Pagi hari senin, aku harus segera bergegas ke kantor karena sudah terlambat lima menit. Kurasa aku akan mendapat ceramah di pagi hari. Tidak biasanya aku terlambat kerja kecuali disebabkan insiden kemarin lusa. Semalaman aku tidak bisa memejamkan mata kecuali setelah pagi menjelang. Aku bahkan melewatkan sarapan. Sesampainya di kantor, aku mengabaikan semua teman yang menyapaku dan menaiki tangga secara terburu-buru. Sewaktu bertemu Kak Panggih, aku pun sengaja mengabaikan. Rasanya masih seperti mimpi. Aku bahkan belum benar-benar bisa membedakan kenyataan dan mimpi. Dan hal terpenting aku masih malu. Kemarin lusa, setelah insiden ciuman itu. Aku buru-buru pamit pulang. Kebetulan hujan juga sudah berhenti.Aku melangkahkan kaki perlahan ketika hendak memasuki ruangan. Seluruh pegawai sudah berada di meja masing-masing. Baik itu atasan langsungku Pak Denny yang memiliki kulit hitam terbakar sinar matahari. Dan juga Pak Johny duduk tepat berada di depan meja Dian –sebelumnya pimpin
Akhir-akhir ini karena sibuk dengan pekerjaan di kantor, aku bahkan lupa untuk mengabari sahabatku, Yanti. Untung saja ia mengerti dan memaklumi kesibukanku. Hari ini Yanti menyempatkan diri untuk datang ke rumahku. Karena hari minggu adalah hari liburku. Sedangkan Yanti sedikit santai karena tidak mempunyai tugas kuliah.Yanti merupakan keturunan Cina asli dari bapaknya. Meskipun ibunya berasal dari Klungkung, Bali. Itulah alasan Yanti memiliki mata sipit kecil yang dimiliki oleh orang-orang Cina. Warna kulitnya pun kuning langsat. Ketika berjalan-jalan denganku, banyak yang menyangka kalau kami saudara kembar. Karena wajah yang dikatakan mirip. Kalau menurut Yanti, karena sudah bersahabat sejak tujuh tahun lalu, membuat kami terlihat mirip. Jauh berbeda dengan teman-teman semasa SMP. Seringkali kami akan diledek karena kemana saja selalu berdua. Bisa dibilang sangat kompak. Di galeri fotoku dan Yanti tidak berbeda jauh. Banyak sekali foto pada waktu masih di bangku sekolah.Bi
Semenjak bekerja, aku merasa terbantu karena adikku, Maha, karena adikku selalu mengerjakan pekerjaan di rumah. Setidaknya aku tidak perlu repot untuk membereskan rumah setelah pulang kerja.Setiap pulang sekolah, Maha pasti menyempatkan diri untuk bersih-bersih di rumah. Tugas itu sekarang dikerjakannya setiap hari. Karena baik aku dan orangtuaku harus bekerja sampai sore. Jadi, Maha akan membersihkan rumah sebelum makan siang. Aku terbiasa masak di pagi hari, menyiapkan nasi dan lauk untuk keluargaku. Maka dari itu Maha akan membantu urusan bersih-bersih. Setelah semua sudah dikerjakan, barulah Maha akan makan siang.Sudah jarang ada suara berisik dari dapur saat pagi-pagi buta. Atau, ledekan kecil yang selalu dilontarkannya kepadaku. Aku merindukan masa-masa itu. Ketika Maha terbangun di malam hari, aku biasanya akan direpotkan dengan memasak nasi goreng telur untuknya. Dengan bumbu yang pedas sekali. Jauh berbeda denganku. Aku lebih menyukai makanan manis. Namun, adik kandungk
Aku mengamati ponselku yang kuletakkan pada meja belajar. Perasaanku sedikit terganggu dengan tidak adanya kabar dari Kak Panggih. Aku sudah berusaha menelepon, tapi Kak Panggih tidak menjawabnya. Aku hanya bisa terdiam menatap layar laptop dengan perasaan tidak karuan. Seharian ini, Kak Panggih tidak mengabariku. Dan, hal itu merupakan sebuah keanehan. Karena setelah pulang kerja, kami terbiasa mengobrol melalui panggilan ponsel atau pesan singkat.Dalam sehari, Kak Panggih terbiasa mengirimkan pesan singkat mengenai banyak hal. Contohnya saja untuk mengingatkan makan. Tadi Kak Panggih berpamitan untuk berangkat kerja –karena hari ini mendapatkan shift malam. Anehnya setelah itu tidak ada satu pun pesan singkat masuk. Apalagi telepon yang kuterima.Aku memutuskan untuk bangkit dan berjalan keluar menuju ruang tamu. Dengan langkah lebar menuju parkiran, dan mengeluarkan sepeda motor agar bisa bergegas pergi. Kemana saja asalkan tidak berdiam diri di rumah dan terus-menerus kepikiran
