“Selamat pagi, Nona.” Adrie menyapa Starla seperti biasa tepat ketika Starla masuk ke dalam ruang makan.
“Selamat pagi, Adrie,” sapa Starla balik. Menyerah untuk meyakinkan wanita paruh baya itu –dan juga Espen— untuk tidak memanggilnya Nona. Mereka keras kepala sekali dengan terus saja menyebut Starla sebagai Nona majikan mereka.
“Di mana Espen?” tanya Starla kemudian, baru sadar jika pria yang biasanya sudah duduk di meja makan bahkan sebelum ia datang tidak ada di sana.
Adrie menggeleng kecil. “Aku tidak tahu, Nona. Mungkin dia sangat sibuk sampai tidak bisa datang sarapan di sini,” jawab Adrie, meletakkan sepiring nasi dan semangkuk soup bakso di depan Starla. Merasuk dengan manja di indera penciuman Starla. Membuat perut kecilnya langsung mengeluarkan suara.
Adrie tersenyum geli.
“Selamat makan, Nona.”
Starla meringis tapi tak lantas membuat ia malu. Adrie adalah wa
Bangun dalam keadaan disorientasi, Starla mengerjab menatap sekitar. Ia mengernyit kala melihat langit-langit kamarnya menjadi lebih rendah dari biasanya. Dan lagi pula ... perasaan apa ini? Kenapa Starla merasa ia seperti melayang?“Sudah bangun?”Suara itu membuat Starla menoleh dan langsung merasa seperti deja vu. Dulu kali kedua ia bertemu Erik—setelah yang pertama dari tempat perdagangan manusia— dan membahas tentang kontrak di apartemen, Erik juga mengatakan hal yang sama. Sekarang Starla mendapati pria itu berada di tepi jendela. Anehnya, Starla merasa jendela itu terlalu kecil untuk ukuran kamarnya.Beringsut bangun, Starla mendapati dirinya sudah memakai piyama satin. Heran karena ingatan terakhirnya ia berada di rumah bersama dengan A dan O.Si kembar!Ke mana mereka?&ld
Beberapa jam yang lalu, Starla bertanya pada Erik ke mana pria itu akan membawanya pergi. Tapi Erik sama sekali tidak menjawab bahkan memberikan clue. Begitu juga dengan A dan O. Mereka malah sibuk berlarian ke sana ke mari, sesekali menggoda para pramugari yang menatap mereka gemas.Sekarang Starla menuruni tangga pesawat. Erik memeluk pinggangnya sementara si kembar sudah berlari turun lebih dulu, disusul dengan 4 baby sitternya yang tergopoh-gopoh mengikuti mereka.“Jadi, kau masih tidak mau memberitahuku, di mana kita?” tanya Starla.Angin musim panas bertiup menerpa rambut panjang hitamnya, membuat Erik terpaku sejenak sebab kecantikan dari Starla yang kian hari terasa kian nyata.Bibir Erik melengkung ke atas, menyodorkan sebuah kaca mata hitam pada Starla.“Kau akan tau nanti. Pakai ini agar
Starla keluar dari kamar setelah selesai memake-up tipis wajahnya. Ia membiarkan rambut hitamnya tergerai dan ... baru saja memotong poninya dengan gunting yang ia temukan di laci.Sempat gugup dengan penampilan baru, Starla menarik napas panjang dan berjalan menyusuri lorong panjang. Sampai tibalah ia di ruang tengah, di mana Erik sudah menunggu membelakangi.Starla menarik napas sekali lagi. Meremas kedua tangan sebelum berdehem kecil. Membuat Erik menoleh dan membalikkan badan.“H-hai,” sapa Starla, menelan saliva kasar.Erik menatapnya dalam diam. Iris abu-abunya mengawasi, memperhatikan mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dahinya sedikit mengernyit, membentuk beberapa kerutan di sana. Hal yang sudah menjadi salah satu kebiasaan Erik dan membuat tangan Starla selalu gatal untuk mengelusnya.“Kau memotong ponimu?” Suara Erik memenuhi ruang tengah.Starla mengangguk. Melangkah mantap menghampiri Erik.
