Starla menahan napas saat tangan Erik membelai punggungnya. Sentuhannya terasa ringan namun begitu memabukkan. Membuat bulu roma terasa berdiri lembut.
“So beautiful,” puji Erik jujur. Ia berada tepat di belakang Starla, melihat pemandangan seorang gadis dengan posisi yang begitu menggoda.
Ah, sebenarnya bagi Erik mau bagaimana pun posisi Starla akan selalu terlihat menggoda. Terlebih dengan adanya tali-tali yang mengikat kulit putih langsat dari gadis Asia tersebut.
Erik amat sangat menyukainya.
Mengelus bokong’ bulat Starla yang terpampang di depannya, Erik bisa mendengar erangan tertahan Starla. Hari ini, ia akan meningkatkan level batasan Starla dari sebelum-sebelumnya.
“Kau siap, Starla?” tanya Erik, kini sudah pindah ke depan wajah Starla. Mengelus lembut wajah wanita den
Posisi Starla sudah berubah.Meski ia masih di meja yang sama seperti yang tadi, namun kini tubuhnya dalam keadaan telentang.Dengan tangan yang sudah dibentangkan lebar, Erik juga memposisikan kedua kaki Starla sama sepeti tangan gadis itu.Pada masing-masing tali di pergelangan kaki Starla, pria itu menariknya ke atas, menyebabkan kaki Starla membentuk garis lurus sejajar dengan tangan-tangan Starla yang terikat tanpa bisa Starla tekuk. Hmmm, mungkin bisa tapi hanya sedikit.Dan di sinilah letak fungsi dari olah raga yang Starla jalani bersama dengan Mike, ketika Erik menghedaki tubuh Starla dalam posisi-posisi yang mengharuskan menarik kaki atau anggota tubuh yang lain, Starla akan menjadi lebih siap dan tidak cepat merasa pegal.Dengan posisi ini, Starla bisa melihat dengan jelas wajah Erik, bahkan apa yang sedn
Maaf, Erik.Kau tau aku sangat menyayangimu. Tapi si kembar sudah amat sangat merindukanmu. Mereka merengek terus untuk mengunjungi mu sampai membuat aku, suamiku bahkan seluruh pembantu di mansionku kuwalahan menghadapi rengekan mereka. Kau tau bukan jika mereka menginginkan sesuatu maka mereka harus mendapatkan nya?Sekarang, aku titipkan mereka padamu. Sebenarnya aku ingin ikut dengan mereka karena Demi Tuhan! Kau tau sendiri jika aku juga sangat merindukanmu. Tapi suamiku mempunyai pertemuan bisnis penting untuk saat ini. Dan dia membutuhkanku untuk berada di sampingnya.I will be there in 3 days to take my twins back.Best regards,Ara.*** Erik mendengus kecil setelah membaca
“Starla!!”Teriakan dua bocah lelaki kembar membuat Starla yang hendak naik ke dalam mobil menoleh.A dan O turun dari kendaraan mereka, diikuti 2 baby sitter di belakang.“Hai, kiddos!” senyum Starla, langsung berjongkok untuk menyejajarkan tinggi badannya dengan dua keponakan Erik. Sekali lagi, Starla menemukan dirinya langsung mengagumi dua lelaki kembar itu, dan bertanya-tanya akan setampan apa mereka kelak saat sudah dewasa.“Ke mana kau akan pergi?” tanya seorang dari mereka.“Pergi ke kelas.”“Kelas?”Starla mengangguk. “Aku sedang belajar bahasa Belanda. Bahasamu.”Bocah itu mengernyit, lalu menoleh menatap saudara kembarnya. Starla ingin sekali tertawa melihat keduanya mengernyitkan dahi dengan kompak.“Tapi ... kau sudah bisa bicara dengan bahasa Belanda. Kau sedang melakukannya sekarang.”Kembarannya mengangguk membenark
Erik melangkah tegas memasuki gedung perusahaan. Menuju lift khusus eksekutif, dia melewati orang-orang yang menatapnya penuh puja. Membisikkan nama Erik dan berharap jika suatu hari nanti akan ada keajaiban di mana Erik menandai mereka.Tidak apa jika hanya sekedar menjadi pemuas ranjang satu malam. Karena mereka memang selalu memimpikan bisa sehari saja menempati hati pria berwajah dingin namun kelewat tampan itu.“Selamat pagi, Mr. Jensen.”Seperti biasa Rebecca menyapa dengan suara dibuat-buat agak mendesah. Pakaian ketat menempel di tubuhnya yang berlekuk. Kentara sekali jika ia sedang mencoba menggoda Erik.Erik hanya memberikan anggukan kecil sebelum ia masuk ke dalam ruangannya.“Sial! Susah sekali mendapatkan dia!” gerutu Rebecca kesal. Ia menendang kaki mejanya dan langsung mengaduh di tempat.Espen yang masih tertahan di tempat karena rasa ketertarikannya pada sekretaris itu tersenyum geli, menatap sekilas
