Redita hanya diam sambil menopang dagunya. Seharian ini ia belum melihat sosok itu, kenapa rasanya jadi rindu? Kenapa rasanya ada yang kurang ketika ia tidak melihat dan mendengar suara dari dokter bedah senior itu?
“Heh, kita pusing diskusi buat presentasi kasus, dan elu Cuma bengong macam sapi ompong gitu?” Gilbert melempar pulpen ke arah Redita yang tengah melamun di kursinya itu. Membuat Redita hampir melonjak kaget saking terkejutnya.
“Apaan sih, kalau mau diskusi ya diskusi aja lah, ngapain sih pakai gangguin gue yang ngelamun?” gerutu Redita sambil melempar balik pulpen milik Gilbert itu.
“Mikir apaan sih? Emang presntasi kasus elu udah kelar? Pengen cepet lulus dari stase ini kan?” Gilbert masih begitu penasaran, membuat Redita mendengus kesal. Kepo amat sih jadi orang?
“Iya nih, katanya takut liat scalpel, mual liat genangan darah, males masuk OK, tapi kenapa disaat yang lain sibuk bikin presentasi kasus kamu malah Cuma bengong macam kudanil kesambet gitu sih?” Claudia sibuk menatap layar laptopnya, ia tengah membuat file power point untuk presentasi kasus besok.
“Sejak kapan kudanil kesambet jadi anteng?” Redita melepar id card miliknya hingga mengenai kepala Claudia, rese amat sih teman-temannya hari ini? Suka amat menganggu urusan Redita?
Mendadak Redita tertegun, kenapa kemudian ia jadi kangen masuk ke OK? Kangen dengar suara Dokter Adnan dengan penuh wibawa memimpin jalannya operasi, rindu menyeka keringat dan peluh yang membasahi wajah dokter itu. Kenapa dia jadi seperti ini sih? Apa yang terjadi padanya?
Ya ... walaupun kadang jika suasana hati dokter itu tidak sedang bagus ia sering kena damprat, namun jujur ia rindu semua moment itu. Apakah benar ia sudah jatuh cinta dengan laki-laki setengah abad lebih itu? Laki-laki yang bahkan lebih tua dari bapaknya sendiri? Cinta itu memang gila dan buta.
“Nah Clo ... dia malah senyam-senyum, Clo!” guman Gilbert ketika menyadari Redita tengah tersenyum sendiri di tempatnya duduk.
“Re ... kamu baik-baik aja kan? Masih kepikiran Rico? Ikhlaskan, Re!” Claudia sontak bangkit dan berdiri di belakang Redita, dielusnya dengan lembut pundak Redita.
“Apaan sih? Orang kayak Rico diingat-ingat buat apa?” Redita menepis tangan Claudia, ia sontak bangkit dan melangkah ke luar ruang koas.
Claudia dan Gilbert menatap kepergian Redita dengan penuh tanda tanya, mereka berpandangan sesaat kemudian kompak angkat bahu dan kembali fokus pada pekerjaan mereka, pokoknya mereka harus segera lulus dari stase ini! Harus! Sebodoh amat dengan Redita yang nampak sangat aneh hari ini, toh yang penting mereka sudah menegur bukan?
Redita melangkah menyusuri lorong rumah sakit hingga kemudian di depan pintu poli interna ia berpapasan dengan sosok itu. Hatinya yang tadi gersang sekarang mendadak seperti di siram air sejuk dari pegunungan.
“Selamat siang, Dok,” sapa Redita sopan sambil menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat.
“Siang, yang lain kemana?”
“Ada di ruang koas, Dokter. Perlu saya pang-”
“Sudah makan?” Dokter Adnan memotong kalimat Redita, membuat ia tertegun dan menatap sosok itu tidak percaya.
Mata mereka saling beradu sesaat, tanpa suara hingga kemudian Redita tersadar dan bergegas menjawab pertanyaan yang diberikan konsulennya itu.
“Ini saya baru mau ke kantin, Dokter.”
“Temani saya makan di luar, mau?”
Redita kembali tertegun, matanya masih menatap lekat-lekat sosok itu. Sorot matanya menyiratkan bahwa ia tidak ingin dibantah, bahwa apa yang dia katakan barusan harus Redita turuti. Redita tersenyum, ia menganggukkan kepalanya tanda setuju.