Aku membuka pintu di samping dan terpaku oleh kehadiran adikku, Maha. Ia terlihat menuangkan air dingin dengan mata setengah terpejam. Aku pun berjalan pelan-pelan dan mengagetkan dari belakang. Gelas plastik itu jatuh menumpahkan isinya yang membuat basah lantai dapur. Ketika Maha menatapku kesal, aku berjalan melengos pergi.“Kak Citra.. Tolong bersihkan dulu ini,” celotehnya dengan wajah cemberut. Aku selalu tahu cara untuk menggoda adikku. Salah satunya cara adalah seperti sekarang. Perasaan tidak karuan tadi lumayan membaik. Setelah berhasil melakukan sedikit keusilan. Tentu saja dengan mengusili satu-satunya adik kandungku.Maha masih belum beranjak dan membiarkan jejak kakiku muncul di sepanjang lantai dapur. Membuat jejak kaki yang sangat mudah dikenali. Karena satu-satunya orang di rumah yang memiliki kaki berukuran kecil hanyalah diriku. Baik Maha atau orangtuaku memiliki postur tubuh yang besar. Kata ibuku, aku mengikuti gen yang sebagian besar kudapatkan dari keluarga
Setelah pulang kerja, aku tidak langsung pulang ke rumah. Melainkan berkunjung ke kosnya Kak Panggih, karena ia mengajakku untuk berbicara. Baru kali ini aku melihat raut wajahnya yang begitu kusut. Bahkan, terkesan sedang banyak pikiran. Aku duduk bersandar pada tembok, sedangkan Kak Panggih duduk di atas kasur miliknya. Lama sekali pemikiran datang dan pergi mengganggu ketenanganku. Hanya terdengar suara cicak pada dinding kamar kos yang memecah kesunyian.“Ada apa Kak?” tanyaku membuka pembicaraan. Sejujurnya aku merasa lelah sekali. Namun, karena melihat perubahan sikap dari kekasihku, rasanya ada yang perlu kami bicarakan. Walaupun aku tidak yakin kalau semua akan baik-baik saja. Terutama jika melihat wajah kebingungan Kak Panggih.“Hmm.. Aku bingung mau ngomongnya, Dik.” Kak Panggih mengatakannya dengan napas yang terdengar berat. Sepertinya masalah yang ingin dibicarakan benar-benar sebuah masalah besar.“Ya, jelasin aja, Kak. Aku akan mendengarkannya,” ucapku dengan hat
Aku sampai di rumah jam delapan malam. Untung saja bapakku sedang dinas ke luar kota. Setidaknya tidak akan membicarakan mengenai keterlambatanku pulang ke rumah. Apalagi biasanya aku akan mengabari seandainya pulang malam. Saking terbawa emosi karena permasalahan dengan Kak Panggih tadi, aku sampai lupa mengabari keluargaku.Setelah sampai di kamarku, aku berbaring dan menatap langit-langit kamar. Perasaanku masih terasa sakit. Pengakuan jujur dari Kak Panggih masih membayangiku. Seandainya saja aku memilih untuk menjauh saat Kak Panggih mencoba untuk mendekatiku, aku tidak perlu merasakan hal seperti ini. Kutarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Berusaha memenuhi rongga dada dengan menghirup udara sebanyak mungkin. Karena sejak pulang dari kos Kak Panggih, aku merasakan sesak yang terasa begitu menyiksa.Aku mengambil ponsel di dalam tas selempang milikku. Namun, satu pun pesan tidak kuterima. Padahal biasanya Kak Panggih akan memastikan kalau aku telah sampai di
Pagi-pagi sekali aku sudah berangkat ke kantor. Karena semalam menangis tersedu, mataku terlihat sedikit sembab. Padahal aku sudah mengompres kelopak mataku dengan handuk kecil yang dibasahi air dingin. Namun, tetap saja masih terlihat sembab. Semoga tidak ada yang menanyakan perihal ini. Rasanya memalukan menjelaskan alasannya. Sehingga lebih baik untuk diam saja.“Selamat pagi..” sapa Anggreni tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Lalu, ia menatapku seakan tidak percaya.“Kenapa memandangiku seperti itu?” tanyaku sewot. Entahlah, pagi ini perasaanku menjadi lebih sensitif. Mungkin karena bertengkar dengan Kak Panggih kemarin.“Nggak kenapa. Cuma heran melihat matamu tiba-tiba sembab. Kayaknya kemarin waktu pulang kerja masih biasa aja,” jawab Anggreni santai. Ia menaruh tas selempangnya di kursi sebelah dan mulai menyalakan komputer. “Mau cerita?” tawarnya dengan tersenyum ramah.“Iya, boleh.”“Ya udah.. Kita ke ruang belakang aja. Sekalian sarapan. Aku bawa bubur ayam buat kita,”