Mereka sudah tidur,” kata Starla, melirik pada dua bocah lelaki yang sudah terpejam.Orion tidur di pangkuan Starla sementara Arion tidur di pankuan Erik. Untung mereka sudah berganti kendaraan dengan limosin sehingga ruang kendaraan jadi lebih luas.Erik, meletakkan tubuh Arion dengan hati-hati agar terbaring sepenuhnya di kursi. Lalu, ia juga membantu Starla untuk membaringkan rubuh Orion di sisi Arion. Beres, Erik berpindah tempat duduk di samping Starla.“Biarkan aku mengecekmu.”Starla terkesiap karena Erik tiba-tiba mengangkat tubuh dan memangkunya. Dengan posisi berhadapan dengan Erik, Starla berpegangan ke bahu lebar Erik yang masih terbalut setelan jas.“E-Erik ... Aku baik-baik saja,” ucap Starla setengah gugup. Menoleh ke belakang untuk melihat apakah si kembar bangun atau tidak.Tanpa mengatakan apapun, Erik langsung membuka kancing kemeja Starla. Mendekatkan wajah untuk mengendus leher jenjang putih
“Selamat pagi, Nona.” Adrie menyapa Starla seperti biasa tepat ketika Starla masuk ke dalam ruang makan.“Selamat pagi, Adrie,” sapa Starla balik. Menyerah untuk meyakinkan wanita paruh baya itu –dan juga Espen— untuk tidak memanggilnya Nona. Mereka keras kepala sekali dengan terus saja menyebut Starla sebagai Nona majikan mereka.“Di mana Espen?” tanya Starla kemudian, baru sadar jika pria yang biasanya sudah duduk di meja makan bahkan sebelum ia datang tidak ada di sana.Adrie menggeleng kecil. “Aku tidak tahu, Nona. Mungkin dia sangat sibuk sampai tidak bisa datang sarapan di sini,” jawab Adrie, meletakkan sepiring nasi dan semangkuk soup bakso di depan Starla. Merasuk dengan manja di indera penciuman Starla. Membuat perut kecilnya langsung mengeluarkan suara.Adrie tersenyum geli.“Selamat makan, Nona.”Starla meringis tapi tak lantas membuat ia malu. Adrie adalah wa
Bangun dalam keadaan disorientasi, Starla mengerjab menatap sekitar. Ia mengernyit kala melihat langit-langit kamarnya menjadi lebih rendah dari biasanya. Dan lagi pula ... perasaan apa ini? Kenapa Starla merasa ia seperti melayang?“Sudah bangun?”Suara itu membuat Starla menoleh dan langsung merasa seperti deja vu. Dulu kali kedua ia bertemu Erik—setelah yang pertama dari tempat perdagangan manusia— dan membahas tentang kontrak di apartemen, Erik juga mengatakan hal yang sama. Sekarang Starla mendapati pria itu berada di tepi jendela. Anehnya, Starla merasa jendela itu terlalu kecil untuk ukuran kamarnya.Beringsut bangun, Starla mendapati dirinya sudah memakai piyama satin. Heran karena ingatan terakhirnya ia berada di rumah bersama dengan A dan O.Si kembar!Ke mana mereka?&ld
Beberapa jam yang lalu, Starla bertanya pada Erik ke mana pria itu akan membawanya pergi. Tapi Erik sama sekali tidak menjawab bahkan memberikan clue. Begitu juga dengan A dan O. Mereka malah sibuk berlarian ke sana ke mari, sesekali menggoda para pramugari yang menatap mereka gemas.Sekarang Starla menuruni tangga pesawat. Erik memeluk pinggangnya sementara si kembar sudah berlari turun lebih dulu, disusul dengan 4 baby sitternya yang tergopoh-gopoh mengikuti mereka.“Jadi, kau masih tidak mau memberitahuku, di mana kita?” tanya Starla.Angin musim panas bertiup menerpa rambut panjang hitamnya, membuat Erik terpaku sejenak sebab kecantikan dari Starla yang kian hari terasa kian nyata.Bibir Erik melengkung ke atas, menyodorkan sebuah kaca mata hitam pada Starla.“Kau akan tau nanti. Pakai ini agar