“Ikut saya,” guman Dokter Adnan sontak melangkah menuju parkiran.
Redita hanya menghela nafas panjang, ia melangkah mengikuti langkah dokter bedah itu. Jujur hatinya gembira, bukankah tadi ia merindukan sosok itu? Dan sekarang sosok itu ada dihadapannya bukan? Redita menatap siluet tubuh itu dari belakang, ia tidak bisa membayangkan bagaimana tampannya pesona dokter itu ketika muda dulu. Setua ini saja dokter satu itu masih begitu mempesona.
Mendadak ia teringat akan mantan isteri dokter itu, laki-laki sebaik ini, sekeren ini ia tinggalkan begitu saja? Nggak salah? Apa yang kemudian membuat wanita itu meninggalkan sosok sebaik ini? Laki-laki ini kurang apa? Atau jangan-jangan dokter satu ini punya penyimpangan sek*ual? Masokis gitu atau bagaimana? Tapi dia baru menduda lima tahun ini bukan? Harus nya kalau memang itu alasannya mereka cerai sudah sejak dulu dong? Lantas karena apa? Redita malah jadi sibuk menerka-nerka apa yang menjadi penyebab retaknya rumah tangga konsulennya itu.
Sementara itu Adnan sedang berperang dengan dirinya sendiri, kenapa ia tidak bisa jauh dari sosok itu? Kenapa Adnan selalu mencari alasan untuk selalu bersamanya? Padahal Adnan kemarin sudah bertekad untuk pergi dari sisi gadis ini bukan? Sudah bertekad untuk membiarkan Redita mendapatkan sosok laki-laki yang pantas dan lebih baik dari dirinya? Kenapa sekarang ia menginkari tekadnya sendiri? Kenapa ia jadi begitu plin-plan? Kemana tekadnya semalam? Kemana? Selemah inikah dia berhadapan dengan gadis belia yang ada di dekatnya itu?
Adnan benar-benar tidak mengerti, kenapa ia jadi seperti ini sih? Bukankah ia kemarin sudah memutuskan untuk mencoba menjauh dan membuka diri untuk Amanda, residen interna yang Yudha sodorkan? Wanita yang menurut otaknya pantas mendampingi dirinya yang berstatus duda dua anak itu. Kalau dengan gadis ini? Mana pantas sih? Ia masih terlalu muda dan belia! Sangat tidak pantas mendampingi laki-laki yang hampir masuk masa lansia seperti dia ini.“Kenapa tumben tadi cuma sendirian, yang lain pada ngapain di ruang koas?” Adnan mulai buka suara, sejak tadi hingga sekarang mereka sudah hampir sampai di lokasi, tidak ada obrolan sama sekali. Mereka larut dalam diam masing-masing.“Teman-teman sedang mengerjakan presentasi kasus untuk besok, Dok.”Adnan melirik Redita, ia tampak cantik dengan setelan scrub warna dusty pink itu. Rambutnya ia gerai dengan jepit mutiara ya menjepit rambut bagian kirinya.“Punya kamu gimana, sudah beres?&rd
Yudha tengah membaca laporan follow up yang tadi dihantarkan ke mejanya ketika kemudian iPhone miliknya berdering. Edo? Yudha yakin Edo menelepon hendak bertanya perihal papanya bukan? Tentang siapa wanita yang hendak menggantikan posisi Yuri sebagai wanita spesial di hati Adnan. Haruskah Yudha menceritakan yang sebenarnya? Atau biarkan Adnan yang bercerita sendiri pada Edo? Atau bagaimana?“Halo, gimana Do?” sapa Yudha lirih, jantung Yudha jadi berdegup kencang.“Halo Om, Edo ganggu Om Yudha nggak nih?”“Ah ... santai aja deh, memangnya ada apa, Do?” Yudha mencoba tetap tenang , rasanya perihal Redita ia tidak perlu buka suara pada Edo bukan? Itu di luar kewenangan Yudha, urusan pribadi keluarga sejawatnya, ya walaupun nanti kalau Arra menikah dengan Edo otomatis mereka jadi keluarga besar, tapi untuk sekarang rasanya Yudha tidak ada hak untuk mencampuri urusan mereka. Itu tidak etis.“Om sudah dapat info perihal wanita yang sekarang d