“Aku tidak pernah menduga jika dunia akan sesempit ini.”Starla menoleh dan mendapati seorang pria bergabung ke meja tepat setelah Ara meninggalkannya. Wanita itu buru-buru bergegas setelah mendapat panggilan telepon yang ia duga dari salah satu baby sitter si kembar.Pria itu melempar senyum ramah pada Starla. Akan tetapi entah bagaimana Starla merasakan sesuatu yang berbahaya dari pria beriris mata hijau tersebut.Alarm bawah sadar memperingatkan Starla untuk mengabaikannya saja dan Starla benar-benar melakukannya. Alih-alih menanggapi, ia lebih memilih melarikan tatapan ke sekeliling ruang, di mana kebanyakan orang-orang sibuk berdansa seiring dengan denting musik piano yang mengalun.“Mengabaikanku, hm?” seringai si pria asing. Mengambil sebuah gelas berisi wine di meja dan langsung meneguknya hingg
Selama perjalanan pulang ke apartemen, Erik membisu. Wajahnya kaku dan mulutnya menipis. Berkali-kali Starla ingin mencoba mengajaknya bicara namun ekpresi menyeramkan tersebut mencegah Starla. Ia pun akhirnya memilih ikut bungkam, yang menyebabkan limosin tersebut terasa sangat dingin.“Turun!” perintah Erik setelah limosin mereka sampai di depan pintu lobi. Seorang valet membukakan pintu dan Starla pun langsung turun.Erik menyeret Starla masuk ke dalam lift dan menekan tombol lantai apartemennya. Tanpa kata, hanya mencengkeram pergelangan Starla dengan kuat. Mengacuhkan ringisan Starla karena rasa sakit yang ditimbulkan.Setelah keduanya berada dalam apartemen ...“Erik, jika kau marah karena aku berdansa dengan sepupumu— akh!&rd
“Selamat pagi, Nona Starla.”Adrie menyapa Starla yang baru masuk ke ruang makan. Dengan rambut tergerai acak-acakan, Starla menyeret kursi untuk duduk. Ia menguap dan menggelengkan kepala, menghalau rasa kantuk yang masih menerpa.“Hai, Adrie,” sapa Starla sekenanya. Ia melirik pada menu sarapan yang tersedia di atas meja. Ayam goreng crispy, steik daging sapi, kimchi, dan salad sayur. Sungguh perpaduan yang sangat aneh.“Kenapa? Apa kau tidak berselera? Kau ingin aku memasakkan sesuatu yang lain?” tawar Adrie ketika melihat Starla tidak juga menyentuh makanan di meja.Starla menggeleng cepat, kemudian meraih piring berisi nasi. “Tidak, ini sudah lebih dari cukup,” jawab Starla sambil tersenyum. “Aku hanya masih sedikit mengantuk.”“Jam berapa kau ti
Sinar matahari yang masuk menembus kaca balkon membuat Starla mau tak mau membuka mata. Mengerjab pelan, Starla merasa denyutan luar biasa di kepala, membuat ia meringis sejenak.Starla beringsut bangun sepelan mungkin hanya untuk terdiam lama. Kelopak matanya masih terlalu berat untuk ia buka secara sempurna.Hingga sebuah bayangan tentang tadi malam—tentang kehadiran Erik— tiba-tiba hadir. Kedua bola mata Starla pun melebar dan refleks menoleh ke samping, namun langsung dihadapkan oleh sebuah kenyataan pahit.Tidak ada siapapun di sana.Tidak ada Erik.Mengusap wajah, Starla mulai menata hati kembali. Seperti hari-hari selama satu bulan ini, menekan semua kerinduan yang sudah amat dalam merasuk dalam dada
"Berhenti di sana, Slave!"Starla baru saja keluar dari kamar mandi —untuk membersihkan badan— saat mendengar satu kalimat perintah tersebut. Refleks saja, Starla diam di tempat, tepat di depan kamar mandi dan hanya berbalut dengan bathrobe.Sementara itu, Erik yang duduk di atas ranjang, menyeringai. Puas karena Starla menerima perintahnya dengan baik."Sekarang. Aku ingin kau membuka bathrobe-mu. Be nakèd for your Master."Dulu, berbulan-bulan lamanya di awal-awal hubungan mereka, Starla selalu gugup saat menerima perintah ini. Namun sekarang keadaannya sudah benar-benar berubah. Tanpa rasa ragu sedikit pun, dan dengan kedua sudut bibir yang menahan diri untuk tersenyum, Starla meraih tali bathrobe dan langsung menariknya lepas. Membiarkan benda tersebut meluncur bebas di atas lantai."Good!" suara Erik. "Dan merangkaklah kemari."Glek!Starla meneguk saliva kasar, menerka-nerka