Luna sudah menyeberang jalan ketika iris mata hitam Yuda menangkap sesuatu di atas tanah yang berkilauan. Ia mengernyit, lantas menunduk dan mengambil benda tersebut.Sebuah kalung emas dengan bandul huruf L yang di kedua sisinya terdapat ukiran sayap mungil, tak lain dan tak bukan adalah milik Luna. Yuda ingat pernah melihatnya di leher Luna. Berniat ingin mengembalikan, Yuda sempat berlari mengejar Luna. Akan tetapi tidak berlanjut sebab ia kehilangan jejak Luna.Yuda pun kembali ke bawah pohon, memasukkan kalung tersebut ke dalam tas. Ia pikir besok akan langsung mengembalikannya pada Luna.Yuda mengambil selimut yang dibawakan oleh Luna, berikut dengan tas ransel pink bergambar princess. Satu kotak yang berisi buah juga ditinggalkan Luna, katanya untuk makan malam Yuda.Bocah lelaki umur 7 tahun itu tersenyum tipis. Merogoh saku di mana ada uang 15 ribu dari sana. Yuda tidak mengemis, hanya saja kemarin ada kakak-kakak baik hati yang memberi uan
Luna bersiap pergi ke taman kota sekitar pukul 9 pagi seperti biasa. Dengan rambut dikuncir dua, Luna pamit pada Starla.“Mom sudah menyiapkan banyak bekal makanan untukmu. Semuanya sudah Mom masukkan dalam tas,” ucap Starla, mengelus rambut hitam Luna. “Masih tidak mau menceritakan pada Mom siapa temanmu itu?”Luna menggeleng polos. Sebenarnya dia ingin, namun Yuda melarangnya entah karena alasan apa.Starla menghela napas, mengecup kedua pipi Luna. “Baiklah jika kau masih menyimpan rahasia tentang temanmu itu. Tapi ingat pesan Mom, tetap hati-hati. Kau tidak tau dia punya niat jahat atau tidak.”“Dia baik, Mom,” kekeh Luna kecil.“Tetap saja kau harus berhati-hati. Ini Indonsesia, bukan Belanda di mana ayahmu mempunyai kekuasaan. Mengerti?”Lun
Seperti bocah 5 tahun pada umumnya, Luna masih suka sekali bermain di luar rumah. Seperti siang hari ini, ia meminta ijin pada Starla untuk mengelilingi komplek perumahan, dan mampir ke taman bermain jika ia pulang agak lama.“Hati-hati, okay? Jangan menyeberang sembarangan. Jika ada orang asing yang memberimu makanan apapun, kau tidak boleh menerima. Masih ingat bukan, apa yang kau pelajari dari Mom dan Dad dulu tentang bagaimana menghadapi orang asing yang tidak kau kenal?” tanya Sivia sambil memasangkan sebuah tas ransel di punggung Luna.“Yes, Mommy. Aku tidak boleh mempercayai siapa pun,” jawab Luna sambil mengangguk-anggukkan kepala.“Good! Kau juga ingat bukan, jika beberapa hari yang lalu ada yang mencuri tasmu?”Luna meringis hingga barisan gigi putihnya terlihat s
Tidak pernah sekalipun dalam bayangan Yuda bahwa ia akan mengalami nasib seperti ini. Dulu, ibu yang selalu ada untuknya telah tiada, karena penyakit yang dokter sebut sebagai kangker perut. Saat itu usia Yuda tepat 5 tahun.Selama hidup bersama ibu, Yuda tidak pernah mengenal ayah. Ibu tidak pernah bercerita apapun tentang pria itu. Pun Yuda tidak pernah bertanya. Entah kenapa ia merasa Ibu akan merasa sedih jika ia membahas tentang ayah.Namun, tepat 7 hari setelah ibu meninggal dan membuat Yuda hidup sebatang kara, datang seorang pria yang mengaku sebagai ayahnya. Namanya Heru.Heru memiliki penampilan bak preman, sesuai dengan siapa dirinya. Ia sering mabuk dan bermain judi. Tak jarang, ia juga membawa perempuan-perempuan asing ke rumah, menidurinya di setiap sudut rumah dan sama sekali tidak masalah jika Yuda melihat.Tak
“Luna! Ayo!” Darma berseru pada cucu perempuannya sambil menggandeng tangan kecil Ken.Kemarin, ia telah berjanji pada dua cucunya untuk mengajak mereka jalan-jalan. Dan sejak pagi tadi, Luna sudah merengek pada Darma, menuntut janji tersebut.Namun sekarang lihatlah siapa yang malah terlambat keluar dari kamar dan membuat Darma menunggu?“Iya, Kakek! Tunggu sebentar!” sahut Luna.Benar saja, tak lama kemudian gadis cilik itu keluar dari kamar. Dengan rambut hitam dikuncir dua, Luna juga membawa sebuah tas ransel.“Wah, cantik sekali cucuku!” puji Darma. Ia mengambil sepatu Luna dari rak kemudian menyuruh Luna untuk memakainya sendiri.“Ayo!” seru Luna setelah selesai memakai sepatu. Ia menggandeng tangan kiri Darma, sementara Ken menggandeng tangan kanan.