Yudha terkejut ketika kemudian ada yang membuka pintu prakteknya, tampak Adnan muncul dengan senyum kecut. Yudha hanya menatap sosok itu sekilas dan menghela nafas panjang, sementara Adnan melangkah masuk kemudian duduk dihadapan internis sahabat baiknya itu. Datang juga si bapak-bapak bucin ini menemui dirinya.“Sekarang jelaskan kepadaku, kenapa hari ini kamu seolah lupa dengan apa yang kemarin sudah kita bicarakan, Nan?” cecar Yudha yang masih begitu santai bersandar di kursinya. Tentulah dia minta penjelasan, ia sudah menyusun rencana sedemikian rupa untuk memperkenalkan Adnan dengan Amanda, eh sekarang malah Adnan berubah haluan lagi.“Entahlah, Yud. Aku benar-benar lemah beradapan dengan dirinya. Rasanya aku ...,” Adnan tidak melanjutkan kalimatnya, ia kemudian menatap nanar Yudha yang masih serius menanti penjelasan dari Adnan. Adnan tidak masalah kalau Yudha mau memaki-makinya, karena faktanya perasaan ini benar-benar tidak bisa ia kenda
Dada Adnan terasa begitu sesak, hatinya pedih dan matanya sontak memerah. Ia dengar semua percakapan itu, tentang Andaru yang menyatakan perasaannya pada sosok yang ia cintai. Tentang bagaimana dia mencintai Redita Fernanda, gadis yang berhasil mengobrak-abrik perasaannya.Adnan bergegas pergi dari ruang koas itu, ia yakin Redita akan menerima Andaru bukan? Apa sih yang kurang dari laki-laki itu? Masih muda, ganteng dan jangan lupa dia calon dokter spesialis bedah juga! Rasanya Adnan harus segera menyetujui rencana Yudha untuk memperkenalkan dia dengan Manda! Ia harus meralat keputusannya yang tadi sempat ragu diperkenalkan dengan sosok itu.Adnan terlalu terburu-buru melangkah hingga kemudian ia tidak sengaja menabrak seseorang hingga membuat berkas-berkas yang ada di tangan orang itu jatuh dan terhambur di lantai.“Aduh!”“Ma-maaf, saya tidak sengaja,” Adnan buru-buru membantu sosok itu memunguti lembaran-lembaran kertas yang ber
Hujan sudah cukup reda, setelah hampir satu setengah jam Redita berdiam diri di tempatnya, akhirnya rintik hujan itu sudah berhenti. Meninggalkan Redita yang terbelenggu dalam dingin dan pedih hati. Meninggalkan dingin yang makin mencengkram hati Redita dengan begitu luar biasa. Redita menghela nafas panjang, kenapa rasanya begitu sesak?Ia terus memikirkan apa yang tadi dilihat oleh matanya. Sosok yang beberapa hari ini menganggu hatinya, sosok yang beberapa hari ini memenuhi pikirannya, dengan siapa tadi ia pergi? Kenapa rasanya Redita tidak terima? Mereka tampak dekat, tampak mesra dan tampak sangat intim. Tidak mungkin jika di antara mereka tidak ada hubungan apa-apa bukan?"Ah, emang aku siapanya sih? Saudara bukan, anak bukan, pacar juga bukan!" Redita menghela nafas panjang. Ia hendak melangkah ke parkiran ketika kembali matanya menatap sosok yang ia kenal."Itu kan ...," Redita tidak melanjutkan kalimatnya, ia hanya tersenyum kecut kemudian melangkah men
“Masih pengen ngulang stase bedah nih? Kamu pengen nambah berapa minggu?” tanya Dokter Stefan sambil melotot gemas ke arah Redita. Suaranya begitu tegas dan dingin, tanda bahwa dokter senior itu begitu marah dan tidak suka dengan apa yang barusan Redita presentasikan itu.Redita hanya menunduk, keringat dingin mulai mengucur membasahi tubuhnya. Kepalanya sedikit pusing, pening, rasanya untuk sekarang lebih baik dia diam terlebih dahulu, membiarkan konsulennya itu bergantian menghabisinya, ia melirik sosok itu, ia tampak santai, walau Redita tahu kerutan di dahinya itu adalah sebuah bentuk kekecewaan dan ketidak puasan.“Kalaupun kamu tidak berminat sama sekali di bagian bedah, ingatlah bahwa jika kamu tidak lulus dari stase ini, maka jangan harap kamu bisa meraih gelar doktermu, paham?” guman Dokter Stefan lagi, ia tampak mendengus kesal. Wajahnya memerah, makin menegaskan bahwa dia benar-benar marah.Redita belum berani mengangkat wajahn