Luna sudah menyeberang jalan ketika iris mata hitam Yuda menangkap sesuatu di atas tanah yang berkilauan. Ia mengernyit, lantas menunduk dan mengambil benda tersebut.Sebuah kalung emas dengan bandul huruf L yang di kedua sisinya terdapat ukiran sayap mungil, tak lain dan tak bukan adalah milik Luna. Yuda ingat pernah melihatnya di leher Luna. Berniat ingin mengembalikan, Yuda sempat berlari mengejar Luna. Akan tetapi tidak berlanjut sebab ia kehilangan jejak Luna.Yuda pun kembali ke bawah pohon, memasukkan kalung tersebut ke dalam tas. Ia pikir besok akan langsung mengembalikannya pada Luna.Yuda mengambil selimut yang dibawakan oleh Luna, berikut dengan tas ransel pink bergambar princess. Satu kotak yang berisi buah juga ditinggalkan Luna, katanya untuk makan malam Yuda.Bocah lelaki umur 7 tahun itu tersenyum tipis. Merogoh saku di mana ada uang 15 ribu dari sana. Yuda tidak mengemis, hanya saja kemarin ada kakak-kakak baik hati yang memberi uan
Luna bersiap pergi ke taman kota sekitar pukul 9 pagi seperti biasa. Dengan rambut dikuncir dua, Luna pamit pada Starla.“Mom sudah menyiapkan banyak bekal makanan untukmu. Semuanya sudah Mom masukkan dalam tas,” ucap Starla, mengelus rambut hitam Luna. “Masih tidak mau menceritakan pada Mom siapa temanmu itu?”Luna menggeleng polos. Sebenarnya dia ingin, namun Yuda melarangnya entah karena alasan apa.Starla menghela napas, mengecup kedua pipi Luna. “Baiklah jika kau masih menyimpan rahasia tentang temanmu itu. Tapi ingat pesan Mom, tetap hati-hati. Kau tidak tau dia punya niat jahat atau tidak.”“Dia baik, Mom,” kekeh Luna kecil.“Tetap saja kau harus berhati-hati. Ini Indonsesia, bukan Belanda di mana ayahmu mempunyai kekuasaan. Mengerti?”Lun
Seperti bocah 5 tahun pada umumnya, Luna masih suka sekali bermain di luar rumah. Seperti siang hari ini, ia meminta ijin pada Starla untuk mengelilingi komplek perumahan, dan mampir ke taman bermain jika ia pulang agak lama.“Hati-hati, okay? Jangan menyeberang sembarangan. Jika ada orang asing yang memberimu makanan apapun, kau tidak boleh menerima. Masih ingat bukan, apa yang kau pelajari dari Mom dan Dad dulu tentang bagaimana menghadapi orang asing yang tidak kau kenal?” tanya Sivia sambil memasangkan sebuah tas ransel di punggung Luna.“Yes, Mommy. Aku tidak boleh mempercayai siapa pun,” jawab Luna sambil mengangguk-anggukkan kepala.“Good! Kau juga ingat bukan, jika beberapa hari yang lalu ada yang mencuri tasmu?”Luna meringis hingga barisan gigi putihnya terlihat s
Tidak pernah sekalipun dalam bayangan Yuda bahwa ia akan mengalami nasib seperti ini. Dulu, ibu yang selalu ada untuknya telah tiada, karena penyakit yang dokter sebut sebagai kangker perut. Saat itu usia Yuda tepat 5 tahun.Selama hidup bersama ibu, Yuda tidak pernah mengenal ayah. Ibu tidak pernah bercerita apapun tentang pria itu. Pun Yuda tidak pernah bertanya. Entah kenapa ia merasa Ibu akan merasa sedih jika ia membahas tentang ayah.Namun, tepat 7 hari setelah ibu meninggal dan membuat Yuda hidup sebatang kara, datang seorang pria yang mengaku sebagai ayahnya. Namanya Heru.Heru memiliki penampilan bak preman, sesuai dengan siapa dirinya. Ia sering mabuk dan bermain judi. Tak jarang, ia juga membawa perempuan-perempuan asing ke rumah, menidurinya di setiap sudut rumah dan sama sekali tidak masalah jika Yuda melihat.Tak
“Luna! Ayo!” Darma berseru pada cucu perempuannya sambil menggandeng tangan kecil Ken.Kemarin, ia telah berjanji pada dua cucunya untuk mengajak mereka jalan-jalan. Dan sejak pagi tadi, Luna sudah merengek pada Darma, menuntut janji tersebut.Namun sekarang lihatlah siapa yang malah terlambat keluar dari kamar dan membuat Darma menunggu?“Iya, Kakek! Tunggu sebentar!” sahut Luna.Benar saja, tak lama kemudian gadis cilik itu keluar dari kamar. Dengan rambut hitam dikuncir dua, Luna juga membawa sebuah tas ransel.“Wah, cantik sekali cucuku!” puji Darma. Ia mengambil sepatu Luna dari rak kemudian menyuruh Luna untuk memakainya sendiri.“Ayo!” seru Luna setelah selesai memakai sepatu. Ia menggandeng tangan kiri Darma, sementara Ken menggandeng tangan kanan.