Pesisir putih di sebuah pantai Malaysia tengah didekorasi sedemikian rupa dengan nuansa warna putih. Terdapat altar kecil dengan hiasan bunga-bunga, beberapa kursi yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, juga sebuah meja panjang berisi beberapa makanan sederhana.Matahari baru saja muncul sekitar satu jam yang lalu, namun karena termasuk salah satu negara tropis, hawa dingin yang terasa bukan menjadi masalah bagi Isaac. Seorang pria yang sudah rapi dengan balutan jas berwarna hitam. Rambutnya disisir rapi ke belakang, hal yang sangat jarang ia lakukan bahkan ke undangan-undangan pesta sekalipun.Tapi hari ini hari spesial untuk Isaac. Dengan hati berdegup kencang, matanya terus mengawasi dengan cemas ke arah karpet merah terbentang.“Ehem! Jadi, di mana mempelai wanitanya?” seorang kepala pastur bertanya dengan tidak sabar.
5 Pria bawahan Abdul maju, menarik dan menyeret tubuh Isaac paksa keluar dari kamar. Pun dengan Rueben yang kakinya sudah terluka karena tertembak.Abdul mendengus, merapikan kemejanya yang sedikit lecek akibat perkelahian tadi. Ia menatap Samantha sambil tersenyum miring.“Sorry, Sweetheat. Ternyata kita kedatangan tamu tidak diundang. Sepertinya aku terlalu remeh dalam hal persembunyian.” Abdul menarik tubuh Samantha, memaksanya berdiri. Ia mencekal lengan kurus Sam keluar dari kamar, bergabung dengan para bawahannya.“Aku berjanji setelah ini aku akan memberikanmu malam indah tak terlupakan,” lanjut Abdul. Mengeluarkan pistol sembari menodongkannya di kepala Sam.“Jika kalian melawan, aku akan menembak gadis ini!” ancam Abdul pada Isaac dan Rueben yang masih mencoba memberontak.
Samantha selalu bertanya-tanya akan seperti apa akhir hidupnya dan di mana ia akan menghembuskan napas terakhir. Apakah ia akan meninggal di tanah kelahiran sang ibu, Belanda, Malaysia atau negara lain yang belum pernah ia kunjungi. Apakah ketika saat terakhirnya nanti akan ada seseorang di sampingnya atau dia akan sendirian. Dan yang lebih penting lagi kapan? Berapa tahun, bulan, hari atau jam lagi?Sekarang itu semua sudah terjawab. Bahwa ia akan meninggal di Malaysia, di sebuah apartemen karena ditembak oleh seorang pria bernama Abdul Razak, adik dari istri sah ayahnya. Dan itu akan terjadi beberapa jam lagi.Takut? Tentu. Panik? Jelas. Gemetaran? Tidak juga.Abdul Razak tengah mengiris steiknya dengan lihai, kemudian memakannya dengan penuh tata krama pria bangsawan. Sementara Samantha yang duduk di seberang meja menatap steiknya den
DOR!Suara tembakan itu membuat kedua mata Samantha terpejam erat. Jantungnya berdentum teramat kencang sehingga tubuhnya menegang. Jika sejak awal ia lemah, sudah pasti sekarang ia sudah pingsan.Terjadi keheningan beberapa saat sampai akhirnya Samantha berani membuka mata, menatap sosok pria dengan pistol yang ia arahkan pada atap. Dia menyeringai kejam melihat Samantha.“Itu sebagai peringatan saja,” ucap si pria. Kemudian ia mengarahkan pistolnya pada Samantha lagi, menyusuri wajah tersebut dengan ujungnya, membuat Sam mendongak. “Tapi next time, aku akan benar-benar melubangi kepalamu jika kau menolak.”Tersenyum, pria itu menyimpan kembali senjatanya ke dalam jas. Ia melirik arloji di tangan kemudian menatap Samantha lagi.“Sekarang aku harus pergi. Ada pekerjaan lain yan