Redita masih termenung memikirkan apa maksud dari dokter bedah itu barusan. Kenapa dia begitu marah tadi? Karena presentasi kasusnya yang berantakan? Atau karena apa? Tapi apa yang sudah Redita lakukan sampai dokter itu semarah itu kepadanya? Bukankah tadi ia tidak semarah itu? Yang sangat marah tadi Dokter Stefan kan? Sampai menceramahinya panjang lebar seperti tadi?Redita perlahan bangkit, ia memijit kepalanya yang masih terasa begitu pusing itu. Duduk di pinggir ranjang sambil mencoba mengumpulkan energinya. Ia hendak bangkit dari duduknya ketika kemudian Claudia muncul dari depan pintu dengan tiga buah plastik di tangannya."Akhirnya sadar juga, kamu itu bikin heboh saja!" Gerutu Claudia sambil duduk di sisi gadis itu."Kok aku bisa di sini?" tanya Redita acuh dengan gerutuan Claudia, tangannya masih sibuk memijit pelipisnya, berharap sakit kepala yang menderanya itu bisa segera sirna."Kamu ambruk pingsan! Dibawa Dokter Adnan kemari, nih dia beliin
Redita sudah berdiri di depan pintu ruang praktek Dokter Stefan, untuk apa? Tentu untuk menanyakan perihal kelanjutan stase bedahnya ini. Apa hukuman yang ia dapatkan dari betapa buruk presentasi kasusnya tadi? Tambah minggu? Itu pasti! Tapi tenang berapa minggu?Satu Minggu?Dua Minggu?Atau malah mengulang stase ini satu kali lagi?Redita menghela nafas panjang, ia mengetuk pintu itu, menunggu sang empu ruangan memberinya izin masuk."Masuk!" suara itu tampak begitu dingin.Kembali Redita menghela nafas panjang, dengan mantab ia menekan knop pintu dan melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Ia mempersiapkan telinga dan hatinya untuk menerima apapun yang nantinya akan dikatakan Dokter Stefan kepadanya."Permisi Dokter, saya ....""Duduk!" perintah sosok itu dengan begitu tegas.Redita mengangguk, ia bergegas duduk di depan dokter bedah senior itu. Berharap-harap cemas perihal 'hadiah' apa yang hendak Dokter Stefan berikan
Redita hendak kembali pulang selepas jaga malam pagi itu ketika ia mendapati Land Cruisser yang ia tahu betul adalah milik sang suami sudah terparkir di halaman parkir rumah sakit. Tak beberapa lama sosok itu turun dari mobil, tersenyum begitu manis ke arahnya.Rasanya Redita ingin berlari dan menjatuhkan diri di pelukan sang suami kalau saja mereka tidak sedang berada di halaman rumah sakit saat ini. Jadi Redita sekuat tenaga menahan keinginannya untuk melakukan hal itu, ia melangkah perlahan mendekati sang suami yang tersenyum begitu lebar ke arahnya.“Hai suamiku,” sapa Redita lalu mengulurkan tangannya, bergegas mencium punggung tangan Adnan begitu uluran tangannya terbalas.“Hai juga isteriku, kamu tampak lelah. Bisa kita pulang sekarang? Aku rindu dengan jagoan kecilku.”Redita sontak mencebik, ia memanyunkan bibirnya yang sukses membuat Adnan terkekeh melihat perubahan wajahnya itu.“Jadi pulang cuma kangen sama
Beberapa hari kemudian ... “Dokter!” Redita setengah berlari mengejar langkah dokter Ricard, beliau adalah dokter bedah yang bertanggung jawab pada sang nenek pasca operasi kemarin. Dan hari ini adalah visiting terakhir, bukan? Kondisi sang nenek sudah lebih baik, dan itu artinya dia sudah boleh pulang. Untuk itu Redita ingin melihat wajahnya, mungkin untuk terakhir kalinya dia bisa melihat wajah-wajah yang dulu menorehkan luka dengan begitu dalam di relung hati Redita itu. “Ada apa, Re?” tanya dokter Richard yang tampak mengerutkan kening melihat Redita berlari-lari menghampirinya itu. “Boleh saya ikut visiting, Dok?” mohon Redita dengan nafas terenggah-enggah. “Tentu boleh, bukan kah pasien itu pertama kali datang kamu yang pegang?” tampak dokter Ricard tersenyum, ia sudah hendak kembali melangkah ketika kemudian tangan Redita mencekal tangan dokter Richard, mencegahnya melangkah lebih jauh. “Dok, tunggu sebentar!” Dokter Ric