Pesisir putih di sebuah pantai Malaysia tengah didekorasi sedemikian rupa dengan nuansa warna putih. Terdapat altar kecil dengan hiasan bunga-bunga, beberapa kursi yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, juga sebuah meja panjang berisi beberapa makanan sederhana.Matahari baru saja muncul sekitar satu jam yang lalu, namun karena termasuk salah satu negara tropis, hawa dingin yang terasa bukan menjadi masalah bagi Isaac. Seorang pria yang sudah rapi dengan balutan jas berwarna hitam. Rambutnya disisir rapi ke belakang, hal yang sangat jarang ia lakukan bahkan ke undangan-undangan pesta sekalipun.Tapi hari ini hari spesial untuk Isaac. Dengan hati berdegup kencang, matanya terus mengawasi dengan cemas ke arah karpet merah terbentang.“Ehem! Jadi, di mana mempelai wanitanya?” seorang kepala pastur bertanya dengan tidak sabar.
5 Pria bawahan Abdul maju, menarik dan menyeret tubuh Isaac paksa keluar dari kamar. Pun dengan Rueben yang kakinya sudah terluka karena tertembak.Abdul mendengus, merapikan kemejanya yang sedikit lecek akibat perkelahian tadi. Ia menatap Samantha sambil tersenyum miring.“Sorry, Sweetheat. Ternyata kita kedatangan tamu tidak diundang. Sepertinya aku terlalu remeh dalam hal persembunyian.” Abdul menarik tubuh Samantha, memaksanya berdiri. Ia mencekal lengan kurus Sam keluar dari kamar, bergabung dengan para bawahannya.“Aku berjanji setelah ini aku akan memberikanmu malam indah tak terlupakan,” lanjut Abdul. Mengeluarkan pistol sembari menodongkannya di kepala Sam.“Jika kalian melawan, aku akan menembak gadis ini!” ancam Abdul pada Isaac dan Rueben yang masih mencoba memberontak.
Samantha selalu bertanya-tanya akan seperti apa akhir hidupnya dan di mana ia akan menghembuskan napas terakhir. Apakah ia akan meninggal di tanah kelahiran sang ibu, Belanda, Malaysia atau negara lain yang belum pernah ia kunjungi. Apakah ketika saat terakhirnya nanti akan ada seseorang di sampingnya atau dia akan sendirian. Dan yang lebih penting lagi kapan? Berapa tahun, bulan, hari atau jam lagi?Sekarang itu semua sudah terjawab. Bahwa ia akan meninggal di Malaysia, di sebuah apartemen karena ditembak oleh seorang pria bernama Abdul Razak, adik dari istri sah ayahnya. Dan itu akan terjadi beberapa jam lagi.Takut? Tentu. Panik? Jelas. Gemetaran? Tidak juga.Abdul Razak tengah mengiris steiknya dengan lihai, kemudian memakannya dengan penuh tata krama pria bangsawan. Sementara Samantha yang duduk di seberang meja menatap steiknya den
DOR!Suara tembakan itu membuat kedua mata Samantha terpejam erat. Jantungnya berdentum teramat kencang sehingga tubuhnya menegang. Jika sejak awal ia lemah, sudah pasti sekarang ia sudah pingsan.Terjadi keheningan beberapa saat sampai akhirnya Samantha berani membuka mata, menatap sosok pria dengan pistol yang ia arahkan pada atap. Dia menyeringai kejam melihat Samantha.“Itu sebagai peringatan saja,” ucap si pria. Kemudian ia mengarahkan pistolnya pada Samantha lagi, menyusuri wajah tersebut dengan ujungnya, membuat Sam mendongak. “Tapi next time, aku akan benar-benar melubangi kepalamu jika kau menolak.”Tersenyum, pria itu menyimpan kembali senjatanya ke dalam jas. Ia melirik arloji di tangan kemudian menatap Samantha lagi.“Sekarang aku harus pergi. Ada pekerjaan lain yan