Redita tersenyum menatap sosok itu yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Beberapa alat medis masih menempel di tubuh renta itu. Ia sudah berhasil melewati masa kritisnya, tinggal menanti dia kembali sadar dan kondisinya pulih.Redita meraih tangan berkeriput itu, meremasnya perlahan dengan hati yang teramat pedih. Bayangan masa lalu dimana sosok itu dengan tangan yang saat ini Redita genggam, sering menamparnya, menjewer telinga Redita sampai memerah, mecubit pahanya sampai memar membiru dan terkadang memukul kakinya dengan gagang sapu. Belum lagi, mulut yang sekarang terpasang ventilator itu, dulu begitu pedas tiap mengata-ngatai dirinya, mencaci-maki Redita yang bahkan dulu masih begitu kecil dan tidak paham apa-apa.Redita menghela nafas panjang, berusaha melupakan semua itu meskipun rasanya begitu sulit dan tidak semudah yang ia katakan. Redita melirik jam dinding, sudah pukul setengah enam, ia bergegas merogoh saku snelli-nya, mengambil masker medis yang
"Iya Sayang, stok ASIP Adta sudah ready banyak di kulkas, jangan khawatir ya." Redita tersenyum, malam ini ia harus jaga IGD sampai besok pukul tujuh pagi. Dan Adnan sudah ribut khawatir dengan Adta katanya."Benar? Apa perlu aku balik ke sana sekarang?"Sontak Redita tertawa, ah lebay sekali bapak tiga orang anak itu? Sebelum mereka kembali bertemu, toh Adta baik-baik saja jika dia ada jaga malam, kenapa sekarang dia jadi begitu khawatir?"Sudah, tenang saja! Jagoan kecil kita aman dan akan baik-baik saja, Sayang." guman Redita lirih, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semua akan baik-baik saja."Yasudah, kabari aku terus ya. Aku benar-benar khawatir dengan kalian berdua."Redita tersenyum, hatinya berbungga-bungga mendengar nada kekhawatiran itu meluncur dari bibir sang suami. Rasanya ia begitu bahagia mendengarnya. Bagaimanapun, setua apapun laki-laki yang menjadi suaminya ini, dia benar-benar sosok yang begitu peduli dan penyayang. Ah ... sung
Adnan tersenyum ketika mendapati panggilan dari nomor itu, nomor yang ia tunggu untuk memberinya kabar perihal perkembangan pendaftaran itsbat nikahnya. Semoga semuanya lancar dan tidak perlu waktu lama ia bisa mendaftarkan pernikahannya dan memperoleh apa yang sudah ia janjikan kepada sang isteri sejak dulu.“Halo, gimana Fan?” tanya Adnan yang sudah sangat tidak sabar itu.“Berkasnya sudah masuk, Dok. Sudah diurus sama isteri saya, nanti tinggal tunggu kabar persidangannya saja ya, Dok.”Wajah Adnan makin cerah, senyumnya mengembang sempurna mendengar hal itu. Redita pasti akan sangat bahagia mendengar kabar ini, bukan? Impiannya untuk bisa segera memiliki buku nikah dan menikahi Redita secara resmi akan terwujud.“Baik, saya berterima kasih sekali padamu, Fan. Sampaikan ucapan terima kasihku pada isterimu juga, ya.”Adnan menyandarkan tubuhnya di kursi, hatinya tengah berbunga-bunga. Rupanya inilah kebahagiaan
Adnan mematikan mesin mobilnya ketika ia sudah sampai di halaman rumahnya. Mobil Edo dan Arra masih ada, itu artinya dia masih di sini, belum kembali ke Jogja dan Arra belum balik ke rumah Yudha. Ya ... memang seperti itu, bukan? Selama Edo masih harus pendidikan di Jogja, Edo harus terpisah dari sang isteri karena Arra sudah dinas di salah satu rumah sakit swasta di Solo dan sebuah klinik. Jadi lah tiap Edo di Jogja Arra lebih memilih pulang ke rumah orang tuanya karena di rumah Adnan ini ia merasa kesepian.Adnan bergegas turun, melirik arlodjinya dan masuk ke dalam rumah. Sudah pukul setengah lima. Bisa lah dia mandi besar dulu lalu sholat subuh dan bersiap berangkat ke rumah sakit. Adnan bergegas naik kelantai atas, hanya dapur yang sudah tampak menyala lampunya, yang artinya dua asistennya sudah sibuk menyiapkan sarapan dan melakukan pekerjaan lain.Adnan bergegas masuk ke dalam kamar, mandi dan bersiap sholat. Ia tersenyum menatap kamarnya itu. Kelak kamar ini ak
“Aku pamit balik Solo dulu, Sayang. Jaga anak kita baik-baik ya?” Adnan mengecup kening sang isteri, kemudian beringsut mendekati Adta yang terlelap begitu nyenyak di dalam box-nya. Rasanya berat sekali Adnan hendak kembali, namun ia masih punya tanggung jawab, bukan? Terlebih sekarang ia punya tanggungan membiayai Adta, belum lagi Edo masih beberapa tahun lagi lulus PPDS-nya, ah ... itulah yang selama ini selalu membuat Adnan semangat tetap bekerja.“Mas hati-hati ya, kabari kalau sudah sampai Solo.” desis Redita lalu memeluk erat sang suami.Adnan hanya tersenyum, melepaskan Redita perlahan-lahan lalu mengecup keningnya perlahan. Hanya sekilas, karena kemudian kecupan itu turun mengecup bibir Redita penuh cinta, ya walaupun juga hanya sebentar.“Pasti, akan saya kabari selalu, Sayang!” Adnan tersenyum, kemudian meraih kunci mobil dan dompet yang tergeletak di atas lemari Adta.Redita menyodorkan jaket milik Adnan, mem
Edo bangkit dari ranjang, senyumnya merekah melihat betapa lelap Arra yang tubuhnya masih polos itu. Ia melirik jam dinding, sudah pukul satu dini hari dan papanya belum ada tanda-tanda pulang dari rumah mama tirinya itu? Padahal besok pagi dia harus dinas, bukan?Edo meraih baju-bajunya yang tadi ia lempar sembarangan ketika sudah tidak tahan lagi untuk menyentuh sang isteri. Siapa sih yang tidak tergoda dengan tubuh dengan lekuk indah dan kulit putih bersih itu? Dia laki-laki normal, jadi tentu lah ia langsung kalang-kabut begitu mendapati sang isteri sudah dengan lingerie warna merah itu.Dasar Arra, memang umurnya masih kecil, tapi ia sudah sangat matang rupanya, bahkan untuk urusan ranjang seperti ini. Ah Edo tidak salah pilih, bukan? Edo bergegas memakai kembali bajunya, meraih bungkus serta ‘benda’ bekas pakai itu dari atas nakas dari atas meja dan membuangnya ke dalam tempat sampah yang ada di kamar mandi.Ya ... meskipun dia dan Arra sudah m
“Mas, katanya besok sudah dinas?” tanya Redita ketika sore itu Adnan belum ada tanda-tanda hendak balik ke Solo, ia malah menggendong Adta dan sama sekali tidak melepaskan bayi itu barang sedetik pun.“Ah, jadi kamu hendak mengusir suamimu sendiri?” Adnan mencebik, memang kenapa kalau besok dia sudah dinas?Redita terkekeh, kenapa jadi baper macam ABG kemarin sore sih suaminya ini? Ia mendekati Adnan yang tampak begitu bahagai dengan Adta yang berada dalam gendongannya. Kenapa rasanya bahagia sekali melihat betapa manis bapak dan anak itu ketika sedang seperti ini?“Bukan begitu Sayang, besok kan pasti masuk pagi.” Redita memeluk suaminya itu dari belakang, jendela kamarnya aman kok, meskipun tirai terbuka, tidak akan ada yang melihat apa yang mereka lakukan kecuali jika sengaja ingin mengintip.“Aku balik subuh boleh kan? Masih kangen sama kamu, sama jagoan kecilku ini.”Redita hanya tersenyum dan me